Chapter sebelumnya panjang karena aku bingung mau motong di mana. Semoga kalian semua penasaran sama kelanjutan kisah Yuki yah! :)
***
Ryo's Point of View
Sehabis aku menelepon Papa kemarin malam, aku duduk di taman yang menghadap ke kamar rumah sakit Devon. Aku bisa melihatnya terbaring lemah dengan berbagai selang di tubuhnya dari jendela yang sepertinya lupa ditutup oleh suster rumah sakit. Dia itu adikku. Dan aku tidak berbuat banyak saat dia benar-benar kritis tadi. Aku bahkan belum mengenalnya. Aku merasa aku ini seseorang yang sangat rendah dan jahat. Selama ini yang kupedulikan hanyalah kekesalanku padanya. Aku tidak pernah berusaha mengerti perasaannya. Aku tidak tahu penyakit apa yang dideritanya. Sebenci apa pun aku pada tindakan ayahku dulu. Aku tidak bisa memungkiri kalau cowok ini punya hubungan darah denganku.
Tiba-tiba hape-ku bergetar. Rupanya ayahku sudah sampai di rumah sakit dan berusaha mencari dokter yang merawat Devon. Aku memberitahu bahwa namanya adalah Dokter Julian. Setelah menutup sambungan telepon, aku duduk termenung sampai ayahku datang dan menepuk pundakku dari belakang.
"Ryo," katanya.
"Halo, Pa."
"Papa harus telepon Mamamu," katanya lagi. Aku mendongak dan melihat wajahnya. Matanya tidak sembab tapi terlihat sedikit merah. Aku tidak pernah melihat ayahku menangis dan aku tidak pernah ingin melihatnya menangis. Tapi rasanya ayahku baru saja menangis. Aku tidak bertanya dan hanya mengangguk. Ia pun duduk di sebelahku dan mulai menelepon ibuku.
Tidak terlalu banyak variasi kata yang diucapkan ayahku. Hanya 'maaf' dan 'aku harus menyelamatkannya' lah yang diucapkan berulang-ulang. Sungguh tidak kreatif!
"Pa," kataku setengah berbisik setelah ayahku selesai berbicara dengan ibuku.
Sepertinya baru saja ada pertengkaran hebat diiringi teriakan-teriakan ibuku karena ayahku terlihat menua 10 tahun dalam sekejap. Karena ia tidak menjawab, aku pun melanjutkan.
"Devon kenapa?"
Ayahku menerawang melihat Devon yang terbaring di ranjang rumah sakit. Dia menghela napas beberapa kali seolah dengan begitu ia akan mendapatkan keberanian tambahan.
"Devon.. Dia ada tumor di otaknya," ayahku berbisik juga seolah jika ia mengatakannya keras-keras kenyataan yang pahit akan menghatamnya dua kali lebih keras.
Walaupun ia hanya berbisik aku mendengarnya dengan cukup jelas. Sangat jelas malah. Aku tidak menjawab lagi. Hanya ada kesunyian di antara kami berdua. Aku sungguh tidak menyangka apa yang telah menimpa Devon. Betapa bodohnya aku yang berusaha bersaingan dengannya. Betapa bodohnya aku yang merasa dia datang ke Indonesia hanya untuk mencuri harta warisan keluarga dan menyingkirkanku dari posisiku sebagai pewaris tunggal perusahaan Trumanjaya. Jika aku bisa bertemu dengan aku yang lain, pasti sudah kutonjok dia keras-keras. Sayangnya itu tidak mungkin dan aku tidak bisa menonjok diriku sendiri. Aku dan ayahku menghabiskan malam itu dalam dia dan kepala tertunduk, sibuk dengan perdebatan hebat dia otak kami masing-masing.
Pagi ini aku berjalan ke kamar Devon. Aku sudah bertekad akan meminta maaf padanya karena telah hampir menenggelamkannya di Pangandaran beberapa minggu yang lalu. Pintu kamar Devon tidak tertutup rapat. Dari celah-celah pintu kamar itu aku bisa melihat Yuki sedang memegang wajah Devon dengan kedua tangannya. Mereka bertatap-tatapan untuk waktu yang sangat lama. Hatiku sakit rasanya. Aku tidak tahu bahwa selama ini aku menyukai Yuki. Aku tidak tahu sampai terlambat. Sekarang ia telah jatuh ke dalam pelukan saudara tiriku sendiri. Tapi aku tidak bisa lagi membenci Devon. Perlahan kurapatkan pintu kamar itu dan berjalan menjauh. Aku mungkin memang tidak akan merebut Yuki dari Devon. Tapi juga bukan berarti aku sanggup melihat mereka berpelukkan.
Keren. Lanjut, ya. Sukses selalu. :)
Comment on chapter Prolog