Devon's Point of View
Yuki menatap mataku dalam-dalam dan air matanya mengalir turun. Ingin rasanya kupeluk tubuh mungilnya erat-erat. Tapi aku takut jika aku melakukannya maka aku tidak akan sanggup melepaskannya lagi. Lalu ia membenamkan wajahnya di dadaku dan memelukku. Aku berusaha mati-matian menahan air mata yang sudah siap tumpah dari pelupuk mataku. Isakan gadis mungil ini membuat pertahananku roboh seketika dan tangis yang sudah kutahan begitu lama pun pecah. Aku merasa sangat canggung. Rasanya aku baru mengenal Yuki belum terlalu lama tapi aku merasa telah mengenalnya sepanjang hidupku. Aku sekarang tahu rasanya jatuh cinta. Rasanya manis dan pahit. Manis sekali rasanya saat aku bersama Yuki. Aku seolah merasa aku mempunyai semangat untuk hidup lagi. Aku merasa menjadi orang yang sangat bahagia. Tapi jatuh cinta juga pahit rasanya. Karena terkadang orang yang kaucintai itu tidak boleh kaumilikku. Yuki tidak boleh kumiliki karena aku akan membuatnya menangis lebih keras ketika aku pergi jauh nanti. Aku tidak ingin melihatnya menangis lagi.
Kudorong lembut tubuh Yuki yang masih berguncang hebat karena tangisannya. Aku sudah lebih tenang dan air mataku sudah berhenti mengalir. Kuusap air mataku yang masih menempel di wajah.
"Pulanglah, Yuki. Lo harus istirahat. Kan besok hari sekolah," kataku sambil berusaha tersenyum.
Sejujurnya aku tidak ingin dia pergi. Aku ingin dia di sini, duduk di kursi di sebelah ranjang rumah sakit ini dan menemaniku. Tapi aku tidak boleh egois. Aku harus menjauhkan Yuki dariku sebelum terlambat. Sebelum dia jatuh cinta dan sebelum aku terperosok terlalu dalam.
"Nggak. Gue bakal nemenin lo di sini," katanya.
Kupejamkan mataku karena aku sudah menduga dia akan berkata begitu. Please Yuki. Tolong jangan membuat melepaskanmu menjadi lebih sulit.
"Pokoknya gue nggak mau pulang. Coba aja pindahin gue dari kursi ini kalo lo bisa," tantangnya.
Aku mendecak dan dia tersenyum dengan kilatan di matanya. Dia pasti sudah merasa menang. Aku tidak memaksanya karena sejujurnya aku senang dia mengatakan bahwa dia akan tetap ada di sini.
"Jadi coba ceritain tentang diri lo," kata Yuki.
"Ceritain tentang diri gue?"
"Iyah. Kita kan selalu ngomongin yang nggak penting dari kemarin-kemarin. Gue belom bener-bener tahu tentang lo. Lo juga belom bener-bener tahu tentang gue kan. Kita ambil positive nya aja dari semua ini. Sekarang kita punya waktu buat saling mengenal," katanya ceria.
"Ide yang bagus kan?" lanjutanya
Ide yang buruk. Tapi aku tersenyum dan mengangguk.
"Jadiiii.."katanya penuh harap. Mata jailnya itu membuatku tersenyum lagi.
"Well, nggak ada yang asik tentang gue sih. Seperti yang lo tahu gue tinggal di Indonesia sampe gue kelas 4 SD. Terus gue ikut nyokap gue pulang ke Jerman. Kita tinggal di Wuerzburg,"
"Terus?"
"Terus ya udah. Gitu ajah,"
"Loh? Ah, nggak rame ceritanya. Lanjutin dong,"
"Terus kamu maunya cerita yang mana?" tanyaku malas-malasan.
"Kok jadi aku-kamu? Jangan-jangan lo suka gue yahhhh??" sindirnya lagi.
Right on point! Kataku dalam hati.
"Ge-er banget sih lo jadi orang. Lo kan dah punyanya Ryo."
"Kata siapa gue udah punyanya Ryo?"
"Loh bukannya iyah?" tanpa sadar nada bicaraku terdengar agak sinis. Sebelum aku sempat meralat ucapanku, Yuki sudah tertawa.
