Ryo's Point of View
Entah apa yang kupikirkan tadi ketika secara tidak sengaja aku menyatakan perasaanku kepada Yuki. Aku bahkan memintanya menyatakan apa yang dirasakannya padaku. Aku bodoh sekali. Berapa kali pun aku berpikir aku tetap tidak mengerti mengapa aku mengatakan hal-hal itu. Aku sebenarnya hanya ingin bercerita tentang bagaimana aku mengetahui Devon adalah saudara tiriku.
Sejak mengantar Yuki pulang aku masih belum kembali ke rumah. Akhir-akhir ini aku tidak ingin pulang karena yang akan kudengar hanyalah teriakan-teriakan orang tuaku. Ibuku marah dan frustasi karena kedatangan Devon dan ayahku merasa bersalah karena tidak menyadari penyakit Devon sama sekali. Ia merasa ia telah gagal sebagai Ayah karena tak pernah sekalipun ia menengok anaknya itu. Ia pun mulai menyalahku ibuku karena selalu melarangnya menemui Devon. Alhasil Devon pun tidak tahu seperti apa wajah ayahnya.
Hujan pun mulai turun dan aku memandang keluar dari jendela mobilku yang terpakir di pinggir jalan Dago. Aku tidak bisa mengemudi dengan baik dan hampir menyerempet motor serta menabrak angkot. Jadilah aku memutuskan untuk beristirahat dan menenangkan hatiku. Lagu Amnesia milik 5 Seconds of Summer terdengar dari hape yang bergetar heboh di dashboard mobil. Lagu ini memang lagu kesukaanku dan Yuki. Kita sepakat menggunakannya sebagai ringtone hape kita. Nama Yuki V. Tanudiredjo dan foto Yuki yang lagi sibuk ngunyah sarapannya terpampang di layar hapeku. Aku tersenyum sambil menatap layar hapeku sebelum akhirnya kuangkat panggilan telepon itu.
"Halo?"
"Halo? Ryo?"
"Hm?"
"Gue mau ngasih tahu kalo gue sebenernya belum siap menjawab pertanyaan lo tadi."
"Nggak apa-apa."
Hening.
"Tapi gue punya ide bagus yang bisa bantu lo, gue dan Devon." Katanya dengan suara ceria. Entah asli, entah dibuat-buat.
Sial, batinku. Devon lagi Devon lagi. Aku mendesah dan menunggunya menjelaskan lebih lanjut. Seperti menyadari aku sedang menunggunya melanjutkan, Yuki pun berkata," Iyah. Gue pikir gimana kalo kita liburan rame-rame ke Jerman. Ke kota tempatnya Devon dulu. W..Werrr. Apalah itu namanya."
Kemudian dia terkekeh dan aku pun tanpa sadar tersenyum mendengarnya.
"Wuerzburg maksud lo?" kataku.
"Iyah. Itulah. Wer-something." Dia pun tertawa lagi.
"Gimana? Oke kan ide gue? Kita bisa pergi pas libur kenaikan kelas nanti. Kan tinggal 2 minggu lagi tuh. Kita bisa pergi sepanjang liburan. Jadi gue bisa ada waktu mikir, lo bisa ngenal Devon lebih jauh dan Devon bisa nyembuhin home sick-nya."
Secara teori, ini memang ide yang bagus. Tapi entah mengapa aku punya firasat buruk mengenai ide ini. Karena tidak punya alasan kuat untuk menolak, aku pun mengiyakannya.
"Gitu dooong. Itu baru Ryo yang gue kenal," selorohnya.
"Devon emangnya udah tahu? Sembarangan banget lo bikin-bikin rencana melibatkan orang lain tanpa persetujuannya," candaku.
"Belom sih. Tapi besok pas ke rumah sakit lagi gue pasti kasih tahu dia. Bakal gue paksa sampe dia bilang iyah," katanya sambil cekikikan.
Lalu kita pun membicarakan hal-hal kecil yang ringan dan menyejukkan. Tanpa terasa, sudah lama aku tidak mengobrol santai seperti ini dengan Yuki. Aku sungguh merindukanya. Terakhir aku tidak berbicara banyak denganya adalah ketika aku marah dengannya perihal Marissa. Entah di mana Marissa sekarang. Mungkin dia masih di London, mungkin juga dia telah pergi ke negara lain. Aku tidak pernah mendengar lagi darinya. Mungkin dia terlalu sakit hati aku lebih membela Yuki daripada dirinya. Tapi aku hanya membela Yuki waktu itu karena aku mengenalnya lebih lama. Aku pun bukannya tidak marah pada Yuki. Kami tidak bicara untuk waktu yang sangat lama.
