۞۞۞
“Mas.” Moira ragu mulanya memanggil pria yang tengah focus pada ponselnya itu.
“Hmm,” jawab Ibram dengan mata yang tak teralihkan.
Moira menggigit bibirnya menimbang. Haruskah ia mengatakannya? Tetapi kalau tidak rasanya seperti dihantui penasaran. Lebih baik dihantui penasaran daripada penyesalan, mungkin itu prinsipnya yang harus dibumi hanguskan dalam kamusnya sekarang.
“Moira mau tanya sesuatu.” Netra yang sedari tadi focus pada layar ponsel kini menatap Moira dengan ekspresi penasaran, seketika hatinya berdesir. Sungguh kalimat terkutuk yang membuat siapa saja mendadak bak tengah ketahuan melakukan kejahatan.
“Ap-apa?” Ibram gelagapan.
Mendadak Moira terkekeh melihat ekspresi Ibram. “Kok tegang banget, sih? Kayak lagi ujian matematika.”
Ibram mendengus sambil memutar kedua bola matanya. “Apa?” tanyanya enggan.
Moira mencebik sambil menatap Ibram jenaka lalu berkata, “Jangan marah gitu dong, nanti tambah tua lho!”
“Mau tahu enggak marahnya orang yang udah tua gimana?”
Ibram mendorong tubuh kecil Moira hingga membuat tubuh gadis itu terjatuh ke sofa. Terlihat wajah Moira yang terkesiap atas tindakan tiba-tiba yang dilakukan Ibram. Tangan besar Ibram mengurungnya, wajahnya ia majukan agar menghilangkan jarak diantara mereka berdua. Satu gerakan saja, kening dan hidung mereka dapat bertemu.
Moira menelan ludahnya susah-susah, jantungnya berdegup kencang, darahnya berdesir, perutnya terasa mulas. Gadis itu dapat merasakan hembusan napas Ibram yang hangat menerpa wajahnya. Terlihat Ibram menyeringai di atasnya. Kemudian, sebuah ide muncul dari dirinya. Pria itu mau bermain-main dengannya.
“Gimana?” tanya Moira sambil mengalungkan tangannya ke leher Ibram, jari-jarinya mengusap tengkuknya samar.
Ibram tentu terkesiap mendapatkan serangan balik dari Moira. Gadis kecil yang selama ini ia kenal sering malu-malu itu mengapa bisa berbuat demikian? Ah, tiba-tiba libido Ibram tak terkontrol digoda seperti ini. Mengalah, Ibram menarik tubuhnya hingga tangan Moira terlepas.
“Mau tanya apa cepet. Aku udah ngantuk,” kata Ibram dengan nada sedikit kesal yang dibuat-buat.
Moira terkekeh lagi sambil membangunkan tubuhnya, ia berhasil menggoda suaminya. Entah keberanian dari mana, tiba-tiba saja terdorong begitu saja. Tapi bukankah satu kemajuan lagi untuk hubungan mereka? Moira harus sering-sering menggoda pria itu agar dinding es yang menghalanginya mencair. Eh, tapi bukan menggoda dalam hal ‘itu’ tetapi lebih kepada untuk mencairkan hubungan mereka.
“Moira mau tanya soal Anindira.” Lagi, Ibram terkesiap. Pupil matanya sempurna membesar. “Kenapa Mas Ibram tidak menikahinya dulu?”
“Bukan urusanmu,” jawab Ibram datar.
“Eh, jelas urusan Moira.” Gadis itu menunjukkan cincin pernikahan yang melingkari jari manisnya pada Ibram, siapa tahu pria itu lupa.
Ibram menatap Moira dengan tatapan menyelisik. Malam ini istrinya begitu aneh, benarkah dia Moira? Mengapa sikapnya berubah 360 derajat. Apa tadi dia salah makan? Seingat Ibram makan sup ayam tak akan membuat orang kehilangan identitasnya.
“Jawab dong, Mas,” tuntut Moira tak sabaran.
Ibram berdehem membersihkan kerongkongannya. Bercerita tidak ada salahnya, dan mungkin saja ‘kan dengan dirinya bercerita gadis itu bakal mengerti posisi Anindira.
