ANTOLOGIA 2
BATAM CENTER HAIL BASKETBALL
CHAPTER 1: GO GET IT
Selain menjalankan dominasi posesi permainan, riuh sorak apresiatif dari banyak perempuan dan sedikit laki-laki tertuju ke Art Richer, nama di atas papan skor 63 yang mengungguli skor 48 pasti adalah nama mereka berlima yang setelahnya tetap agresif melancarkan beberapa variasi pola defense, counter dan offsense sehingga membuat banyak dunk, aley-oop, lay-up, shot termasuk tear-drop barusan sukses memperbesar selisih skor hingga berakhir menjadi 82-57. Karena itu sorak selebrasi dari mereka yang ada di tepi lapangan untuk Art Richer semakin besar, paling besar dibanding tiga lapangan lain yang saling berdamping. Karunia malam seperti saat itu mungkin memang hanya terdapat di Coloseum Court Rental di antara sekian banyak tempat sewa lapangan basket mau pun olahraga lain di seluruh wilayah Galang, mungkin juga di antara seluruh regional Batam.
“Raw Slam my hommie, the best in Batam,” menurut laki-laki pemilik khas tampang dan gaya yang terbiasa jadi Bandar taruhan saat menyerahkan hak kemenangan Art Richer ke genggaman tangan Raw Slam.
“Not the best.”
“Yea you’re.”
“Not. Bos kita yang terbaik.”
“Aah, ya. Nevermind! Masih kurang lima juta lagi, wait!” bermaksud menangani sisa urusannya ke lawan kalah tandingnya Art Richer. “silakan kalo lanjut ke permainan baru atau kapan lagi kalian mau. Dan sampai kapan pun, deal is respect.”
Mereka lawan kalah tanding Art Richer jadi saling berbisik, diskusi hingga memutuskan, “Loe emang penuh respect sampe tumpeh-tumpeh. Respect emang gak cuma buat satu waktu dan satu urusan,” sambil cengingas-cengingis wakil pembicara.
Kalimat itu yang membuat mood si Bandar taruhan jadi buruk dan tidak menahan reaksi, “Udah gue bilang! Kalo gak punya duit gak usah sok deal!”
“Enggak kayak gitu, Bro sejak awal. Tapi ini lagi ada dikit masalah internal,” meyakinkan dengan alasan itu.
“Kesepakatan CCR harga mati!” tidak melembekkan keputusan, membuat mereka kesulitan mengutarakan alasan dengan kekuatan sebanding. "Okay don’t worry! Kali gue masih baik. Besok lagi elu-elu hitung dulu perbandingan antara uang taruhan sama kemampuan, sebelum pede main di royal court ini!” lalu si Bandar berkontak mata dengan beberapa cewek-cewek sensual yang ada di pihaknya, “BG! Menyerahkan ke enam cewek itu kelanjutannya.
Jadi malu-malu sedikit mau -selain terpaksa mau- semua anggota tim kalah tanding saat dibantu geng BG yang artinya mungkin memang Bitches Galang seperti wordart tertulis di kausnya salah satu, menanggalkan outfit para laki-laki yang mereka tangani, menyisakan boxer dan kolor yang terungkap.
“Udah. Just go!” sambil mengekspresikan dengan gesture tangan, si Bandar taruhan mengakhiri urusan supaya mereka pergi. “Good job, ma every honey!” memuji ke geng BG tadi. “Okay, okay! Sedih masih jauh. Let’s make some feels better!” meyakinkan mereka yang keberadaannya memenuhi sekeliling royal court.
Barusan yang terjadi, si Bandar taruhan pikir bukan lagi masalah tanpa tahu masih akan dipermasalahkan atau tidak -dari balik dinding kaca gedung CCR lantai tiga yang teratas- oleh mereka yang bisa mengawasi dari dalam sana, oleh seorang perempuan yang mengenakan outfit casual office, di samping seorang laki-laki yang mengenakan pilihan outfit satu tipe meski lain pilihan item yang lekat dengan gaya Italian masculine meski perawakan dan posturnya usia antara dua puluh lima sampai dua puluh delapan itu masih tampak golongan dalam negeri.
“Do you think it’s a problem?” Tanya yang perempuan.
“Its nothing. Don’t mind,” sebagaimana dikatakan, laki-laki itu tidak menganggap yang dia lihat di bawah adalah masalah.
