Selamat membacaπ
ΫΫΫ
“Cie, yang lagi kasmaran.”
Moira lantas menolehkan pandangannya pada sumber suara yang semula pada ponsel digenggamannya. Fara terlihat sedang tersenyum menggoda hingga pipi Moira terasa panas.
Bertukar pesan dengan Ibram saat ini membuat hatinya sedikit berdesir. Walau sekadar pesan ringan yang berisi pertanyaan mainstream seperti sedang apa, sudah makan atau belum, dan lainnya, tetapi mampu membuat otot-otot wajah Moira tertarik semringah.
Selama pernikahan inilah pertama kalinya mereka seperti ini. Biasanya hanya jika ada perlu saja. Perubahan ini tentu disyukuri oleh Moira, walau jauh dilubuk hatinya yang paling dalam rasa khawatir menghantuinya. Takut ini hanya angan-angannya. Takut ini hanya sebuah pengharapan yang Moira ciptakan sendiri dan berakhir kecewa yang didapat. Selagi ada Anindira, Ibram hanya warna abu-abu di pandangan Moira.
“Moira sedang berusaha untuk….” Moira ragu untuk mengatakannya, sebab ini pertama kalinya ia akan membahas persoalan yang selama ini tak pernah menjadi topiknya dengan Fara. “Pendekatan dengan Mas Ibram… bi-biar… ad-ada…,”
“Perasaan diantara kalian berdua?” tembak Fara langsung.
Moira mengangguk malu-malu.
Fara terkekeh. “Baguslah, sekali-kali lo harus jadi agresif. Jangan malu-malu kudanil!”
Moira tertawa geli sambil menyikut lengan Fara pelan. “Apaan sih!” kemudian tawanya sirna berganti raut wajah murung, lalu berkata, “Tapi, Moira takut.”
“Takut kenapa?” Fara terheran sambil menelengkan kepalanya.
“Gagal,” ucap Moira lirih.
“Kata gagal itu tidak ada selagi ada kata mencoba.” Fara menasihati bak motivator.
“Moira takut gagal sebab… Fara ingat kawan kak Adam sesama dokter tempo hari yang kita temui di rumah sakit?”
Fara tampak mengingat, keningnya berkerut dengan mata yang melihat ke atas. Detik berikutnya ia berseru, “Ah, iya! Ingat! Ingat! Kenapa emang?”
“Dia… Anindira, kekasih Mas Ibram.”
Moira sukses membuat Fara terlonjak kaget, tangannya membekap mulut yang menganga sempurna yang bahkan bola kastik saja bisa masuk ke dalamnya.
“Se-serius?” Fara masih tidak percaya. Memang sih pertemuan mereka tempo hari membuatnya kebingungan sebab dengan tiba-tiba Moira dan kawan abangnya meminta izin pergi berdua ke kantin rumah sakit. Lalu setelahnya Fara tak bertanya apapun sebab kala Moira selesai berbicara dengan wanita itu raut wajah Moira tampak kelam. Raut wajah itu seolah memberi sinyal bahwa ia sedang tak ingin berbicara dengan siapapun, bahkan rencana nonton mereka pun harus dibatalkan.
Moira mengangguk lemah.
“Gila saingan lo berat banget!” komentar Fara kian membuat Moira murung, bahunya mengendur bersamaan dengan tatapan masygul yang dilemparkan pada Fara.
“Maka dari itu…,” ucap Moira sedih.
“Secantik apapun dia, semenarik apapun dia, sepintar apapun dia, sehebat apapun dia, tetap saja dia hanya wanita masa lalu yang terleminiasi oleh Allah untuk dijodohkan dengan suami lo. Status lo kuat dimata agama dan hukum, jadi lo jangan takut sama wanita yang jelas-jelas sama Allah udah enggak dipilih.” Fara memang selalu menenangkan dibalik sikapnya yang kadang bikin nyebelin dengan suara ceprengnya yang amat cerewet.
Tangan Moira terulur untuk memeluk Fara walau terhalang kursi yang mereka duduki tapi tak mampu urungkan niatnya. “Makasih, Mario Tegangku,” kekeh Moira yang kemudian membuat Fara terbahak.
Atkitivitas mereka kemudian terganggu oleh suara ponsel yang berdering nyaring dari tas Fara. Pelukan terurai, perhatian mereka kini pada ponsel Fara. Terlihat nama ‘ibu’ menghiasi layar ponselnya.
