Read More >>"> Salju yang Memeluk Awan [PUBLISHING IN PROCESS] (Jealousy is Ugly) - TinLit
Loading...
Logo TinLit
Read Story - Salju yang Memeluk Awan [PUBLISHING IN PROCESS]
MENU
About Us  

Ryo's Point of View

Apa-apaan si Devon ini? Sekarang berani-beraninya dia deket-deket sama Yuki? Ngga cuma dia ngambil tempat aku sebagai pewaris tunggal perusahaan Papa tapi dia juga harus ngambil sahabat aku? Kurang ajar! Besok harus aku kasih pelajaran pas karyawisata. 

Sialnya, ketika aku masuk bus Yuki sudah duduk bersama Devon dan sedang makan sandwhich bersama. 

"Enak nggak sandwhich nya? Gue tadi ikut bikin loh bareng Bik Inah," kata Yuki.

What? Yuki bikin sandwhich? Bisa mampus si Devon. Antara dia bakal keracunan atau kena diare. Salah satulah. 

"Lo yakin lo nggak masukin racun kan?" manusia bernama Devon yang emang lagi aku pelototin itu tiba-tiba buka mulut dengan kata-kata yang persis dengan apa yang kupikirkan seolah dia memang bisa membaca isi otakku.

"Heh?! Mau makan ato nggak?! Kalo nggak mau sinihin! Gue abisin!" Seru Yuki.

"Nggak tahu terima kasih banget siiih," gerutunya lagi.

"Yah, katanya tadi mau bagi. Kok nggak ikhlas amat sih lo jadi orang." Devon merebut sandwhich yang udah ada di tangan Yuki dan langsung menggigit sandwhich itu sebelum disabet lagi sama Yuki.

Sialan! Sekarang malah aku harus duduk di belakang mereka dan dengerin debat suami-istri Yuki dan Devon. Kenapa sih Devon harus pulang ke Indonesia dan merusakkan segalanya? Nggak, lebih tepatnya lagi tuh kenapa Devon bahkan harus dilahirkan. Aku berharap dia lenyap.

Yuki's Point of View

"Pantaiiiiii!!!!" jerit Clanica centil begitu bus kami sampai di Pangandaran.

Makhluk genit satu ini bahkan langsung melepas bajunya dan lari-lari ke pantai hanya dengan menggunakan bikini. BIKINI! Pakai bikini di Pangandaran tuh agak.. agak-agak salah tempat gimanaaa gitu. Kalo ini Bali atau Malibu sih silakan. Ini Pangandaran loh! Belum lagi itu bikini warna hitam tutul-tutul macan dan dipenuhi tali-tali. Aku tidak akan heran kalau ada pengendara sepeda yang nyungsep ke pondok-pondok tempat tato begitu melihat Clanica.

"Anak-anak, nanti berkumpul di restoran sea food yang sudah dicantumkan di itinerary kalian jam 6 yah. Jangan lupa!" teriak Pak Satya dari pinggir pantai. Entah deh berapa banyak orang yang mendengar. Bisa jadi hanya aku dan Devon karena sisanya sudah sibuk menyeburkan diri dan juga menyeburkan sesamanya di laut. 

"Yuk renang!" Aku menarik tangan Devon sambil menyeretnya ke bibir pantai.

"Eh. Gue nggak bisa renang," serunya.

"Oh iyah! Sorry-sorry, lupa. Kalo gitu..Gue pompain ban bebek aja gimana? Jadi kan lo bisa gue tarik sambil berenang," ledekku lagi.

"Sialan lo!" Devon mencipratkan air ke aku yang masih pakai baju lengkap.

"Devon!!" Tentu saja aku refleks mencipratkan balik ke arahnya.

Aku tidak akan heran kalau orang-orang mengira kita ini pasangan yang lagi honey moon. Atau bisa jadi penduduk sekitar mengira aku dan Devon lagi syuting film Bollywood. Buktinya ada yang tiba-tiba ngeblast lagu Kuch Kuch Hota Hai. Kalau dipikir-pikir memang cocok sih. Kejar-kejaran, nyanyi-nyanyi, dan basah-basahan. Astaga. Apa yang telah kulakukan?

Ryo's Point of View

"Devon," seruku ketika Devon dan Yuki sudah duduk kelelahan setelah syuting film roman picisan yang mengerikan itu.

"Eh, Ryo. Ada apa?" tanyanya santai.

"Sewa jet ski yuk! Kita tanding ke bendera yang merah itu!" 