“Bukan itu, tapi mereka yang barusan masuk enterance.”
“Siapa?”
“Satu dari orangmu.”
“Kenapa?” jelas laki-laki itu tidak memperhatikan apa yang dimaksud oleh perempuan di sampingnya.
“Kita cari tahu.”
Mereka berdua menuju sofa yang dekat dijangkau dari mana semula mereka berdiri mengawasi court yang ada di bawah, duduk bergabung dengan dua laki-laki berparas american-nigga yang satu mengoperasikan tablet dan satunya menikmati di antara banyak tersedia minuman mahal yang tidak sehat di atas meja, dalam ruangan itu bernuansa putih safir dan biru laut.
“Up to seven hundred thousand K to sold, one thousand K to rent by the top buyer in this week. So how, Demiro?” kata seorang American-nigga memberitahu apa yang ditunjukkan tabletnya.
“Chinesse price, sure,” komentar yang doyan minum.
“No chinesse, he is Hongkong.”
“He put six hundred and seven thousand K three hour ago! What his reason for that hotel would be good asset for a weapon and war merchandise seller?” kata yang perempuan, membuat pikiran yang lain jadi saling tanya.
“Secret inventory, warehouse, hidden factory … maybe he think is,” menurut yang doyan minum.
“Sound like a danger for you, Demiro?” menurut yang perempuan.
“Not for me but this town, if he did, since if he would,” menurut Demiro.
“Bos!” karena seseorang dari ambang pintu luar ruangan menegur, sehingga mereka berempat perhati kepada dua pria yang membekukan seorang layaknya bukti yang harus ditunjukkan. “Maaf, Bos! Kita sudah buktikan kalo dia sering kali nguntit barang yang kita buat, barang semenjak komposisi lama sampai yang baru seminggu ini kita edarkan.”
“What the hell is problem!? Mata yang doyan minum itu menunjukkan kalau dia kurang mengerti situasinya, mungkin karena tidak ada penjelasan menurut bahasanya.
Demiro berisyarat menyuruh mereka menghampirinya. Sesuai perintahnya, lalu Demiro menatap dengan dalam tersangka yang sedang tidak bernyali menatap balik sampai keringat turun menyusuri wajah. “Kasih tahu gue, mau lu apa?”
“Em … mm … mam-maaf, Bos! Saya salah. Saya gak tahu harus gimana lagi carikan dana buat dua anak saya kuliah, yang tiga sekolah, bapak saya juga sakit perlu biaya operasi. Saya jujur, Bos. Maafkan saya,Bos!”
Demiro pikir juga begitu, yakin dengan kesimpulan dalam hatinya. “Lu gak lupa, kan napas kerja kita apa? Napas kerja lu sama gue apa?” karena si tersangka belum membalas dalam tempo yang tepat, “Heh!” sampai Demiro tinggikan oktaf, membentak.
“Setia. Setia sama bos maka bos lebih dari setia.”
“Nah, gitu dong. Lu udah hianatin gue sekali dan alasannya yang barusan lu bilang. Okai gini, kalo lu ada masalah … finansial, keselamatan, kesehatan, fasilitas, inventarisasi, lu bilang!” dengan nada yang lembut. “Lu boleh terbuka sama gue. Gue suka kalo lu bilang masalah lu apa. Bukan jadi penghianat, muthafuque!” lalu Demiro mengeluarkan sebuah kartu plastik bersama secarik kertas dari balik jasnya. “Nih, ambil semua yang ada! Tapi sekali lagi lu berhianat, gue habisin lu dengan cara yang buat lu nyesel pernah lahir ke dunia.”
Si tersangka ragu menerima, sambil sangat ketakutan.
“Lu kira gue bercanda?” Demiro perjelas.
“iy-iya, Bos. Saya mengerti, Bos! Terimakasih, Bos!”
Demiro beri isyarat supaya mereka pergi.
“Bos, kenapa malah Bos kasih baik penghianat ini? Kenapa gak Bos kasih pelajaran?” karena seorang yang jadi pelapor tadi merasa tidak seharusnya seperti itu penyelesaiannya.
“Kenapa?”
Karena pertanyaan balik Demiro menyelesaikan dengan cepat, “Eng-enggak, Bos.” Lalu segera pergi.
“I don’t know that’s how you solving a problem,” komentar yang doyan minum.