“Dulu dia belum siap menikah.”
“Oh, jadi setelah Mas Ibram menikah dia baru siap buat menikah?” sarkas Moira, bibirnya kini mengerucut. Tiba-tiba hatinya merasa dongkol.
“Anindira itu anak broken home,” terang Ibram. “Untuk orang-orang seperti mereka keputusan menikah bukan hal yang mudah.”
“Apalagi kalau menikahnya dengan pria yang sudah beristri.” Lagi, Moira tak mau berempati.
“Moira…,” ucap Ibram memperingati Moira, matanya menatap gadis itu tajam. “Anindira ditinggal ayahnya sedari kecil. Ayahnya pergi meninggalkan dia dan mamanya demi wanita lain. Maka dari itu, Anindira takut untuk menikah.”
Moira bergeming mendengar penuturan Ibram. Dirinya tahu betul bagaimana rasanya ditinggalkan seorang ayah. Tetapi, kalau ditinggalkan karena memilih wanita lain, Moira tidak tahu, kecuali rasanya mendapati suaminya masih mencintai wanita lain, hafal betul. Rasanya seperti punya sariawan lalu terkena garam. Perih.
“Terus kenapa Mas Ibram mau menikahi Moira?”
Ibram berdecak. “Kenapa masih tanya? Kita ‘kan dijodohkan.”
Moira mengernyitkan hidungnya tak suka. Iya dia tahu kalau mereka dijodohkan, tetapi Moira bermaksud ingin mengetahui alasannya. Sebab bisa saja ‘kan pria itu menolak?
“Maksud Moira alasannya. Kenapa Mas Ibram enggak menolak?”
Ibram menatap Moira lekat, tak buru-buru menjawab hingga membuat objek yang ditatapnya itu jadi gelisah tak menentu terbukti dari gerakan salah tingkahnya yang menggaruk tengkuknya yang Ibram yakini tak gatal.
“Untuk penuhi janjiku pada Bunda.”
“Emangnya janji apa?” moira penasaran perjanjian apa yang mereka buat. Apakah janjinya sama seperti yang ia buat dengan Ayah?
“Tidak perlu dibahas,” ucap Ibram seraya berdiri. “Aku mau ke kamar. Kamu mau ikut denganku bergumul dalam selimut?
Pupil Moira membesar, pipinya memerah seketika. Perutnya serasa dipenuhi kupu-kupu yang berterbangan. Apa-apaan suaminya itu berkata demikian, membuatnya seperti melayang tak berpijak.
***
“Lo mau langsung balik?” tanya Fara pada Moira setelah mengetahui ternyata kedua mata kuliahnya tidak dapat dihadiri oleh Dosen. “Masih pagi, nih.”
“Emang mau ke mana?” Moira bertanya balik.
“Gue sih mau ke rumah sakit nganterin dompet Abang gue yang ketinggalan.”
Moira mengangguk-anggukan kepala. Lalu otaknya berpikir, kemana dia akan pergi sekarang? Rasa-rasanya pulang ke rumah masih pagi juga dan lagi dia akan kebosanan.
“Lo mau ikut?” Fara kembali bertanya. “Abis dari sana kita nonton, yuk?!”
“Moira tanya dulu suami, deh.” Sejurus kemudian jari-jarinya menari-nari mengetikan pesan kepada suaminya.
Izin suami hal mutlak yang harus dilakukan Moira. Dirinya takut terjadi apa-apa, walau naudzubillahi min dzalik dirinya ingin terjadi sesuatu. Bukan. Bukan begitu, agar lebih afdol saja.
Moira lumayan menunggu lama suaminya membalas pesan darinya, mungkin karena ini adalah jam kerja. Lima menit berikutnya, Ibram baru membalas.
“Dapet izin,” kata Moira sambil tersenyum simpul pada Fara yang tak sabaran.