"Ikut dong ikut!" Lagi-lagi Yuki ikut-ikutan. Aku kan rencananya mau ngomong berdua sama Devon. Well, lebih tepatnya 'meluruskan' beberapa hal dengan Devon. 

"Boleh," jawabnya pendek.

Jadilah kita bertiga menyewa jet ski dan sekarang sudah duduk di atasnya, siap memulai pertandingan terpanas tahun ini.

"Ready?? Set.. GO!" seru Clanica sambil mengibaskan bendera sebagai tanda start pertandingan antara Devon, Yuki dan aku. Saat itu juga aku tancap gas dan melesat maju. Devon yang tentu saja egonya telah tertantang mencoba mengikutiku. Tak ayal aku pun merasa puas karena sekarang aku bias membuat perhitungan dengannya. Kalau di laut sih aku udah nggak takut kalah. Tanding jets ski ginian sih dari aku umur 13 tahun pun belum pernah sekalipun kalah. Aku menyeringai tanpa kusadari. Kami saling menyalip dan memotong jalan masing-masing. Devon memotong jalanku dan menyipratkan air tepat di wajahku.

"Sialan!!" seruku sambil menyerempet jet ski miliknya. Seketika itu juga jet ski kami berdua kehilangan keseimbangan dan terbalik. Sekilas aku bisa mendengar Yuki memekik. Tapi teriakan itu bukan diperuntukkan untukku. Nama Devonlah yang ia teriakkan. Aku marah. Aku sangat marah dan ingin rasanya kutenggelamkan Devon saja.

Kepalaku menyembul ke permukaan dan aku bisa mendengar Yuki mendekatiku dengan jet ski nya sambil terus-terusan bertanya di mana Devon. Aku menyelam dan akhirnya aku sadar bahwa Devon tidak bisa berenang. Mungkin itulah mengapa Yuki begitu panik saat lelaki pujaan hatinya itu jatuh ke air, kataku dalam hati. Walaupun hanya dalam hati, aku tahu bahwa nadaku itu sinis. Cowok cemen itu benar-benar hampir tenggelam. Dia megap-megap, menggapai-gapai dan menendang-nendang di bawah air. Semua usahanya sia-sia karena aku bisa melihat dengan jelas tenaganya mulai menghilang. Gelembung udara yang tadinya keluar dari mulut dan hidungnya mulai berangsur-angsur menghilang. Aku hanya melihatnya dalam diam. Mataku mulai sakit karena aku sudah beberapa detik membuka mataku di dalam air garam. Aku tidak mengerti mengapa aku merasa aneh, seolah ada sesuatu dalam diriku yang meneriakan bahwa aku harus menolong Devon. Rasa frustasi kembali full force dan aku berdebat dengan diriku sendiri. Haruskah kutolong Devon atau kubiarkan saja dia tenggelam? Itu kan yang selama ini aku inginkan? Menghilangkan Devon. Sekarang Devon akan hancur tepat di depan mataku tetapi entah mengapa aku tidak senang sama sekali. Alih-alih senang, rasa bersalah menyusup perasaanku. Kugelengkan kepalaku keras-keras untuk menghilangkan perasaan konyol itu. Kenapa juga aku harus merasa bersalah pada orang yang jelas-jelas kembali ke Indonesia untuk menghancurkan hidupku dan hidup keluargaku?

