Loading...
Logo TinLit
Read Story - IKRAR
MENU
About Us  

Pernah merasakan mixed feelings? Kondisi di mana perasaan bercampur aduk antara senang, sedih, bahagia, dan cemas. Perasaan yang sulit digambarkan dengan satu kata.

Itulah yang sedang Moira rasakan saat ini setelah keluar dari ruang pemeriksaan. Lututnya bahkan masih sedikit bergetar dengan jantungnya yang bertalu-talu.

Fara langsung menyambar tak sabaran ketika matanya menangkap Moira. “Gimana? Gimana?”

Moira tak langsung menjawab, agaknya ia masih belum kembali tersadar dari keterkejutannya tadi. Bahkan, ia tak merasakan kakinya berpijak. Rasanya seperti sedang berada di atas wahana roller coaster, merasa tidak sadar padahal sadar, merasa bahagia padahal cemas, merasa ingin menangis padahal gembira.

Tak kunjung mendapatkan jawaban, Fara menarik Moira untuk terduduk di kursi stainless yang tadi ia duduki.

“Gimana?!” Kali ini Fara bertanya dengan nada yang lebih tinggi.

“6 minggu.” Akhirnya Moira bisa bersuara.

“Hah? Maksudnya?” Fara menarik lengan Moira gemas, sungguh ia tak mengerti maksud dari perkataan Moira. Saat ini otaknya sedang tidak bersahabat untuk diajak berteka-teki.

“Moira hamil 6 minggu,” bisik Moira. kesadaran Moira sudah sepenuhnya kembali.

Fara yang mendengar itu sontak menutup mulut dengan tangannya. Matanya berbinar dan detik berikutnya ia memeluk Moira dengan gerakan cepat hingga kepala mereke berbenturan.

Sorry! Sorry! Gak sengaja! Gue terlalu seneng dengernya, ya Allah!” ucap Fara setelah melepaskan pelukannya. Senyumnya kini mengembang dengan mata yang mengkristal. “Gak nyangka gue, bocah kayak lo mau punya bocah.”

“Anak!” protes Moira ketika calon anaknya dipanggil ‘bocah’ oleh Fara.

“Eh, iya maaf.” Fara buru-buru meminta maaf. “Kok lo kayak biasa aja, sih?!” tanyanya yang tak melihat kegembiraan barang sebentar dari wajah Moira sedari tadi.

“Biasa aja gimana? Ini kaki Moira gemeter kayak kelaparan gini!” terang Moira. “Tangan Moira dingin banget, kan?!” Moira memegang punggung tangan Fara dan langsung mendapatkan anggukan dari sahabatnya itu.

“Lo takut?!” tebak Fara.

Moira menggeleng dengan cepat. “Enggak. Sama sekali Moira enggak takut, cuman masih belum percaya aja.”

“Wajar kali kan baru pertama,” kata Fara yang langsung diamini Moira dengan anggukannya. “Eh, iya! Kabarin suami lo cepet!”

Astaghfirullah!” Moira memekik bukan karena ia hampir lupa untuk memberitahu kehamilannya, tetapi mengingat ia masih ada masalah yang belum diselesaikan dengan Ibram.

Moira sontak berdiri menjauhi Fara seraya merogoh ponselnya dalam tas. Sejurus kemudian mata Moira membola, betapa terkejutnya ia saat ponselnya sudah kembali menyala dan mendapati puluhan panggilan whatsapp, puluhan pesan, dan panggilan biasa. Sontak Moira buru-buru menempelkan ponsel pada telinganya untuk menghubungi Ibram.

Hati Moira kian gelisah kala panggilannya tak kunjung tersambung hingga panggilan ketiga membuat matanya membola seketika.

Halo, Mbak?”

Dahi Moira mengernyit bersamaan dengan ponselnya yang ia jauhkan dari telinga dan memastikan layar ponsel itu menunjukan nama suaminya bukan orang lain, takut-takut ia salah sambung.

“Ini siapa?” tanya Moira setelah kembali menempelkan ponselnya ke telinga.