“Halo, bu?” ucap Fara sambil menempelkan ponselnya ke telinga.
Moira tak dapat mengetahui apa percakapan mereka karena Fara tidak membesarkan volumenya, hanya melihat Fara sesekali mengangguk dan berkata ‘iya’. Tak lama Fara menjauhkan ponselnya dari telinga.
“Yah…,” ucap Fara kemudian dengan lesu. “Kayaknya gue gak bisa anter lo ke toko buku.”
Bahu Moira mengendur, wajahnya sarat akan kekecewaan. Padahal Moira ingin sekali menemaninya untuk membeli novel dan agar dapat membantunya untuk memilih sebab Fara merupakan pencinta buku terutama novel.
“Yaudah gak apa,” ucap Moira.
“Sama gue aja.” Sekonyong-konyong suara laki-laki masuk menyambar percakapan mereka hingga membuat Fara dan Moira menoleh bersamaan. “Kebetulan gue juga mau ke toko buku,” imbuhnya sambil duduk menarik kursi di hadapan Fara dan Moira.
Fara dan Moira sontak menjadi hening. Keduanya bergeming, sebab ini adalah percakapan pertama mereka setelah sekian lama saling diam. Fara tentu tahu masalah diantara Moira dan Akmal.
“Woi,” ucap Akmal sambil mengibas-ibaskan tangannya. “Bengong aja lo pada, kesambet?”
Moira berdehem. “Enggak usah, Mal.”
“Kenapa?” Akmal menaikan sebelah alisnya.
Moira menghembuskan nafasnya pelan. Masih enggak ngerti juga, rutuknya.
“Oh, takut disangka selingkuh sama suami lo, ya?” kata Akmal enteng.
“Udah tahu nanya lagi nih upil kudanil.” Fara geram melihat Akmal yang berubah jadi menyebalkan begini, walau memang sudah dari dulu menyebalkan sih. Tapi tingkah lakunya sekarang membuatnya makin ilfeel.
Baru saja Akmal hendak membalas ucapan Fara yang menyebalkan tiba-tiba dosen masuk. Akmal tampak melempar pelototan seolah berkata ‘awas lo’, lalu dibalas Fara dengan mencebikan bibirnya.
***
“Lho, Mas Ibram!” seru Moira sambil berlari kecil mengampiri Ibram yang sedang nangkiring di atas kuda besinya.
Mendengar namanya dipanggil lantas Ibram membuka kaca helmnya. “Baru mau ngabarin.”
“Ngapain ke sini?” tanya Moira melongo terheran mendapati Ibram datang ke kampusnya.
“Mau dagang cilok,” ucap Ibram gemas. “Mau jemput kamulah!”
“Kok gak bilang-bilang sih!” Moira mengomel sambil menyernyitkan hidung.
“Lho, kok gitu,” protes Ibram yang tak melihat rasa senang di wajah Moira. “Tidak suka aku jemput?”
Sontak Moira mengibas-ibaskan tangannya cepat di depan wajah. “Enggak, bukan gitu. Masalahnya Moira udah pesen ojek online!”
“Ya sudah tinggal cancel aja kok repot,” jawab Ibram enteng.
“Ih, gak bisa gitu. Itu driver-nya udah di sana,” tunjuk Moira pada driver yang mengenakan jaket hijau di seberang sana.
“Terus aku bagaimana?” protes Ibram kesal. “Udah kamu bayar saja, lalu naik motorku.”
Moira menggeleng. “Moira pake rok, naik itu gak nyaman,” kata Moira sambil menunjuk motor besar Ibram dengan dagunya.
Ibram mendengus kasar, sedang Moira tengah tersenyum canggung melihat wajah Ibram yang merah padam.
***
Niat hati ingin berduaan di bawah langit teduh sore hati, ujung-ujungnya malah terpanggang oleh rasa panas dari emosi yang tertahan.
Sepanjang jalan Ibram menggerutu dalam hati. Terlebih istrinya malah memilih untuk dibonceng tukang ojek dibandingan dengannya.
“Kencan macam apa ini!” maki Ibram yang terus membuntuti motor yang membawa istrinya di depan sana. Kemudian dirinya kembali merutuk dirinya sendiri, apa yang baru ia katakan? Kencan? Kenapa tiba-tiba kata-kata itu yang keluar dari mulutnya!
Niatnya ‘kan sepulang dari kantor dia hanya ingin menemani istrinya ke toko buku, dan membuat sedikit kejutan untuk Moira. Tetapi apa kenyataannya? Dirinyalah yang terkejut!