“You’ll already know. Will you give some problem to me?” balas Demiro.
“No I don’t. I have enough understanding about Demiro decission,” ngeles, sepertinya sadar posisi.
“So impressive,” balas Demiro.
“Keep it up, Frau,” ejek yang main tablet.
“Kamu gak jadi khawatir siapa lagi orangmu yang jadi penghianat? Bisa jadi,” menurut yang perempuan.
“Traitor? I hope nothing helly traitor like Arex,” kata yang main tablet.
“Arex!? Yea, he so confident. Almost overthrowed us. That was the moment apart shit memory,” kata Frau, yang doyan minum.
“Lets start talking about without that traitor,” kata Demiro, tampak hanya dia tidak berselera dengan pembiacaraan itu.
***
Ya, masing-masing sosok mereka berempat sesuai dengan beberapa lembar potret yang ada di atas meja, sepertinya sedang dijadikan bahan pembicaraan oleh tiga laki-laki dan seorang perempuan yang tampak sedang dalam urusan dengan Alter, Agung dan Arias, dalam ruangan identik hotel atau mansion.
“Demiro, prioritas tinggi kita,” sambil menunjukkan dengan lebih jelas salah satu potret sosok pria dengan style Italian masculine, kata salah seorang dari tiga laki-laki yang dikesan Alter, Agung dan Arias sebagai yang paling kuat aura leadership dan keutamaannya. “Level IQ orang ini gak cukup tolol masuk dalam akses, spy and kracking system kepolisian. Masih sulit konfirmasi keberadaan dia sampai sekarang. Dia lebih dari lordfather pebisnis herion, senjata illegal, barang BM dan prostitusi di kota ini.”
“Kenapa kita bisa terlibat?” Tanya Alter, mungkin maksudnya mengenai keterkaitan pria dalam foto dengan dirinya -selain Agung dan Arias.
“Karena satu fakta menarik tentang orang ini,” lalu meletakkan foto itu sebelum menunjukkan selembat foto lain figur prioritas targetnya terpotret sedang dalam passion olahraga basket. “Dia punya obsesi tak terkalahkan dalam hal ini. Gue kira sampai sekarang dia masih berpikir sebagai pemain basket terkuat Batam.”
“Interesting,” sambil Arias tertawa sinis. “Polisi mulai bergerak nangkap ni orang, The Forbidden Most Wanted, kedengarannya enggak familier. Jelas ini menarik,” menurut Arias.
“Ha? Apa tadi lu bilang?” Agung belum dapat.
“The Forbidden Most Wanted?” kalau Alter tidak salah dengar.
“Sesuai julukannya, polisi enggak akan masukin ni orang ke daftar criminal meskin pun seharusnya. Jadi, kenapa sekarang?” menurut Arias, sehingga pimpinan meeting dibuat tampak terkejut. “Dan kenapa lu terkejut?”
“Hmf, lu tahu lebih dari yang gue kira. Memang benar, sejak bulan agustus tahun dua ribu lima belas kepolisian nasional udah sepakat, semua catatan criminal orang ini dianulir selama dia tidak melampaui batas tindakan yang ditoleransi. Di samping peran dia mengendalikan wajah ekonomi kota ini yang jadi gerbang perdagangan internasional negara kita… kenapa? Dia udah banyak main belakang.”
Anggota kepolisisan yang perempuan menunjukkan beberapa lembar foto produk terlarang dalam kemasan bendel plastik, seberat sekitar sepuluh kilo -kelihatannya.
“Yang ini di luar toleransi,” kata pimpinan meeting.
“Lu enggak bisa pakai alasan ini kalau mau bodohin kita, Pak Arex, Pak Polisi,” balas Arias membuat Arex polisi pimpinan meeting sempat terdiam.
“Boleh aku potong?” Alter mengambil alih perhatian. “Jadi mau apa polisi perlu bantuan kita yang cuma pemain basket jalanan? Okay, dia juga pemain basket,” sambil mengambil selembar potret Demiro yang sesuai dengan pembicaraan Alter, “terkuat di Batam. Kalau harus kita yang bikin dia keluar, yang berarti masuk dalam jangkauan polisi, gimana caranya?”
