Read More >>"> Salju yang Memeluk Awan [PUBLISHING IN PROCESS] (Jatuh Cinta Lagi) - TinLit
Loading...
Logo TinLit
Read Story - Salju yang Memeluk Awan [PUBLISHING IN PROCESS]
MENU
About Us  

Yuki's Point of View

"Pa, Devon nggak akan kenapa-kenapa kan Pa?" tanyaku dengan lemah setelah Papa pergi menemui salah satu dokter kenalannya untuk menanyakan keadaan Devon.

Wajah Papa terlihat agak pucat dan lelah. Ia menghembuskan nafas panjang yang tentunya tidak menenangkan siapa pun yang mendengarnya. Aku bergerak gelisah di bangku rumah sakit.

"Entahlah, sweetie. Dokter Julian hanya bisa mengatakan bahwa penyakit Devon ini sudah lama. Dia meminta bantu Papa untuk membantu mencari orang tuanya Devon," jawab Papa.

"Papa mau pulang dulu dan segera mencari informasi yah. Kalau kamu masih mau nunggu Devon di sini nggak apa-apa. Papa kasih tahu Pak Rahmat buat nunggu kamu di tempat parkir," kata Papa. Rona mulai kembali ke wajahnya yang terlihat shock. Aku hanya manggut-manggut dan melambai asal saat ia mengecup dahiku dan berlalu. 

Jadi di sinilah aku, di bangku rumah sakit, sendirian dan berusaha menata perasaanku sendiri. Aku sangat tidak mengerti apa yang kurasakan? Aku terkadang gugup ketika Devon duduk terlalu dekat denganku. Aku sangat senang ketika melihatnya dan jantungku sering berdebar tak karuan. Aku kira selama ini aku menyukai Ryo. Tapi aku tidak pernah merasakan perasaan ini saat bersama Ryo. Pasrah, aku pun mencari-cari nomor di hapeku dan setelah menemukannya aku segera memencet tombol 'call'.

"Hello?" sahut seorang gadis di seberang sambungan telepon.

"Halo, Marissa?"

"Ya, ini Marissa. Ini siapa yah?" Tanya cewek yang ada di seberang panggilan telepon ini dalam Bahasa Indonesia.

"Ini gue, Yuki." Aku tahu Marissa pasti terkejut mendapati cewek yang dulu begitu kejam padanya sekarang malah meneleponnya. Tapi hanya Marissa-lah yang terlintas di otakku. Biarpun aku jahat padanya dan aku tidak menyukainya, dia pernah menjadi sahabat perempuanku satu-satunya. Dulu sekali.

"Yuki, apa kabar?" katanya setelah hening selama beberapa detik.

"Baik. Lo apa kabar?"

"Gue baik-baik aja. Ada apa, Yuki? Suara lo kok gitu?" tanyanya. Pengertian Marissa memang alasan mengapa dia menjadi teman cewekku satu-satunya. Dia begitu baik dan manis. Aku jadi merasa sangat bersalah karena telah begitu kejam pada sahabatku ini hanya karena Ryo, cowok yang sekarang benar-benar tidak ingin kutemui.

"Gue.. Gue mau nanya." Jawabku dengan suara serak.

"Tanya apa aja."

Aku tidak langsung menjawab karena aku tidak tahu harus mulai dari mana dan aku sibuk memilih kata-kata. Marissa pun menunggu.

"Gimana sih rasanya jatuh cinta?" tanyaku ragu-ragu.

Hening lagi. Marissa pasti shock dan mengira aku sedang menyiramkan air garam di luka hatinya yang dulu dengan tanganku sendiri kutorehkan.

"Ini bukan tentang Ryo!" cepat-cepat aku tambahkan. 

Marissa pun tertawa dengan gugup.

"Jatuh cinta itu menurut gue sih ketika lo merasa seneng banget bertemu seseorang, gugup dan malu di saat yang bersamaan. Ketika jantung lo berdegup kenceng banget ketika lo deket dia ato mikirin dia," jawabnya lembut.

Hatiku mencelos. Ternyat benar, Devon mungkin telah menelusup hatiku yang dulunya hanya ada Ryo. Tempat Ryo tergeser.

"Halo?? Yuki?" Marissa terdengar cemas.

"Ah, Marissa. Ya, gue masih dengerin kok. Ehm, thanks banget yah,"

"Iyah, sama-sama,"

"Marissa.."