Sesekali Ibram mendapati Moira menengok ke belakang dengan tersenyum geli. Bisa-bisanya dia tersenyum sedang hati Ibram tengah berkobar-kobar dibakar kesal.
Perjalanan hanya 30 menit. Moira tampak menunggu Ibram di lobi, suaminya tengah memarkirkan motornya di basement. Sekitar 10 menit menunggu akhirnya pria yang ia tunggu muncul dari eskalator yang mengantarkannya ke atas.
Moira berlari kecil menghampirinya dengan senyum semringah. Tangannya tak segan menggandeng pria yang tengah cemberut itu.
“Udah, jangan ngambek. Lagian siapa suruh pake motor besar, mana enggak bilang-bilang dulu mau jemput,” gerutu Moira sambil berjalan menarik Ibram.
Ibram tak komentar ia masih merajuk. Akan tetapi, walau begitu pria itu tak merasa keberatan untuk mengekori Moira melewati rak besar yang berisi buku novel dengan genre romance.
Moira sesekali berhenti menyomot buku dengan kover yang menarik hatinya, tetapi setelah membaca sinopsisnya yang dirasa tak menarik gadis itu kemudian menyimpannya lagi. Aksinya itu berlanjut hingga setengah jam. Wajar saja sebab dia sendiri tidak berencana judul apa yang ingin dibeli. Inginnya memilih langsung di toko buku.
“Ngapain sih mau baca buku cinta-cintaan yang menye-menye,” protes Ibram yang mulai merasa bosan.
Moira yang sedang membaca sinopsis sontak menoleh. “Dengan membaca dapat membuat kita merasakan banyak rasa. Hingga apabila itu terjadi di dunia nyata, sudah terbiasa.”
Ibram mencebik. “Lebay,” komentarnya. “Kalau mau ngerasain, aku bisa ajarkan apa itu cinta, patah hati, dan kecewa,” tawar Ibram setengah meledek.
“Enggak usah, makasih. Udah ngerasain!” pekik Moira pelan.
Ibram rasanya ingin tertimpa rak berisi buku-buku itu sekarang. Ucapannya tadi itu bak boomerang yang dilemparkan lalu kembali menghantam tubuhnya. Bodoh! Bodoh! Bodoh!
“Aku mau beli minum dulu.” Ibram pamit dengan air muka keki yang tercetak jelas. Entah mengapa rasanya ada api yang berkobar-kobar di hatinya, mungkin segelas jus dingin dapat memadamkannya.
“Dia yang mancing, dia yang ngambek,” omel Moira setelah melihat punggung Ibram menjauh.
Moira meletakan kembali buku yang berada ditangannya ke rak. Tubuhnya kembali menyusuri rak hingga ke paling ujung. Di sana mata Moira menangkap sosok yang familier. Baru saja hendak menghindar, sosok di sana sudah mendapatinya.
“Moira!” serunya.
“Ak-Akmal,” ucap Moira pelan. Dilihatnya Akmal datang menghampiri.
“Udah gue bilang bareng aja perginya. Ujung-ujungnya bareng juga ‘kan di sini?”
Moira tersenyum canggung. Bagi Moira, Akmal tampak asing sekarang. Seolah laki-laki itu baru sebentar ia kenal.
“Kamu cari buku apa, Mal?” tanya Moira basa-basi agar Akmal tak melihat kecanggungannya.
“Biasa, komik.” Akmal menunjukkan buku komik yang digenggamnya pada Moira. “Lo cari novel?” tebak Akmal sebab melihat Moira keluar dari lorong rak khusus novel.
“Iya, Mal.”
“Udah nemu?”
Moira menggeleng.
“Sini gue rekomendasiin novel yang bagus,” ajak Akmal sambil melangkah membuat Moira mau tak mau mengikutinya. Dalam hati Moira gelisah bukan main, segala pikiran negative berkecamuk dalam benaknya. Bagaimana kalau Mas Ibram lihat?
Duh! Mengapa dirinya kini seperti perempuan bodoh yang tak bisa menolak. Tetapi, itulah Moira, selalu segan untuk menolak.
“Ini dia satu-satunya novel yang pernah gue baca dan buat gue jatuh cinta sama buku,” terang Akmal seraya menyodorkan buku tebal berwarna dominan kuning kusam pada Moira.