“Mumu, please!” mungkin karena Arex mulai haus, dia wakilkan ke rekan perempuan memberi jawabannya untuk Alter supaya Arex mengambil sedikit waktu untuk minum dari secangkir kopi, ya kelihatannya itu kopi.
“Riggel, MVP BSGE dua ribu delapan belas, ankle breaker master yang suka bikin lawan cidera mau pun cuma kesleo.”
“Bukan master,” sanggah Alter.
“Riggel?” Agung heran Mumu menyebut nama itu saat menatap Alter.
“Arias, mungkin semua pemain basket di kota ini tahu kelebihan kamu, selain skill kamu yang lain. Cake Ank, aku suka namanya, alias Agung, jelas kamu masuk top five players. So, masing-masing potensi kalian kalau di-combine dalam satu tim, aku sih optimis kalian cukup bisa narik perhatian Demiro yang pasti semangat banget pengen ngalahin kalian,” jelas Mumu, lalu tunjukkan dua lembar foto landscape arena basket yang punya banyak cewek-cewek kece dan sensual di sekeliling court. “Polisi mulai berpikir, mungkin memang bukan prosedur professional kepolisian yang bisa konfirmasi keberadaannya. Tapi dengan pendekatan khusus, yang enggak bisa tim kami lakuin. Masuk akal, kan Arias? Riggel? Agung?” nadanya menggoda saat tanya ke Agung. “Tunjukkin performa terbaik kalian di sini,” sambil menunjuk ke foto dalam pembicaraan terakhir.
“Di mana?” Tanya Agung.
Mumu geser ke tepi foto lembar teratas supaya terlihat lembar kedua di belakang, menampilkan landscape gedung yang mirip kantor yang punya judul dengan font besar warna merah.
“CCR?” Tanya Agung.
“Colloseum Court Rental Galang. Salah satu perusahaan Demiro yang punya legalitas.”
“Cukup masuk akal,” Agung mulai setuju.
Arias tersenyum sinis. Alter sedang memikirkan hal itu lebih dalam.
***
Saat sorenya seluruh wilayah Batam, keempat court CCR penuh dan ramai orang di mana mayoritas ada dalam salah satu court tepat di samping kiri gedung kantor CCR -tiga lantai yang terkesan terlalu besar jika hanya dijadikan tempat pengelolaan administrasi sekaligus warehouse. Bukan ke area parkir sebelah kanan kantor, tapi di trotoar sebelah court terluar mobil civic putih berhenti yang ditumpangi Alter, Agung, Arias dan seorang rekan polisi mereka menyetir. Dari situ masih cukup jelas Alter baca font CCR besar yang di bawahnya tertulis Colloseum Court Rental dengan font lebih kecil yang menempel pada sekitar muka atas lantai tiga gedung itu.
“Rame juga. Uluh, cewek kece banyaknya,” Agung mengesan suasana court terluar yang paling dekat jangkauan penglihatannya.
“Ya, tapi bukan di court itu kalian main. Di dalam sana, kalian pilih court yang paling banyak dan paling kece ceweknya. Pastiin kalian jadi yang paling keren sore ini di CCR. Dan ingat prioritas kalian apa. Syaratnya sesuai yang udah gue bilang,” kata Arex.
“You will see,” balas Arias.
“Kamu tahu banget sama tempat ini. Dan kamu enggak ambil bagian depan di plan ini. Salah satu rekan kamu juga,” menurut Alter.
“Dan lu pikir orang macam kita bisa lakuin apa yang tim lu gak bisa,” menurut Agung.
“Maaf karena gue pernah gagal. Dan gue enggak yakin kalau mereka udah lupa sama tampang gue. Karena itu gue perlu kalian.”
“Dan kita perlu kamu jamin, selamanya Demiro dan orang-orangnya enggak akan pernah tahu kalau kita pernah berteman,” kata Alter.
Setelah tidak ada lagi yang dibicarakan, Arex meninggalkan Alter, Agung dan Arias, menyerahkan rencana dalam tanggungan mereka bertiga.
“Akhirnya gue dapat kerjaan kayak gini, dan nenteng uang seberat ini. Nice Saturday!” kata Agung yang dia sendiri menenteng satu kopor hitam tanpa pola kode kunci kombinasi.
“Kenapa kita percaya sama Arex?” tanya Alter.
“Gue? Enggak, meski dia macam percaya sama kita. Gue lakuin karena lima puluh juta,” kata Agung.