"Ya?"

"Gue minta maaf yah. Gue tahu kelakuan gue konyol dan bodo banget waktu kita masih SMP dulu." Aku memejamkan mata ketika mengucapkan kata maaf itu. Kata maaf memang sangat sulit keluar dari bibirku ini. Maklum, aku ini anak tunggal jadi tidak pernah berkelahi dengan adik atau kakak. Alhasil, maaf memang sangat jarang keluar dari mulutku.

"Gue dah maafin lo dari dulu-dulu kok. Gue tahu lo sama Ryo tuh dah kayak kembar fraternal dan lo pasti ga suka ketika dia deket sama cewe lain," katanya ringan.

Aku pun akhirnya pulang ke rumah setelah Devon siuman. Dia memaksaku pulang karena memang jam sudah menunjukkan pukul sebelas malam. Aku mengendap-endap masuk karena lampu sudah dipadamkan dan sepertinya Bik Inah memang sudah tidur. Sayup-sayup kudengar Papa sedang berbicara dengan seseorang di ruang kerjanya. Kakiku seoalah dengan sendirinya melangkah ke depan ruang kerja Papa. Sepertinya dia bukan sedang berbicara dengan seseorang secara langsung melainkan sedang berbicara di telepon.

"Serena, why did you not tell me that you had a son?" Papa bertanya dengan emosi yang tidak bisa kubaca hanya dari suaranya. Lagipula, siapa itu Serena. Aku tidak bisa mendengar apa yang dikatakan wanita bernama Serena itu karena obviously the phone is not on speaker mode.

"You owe me an explanation," suara Papa terdengar lagi. Aku benar-benar memasang kuping dan berusaha mendengar pembicaraan itu karena aku belum pernah mendengar Papa berbicara dengan nada seperti ini dengan rekan bisnis manapun.

"Eh, Non Yuki sudah pulang," tiba-tiba Bik Inah berkata dan kemudian menyalakan lampu. Entah tombol mana yang ia tekan tapi satu rumah serasa tiba-tiba menjadi terang benderang. Aku benar-benar nyaris mengumpat karena mataku yang terasa seperti diserang sama senter.

"Yuki, kamu baru pulang," Papa membuka pintu dan memergokiku sedang berdiri salah tingkah di depan pintu. Tangannya masih menggengap telepon dan ia menutup bagian speaker dengan telapak tangannya.

"Eh, iyah Pa. Anu.. Devon udah siuman jadi aku pulang," kataku asal. Otakku berputar jauh lebih cepat dari ketika aku sedang mengerjakan ulangan matematika. Bagaimana caranya supaya Papa tidak curiga aku menguping pembicaraan pentingnya.

"Papa lagi telepon sama rekan bisnis Papa?" tanyaku akhirnya.

"Oh.. Iyah. Ada sedikit masalah di kantor," jawab Papa dengan kegugupan dengan susah payah berusaha ditutupinya. Tapi tetap saja aku menyadari keganjilan itu.

"Kalo gitu aku naik dulu deh yah, Pa. Aku capek banget hari ini," Aku benar-benar memohon dalam hati supaya Papa tidak curiga aku menguping.

"Iyah. Tidurlah, sweetie. Besok Papa mau berangkat business trip pagi-pagi. Nanti kalo sudah sampai di Eropa, Papa pasti telepon kamu," katanya sambil merengkuh kepalaku dan mengecup keningku.

"Oh. Okay deh, Pa. Hati-hati yah,"

Malam itu aku tidak bisa tidur. Aku berjalan pelan-pelan menuju jendela dan duduk termenung di sana. Langit malam hari ini indah sekali. Bintang-bintang bertaburan seolah berusaha menghiburku. Iya, hatiku memang perih. Aku rasa aku jatuh cinta pada Devon. Tapi aku juga sangat menyayangi Ryo. Mungkinkah kita mencintai dua orang di saat yang bersamaan? Aku pasti sudah gila. Cewek macam apa aku ini? Di sisi lain, aku juga sangat takut. Apakah Devon akan baik-baik saja? Penyakit apakah yang diderita Devon? Mengapa dia tidak pernah mengatakan apa pun padaku? Bukankah seharusnya tidak ada rahasia di antara sahabat? Kupejamkan mataku dan kusenderkan kepalaku di bingkai jendela.

"Non Yuki! Bangun, Non. Sudah siang," suara Bik Inah terdengar di balik daun pintu kamarku.

