'I don't wanna close my eyes. I don't wanna fall asleep cause I'll miss you, Babe. And I don't wanna miss a thing.' – Aerosmith
Lagu Aerosmith itu sudah kelima kalinya bordering dari hape milik Devon. Aku sangat membencinya karena lagu itu seolah meneriakan isi hati dan ketakutan terdalam Devon di telingaku. Semakin lagu itu diputar semakin rasanya telingaku akan pekak. Aku hanya bisa duduk menunggu di depan ruang gawat darurat dengan mata kosong. Aku sudah tidak menangis lagi karena air mataku bahkan tidak bisa keluar lagi. Satu-satunya barang yang kugenggam saat ini adalah hape Devon. Di situ muncul nomor tak dikenal dengan kepala +49 dan bukan +62 seperti nomor Indonesia lainnya. Sepertinya ini nomor luar negeri. Sayangnya aku tidak tahu dari negara mana nomor itu berasal.
Aku sangat takut dan semua tubuhku rasanya mati rasa. Ingin sekali aku membuat perasaanku bisa mati rasa juga. Karena hatiku begitu sakit dan tidak ada seorang pun yang bisa membuatnya sembuh. Kurasa bahkan alcohol tidak akan membantu. Dari jauh kudengar teriakan panik seorang laki-laki yang suaranya terdengar familiar. Aku mendongakkan kepalaku dan ternyata pria itu adalah ayah Devon dan Ryo, Om Trumanjaya.
"Dokter, tolong selamatkan anak saya, Dok! Tolong selamatkan anak saya! Saya akan bayar berapa pun. Tolong jangan biarkan dia pergi!" Om Trumanjaya sudah menarik kerah kemeja dokter Julian dan mengguncang-guncang tubuh dokter yang renta itu.
Om Trumanjaya akhirnya jatuh berlutut sambil masih menggenggam jas putih dokter Julian.
"Kumohon tolong selamatkan Devon," isaknya lemah.
Dokter Julian membantu Om Trumanjaya berdiri dan memapahnya ke kursi di samping kursi yang kududuki.
"Bagaimana keadaan Devon, dok?" tanyaku dengan suara parau.
Napasku tertahan dan aku berusaha mempersiapkan diriku untuk yang terburuk.
"Dia hanya mengalami shock. Sepertinya dia punya banyak pikiran dan tubuhnya tidak mampu mengatasi beban pikirannya. Dia sudah mulai stabil tapi belum siuman. Kamu tenang saja, Yuki." Kata dokter Julian sambil tersenyum.
Isakan Om Trumanjaya masih belum berhenti. Rasa marah mulai menghantamku. Pria inilah penyebab semua masalah yang terjadi pada semua orang yang kusayangi. Dia yang mengubah Ryo menjadi orang yang dingin dan dia juga terlalu pengecut untuk menemui Devon. Segala rasa hormat yang dulu pernah ada setiap aku bertemu Om dan Tante Trumanjaya kini sirna tak berbekas. Yang tertinggal di sana hanya rasa kasihan dan marah. Jika aku tidak merasa selemah ini, aku mungkin akan mengatakan sesuatu yang tajam dan pedas pada Om Trumanjaya untuk menebus perbuatannya pada teman-temanku dan juga padaku. Tapi hanya keheningan yang ada di ruangan itu. Bahkan tidak ada langkah-langkah kaki suster dan dokter yang biasanya terdengar di kamar Ryo. Tidak ada suara apa pun selain isakan Om Trumanjaya.
Aku tidak tahu berapa menit atau jam telah berlalu. Aku masih duduk di posisi yang sama dan memegang benda yang sama, ponsel Devon. Langkah kaki mulai terdengar mendekati tempatku duduk. Langkah kaki itu begitu cepat. Sepertinya pemiliknya sedang berlari.
"Papa, Yuki," pemilik langkah kaki itu bersuara.
Aku tidak ingin menjawab jadi aku hanya menatapnya. Sepertinya Om Trumanjaya pun merasakan hal yang sama karena tidak terdengar jawaban apa pun. Ryo juga mungkin tidak mengharapkan jawaban karena sekarang ia hanya duduk di sebelah ayahnya. Dari sudut mataku aku bisa melihat bahwa Ryo pun sibuk dengan pikirannya sediri. Tapi kemudian tangan kirinya merangkul bahu sang ayah yang terlihat jauh lebih tua dari usianya. Kedua pria itu berpelukan dan aku pun mengalihkan pandanganku. Kurasa mereka tidak akan ingin aku memperhatikan mereka dalam keadaan hancur seperti itu.
Jarum jam telah menunjukkan pukul 8 malam. Itu artinya aku sudah berada di sini lebih dari 8 jam. Tubuhku rasanya lelah sekali. Untungnya dokter Julian muncul kembali dan berkata," Devon sudah lebih stabil. Dia memanggil-manggil namamu Yuki. Kamu boleh menengok pacarmu itu. Tapi jangan lama-lama yah. Dia butuh istirahat dan begitu juga kamu."
"Benarkah, dokter?" Seolah mendapat tenaga sepuluh binaragawati, aku bangkit dan berlari menuju ruang gawat darurat tempat Devon sedang dirawat.
"Dokter, bolehkan saya melihat anak saya juga?" suara serak Om Trumanjaya terdengar ketika aku sedang berderap menuju kamar Devon.
Devon terbaring lemah. Hidung dan mulutnya ditutupi alat bantu pernapasan dan tangannya ditusuk infus. Terdapat layar yang menampilkan detak jantungnya di sisi kiri ranjang Devon. Betapa leganya aku ketika melihat layar itu. Jantung Devon masih berdetak. Devon masih di sini.
"Heh, gila." Sapaku.
"Lo diajak liburan malah sakit. Jangan sakit terus dong, von. Kita sama-sama ke liburan yah." Kataku.
Tangan Devon yang sedari tadi kugenggam seolah bergerak sedikit. Aku tahu Devon bisa mendengarkanku. Aku tidak akan protes kalau dia marah-marah begitu siuman karena kupanggil gila. Aku akan tersenyum, aku berjanji.
"Gue pulang dulu yah, von. Besok pagi gue pasti ke sini lagi. Semangat yah! Lo lebih kuat dari penyakit ini!" kataku lagi.
Keren. Lanjut, ya. Sukses selalu. :)
Comment on chapter Prolog