Mbak, ini saya Ratih yang nolongin suami Mbak. Suami Mbak kecelakaan dan sekarang lagi diperjalanan ke rumah sakit,” terang wanita di seberang sana dengan nada bergetar.

Moira yang lututnya sedari tadi sudah lemas kini kian tak berdaya. Moira berjongkok dengan jeritan tangis yang tiba-tiba mengudara. Hal tersebut mengundang semua mata untuk tertuju kepadanya. Tak terkecuali Fara yang kini sedang berlari menuju Moira.

“Lo kenapa?!” pekik Fara khawatir seraya mengguncang bahu Moira.

“Fara, Mas Ibram kecelakaan!”

Inna lillahi!”

Fara langsung merebut ponsel dari Moira. Ia berbicara dengan wanita di seberang sana, menanyakan ke rumah sakit mana Ibram di bawa, sementara Moira masih menangis histeris.

Selepas menutup sambungan, Fara menarik Moira dengan paksa agar berdiri. “Suami lo dibawa ke IGD rumah sakit ini, ayo kita tunggu di sana.”

***

Moira sedang menangis dipelukan Fara. Perasaan Moira tidak lebih baik setelah Ibram mendapatkan penanganan dengan cepet oleh petugas gawat darurat. Pasalnya setelah melalui pemerikasaan awal Ibram harus ditindaklanjuti ke dokter spesialis bedah saraf karena cedera kepala berat dan patah tulang leher.

Cedera kepala tentu tidak dapat dikatakan sepele. Sebab, beberapa penilitian menyatakan cedara kepala diperkirakan akan melampaui penyakit lain sebagai penyebab kematian pada tahun 2020. Tentu saat ini menjadi mimpi buruk bagi Moira, terutama Ibram.

Dalam tangisnya Moira tak putus berdoa. Berdoa demi keselamatan Ibram dan kedatangan dokter bedah saraf yang beberapa menit yang lalu dihubungi oleh petugas gawat darurat, mengganggu hari liburnya.

Allahumma inni a’udzubika min jahdil bala’i wa darkisy-syaqa’i wa su-il qadha’i wa syamatatil a’da’i. Moira terus melafalkan doa tersebut, berharap Dzat Yang Maha Memberi Keselamatan untuk mengabulkannya.

Tanpa Moira sadari, tangisnya tengah mengundang seseorang untuk menghampirinya karena penasaran. “Moira,” panggilnya skeptis.

Merasa ada yang menyebut namanya, lantas Moira menoleh bersamaan dengan tangisnya yang tiba-tiba reda. “Kamu,” lirih Moira kala matanya menangkap name tag yang tersemat di jas putih bertuliskan dr. Anindira Kala, Sp.BS.

Tak butuh waktu lama untuk Moira menyadari apa singkatan yang tersemat setelah nama belakang wanita itu. Wanita inikah yang akan berjuang untuk menyelamatkan prianya?

Sejenak egoisme Moira timbul hendak mengalahkan logika. Tetapi, berkat penguasaan emosinya, meski dalam keadaan terdesak seperti ini Moira berhasil singkirkan perasaan egois tersebut. Ini bukanlah waktu yang tepat untuk memikirkan perasaannya. Melainkan, waktu yang tepat untuk selamatkan Ibram meski harus melalui tangan mantan kekasih suaminya sendiri.

Moira lantas berdiri dan menghampiri Anindira yang jaraknya kurang lebih 1 meter dari tempatnya berada tadi. Tangan Moira tidak sungkan untuk menyambar lengan Anindira.

“Dokter, tolong selamatkan Mas Ibram!” pinta Moira dengan suara yang amat memohon.

Tubuh Anindira menegang kala indera pendengarannya menangkap nama yang tak pernah terbersit dalam benaknya−setidaknya tiga menit yang lalu saat dirinya belum mendapati Moira−bahwa Ibram yang akan menjadi pasiennya.

Tiba-tiba Anindira menghentakan tangannya cukup keras hingga membuat Moira sedikit terdorong ke belakang.

“Anindira,” lirih Moira ketika matanya menangkap Anindira tengah menatapnya dengan sengit.