“Ini permainan besar, guys. Timnya Arex enggak kayak yang kalian lihat. Kalau kita berhasil nyelesain stage satu, stage selanjutnya pasti lebih berisiko. Ingat itu, tetap berpikir matang,” kata Arias.
Art Richer, kemenangannya kali ini begitu seru dihebohkan para penontonnya. Selain keunggulan skor dengan selisih jauh, banyak juga bendelan uang yang didapat, di mana dalam court lain tidak terdapat peratutan seperti itu. Tim yang kalah bisa pergi, berlalu di antara Alter, Agung dan Arias yang masuk dalam court bahwa kehadiran mereka bertiga dekat dan jelas terlihat oleh bandar taruhan, anggota Art Richer dan cewek-cewek kece. Karena itu si bandar taruhan sedikit terpana selain sedikit merasa tidak percaya siapa mereka bertiga yang dia lihat, terutama cara pandangnya ke Alter dan Arias.
“Holla, guys! Masih ada yang mau duit gak?” sapa Agung sambil memberi senyum perkenalan.
“Owh!? You there. Tampang-tampang baru gue lihat,” si Bandar taruhan sambil menghampiri, “tapi, lu sama lu,” sambil menunjuk Alter dan Arias, “kayaknya gue tahu. Gue pernah nonton kalian di YouPlay.”
“Kita cari lawan yang bisa main three on three.”
“Interesting!” dari belakang Bandar tahuran, Raw Slam menepuk bahu kanan. “Gue dapet lawan yang lumayan.”
“Owh, okay. King of Court enggak keberatan. Ough!?” karena Agung seketika melempar kopor kepadanya.
“Real fifty million,” kata Agung mendahului insting tanya si Bandar taruhan. “Ceck that!”
Si bandar taruhan pastikan jumlah dan keasliannya dengan cara yang mungkin hanya dirinya sendiri tahu dan orang lain tidak akan percaya metodenya. “Okay, thesse are real fifty million.”
“So dare!” karena Raw Slam merasa tertantang.
“Tapi kamu baru aja main,” kata Alter, mungkin sempatnya mempertimbangan stamina Raw Slam atau fair-nya jalan permainan.
“As you see, you already know,” jawab Raw Slam.
“Okay, is the time!” seru si Bandar taruhan ke semua yang dalam dalam royal court, “Three on three. Art Richer, versus …” tatap matanya bertanya ke tiga tamu penantang.
“Trinity,” jawab Agung.
“Trinity! Let show be the best nothing is left!” si Bandar mulakan permainan sehingga mereka yang lain menepi, mempersilakan kedua tim saat LED layar skor dan waktu kembali ke pengaturan awal.
Jadi Arias mau menguji kepercayaan dirinya dan kedua tangannya untuk bertaruh tip-off dengan Raw Slam. Memang kualitas postur Raw Slam terlihat lebih baik secara anatomis, lebih berotot dengan tinggi postur hampir sama dengan Arias, mungin tidak hanya dengan itu Raw Slam memenangkan tip-off, karenanya Art Richer melancarkan permulaan offense.
“You see me moving that low, hommie?” kata Agung saat merintangi subjek pusat posesi bola, lawan one on one-nya itu tidak dibiarkan punya cukup waktu memahami gaya bertahannya yang dinamis -terhadap pola offense pressure Raw Slam yang cepat perubahan variasi iramanya. Itu yang membuat Raw Slam melakukan beberapa pola cross-drible tinggi sampai sebatas bahu sebelum memberikan satu smash ke wajah sehingga konsentrasi dan kerapatan pertahanan Agung pecah, jika Agung tidak jeli dan terjaga kuat ekspansi kesadarannya untuk memutuskan determinasi tepat sehingga posesi bola justru dia ambil alih dengan steal di luar prediksi Raw Slam. Dengan itu fast counter Agung buat dengan tekanan balik tanpa sempat mendapat penanganan berarti oleh lawan -sebelum Raw Slam segera mundur mengamankan low post. Daripada berusaha mengatasi besar tekanan aura Raw Slam kuat terasa, situasi koordinatif menurut Agung menilai posisi Arias di sekitar high post terdekatnya sebagai pilihan paling mudah.
Karena itu Agung percaya, tembakan Arias dari posisinya adalah three-pointer permulaan sebagaimana yang terjadi sebagai skor perdana Trinity, meski tanpa sorakan apresiatif yang memihak mereka.