Ternyata matahari sudah bersinar terang dan aku telah tertidur di samping jendela kamar tidurku sejak kemarin malam. Kulirik jam dindingku dengan lemah. Tentu saja aku sudah terlambat 2 jam ke sekolah. Lebih baik aku tidur lagi saja, pikirku. Tapi ketika aku sedang beringsut menuju ranjang, aku baru tersadar bahwa Devon sedang ada di rumah sakit dan dia sendirian. 

"Iyah, Bik. Yuki dah bangun. Tolong siapakn sarapan yah, Bik. Roti aja yang cepet!" Seruku.

Dengan panik aku mandi dan menyabet baju apa pun yang ada di lemariku. Bik Inah dan Pak Rahmat tidak banyak bertanya ketika aku lari kesana-kemari dengan panik seperti orang kesurupan. Pak Rahmat pun tidak bertanya ketika aku memintanya mengantarku ke rumah sakit.

Aku membawa berbagai macam buah dan roti yang disukai Devon sambil berjalan menyusuri lorong rumah sakit menuju ruang tempat Devon dirawat. Kubuka pintu besi yang terasa sangat berat kemarin malam ketika aku harus meninggalkan Devon.

"Selamat pagi," sapaku dengan suara seceria mungkin.

Devon sudah bangun dan dia sedang menatap ke luar jendela ketika aku datang. Dia tersenyum lemah ke arahku.

"Jangan teriak-teriak dong, Bu. Kasihan pasien yang lain bisa komplikasi sama serangan jantung," katanya.

"Hush! Sembarangan!" sentakku.

Devon tertawa dan aku pun tersenyum. Lega rasanya mendengar suaranya lagi. Tidakkah dia tahu betapa takutnya aku kemarin. Aku hanya menatapnya lekat-lekat selama beberapa detik. Dia terlihat bersinar ditimpa sinar matahari.

"Jangan dilihatin terus dong guenya. Ganteng yah?" candanya lagi.

"Ge-er banget sih lo. Orang gue lagi liatin ranjang lo. Kayaknya terlalu tegak nggak sih," Aku berusaha berkelit dan menghapus air mataku yang tadinya sudah mulai membendung. Alasanku memang payah sekali.

"Itu roti kan? Bawa ke sini dong. Gue laper banget nih. Makanan rumah sakit hambar."

Maka aku pun mendekatinya dan meletakkan keranjang roti di meja di samping Devon.

"Dimakan yah buahnya. Jangan rotinya doang," kataku cepat-cepat.

Bisa gawat kalo Devon cuma makan roti tawar seperti biasa. Kalau kurang gizi kapan dia bisa sembuhnya. Devon sudah sedang mengunyah roti tawarnya ketika aku tertangkap basah sedang menatapnya lagi.

"Gue tahu kok lo pasti mau nanya apa," katanya sambil menatap mataku dalam-dalam. Rasanya semua darah di tubuhku mengalir ke kepala dan wajahku rasanaya panas sekali.

"Lo pasti mau nanya tentang penyakit gue kan?" lanjutnya. Aku pun mengangguk.

Dia menghela napas panjang dan matanya menerawang ke jendela. Kemudian dia menatapku lagi, tepat di kedua manik mataku.

"Penyakit gue tuh tumor. Ada tumor kecil di otak gue dan walaupun dulu-dulu tumor itu tidak ganas. Sekarang benda mengerikan itu mulai membesar," katanya.

Aku menjatuhkan apel yang tadinya hendak kukupas. 

"Ap.. Apa? Tumor kata lo?" suaraku bergetar lagi. Tenggorokanku rasanya tercekat dan aku bahkan tidak peduli kalau tampangku terlihat konyol.

"Hm.." Devon hanya bergumam dan kembali melanjutkan memakan rotinya.

"Nggak..Nggak mungkin!!" seruku histeris sambil menggeleng-gelengkan kepala. Air mataku sudah tumpah tak terbendung. Sejak kapan sih aku jadi cengeng begini?

"Yuki," Devon berkata dengan lembut. Tatapan mata yang lelah dan sedih itu terlihat kembali di sana. Kukira aku sudah berhasil menghilangkan tatapan itu. Tapi ternyata tidak, aku hanya menghilangkannya sementara. Atau mungkin, mereka tidak pernah hilang. Hanya saja Devon jadi lebih pandai menyembunyikannya di hadapanku.