Tanpa berniat mengeluarkan sepatah kata pun pada Moira, Anindira melenggang pergi begitu saja meninggalkan Moira. Petugas medis gawat darurat yang menyaksikan kejadian tersebut sontak memanggil Anindira dengan sebutan ‘dokter’ berkali-kali dengan setengah berteriak. Namun, sama sekali wanita itu tak menghiraukannya.

Moira berinisiatif untuk mengejar wanita itu. Sementara Fara memilih tetap berdiam diri karena bingung harus berbuat apa, sementara Ibram tengah terkapar di atas brankar yang saat ini dalam pengawasan para medis yang siap dengan kedua kemungkinan. Segera dapatkan pertolongan dan segera dapatkan waktu kematiannya.

***

“Anindira!” Moira berhasil menarik lengan Anindira yang sontak membuat wanita itu menghentikan langkah kakinya karena tubuhnya tertarik ke belakang. Saat ini mereka berada di parkiran rumah sakit.

Moira tengah mengisi paru-parunya dengan oksigen setelah tadi berlari dan membuat napasnya tersengal. Sedang tangannya masih mencengkeram Anindira dengan kuat.

“Lepaskan!” desis Anindira sambil mencoba melepaskan lengannya.

“Anindira. Dokter Anindira!” Moira semakin kuat mencengkeram. “Beginikah caramu menjalankan sumpahmu sebagai dokter?”

“Sumpahku itu bukan untuk manusia seperti kalian!” pekiknya.

“Kenapa?” tanya Moira dengan nada tinggi, sedang air matanya terus meleleh.

“Untuk apa aku menyelamatkan orang yang sudah membunuh mamaku?!” Anindira balik membentak, terlihat matanya berkilat merah.

Air mata Moira kian turun dengan deras. Cengkeramannya mengendur, tak percaya atas fakta yang baru ia dapatkan. Wanita ini masih menyalahkan Ibram? Bukankah saat pertemuan terakhir bahkan dengan senyum mengembang, ia memeluk Ibram dan berkata merindunya? Lalu, apa sekarang ini?

Anindira menarik lengannya dengan kasar yang sudah tak dicengkeram oleh Moira lagi. Baru saja wanita itu berbalik untuk meninggalkan Moira, detik berikutnya lengannya sudah kembali disambar oleh Moira.

“Bagaimana kalau takdir Mas Ibram ada ditanganmu? Kamu yang bisa menyalamatkan Mas Ibram?”

Sejenak Anindira bergeming, kemudian perlahan membalikan tubuhnya menghadap pada Moira. Kilat merah yang tadi tercetak jelas di matanya kini hilang tak berbekas.

“Takdir Ibram ada ditanganku?!” lirih Anindira bermonolog tetapi mendapatkan anggukan dari Moira.

“Keselamatan Mas Ibram dari Allah melalui tanganmu.” Moira memperjelas ucapannya kala telinganya tadi menangkap sesuatu yang janggal dari perkataan Anindira.

Air muka Anindira tiba-tiba berubah 360 derajat. Wajah yang tadi mengerikan sekaligus memilukan kini berubah menjadi seringaian yang mampu membuat dahi Moira berkerut dalam.

“Kamu percaya takdir Ibram ada ditanganku?”

Moira tak langsung menjawab. Ia memandang mata yang kini sedang menatapnya juga dengan emosi yang tak dapat Moira mengerti. Detik berikutnya Moira mengangguk dengan samar.

In syaa Allah.”

Seringaian itu kembali muncul. “Aku akan menyelamatkan Ibram tetapi dengan satu syarat.”

“Apa?” tanya Moira defensif.

“Berikan Ibram padaku.”

Mulut Moira sontak menganga. Jantung yang sedari tadi sudah berdetak dengan cepat kini kian menggebu menggedor dadanya. Air mata yang tadi hampir mengering kini kembali turun satu tetes di pipi sebelah kanannya.

Istighfar, Anindira,” ucap Moira sambil mengatupkan rahangnya.