“Jangan buat mereka cepet kepedean! Sini!” percaya dirinya Raw Slam niat membawa serangan balasan Art Richer di tangannya, dengan formasi dua satu.
Entah pernah tahu tentang Alter atau tidak, rintangan pertamanya tidak begitu Raw Slam khawatirkan. Cukup dengan gerakan keduanya Raw Slam memanfaatkan celah kiri Alter yang lebar. Semudah itu Alter dilewati sebelum Agung yang siaga memasang pandangan fokus ke karakter gerakan Raw Slam yang tidak disertai adanya back-up dari kedua rekan pada situasi itu, atau Raw Slam berpikir Agung masih semudah Alter barusan.
“Enggak juga,” kata Agung tanpa kehilangan ketenangan saat pola kerapatan defense-nya sengit mengimbangi besar offensive pressure Raw Slam. Karena perlawanan antara dua kemampuan itu, mereka yang menonton saling kagum dan dibuat semakin terhibur selain memperdengarkan sruitan maupun berchoir “Ooow!” dengan epicnya.
“Nice move,” Agung katakan ke Raw Slam yang tampak tidak menganggap itu pujian.
“Don’t worry,” balas Raw Slam yang setelahnya jadi dibuat khawaitr oleh steal Agung yang tidak termasuk dalam prediksi dan perhitungan spontanitas intuitifnya selain memperbarui 24 detik sebelum terjadi clock violation, sehingga Alter manfaatkan sebagai counter dengan gaya offenseive yang dilengkapi auto-ankle break membuat double-team lawan dijatuhkan paksa.
“Aint worried bout nothing,” balas Agung untuk ucapan Raw Slam barusan.
Dengan begitu lay-up Alter sukses tanpa sempat terintang jika Raw Slam terlambat mengambil posisi penutup yang tepat, melupakan posisi Agung yang bebas di zona tiga poin terdekat yang mudah jika menerima umpan Alter sebelum membuat three-pointer. Begitu enam poin Trinity tetap dihitung sebelum wasit memutuskan refree time-out untuk Art Richer.
Raw Slam tidak percaya cideranya kedua rekan meski kenyataan benar. Karena itu cara Raw Slam memandang seperti memindai, mencermati postur dan aura Alter terutama pada kedua kaki, memastikan ada tidaknya faktor fisika dari cideranya kedua rekan akibat ankle break.
Gimana bisa!? Atau mungkin dasar courtnya… enggak juga. Tampaknya belum Raw Slam temukan kemungkinannya selain pada pola gerakan pertahanan kedua rekannya sendiri.
Upgrade! Mentalitas Art Richer diperbarui, kembali dengan sport-size lebih besar. Raw Slam punya dua rekan overpowered berbadan tinggi, besar dan padat seperti atlet MMA atau angkat besi. Ketiganya berperan langsung membuat serangan balasan, menyerahkan dua rekan badan kuat menangani Alter dan Agung, sepertinya sengaja Raw Slam atur demikian agar mendapat ruang untuk mencoba kemampuan Arias. Menambah ketenangan dan jangkauan fokus, menurut Raw Slam bahwa itu cukup memberi pengaruh ke fleksibelitas akselerasinya sampai batas maksimal, berani beradu kematangan potensi.
One on one itu, tidak Arias imbangi menurut banyaknya teknik dan perubahan gerakan, justru ketenangan pengamatan mendukung gerakan ketiganya sebagai steal sempurna yang merebut paksa bola secara halus dari posesi Raw Slam yang telanjur melewatinya secara kecurian. Mengimbangi percepatan counter-nya tidak cukup sempat, bahkan kedua hulk Art Richer tidak cukup berarti menjadi dinding pertahanan yang Arias lewati langsung dengan crossover paling efektif sehingga posisinya cukup leluasa mengoper bola ke Alter atau Agung yang bersiap di bawah ring, barangkali tepat untuk melakukan aley-oop. Tapi justru bukan itu yang Arias lakukan.
“Helly-shit!? Lu enggak anggap post gue!?” protes Agung mengenai three-pinter yang Arias lakukan bersifat mengabaikan posisinya sebagai pilihan lebih mudah meski skor dua poin jika dibuat.