Kedua sahabat itu keluar dari kelasnya yang sudah mulai ditinggal oleh para mahasiswanya. Hanya menyisakan beberapa saja. Akmal, termasuk salah satunya. Hubungan Moira dan Akmal rasa-rasanya tak seperti dulu lagi, seperti ada tembok penghalang. Dan lagi, semenjak kejadian waktu itu Moira jadi enggan dekat-dekat dengan Akmal, pun sebaliknya Akmal tampak segan.
Moira dan Fara menuju rumah sakit menggunakan sepeda motor matic milik Fara. Sahabatnya itu memang memilih sepeda motor sebagai kendaraannya ke kampus agar lebih cepat dan lagi jarak rumahnya dengan kampus juga terbilang dekat.
Sepanjang perjalanan mustahil kedua sahabat itu tidak banyak bicara. Keduanya mengobrol dan sesekali tertawa terbahak bersama hingga membuat pengendara lain menengok pada mereka. Tapi mereka tak hiraukan sebab serasa dunia milik berdua!
Lamat-lamat memori Moira terasa déjà vu dengan jalan yang dilalui roda dua Fara. Sepertinya tak asing diingatannya.
“Ra, Abangmu di rumah sakit mana sekarang?”
Fara sedikit menelengkan kepalanya agar ucapannya terdengar oleh Moira. “Rumah sakit Harapan.”
Moira menelan salivanya. Pantas saja dia merasa tak asing. Bagaimana kalau dia bertemu dengan wanita itu di sana?
“Kenapa emang?” tanya Fara.
“Enggak, pengin tahu aja,” balas Moira. Kemudian perjalanan menjadi hening, mereka sibuk dengan pikirannya masing-masing. Moira tentu sedang memikirkan bagaimana kalau dia bertemu dengan wanita itu? Apa yang harus dia perbuat?
Tak terasa perjalanan pun terhenti. Setelah roda dua Fara diparkirkan, mereka berdua langsung bergegas ke dalam rumah sakit.
Aroma khas rumah sakit sudah mulai terciam kala kaki mereka menginjak pintu masuk. Tujuannya sekarang adalah ke tempat kakak Fara yang merupakan seorang dokter specialis penyakit dalam.
Tak perlu tersesat, Fara hafal betul di mana sang kakak. Belum sampai Fara dan Moira ke tempat yang dituju, tiba-tiba kaki Fara berhenti melangkah tepat dekat ruang radiologi.
“Bang!” panggil Fara ketika melihat kakaknya yang sedang terfokus pada ponselnya sambil berjalan.
“Eh, lo udah dateng, baru aja gue mau ke ruangan.” katanya. “Eh, ada Moira,” sapanya sambil tersenyum manis.
“Iya, Kak,” balas Moira ramah pada pria tampan berkulit putih itu. Mereka tentu sudah saling mengenal.
“Nih, dompet lo.” Fara menyodorkan benda berwarna hitam itu pada kakaknya. “Udah ya gue langsung cabut.”
“Iya, hati-hati dijalannya.”
“Dokter Adam,” panggil seseorang yang membuat mereka bertiga menoleh ke sumber suara.
“Dokter Anindira,” sahut kakak Fara bernama Adam itu.
Jantung Moira rasanya jatuh ke dalam perut. Hal yang sudah ia prediksikan akhirnya terjadi juga. Mata Moira bertemu pandang dengan Anindira. Wanita itu terlihat menghampiri mereka. Rasanya Moira ingin berlari sekarang juga. Eh, tunggu dulu! kenapa harus lari? Seharusnya wanita itu yang berlari jika bertemu dengannya. Ternyata tebal muka juga wanita itu.
Moira mengatur napasnya agar emosi tak menguasainya.
“Dokter, siapa ini?” tanya Anindira berbasa-basi dengan senyuman yang menghiasi wajahnya, membuatnya terlihat tambah cantik.
“Ini adik saya dan kawannya,” terang Adam.
“Halo, saya Anindira.” Anindira mengulurkan tangannya pada Fara dan langsung disambut ramah oleh gadis itu.
“Fara,” ucapnya sambil tersenyum.
“Dan….” Anindira menggantungkan ucapannya kala melihat pada Moira. Tangannya yang berjabat dengan Fara perlahan ia lepaskan. “Sepertinya kita pernah bertemu,” ucapnya sambil tersenyum sinis pada Moira.
