Moira berjalan gontai menyusuri koridor rumah sakit dengan tatapan kosong, pun dengan isi kepalanya. Otaknya terlalu ringkih untuk memuat kejadian-kejadian hari ini yang mampu memacu jantungnya sekuat tenaga kuda.
Selepas mengakhiri percakapan dengan Anindira di parkiran tadi agaknya tak membuatnya lebih baik, terlebih keputusan yang telah diambilnya. Mungkinkah ia salah langkah?
“Astaghfirullah!”
Tubuh Moira terhuyung bersamaan dengan teriakan seorang wanita yang tak sengaja ditabraknya. Kejadian tersebut memaksa Moira untuk mengembalikan kesadarannya.
“Allahu! Maaf! Maaf, Moira gak sengaja!”
Moira buru-buru memungut sebuah tas kecil yang Moira yakini adalah tas mukena yang tentunya berisi mukena. Sejurus kemudian Moira meminta ampun dalam hati karena hampir lupa tunaikan shalat dzuhur.
“Gapapa, lagian aku juga enggak liat-liat,” ucap seorang perawat yang tak sengaja Moira tabrak.
Moira menyerahkan mukena tersebut dengan tersenyum penuh penyesalan dan diterima dengan keramahan oleh perawat tersebut. Setelah perawat tadi jalan lebih dulu, Moira kemudian langkahkan kakinya untuk ke tempat tujuan yang sama.
Masjid tampak sedikit sepi mengingat ini adalah satu jam setelah azan dzuhur berkumandang. Moira mengambil tempat di sudut kanan dekat dengan rak yang berisi kitab suci. Selepas shalat, Moira sambung membaca ayat suci mencari ketenangan.
Kala Moira membuka mushaf tak sengaja ia membuka surah Al-An’am dan matanya langsung tertuju pada terjemahan ayat 17.
“Dan jika Allah menimpakan sesuatu kemudharatan kepadamu, maka tidak ada yang menghilangkannya melainkan Dia sendiri. Dan jika Dia mendatangkan kebaikan kepadamu, maka Dia Maha Kuasa atas tiap-tiap sesuatu.”
Mata Moira tidak bisa untuk tidak menangis. Detik itu juga ia menangis tergugu. Apa masih pantas ini disebut tak sengaja dan kebetulan? Tentu tidak. Allah sedang menegur Moira dengan ayat ini meski dibukanya dengan tidak sengaja.
Apa yang ingin Allah sampaikan? Tentu ayat tersebut ingin sampaikan pada Moira bahwasanya segala sesuatu atas kehendak-Nya dan hanya Dia-lah Dzat yang Maha Kuasa yang dapat dimintai pertolongan.
Apa yang telah Moira lakukan tadi? Seketika penyesalan menyergapnya. Betapa bodohnya ia yang nyatakan beriman kepada Sang Pencipta tetapi malah menggantungkan harapannya pada ciptaan-Nya. Meski tak sepenuhnya ia menyesali keputusan yang diambilnya. Malah, pada akhirnya Moira mensyukuri atas keputusannya. Ketika harapan digantungkan ke tempat yang semestinya yakni pemiliki semesta, maka tak akan berakhir kecewa.
“Aku jamin Ibram akan selamat ditanganku jika kamu mau berjanji untuk tinggalkan Ibram,” ucap Anindira penuh percaya diri, yang mulanya membuai Moira untuk mengangguk dan ikrarkan janji.
“Aku lupa kepada siapa seharusnya aku jaminkan keselamatan Mas Ibram.”
Mendengar penuturan Moira, tentu membuat Anindira mengernyitkan dahi. “Maksudmu?”
“Pendidikan tinggi, profesi bergengsi, dan wajah rupawan tak menjamin memikili attitude yang baik.” Moira sedikit meringis mengingat ucapannya tadi. “Aku kasihan padamu, hatimu tak semulia profesimu.”
Masih tercetak jelas wajah marah Anindira dengan matanya yang sempurna melotot. Selepas mengucapkan itu Moira melengos dan meninggalkan Anindira. Mengenai kondisi Ibram, Moira kemudian meyakinkan hatinya bahwa rumah sakit akan melakukan pelayanan prima, mengerahkan tenaganya untuk selamatkan Ibram.
Ketika para petugas medis tengah berjuang dengan tindakan, maka di sini tempat Moira berjuang dengan segala doanya.
Ketika bumi begitu bising untuk dapat mendengar, maka akan selalu ada langit yang siap mendengarkan.
***
Kali ini tak hanya Moira, tetapi orangtua Ibram juga, terlebih Bunda. Moira yang sudah kenyang menangis dan memilih untuk sabar sembari berdoa, kini tengah menenangkan Bunda dalam pelukannya.
Moira sudah jelaskan bagaimana situasi ini bermula hingga Ibram dalam keadaan meregang nyawa. Dirinya tidak ingin ada kesalahpahaman, Bunda tentu orang yang sangat pengertian hingga buat Moira bernapas lega meski penyesalan menghantuinya.
Andai Akmal tak ikut dalam panggilan videonya, andai ia tak mematikan ponselnya, andai… sejurus kemudian kepalanya menggeleng. Kalimat pengandaian hanya miliki mereka yang tak percaya ketentuan-Nya.
Saat ini mereka tengah duduk di depan ruang operasi. Operasi berjalan sangat lambat. Ketika biasanya waktu berjalan dengan cepat, di mana jam terasa menit dan menit terasa detik, maka saat ini rasanya satu jam terasa satu hari.
Di dalam sana segala kemungkinan dapat terjadi. Tetapi, Moira teringat akan pesan Ayah bahwa setiap pikiran adalah doa, maka saat ini Moira tengah memikirkan Ibram dalam keadaan baik-baik saja. Meski tubuhnya merespons dengan munafik, kakinya terus bergetar dengan telapak tangan sedingin es.