“Interesting!” bukan mempertegang ekspresi, malah memiliki alasan untuk senyum dan tertantang saat menajdi pemicu serangan balasan. “Show them!” Raw Slam oper bola ke salah satu teman besarnya.
Membiarkan kedua teman besarnya maju saling berkoordinasi secara offensive, seperti ada yang ingin Raw Slam tunjukkan ke Trinity maksud dari kepedeannya menjaga bawah ring sendiri.
Gak cuma kegedean otot, dia beneran bisa main basket! Paham Alter saat lawan besarnya tahu bagaimana supaya dirinya terlewati lebih mudah daripada bagaimana Agung terlewati, menyisakan Arias menjadi mobile-spot pertahanan terakhir.
Tiga langkah dari zona dua poin terdepan, dari situ si badan besar salah satu melakukan lane-up yang tangan kanan Arias tahan sebelum dibantu tangan kiri saat saling bentur di udara. Bukan membiarkan besar kekuatan dunk si badan besar Art Richer itu mengalahkan block-nya, tapi segenap karunia pada tangan Arias tidak mencapai potensi menandingi kekuatan fisik sebesar itu.
Makanya kedua tangan Arias terdorong ke belakang bersama dirinya dengan tidak sampai tersungkur karena sikap refleks pendaratan yang cerdas, membelakangi jatuhnya bola setelah dunk.
“Jangan lakuin lagi, tangan lu bisa patah,” kata si badan besar yang membuat dunk barusan.
“Thank’s!” balas Arias bonus senyum.
“Are you okay?” Alter menghampiri, tanyakan kondisi Arias.
“I am better!” lalu memulai serangan balasan, memberi operan pertama ke Alter, “Revenges them!”
“All eyes on me,” balas Alter.
Arias tetap menajdi point guard menjaga bawah ring, membiarkan Alter menunjukan apa yang dia pikir saat dua si badan besar Art Richer memberikan double-team, sedangkan Raw Slam membuat jarak stand by yanag sesuai jika menjangkau kedua rekan mau pun menjaga Agung. Beberapa jalur pola crossover Alter jadi tertutup sambil tergiring ke kanan, menuju tepi court sedangkan sisi kiri memblokirnya dari menerobos atau mengoper ke Agung, selain posisi diagonal itu juga mempermudah dua si badan besar beralih ke mode double-team secara vertical maupun horizontal terhadap posisi Alter.
Situasi itu termasuk syarat anti-auto ankle break sebagaimana Alter pahami, sehingga menyisakan satu pilihan termudah. Karena itu Arias segera menghampiri supaya hanya dirinya yang menjangkau back-pass dari Alter. Selain karena situasi bebasnya, tepat di garis tengah lapangan dengan perasaan mantap, dari situ Arias melakukan three-pointer yang segera mendapat reaksi blocking dari salah satu si badan besar -dengan tinggi jangkauan yang memotong rute tembakan itu- jika Arias tidak berpikir untuk melepaskan three-pointer tipe bintang jatuh yang pernah dia pelajari dari Ribka dengan keindahan, ketegasan, rute pelambungan dan akurasi yang terlihat sama. Begitu 12 poin Trinity dibuat, karena itu juga Arias mengambil alih sorakan cewek-cewek sensual di luar court menjadi suportif untuknya.
“Tapi aku enggak suka, I don’t know,” gumam Alter.
“Balas!” geram Raw Slam tampaknya dimulai, saat mengawali serangan balasan.
“Cara yang sama kayak tadi,” paham Agung mengenai kesamaan pola dengan saat Art Richersukses membuat dunk sebelumnya.
Mendapat penjagaan Alter, Raw Slam memberi umpan tinggi ke rekannya yang dijaga Agung lalu menyerahkan ending ke member ketiga yang bertaruh timming dengan Arias di zona luar Trinity terdekat. Sikap menembak yang baik, tapi steal Arias terjadi lebih dulu dengan halus sehingga si badan besar itu dibuat melakukan dodge-shoot atau sikap menembak tanpa bola. Bahkan posisinya itu tidak menjadi alasan ragu Arias melakukan quick back step sebelum melepaskan three-pointer bintang jatuh dari jarak lebih dari setengah lapangan. Tidak akan sempat diblok, melambung sangat tinggi, lama melambung turun dengan rute kurva yang tajam, tanpa menyentuh lingkaran ring. Masuk, skor lima belas Trinity dibuat.