Bumi Manusia, eja Moira dalam hati. Kalau boleh jujur Moira sama sekali tak tertarik melihat kovernya yang terkesan jadul.
“Ingat, jangan pernah menilai buku dari kovernya,” ujar Akmal mengingatkan kala menangkap sinyal Moira tak menyukai buku itu.
Moira tersenyum sambil mengigit bibir. Lalu membulak-balikan bukunya, dalam hati tengah menimang.
“Gue jamin lo gak bakal kecewa ama buku sejarah satu ini, gak bakal bikin lo ngantuk.” Akmal meyakinkan. “Emangnya lo gak tahu tentang buku ini?”
Moira menggeleng.
“Penulisnya tahu?”
Lagi, Moira menggeleng.
Akmal menghembuskan nafasanya. “Kasian banget lo gak tahu karya terbaik kayak begini,” ledek Akmal yang sekarang membuat Moira tampak jengkel.
“Moira enggak suka-suka amat sama novel dan kurang tahu juga sama dunia novel, jadi wajar dong kalau gak tahu.”
“Kalo udah baca ini lo pasti ketagihan, deh.” Akmal terus meracuni Moira. “Eh, diem! Diem!” pinta Akmal panik membuat Moira terheran-heran, tetapi Moira turuti walau takut sebab tangan Akmal mengapa terulur mengarah ke tubuhnya.
Moira hendak memundurkan bahunya kala mengetahui kemana tujuan Akmal. Siapapun yang bukan mahramnya tak boleh menyentuh, apalagi di area yang terlarang itu!
Niatan Moira urung dilakukan kala tangan besar mengadang lengan Akmal. Ibram! Tamat sudah!
Ibram tampak mencengkeram kuat-kuat lengan Akmal, terlihat buku-buku jarinya memutih. Telinga Ibram memerah pun dengan matanya yang berkilat merah.
“Lo mau tahu rasa sakit dari tangan yang dipatahkan?” tanya Ibram yang terdengar seperti ancaman bagi Akmal.
Kepanikan menyergap Moira, dengan gerakan cepat tangannya mencengekram lengan Ibram. Moira dapat merakasan urat-urat tangan Ibram yang menonjol.
“Mas Ibram, lepasin Mas!”
Sedang Akmal tengah ketakutan melihat Ibram bak singa yang kelaparan.
“Gue bukan ada maksud apa-apa,” jelas Akmal dengan suara bergetar. “Ta-tadi itu…,”
“APA?!” bentak Ibram yang kini tangannya berpindah pada kerah baju Akmal. Tubuh Moira tersentak karena aksi Ibram tersebut.
Lutut Akmal tiba-tiba lemas, lidahnya kelu, otaknya seperti tidak berfungsi sebab tidak tahu harus berbuat apa. Padahal niatnya tadi itu hanya ingin mengambil semut yang berada dikerudung Moira. Menghadapi pria dewasa yang tengah meradang itu jelas bukan tandingannya. Mendadak ia jadi pecundang.
“Mas lepasin!” teriak Moira sambil menahan tangisnya. Ibram tak bergeming, ia tetap menatap Akmal dengan bengis sedang tangannya masih dengan posisi yang sama.
Kejadian ini menjadi tontonan gratis pengunjung toko buku lainnya. Ada yang menatap takut-takut, bergunjing, hingga menjauh tak mau kena imbas.
“Mau macem-macem lo sama istri gue?!” Akmal kian jadi pecundang, tak ada respons apapun selain keringat yang mulai bercucuran sebesar biji jagung.
“Ada apa ini? Jangan buat keributan di sini!” Suara bariton menginterupsi. Seorang satpam. Lalu, cengkeraman tangan Ibram dihempaskan oleh satpam tersebut. “Selesaikan masalah dengan dewasa, tidak perlu ribut seperti ini, apalagi di tempat umum,” ucap satpam tersebut.
Ibram menatap bengis sang satpam merasa urusannya direcoki, sedang Akmal tengah bernafas lega. Detik berikutnya Ibram menarik paksa Moira untuk ke luar dari toko buku tersebut. Moira merintih kesakitan karena pergelangannya dicengkeram kuat-kuat oleh Ibram. Tetapi pria itu sama sekali tak mengindahkannya. Hatinya tengah dikuasai oleh amarah.
Kejadian-kejadian hari ini di luar prediksinya. Patah pucuk rencananya yang ingin menghabiskan waktu bersama Moira.