Detik berikutnya pintu operasi terbuka membuat semua orang yang menunggu berdiri dengan gerakan cepat. Orang yang sedari tadi ditunggu akhirnya keluar memperlihatkan ketidakberdayaannya di atas brankar sana. Terlihat wajah-wajah lelah setelah kurang lebih 8 jam dalam ruang operasi.
Bunda dan Abi buru-buru menghampiri Ibram dan mengikuti para petugas medis yang akan membawanya ke ruang perawatan. Moira mulanya akan melakukan hal yang sama, tetapi kala netranya menatap wanita di belakang sana membuatnya urung.
Fara sudah pulang sejak 2 jam yang lalu. Hingga kini menyisakan Moira dan dokter yang membedah Ibram.
“Maaf,” lirih Moira.
“Jangan membuatku kian merasa bersalah.”
Jawabannya di luar dugaan Moira, apa katanya? Merasa bersalah?
“Moira sungguhan minta maaf,” tegas Moira yang kali ini mengeraskan suaranya. “Minta maaf soal kata-kata Moira yang tadi siang.”
“Tidak perlu repot-repot toh aku tidak akan memaafkanmu,” ujar Anindira congkak seraya menarik ujung bibirnya. “Terima kasih,” imbuhnya.
Ya. Anindira memutuskan untuk mengoperasi Ibram. Entah mengapa setelah mendengar penuturan Moira yang menohok, tiba-tiba Anindira mendapatkan sempena hati, seolah Allah beri petunjuk untuknya bahwa ia sedang dipercayai untuk selamatkan Ibram.
“Hah?” kaget Moira. Terima kasih? Moira pikir itu adalah kalimat haram untuk Anindira ucapkan pada dirinya.
“Terima kasih atas ucapan menohokmu tadi siang. Aku jadi sadar…” Anindira menjeda ucapannya sejenak. “Aku−ya kamu tahu sekolahku tak sebentar, biaya yang tak sedikit, dan membutuhkan tenaga yang banyak untuk mendapat semua ini, tetapi aku malah menodainya dengan keegoisanku.”
Moira tak langsung menjawab, untuk beberapa detik ia cerna uncapan Anindira. Setelah mengerti, kemudian ia berkata, “Itulah alasannya Allah menempatkan otak lebih tinggi dibandingkan dengan hati, agar sesuatu yang hendak kita lakukan dipikirkan lebih dulu.”
Terdengar Anindira terkekeh untuk pertama kalinya di depan Moira. Moira mengerjapkan matanya berkali-kali takut ini hanya halusinasinya.
“Kamu tak seperti bocah yang selama ini aku pikirkan,” ujar Anindira setelah berhenti terkekeh. “Semoga setelah sadar, Ibram tak menyesali kehadiranmu lagi.”
“Maksudmu?!” Moira sontak ternganga. Apa maksud dari ucapan Anindira?!
Anindira mengangkat bahunya tak peduli. Kemudian suaranya kembali mengudara, “Kamu tidak mau berterima kasih kepadaku? Kasus Ibram sangat langka, jarang yang bisa selamat sepertinya.”
“Oh, iya, Moira lupa. Terima kasih dokter Anindira.”
“Itu saja? Aku berhasil dalam dua hal ketika menangani Ibram, mempertahankan dia untuk tetap hidup dan menyelamatkannya dari kelumpuhan.”
Moira sontak membekap mulutnya. “Masya Allah!” Mata Moira tak berhenti mengerjap, bahkan ia merasakan sedikit kram dalam perutnya. “Gimana caranya Moira harus berterima kasih?”
“Berikan Ibram padaku.”
“Ap−”
“Aku hanya bercanda,” sanggah Anindira buru-buru. “Ijinkan aku bertemu dengan Ibram setelah dia sadar.”
Moira menelan ludah, sedang matanya tengah tenggelam dalam netra Anindira mencari sesuatu yang janggal di sana. Tetapi sejurus kemudian ia mengangguk pelan.
***
Moira tidur di bantal yang sama dengan Ibram, tetapi tidak di kasur yang sama. Moira tentu tengah duduk di kursi yang berada di sisi tempat tidur. Alat bantu pernafasan itu menghalangi wajah Ibram, hingga buat Moira tak merasa puas untuk pandangi wajah yang kini berbeda dengan tadi pagi.
Moira pandangi Ibram yang masih memejamkan matanya. Entah kapan pria itu akan terbangun, tetapi Anindira memastikan bahwa tidak akan lama sebab Ibram menunjukkan kondisi yang sangat baik meski sangat mustahil baginya pasien triase 1 dengan trauma kepala dan leher menunjukkan kondisi yang demikian. Apakah kekuatan doa begitu besar?
Tiba-tiba air mata kembali menetes di sudut mata Moira. Apa yang harus ia katakan ketika prianya bangun nanti? Sedang ini adalah kesalahan Moira yang membuatnya terpejam di atas ranjang rumah sakit.
Kejadian ini bukan yang dikehendaki Moira, pun Ibram. Tetapi, tetap saja semua bermula dari Moira. Akankah Ibram memaafkannya?
Seketika pikiran Moira melayang pada ucapan Anindira tadi.
Semoga setelah sadar, Ibram tak menyesali kehadiranmu lagi.
Apa maksudnya?
***
@itsarney akunku yurriansan. klo kmu mau mampir dluan boleh, aku bksln lmbat feedbacknya. krena klo wattpad bsanya buka pke lptop, aku gk dnload aplikasinya. dan lptopku lg d service
Comment on chapter BAB 1: Keputusasaan