Dalam basketball tidak mudah membalik keadaan mengejar ketertinggalan, meski Art Richer masih sanggup mencetak skor lebih dari dua, tapi yang Trinity buat lebih banyak. Sampai terdengar tanda habisnya waktu permainan menetapkan skor 56-18 sebagai hasil akhir. Karena itu cewek-cewek BG mau pun yang non pada menghampiri sebelum memberi salut ke Arias, Alter dan Agung. Untuk Arias paling banyak. Tidak hanya Art Richer, khususnya Raw Slam, bahkan si Bandar taruhan ikut terpaku saat batinnya terguncang, “Mereka … bantai king of court!? … reality imposible,” gumamnya, turut mengakui.
“My gentle,” kata salah satu cewek sebelum kasih cium pipi kiri Arias, “Jadi pengen dibaperin kamu.”
“Greget banget, sih! Bikin aku on off on off,” kasih cium juga, ke pipi kanan Arias.
“Kalau aku sering-sering vical kamu, ganggu enggak?” cewek ini sambil membelai wajah Alter. “Kalau aku pengen digangguin kamu terus.”
“Sayang kamu boleh enggak? Daripada aku sayang sama yang lain,” cewek ini juga, salah satu yang lengketin Alter.
“Ngedate boleh dong, ke Atlantica,” satu lagi yang lengketin Alter.
“Ke Atlantica yuk!” kata salah satu cewek yang lengketin Agung. “Clubbing bareng, minum bareng, habis itu renang bareng, habis itu,” habis itu berbisik.
“Main ke rumahku, biar tiap malem gak sendirian aku gak ada kamu,” kata cewek satunya ke Agung.
“Trinity!” si Bandar taruhan menghampiri, lalu menyerahkan dua kopor. “reward and cashback. Real one hundred million, ceck that!” masing-masing diterima Alter dan Agung.
Beberapa bendel uang dari dalam kopor yang Agung bawa dia bagi-bagikan ke cewek-cewek.
“Selamat, menang besar!” kata seorang perempuan berpakaian semi formal, mengatakannya seperti menyaksikan jalannya pertandingan meski sepertinya tidak terlihat di royal court selama itu berlangsung, beraura beda dari semua cewek yang ada.
“Aa-hai!” jadi ragu Agung menyapa.
“Aku Sofi,” mengatakannya ke Alter, Agung dan Arias tanpa melepas lipatan tangan di dada.
Mereka bertiga balas perkenalan.
“Nice named. Aku enggak nyangka akhirnya king of court dikalahin.”
“Enggak tahu kalau kita emang sehebat yang kamu bilang. Dan yang mereka bilang,” mereka yang Arias maksud adalah cewek-cewek yang lengketin dia.
“Dibanding kita menangin uang taruhan ini, aku prefer kalau bisa kalahin ace card CCR. Maaf kalau songong ya, moto kita simpel, we are the strongest in Batam City,” kata Alter, sampai terpanaskan perasaan Raw Slam mendengarnya.
“Gue belum puas kalau belum ngalahin lawan yang sebanding sama kita,” tambah Agung.
“Hmhm, don’t worry! Aku ke sini buat penuhin permintaan kalian. Big Bos udah enggak sabar pengen kalahin kalian. Besok, due date jam tujuh malam kalian udah ada di sini, okay?”
“Alrite!” jawab Agung.
“Pasti. Kamu yakin Big Bos selevel sama kita?” jawab Alter.
“Yang terkuat di Batam cuma Big Bos!” tidak diajak bicara Raw Slam menyela.
“Big Bos!?” Arias balik tanya. “Who is Big Bos?” karena tadi tidak segera Sofi jawab.
“Big Bos aku, Big Bos kami. Besok juga kalian tahu,” yang terakhir Sofi katakan sebelum pergi meninggalkan royal court tanpa dihentikan seorang pun.
“Siapa dia?” tanya Agung ke Bandar taruhan.
“Orang penting Big Bos.”
“Siapa sih Big Bos?”
“Kita semua panggil Big Bos, itu namanya.”
[To be continue to Chapter2: Run the Mission]
@CandraSenja ehm, ternyata mengganggu dan tidak match ya. Makasih, tanggapannya. Aku perbaiki
Comment on chapter BLURB