"Ini nggak adil," kataku terbata-bata.

"Ini nggak adil!!" 

"Yuki, nggak ada yang adil. Tapi kita bisa apa?" Devon berusaha menyentuh tanganku. Kemudian dengan lembut ia menarikku mendekat dan membantuku duduk di tepi ranjangnya. Dengan sabar dia menungguku menangis sampai aku tenang sendiri karena lelah. Hanya tersisa sesenggukan yang tak bisa kukontrol.

Setelah benar-benar tenang, aku menghembuskan napas kuat-kuat. Kuambil roti dari tangan Devon dan kuletakkan kembali di keranjang. Aku tidak tahu dari mana aku mendapatkan keberanian itu. Tapi aku menyentuh kedua pipi Devon dengan kedua tanganku. Aku menatap wajahnya lama sekali sampai aku mengingat letak freckles di wajahnya dan warna matanya yang hazelitu. Air mataku turun lagi dan aku membenamkan wajahku di bahu Devon. Kurasa Devon juga menangis. Aku bisa merasakan tubuhnya berguncang. 

 

How do you feel about this chapter?

0 0 0 0 0 0
Submit A Comment
Comments (3)
  • Kang_Isa

    Keren. Lanjut, ya. Sukses selalu. :)

    Comment on chapter Prolog
  • TamagoTan

    @ikasitirahayu1 Salam kenal juga! :) Thank you dah mampir yah.

    Comment on chapter Prolog
  • ikasitirahayu1

    Salam kenal, kak

    Comment on chapter Sang Salju dan Sang Awan
Similar Tags
Altitude : 2.958 AMSL
658      443     0     
Short Story
Seseorang pernah berkata padanya bahwa ketinggian adalah tempat terbaik untuk jatuh cinta. Namun, berhati-hatilah. Ketinggian juga suka bercanda.
Just a Cosmological Things
748      412     2     
Romance
Tentang mereka yang bersahabat, tentang dia yang jatuh hati pada sahabatnya sendiri, dan tentang dia yang patah hati karena sahabatnya. "Karena jatuh cinta tidak hanya butuh aku dan kamu. Semesta harus ikut mendukung"- Caramello tyra. "But, it just a cosmological things" - Reno Dhimas White.
Kepada Gistra
434      322     0     
Short Story
Ratusan hari aku hanya terfokus mengejar matahari. Namun yang menunggu ku bukan matahari. Yang menyambutku adalah Bintang. Kufikir semesta mendukungku. Tapi ternyata, semesta menghakimi ku.
Rumah yang Tak Pernah Disinggahi Kembali
397      280     0     
Short Story
Tawil namanya. Dia berjalan hingga ke suatu perkampungan. Namun dia tidak tahu untuk apa dia berada di sana.
NWA
1862      760     1     
Humor
Kisah empat cewek penggemar boybend korea NCT yang menghabiskan tiap harinya untuk menggilai boybend ini
SERENA (Terbit)
15932      2797     14     
Inspirational
Lahir dalam sebuah keluarga kaya raya tidak menjamin kebahagiaan. Hidup dalam lika-liku perebutan kekuasaan tidak selalu menyenangkan. Tuntutan untuk menjadi sosok sempurna luar dalam adalah suatu keharusan. Namun, ketika kau tak diinginkan. Segala kemewahan akan menghilang. Yang menunggu hanyalah penderitaan yang datang menghadang. Akankah serena bisa memutar roda kehidupan untuk beranjak keatas...
A Place To Remember
988      601     5     
Short Story
Cerpen ini bercerita tentang kisah yang harus berakhir sebelum waktunya, tentang kehilangan, tentang perbedaan dunia, juga tentang perasaan yang sia-sia. Semoga kamu menyukai sepotong kisah ini.
SEBUAH KEBAHAGIAAN
498      385     3     
Short Story
Segala hal berkahir dengan bahagia, kalau tidak bahagia maka itu bukanlah akhir dari segalanya. Tetaplah bersabar dan berjuang. Dan inilah hari esok yang ditunggu itu. Sebuah kebahagiaan.
Ikhlas, Hadiah Terindah
577      357     0     
Short Story
Menceritakan ketabahan seorang anak terhadap kehidupannya
Transformers
234      196     0     
Romance
Berubah untuk menjadi yang terbaik di mata orang tercinta, atau menjadi yang selamat dari berbagai masalah?