Moira berdehem. “Boleh kita bicara sebentar?” tanya Moira to the point membuat Adam dan Fara bertanya-tanya ada hubungan apa mereka berdua.
***
Dan sinilah Moira dan Anindira sekarang, duduk berhadapan dengan canggung. Fara dan Adam mereka tinggalkan dengan sebelumnya meminta izin. Kantin rumah sakit tampak sepi sebab bukan pada saat jam makan siang.
Moira meremas-remas jarinya, sedang Anindira tampak tenang menunggu Moira membuka mulut. Usianya yang jauh lebih matang dari Moira membuatnya berlaku demikian. Pikirnya, toh yang sedang ia hadapi saat ini adalah seorang anak kecil yang terjebak dalam pernikahan.
“Soal Mas Ibram…,” ucap Moira membuka percakapan yang sesungguhnya ia bingung untuk memulainya dari mana.
“Kenapa soal Ibram?” katanya santai seraya menyelipkan rambut pendeknya ke belakang telinga.
“Moira tak izinkan kalian menikah.” Moira menatap Anindira lekat-lekat, memperhatikan ekspresi yang dikeluarkan oleh wanita itu. Sesuai dengan dugaannya wanita itu terkejut, netranya membesar.
Rasa kesal menyergap Anindira. Fakta yang ia dapatkan kini tak sesuai dengan ucapan Ibram yang meyakinkannya bahwa bocah kecil ini menyetujui mereka menikah.
“Apa hakmu berkata demikian?” hardik Anindira, wibawanya sebagai seorang dokter sirna seketika.
“Aku istri Mas Ibram,” ucap Moira penuh penekanan yang makin membuat Anindira berang.
“Seharusnya kamu sadar diri.” Moira tersenyum tak habis pikir, wanita di depannya ini bak berbicara dengan cermin. “Kamu bisa jadi istrinya karena dijodohkan. Asal kamu tahu, hati Ibram sepenuhnya milikku.”
“Tetapi Mas Ibram sepenuhnya hakku.” Entah keberanian dari mana Moira dapat berucap demikian. Hatinya bersorak gembira atas keberaniannya walau sesungguhnya lututnya bergetar bukan main.
Mata Anindira berkilat merah. Ia mendengus, sebab dalam hati ia amini ucapan Moira barusan.
“Maaf kalau Moira lancang,” ucapnya menjeda beberapa detik. “Kamu takut menikah karena trauma masa kecil?!”
Anindira mengerutkan keningnya, dari mana bocah ini bisa tahu? Ibram? Mengapa dia bercerita?
“Sadar tidak? Jika kamu menikah dengan Mas Ibram, sama saja kamu menikahi pria seperti ayahmu.”
Hati Anindira seperti tertimpa godam. Bahunya terlihat mengendur, sikap percaya dirinya yang tadi diperlihatkan kian luntur. Ucapan Moira sukses meruntuhkannya. Bocah kecil itu mengapa menyinggung soal laki-laki yang tak pantas dipanggil ayah itu.
“Kamu…,” ucap Anindira terengah, parunya terhimpit kenyataan yang baru ia dapat. Ucapan Moira mengapa terdengar begitu benar?
Kini kepalanya seperti rol film yang berputar menayangkan masa lalunya. Teringat dirinya yang masih kecil harus menyaksikan ayahnya dengan terang-terangan bergonta-ganti wanita di rumahnya sendiri. Memukuli mamanya yang melarangnya membawa wanita lain. Memukulinya kala berprotes atas tindakan ayahnya.
Teringat wanita penggoda yang selalu datang ke rumahnya bersama laki-laki itu tersenyum liar tanpa dosa. Apa bedanya dengan dirinya?
Kemudian kepalanya ia geleng kuat-kuat agar memori itu terlempar jauh dari benaknya. Tidak. Tidak. Di sini bukan dia yang menjadi penggoda itu, tetapi bocah kecil yang di depannya.
“Tak sadarkah disini siapa yang merebut siapa?” ucap Anindira telak.