***
“Jadi itu alasan kamu marah aku jemput?!” tuduh Ibram sesampainya di rumah. “Mau jalan-jalan sama bocah ingusan itu?!”
Moira menggeleng sambil tangannya mengelus-elus pergelangan tangan yang tadi Ibram cengkeram. “Enggak!” bentak Moira.
“Enggak apa? Enggak salah lagi?!” Ibram balik menghardik. “Berani-beraninya kalian berbuat seperti itu di tempat umum!”
“Berbuat apa Mas?” Moira tak terima sebab rasanya ia tak berbuat perbuatan tercela.
“Tadi maksudnya apa bocah itu mau menyentuhmu?!”
Moira lantas membuka mulutnya lebar-lebar dengan perasaan hati yang tertusuk-tusuk. “Kamu pikir aku perempuan seperti itu?”
“Memang kamu pikir, kamu perempuan seperti apa hah?!” perkataan Ibram sukses membuat hati Moira nyeri. “Mana ada perempuan baik-baik berduaan dan rela disentuh-sentuh laki-laki lain?!” cela Ibram, matanya menatap Moira seolah-olah Moira adalah sebuah noda.
Andai tamparan bukan hal yang melampaui batas, mungkin saat ini pipi Ibram sudah lacur. Moira tak hentinya minta ampun kepada Allah, telah berpikir hendak melakukan yang demikian. Hatinya sudah tercabik-cabik.
Tak mendapatkan responsa apa-apa Ibram melengos pergi meninggalkan Moira yang mematung dengan air mata yang terus bercucuran. Takut berbuat yang tidak-tidak, amarah tengah menguasainya saat ini.
Telinga Moira dapat mendengar suara pintu yang di banting dengan keras oleh Ibram, matanya terpejam sejenak. Kemudian kakinya ia langkahkan ke atas. Bukannya menuju kamar miliknya, melainkan menuju kamar Ibram. Gagang pintu kamar Ibram, Moira tekan ke bawah pelan-pelan dan mendapati pintu dikunci. Tangan Moira mulanya menggedor pelan kamar Ibram, namun kian lama kian kencang sebab tak mendapati jawaban apa-apa.
Hingga lima belas menit berlalu, pintu tiba-tiba terbuka. Ada sedikit kelegaan di hati Moira. Air muka Ibram masih terlihat meradang tapi tak separah tadi.
“Mas…,” lirih Moira dengan mata sayu.
Ibram enggan melihat Moira, kemudian tubuhnya menyentak Moira untuk menyikir karena menghalangi jalannya.
“Mas Ibram mau ke mana?” tanya Moira setelah sadar Ibram berpakain rapi.
Lagi, ia tak diindahkan oleh pria itu. Ibram terus melangkahkan kakinya meninggalkan Moira yang terus meneriaki namanya. Terdengar suara gedebuk di belakangnya pun tak ia hiraukan.
Tubuh Moira terjatuh kala sepatunya menginjak rok yang ia pakai. Hati Moira kian hancur mendapati Ibram yang sama sekali tak mempedulikan kondisinya. Suara tangis yang tadi ia tahan, kini pecah sejadi-jadinya.
Suaminya tak percaya padanya, bahkan dengan terang-terangan merendahkannya. Semalaman Moira menangis, terlebih di atas sajadah ia menghinakan dirinya kepada Sang Maha Tinggi, mohon kekuatan, kesabaran, dan jalan keluar dari masalahnya. Terlebih, ia mohon dilembutkan hati suaminya.
Tubuhnya meringkuk di atas sajadah masih mengenakan muken. Tangisnya tak kunjung henti, rasanya ribuan anak panah terus menancap di hatinya. Andai suara adzan subuh tak berkumandang maka ia tak akan tahu bahwa dirinya tidak tidur semalaman. Ia menangis hingga tak ada air mata yang keluar.
Tak terdengar suara mobil yang terparkir di garasi, tak terdengar suara pintu terbuka, tak terdengar derap langkah seseorang, pun tak terdengar deruan napas yang kemarin malam menghiasi telinganya.
Mas Ibram, istana mana yang kau singgahi malam ini?
ΫΫΫ
TBC…
Jazakumullah khairan katsiran wa jazakumullah ahsanal jaza π
@itsarney akunku yurriansan. klo kmu mau mampir dluan boleh, aku bksln lmbat feedbacknya. krena klo wattpad bsanya buka pke lptop, aku gk dnload aplikasinya. dan lptopku lg d service
Comment on chapter BAB 1: Keputusasaan