Devon's Point of View
Suasana pagi ini sangat menyedihkan. Hujan sisa semalam menyisakan genangan air di tanah yang dapat kulihat dari jendela kamarku. Suasana yang mendung dan dingin membuatku ingin meringkuk di ranjang dan tidak melakukan apa pun. Kalau dipikir-pikir, aku memang tidak diijinkan melakukan apa pun. Tanpa kusadari pikiranku sudah kembali melayang memikirkan Yuki. Di mana gadis itu sekarang? Apakah dia masih marah? Sebelum aku sempat bergerak mengambil hape-ku untuk mengirim LINE padanya, tiba-tiba pintu kamarku dibuka dengan kasar.
"Selamat pagi!" seru gadis yang sejak tadi kupikirkan itu. Suaranya sangat lantang sampai suster yang kebetulan lewat di belakangnya membelalak kaget.
"Astaga, Yuki! Kasihan pasien lain! Kalau sampe ada dokter yang salah suntik karena kaget emang lo mau tanggung jawab?" aku sampai panik dibuatnya. Dia hanya tertawa riang dan meletakkan sekeranjang roti lagi di hadapanku.
"Yuki.."
"Apa?" katanya yang sedang sibuk mengganti bunga di pot kaca yang terletak di samping ranjang.
"Gue emang suka roti sih. Tapi nggak gini juga! Ini roti bisa buat ngasih makan satu RT!" seruku ketika melihat tumpukan-tumpukan roti yang jumlahnya sudah dua keranjang penuh. Menjulang seperti gunung. Terdakwa kasus roti ini malah nyengir kuda sambil bersenandung riang.
"Eh. Gue ada ide bagus banget buat liburan kenaikan kelas kita." Katanya tiba-tiba.
"Oyah?"
"Iyah! Dan lo harus ikut!" katanya dengan nada memerintah.
"Waduh, Baginda Ratu sudah bertitah. Hamba nurut deh," candaku.
"Gue, lo sama Ryo pergi ke Jerman!" serunya lagi.
Aku yakin mulutku ternganga begitu Yuki mengatakan negara tempat dia..Ralat, kami akan pergi untuk liburan kenaikan kelas.
"Kenapa? Lo nggak mau?" wajah khawatirnya membuatku tidak sanggup mengatakan bahwa sejujurnya aku takut untuk kembali ke Jerman. Aku takut akan kenangan ibuku yang kembali menghinggapiku.
"Gue nggak keberatan." Akhrinya hanya itulah yang sanggup kukatakan.
Anggaplah ini permintaan maafku atas apa yang kukatakan padanya kemarin. Sepertinya liburan kenaikan kelas ini akan menjadi film horror. Aku, Yuki dan Ryo. Cowok itu sepertinya selalu siap mencincangku setiap kali kami bertemu. Sungguh tidak terbayang liburan bersama makhluk yang terlihat kanibal itu.
"Jadi..Gue berencana kita menetap di Wuerzburg. Lo punya rumah kan? Terus kita bisa jalan-jalan deh ke Berlin terus ke Munich.Terus ke.." kata-katanya seperti lenyap ditelan angin karena aku benar-benar takut kembali ke flat jelekku lagi. Flat yang dulunya kusebut rumahku dan rumah ibuku. Serena Williamson, di mana dia sekarang?
Sepertinya aku terlalu banyak berpikir karena sekarang kepalaku rasanya sakit sekali seperti akan pecah. Aku mulai merasa keringat membanjiri tubuhku, bahkan mengalir di dahiku. Yuki terlihat panik dan menyentuh pipiku seolah berusaha membuatku tetap sadar. Dia terlihat seperti sedang berteriak-teriak tapi aku tidak bisa mendengar satu kata pun yang diucapkannya. Dalam sekejap dunia menjadi gelap.
Keren. Lanjut, ya. Sukses selalu. :)
Comment on chapter Prolog