“Bukannya wajar, ya? Aku akan menyelamatkan hidupnya, dan setelah dia selamat maka yang berhak atas hidupnya adalah aku, bukan?” Akal sehat Anindira lumpuh total. Keegoisan tengah menenggelamkan kode etiknya sebagai dokter.

“Aku sedang mengandung anak Mas Ibram,” ungkap Moira coba menyadarkan Anindira.

Terdengar tawa sumbang dari mulut Anindira. “Lebih bagus lagi. Itu bukan yang kamu inginkan dari pernikahanmu?” Anindira mengingatkan pada perjanjian Moira yang sebenarnya sudah tidak berlaku, tetapi masih membekas diingatannya. Ingatan Anindira maupun Moira. “Artinya sekarang waktu yang tepat untukmu melepaskan Ibram.”

Moira melengos dan mendengus dengan kasar, kemudian detik berikutnya ia berkata, “Perjanjian itu sudah batal.”

“Janji adalah utang, dan utang harus dilunasi.” Anindira berkata tajam. “Inilah saatnya kamu melunasi utang. Tidakkah kamu berpikir mengapa hari ini terjadi?” Anindira mencoba memprovokasi Moira.

“Hari ini terjadi karena kehendak-Nya.”

“Tepat sekali. Apakah suatu kebetulan juga akulah satu-satunya yang dapat menangani Ibram saat ini?” Lagi, Anindira memprovokasi.

Moira menelan ludah. Kemudian ia teringat kala seorang perawat dengan panik menelpon seluruh dokter spesialis bedah tetapi hanya Anindira-lah yang bersedia untuk datang, sebab dokter yang lain tengah dalam ruang operasi pun ke luar kota. Benar-benar situasi yang pelik!

“Waktu Ibram tidak banyak. Pasien dalam golongan kategori triase 1 harus segera mendapatkan pertolongan. Jadi, bagaimana keputusanmu?” Anindira terus memprovokasi tanpa memberi Moira waktu barang sebentar untuk berpikir jernih. Tetapi, itulah tujuannya.

Moira memejamkan matanya. Ingin sekali ia berteriak sekencang-kencangnya dan membawa Ibram keluar dari rumah sakit ini agar terbebas dari makhluk licik di depannya ini. Namun, tidak mungkin dilakukan, sebab pasien dengan cedera kepala tidak bisa sembarangan mendapatkan gerakan. Bisa-bisa akan berkhir fatal!

“Aku akan menuruti permintaanmu untuk selamatkan Ibram. Lalu, kamu harus menuruti permintaanku untuk merelakan Ibram padaku.”

“Kamu jamin Mas Ibram dapat selamat ditanganmu?”

***

P.S: Cerita ini bisa ditemukan di wattpad dengan judul dan nama akun yang sama @itsarney

 

 

 

How do you feel about this chapter?

0 0 0 0 0 0
Submit A Comment
Comments (5)
  • yurriansan

    @itsarney akunku yurriansan. klo kmu mau mampir dluan boleh, aku bksln lmbat feedbacknya. krena klo wattpad bsanya buka pke lptop, aku gk dnload aplikasinya. dan lptopku lg d service

    Comment on chapter BAB 1: Keputusasaan
  • itsarney

    @yurriansan akunku ini kak https://www.wattpad.com/user/itsarney
    ayo kak dengan senang hati ^_^

    Comment on chapter BAB 1: Keputusasaan
  • yurriansan

    @itsarney wattpad? Akunnya apa?
    Kbtulan critaku yg rahasia Toni aku publish d wattpad juga. Nnti bisa saling kunjung xD

    Comment on chapter BAB 1: Keputusasaan
  • itsarney

    @yurriansan Masya Allah Kak terima kasih sudah berkenan membaca cerita ini. Aamiin semoga Allah kabul, makasih doanya^_^
    Ah, ya. Cerita ini juga bisa dibaca di Wattpad^^