Moira diam tak dapat menjawab sebab rasanya terdengar tak ada yang salah dengan ucapan Anindira. Moira teringat akan ucapan Ibram lagi. Dirinya yang tak diinginkan kehadirannya.
***
Otak Ibram terus bekerja memikirkan keanehan yang terjadi pada Moira beberapa hari ini. Gadis itu tiba-tiba bertindak diluar kebiasaannya. Berkali-kali menyerang pertahanannya.
Seperti pada saat setiap pulang bekerja, gadis itu sudah berdiri di depan pintu sambil membawa sebaskom air bermaksud mencuci kakinya. Mulanya Ibram tak nyaman atas perlakuannya, tetapi entah mengapa makin ke sini malah seperti candu baginya. Setiap pulang bekerja itulah yang ia nanti.
Tak hanya itu, biasanya shalat subuh mereka laksanakan masing-masing. Tetapi tidak dengan sekarang, sebelum adzan berkumandang gadis itu akan sudah mengetuk pintunya mengajaknya shalat bersama. Hatinya gugup mulanya mengimaminya shalat sebab pertama kalinya selama pernikahan ia imami gadis itu. Walau sebenarnya gadis itu mengajaknya ke masjid, tetapi tak pernah Ibram turuti.
Kemudian kebiasaan baru Moira lainnya yakni sering bergelendotan tiap mereka berdekatan. Tingkah Moira itu hampir-hampir membuatnya tak bisa menguasai diri. Seperti sekarang, bau tubuh Moira yang sedang memeluk lengannya begitu mengusik. Aromanya begitu menenangkan sekaligus jadi tantangan yang harus Ibram hadapi. Jangan sampai ia lupa diri.
“Mas, minggu depan 40 hari Ayah, nanti kita ziarah, ya?” ajak Moira tetap pada posisinya.
“Iya,” jawab Ibram pelan. Dibesarkan saja sedikit suaranya, maka Moira dapat mendengar kegugupan Ibram.
Ibram sampai merutuk dirinya sendiri, mengapa bisa berlaku demikian sedang ini adalah wajar. Ibram dapat merasakan kulit Moira yang sehalus beludru menempel pada kulitnya. Pun dengan rambutnya yang sesekali bergerak-gerak menggelitik lehernya. Ibram sudah tak bisa menahannya lagi. Matanya tak dapat terfokus pada tontonan di depannya. Hatinya berdesir, tubuhnya berkeringat. Pendingin ruangan terasa tak berguna jika berdekatan dengan Moira akhir-akhir ini.
Apakah harus dia memulainya? Sejurus kemudian kepalanya menggeleng kuat-kuat.
“Kenapa, Mas?” tanya Moira terheran karena mendapati tindakan Ibram barusan.
“En-enggak apa-apa,” jawab Ibram sambil menatap Moira hingga pandangan mereka bertemu. Lalu mata Ibram teralihkan pada bibir Moira yang seolah berteriak agar dirinya berlandas di sana. Entah dorongan dari mana tiba-tiba Ibram mendekatkan wajahnya pada Moira. Gadis itu bergeming dengan jantung yang kian berdegup tahu kelanjutan dari aksi Ibram.
Kian dekat, Ibram menutup matanya perlahan, pun dengan Moira. Napas mereka sama-sama memburu kala bersentuhan. Dalam hati Moira bersorak, dirinya yang coba tumbuhkan renjana pada Ibram kini mulai terlihat hasilnya.
Mereka bergerak tak beraturan, Moira yang tak ulung hanya mengikuti apa yang Ibram lakukan. Sejenak Ibram melupakan semuanya, saat ini yang ia inginkan hanya Moira. Walau setelahnya Ibram dirundung pertanyaan, masihkah Anindira? Apakah ini hanya nalurinya sebagai pria?
***
@itsarney akunku yurriansan. klo kmu mau mampir dluan boleh, aku bksln lmbat feedbacknya. krena klo wattpad bsanya buka pke lptop, aku gk dnload aplikasinya. dan lptopku lg d service
Comment on chapter BAB 1: Keputusasaan