"Jadi kalo gue belom punyanya Ryo lo berniat jadian ama gue?"
"Gila. Ge-er banget lo ternyata," aku ikut tertawa mendengarnya. Benar deh, baru kali ini aku ketemu cewek se-percaya diri ini. Tapi aku suka.
"Biarin!" Yuki pun cemedut dan melipat tangannya di depan dada.
"Yah Ngambek! Iyah deh gue lanjutin ceritanya."
"Gitu dong dari tadi."
"Jadi gue dibesarin sama single mother di sana. Nyokap gue bukan nyokap yang penuh perhatian jadi gue banyak menghabiskan waktu sendirian. Gue juga nggak punya terlalu banyak temen di sana."
Kukira Yuki akan menimpali dengan ejekan atau semacamnya setelah menyadari bahwa aku tuh ternyata kuper banget. Tapi ternyata dia tetap duduk manis dan menunggu aku melanjutkan ceritaku.
"Gue tahu penyakit gue ini waktu gue duduk di bangku SMP. Tapi gue nggak pernah kasih tahu nyokap. Sampai tahun lalu akhirnya nyokap nemuin obat-obatan dan surat dokter di kamer gue. Nggak tahu deh dia kesamber apa sampe tiba-tiba berniat bersihin kamer gue yang udah nggak dia masukkin selama bertahun-tahun."
Aku sadar mataku menerawang. Aku ingat jelas kejadian itu. Aku baru pulang dari sekolah, sekitar jam 6 sore karena ada kerja kelompok. Pintu kamarku terbuka dan ibuku sedang berdiri memunggungiku. Aku bisa mendengarnya terisak dan munculah secercah harapan bahwa sebenarnya dia peduli kepadaku. Dia mendengar langkahku yang mendekat dan berpaling menghadapku. Wajahnya sangat acak-acakan dan terror tergambar jelas di sana.
Aku pun mencoba memeluk ibuku yang sudah tak kupeluk sejak kutinggalkan tempat kelahiranku, Indonesia. Dia membiarkanku memeluknya dan dia memelukku kembali. Hatiku sangat bahagia. Rasanya aku tidak peduli jika Tuhan memanggilku saat itu juga.
Tapi takdir seolah tidak mengenal ampun padaku. Ibuku tidak menangisiku. Ternyata dia menangisi dirinya sendiri. Dia takut kutinggal dan dia akan hidup sendirian. Dia hanya peduli pada dirinya sendiri. Aku baru mengetahui hal itu sejak dia mulai kalap dan pergi berkencan dengan banyak pria setiap harinya. Sampai akhirnya ia menemukan pilihannya, seorang pria Perancis yang telah memiliki 3 orang istri. Sepertinya pria itu sangat kaya dan ibuku bahkan tidak peduli bahwa ia hanya akan menjad istri simpanan untuk yang kedua kalinya.
"Terus nyokap lo gimana reaksinya?" suara Yuki membuyarkan lamunanku.
"Dia nggak peduli," jawabku seadanya. Kulihat aura wajah Yuki berubah. Dia menatapku dengan berbagai perasaan yang tak dapat kubaca. Apakah itu iba?
"Gue nggak apa-apa. Lo nggak usah ngasihanin gue. Gue nggak butuh dikasihani," kataku.
Yuki terlihat terkejut dan tubuhnya menjadi tegang.
"Gue..Gue nggak bermaksud kayak gitu," kataku cepat-cepat.
"Nggak apa-apa," katanya lagi.
Walaupun dia bilang nggak apa-apa. Aku tahu bahwa kata-kataku telah menyakiti hatinya. Aku memang tidak berguna.
"Kalo gitu gue pulang dulu deh yah. Lo istirahat yang banyak. Besok gue dateng lagi sepulang sekolah," kata Yuki.
Ia beranjak berdiri dan berjalan menuju pintu dan membuka pintu itu.
"Yuki, gue minta maaf," kataku buru-buru. Tapi Yuki tetap pergi.
Keren. Lanjut, ya. Sukses selalu. :)
Comment on chapter Prolog