    Comment on chapter BAB 1: Keputusasaan
  • yurriansan

    Tulisanmu bagus ,😄.
    Smoga ramai like ya

    Comment on chapter BAB 1: Keputusasaan
Similar Tags
Untuk Reina
26214      4009     30     
Romance
Reina Fillosa dicap sebagai pembawa sial atas kematian orang-orang terdekatnya. Kejadian tak sengaja di toilet sekolah mempertemukan Reina dengan Riga. Seseorang yang meyakinkan Reina bahwa gadis itu bukan pembawa sial. Bagaimana jika sesuatu yang buruk terjadi pada Riga?
Kala Saka Menyapa
12524      2923     4     
Romance
Dan biarlah kenangan terulang memberi ruang untuk dikenang. Sekali pun pahit. Kara memang pemilik masalah yang sungguh terlalu drama. Muda beranak begitulah tetangganya bilang. Belum lagi ayahnya yang selalu menekan, kakaknya yang berwasiat pernikahan, sampai Samella si gadis kecil yang kadang merepotkan. Kara butuh kebebasan, ingin melepas semua dramanya. Tapi semesta mempertemukannya lag...
Love after die
482      329     2     
Short Story
"Mati" Adalah satu kata yang sangat ditakuti oleh seluruh makhluk yang bernyawa, tak terkecuali manusia. Semua yang bernyawa,pasti akan mati... Hanya waktu saja,yang membawa kita mendekat pada kematian.. Tapi berbeda dengan dua orang ini, mereka masih diberi kesempatan untuk hidup oleh Dmitri, sang malaikat kematian. Tapi hanya 40 hari... Waktu yang selalu kita anggap ...
Hello, Kapten!
1559      763     1     
Romance
Desa Yambe adalah desa terpencil di lereng Gunung Yambe yang merupakan zona merah di daerah perbatasan negara. Di Desa Yambe, Edel pada akhirnya bertemu dengan pria yang sejak lama ia incar, yang tidak lain adalah Komandan Pos Yambe, Kapten Adit. Perjuangan Edel dalam penugasan ini tidak hanya soal melindungi masyarakat dari kelompok separatis bersenjata, tetapi juga menarik hati Kapten Adit yan...
Story of April
2665      942     0     
Romance
Aku pernah merasakan rindu pada seseorang hanya dengan mendengar sebait lirik lagu. Mungkin bagi sebagian orang itu biasa. Bagi sebagian orang masa lalu itu harus dilupakan. Namun, bagi ku, hingga detik di mana aku bahagia pun, aku ingin kau tetap hadir walau hanya sebagai kenangan…
A Ghost Diary
5509      1791     4     
Fantasy
Damar tidak mengerti, apakah ini kutukan atau kesialan yang sedang menimpa hidupnya. Bagaimana tidak, hari-harinya yang memang berantakan menjadi semakin berantakan hanya karena sebuah buku diary. Semua bermula pada suatu hari, Damar mendapat hukuman dari Pak Rizal untuk membersihkan gudang sekolah. Tanpa sengaja, Damar menemukan sebuah buku diary di tumpukkan buku-buku bekas dalam gudang. Haru...
Tetesan Air langit di Gunung Palung
454      315     0     
Short Story
Semoga kelak yang tertimpa reruntuhan hujan rindu adalah dia, biarlah segores saja dia rasakan, beginilah aku sejujurnya yang merasakan ketika hujan membasahi
TRAUMA
129      114     0     
Romance
"Menurut arti namaku, aku adalah seorang pemenang..akan ku dapatkan hatimu meskipun harus menunggu bertahun lamanya" -Bardy "Pergilah! Jangan buang waktumu pada tanaman Yang sudah layu" -Bellova
Marry Me
477      337     1     
Short Story
Sembilan tahun Cecil mencintai Prasta dalam diam. Bagaikan mimpi, hari ini Prasta berlutut di hadapannya untuk melamar ….
Time Travel : Majapahit Empire
54306      5688     10     
Fantasy
Sarah adalah siswa SMA di surabaya. Dia sangat membenci pelajaran sejarah. Setiap ada pelajaran sejarah, dia selalu pergi ke kantin. Suatu hari saat sekolahnya mengadakan studi wisata di Trowulan, sarah kembali ke zaman kerajaan Majapahit 700 tahun yang lalu. Sarah bertemu dengan dyah nertaja, adik dari raja muda Hayam wuruk