Kepalaku menyembul ke permukaan dan kulihat Yuki masih mencari-cari Devon dari atas Jet ski. Tidak ada di antara kami yang berbicara dan tidak ada suara apa pun selain deru ombak. Bahkan tidak ada suara mesin jet ski karena Yuki sudah mematikan mesin jet ski nya dan membiarkan mesin itu diombang-ambingkan kekuatan sang laut yang kebetulan memang tidak ganas hari ini. Yuki yang mulai frustasi menatap tepat di kedua manik hitam mataku. Seolah ia bisa membaca apa yang telat kulihat dengan kedua mataku ini. Ia pun menceburkan diri ke dalam air dan dengan segera menyelema. Sepertinya ia telah menemukan keberadaan Devon. Aku menyelam kembali dan benar saja, Yuki sudah melingkarkan leher Devon dengan tangan kanannya. Tangan kirinya yang bebas dan kedua kakinya menendang-nendang, berusaha mengangkat kedua tubuh itu kembali ke permukaan. Aku tahu Yuki kewalahan. Jika aku berada di udara pasti aku sudah mendengus sekeras-kerasnya. Tanpa kusadari, tubuhku berenang dengan sendirinya ke arah Yuki dan Devon. Kutarik tangan Devon dan ketiga kepala kami pun menyembul. Oksigen terasa begitu melegakan. Yuki menarik napas dengan sangat kuat. Tapi makhluk cemen yang satunya itu sudah pingsan dan tidak sadar sama sekali bahwa kami sudah kembali ke permukaan. Aku pun menarik Devon ke atas satu-satunya jet ski yang masih mengambang, jet ski milik Yuki. Kemudian kutarik juga Yuki ke atas jet ski. Aku mengambil kendali dan menyalakan mesin jet ski itu lalu memutar arah untuk kembali ke darat. Di pantai teman-teman sekelas kami sudah berkumpul dan menatap kami seolah Devon dan Yuki adalah Rose dan Jack yang baru saja ditemukan dari puing-puing kapal Titanic. Sepanjang perjalanan yang harusnya hanya satu atau dua menit itu, Yuki tidak mengatakan apa pun padaku. Perasaan aneh itu menyusup hatiku lagi. Aku seolah merasa aku takut telah mencelakai Devon. Lagi-lagi kugelengkan kepalaku keras-keras untuk menghilangkan pikiran nggak bermutu itu. Sesampainya di darat, Pak Satya yang rese berteriak-teriak menyuruh murid-murid yang lain menyingkir supaya ia bisa mengecek keadaan Devon. Clanica dengan bikini noraknya itu teriak-teriak histeris begitu melihat Devon yang matanya terpejam dan Yuki yang wajahnya datar tanpa ekspresi. 

"Devoooon.Paaak Satya, Devon tolongin, Pak! PAAAAK!" serunya heboh sambil memukul-mukul pak guru malang itu dengan genit.

Dalam keadaan genting seperti ini aku sampai masih bisa bengong menyaksikan keanehan manusia centil satu ini. Kalau saja dia bukan cewek dan bukan teman sekelasku, sudah kulempar dia ke laut! Bisa-bisa Devon tambah takut sadar kalau begitu buka mata yang dilihat ternyata Clanica.

Kukira Yuki akan histeris, tapi setelah ia berbicara dengan Pak Satya ia kemudian mengalihkan pandangannya padanganku. Pandangan yang menusuk seperti laser. Ia yang tadinya berjongkok di sebelah Devon, tiba-tiba saja berdiri dengan sekali sentakan. Kulihatnya berjalan cepat ke tempatku berdiri. Lalu kudengar suara keras itu dan rasa panas yang terasa menjalar di pipiku. Aku tidak bisa mendengar apa yang dikatakan Yuki padaku. Tapi kurasa dia baru saja menamparku.

 

How do you feel about this chapter?

0 0 0 0 0 0
Submit A Comment
Comments (3)
  • Kang_Isa

    Keren. Lanjut, ya. Sukses selalu. :)

    Comment on chapter Prolog
  • TamagoTan

    @ikasitirahayu1 Salam kenal juga! :) Thank you dah mampir yah.

    Comment on chapter Prolog
  • ikasitirahayu1

    Salam kenal, kak

    Comment on chapter Sang Salju dan Sang Awan
Similar Tags
Altitude : 2.958 AMSL
658      443     0     
Short Story
Seseorang pernah berkata padanya bahwa ketinggian adalah tempat terbaik untuk jatuh cinta. Namun, berhati-hatilah. Ketinggian juga suka bercanda.
Just a Cosmological Things
748      412     2     
Romance
Tentang mereka yang bersahabat, tentang dia yang jatuh hati pada sahabatnya sendiri, dan tentang dia yang patah hati karena sahabatnya. "Karena jatuh cinta tidak hanya butuh aku dan kamu. Semesta harus ikut mendukung"- Caramello tyra. "But, it just a cosmological things" - Reno Dhimas White.
Kepada Gistra
434      322     0     
Short Story
Ratusan hari aku hanya terfokus mengejar matahari. Namun yang menunggu ku bukan matahari. Yang menyambutku adalah Bintang. Kufikir semesta mendukungku. Tapi ternyata, semesta menghakimi ku.
Rumah yang Tak Pernah Disinggahi Kembali
397      280     0     
Short Story
Tawil namanya. Dia berjalan hingga ke suatu perkampungan. Namun dia tidak tahu untuk apa dia berada di sana.
NWA
1862      760     1     
Humor
Kisah empat cewek penggemar boybend korea NCT yang menghabiskan tiap harinya untuk menggilai boybend ini
SERENA (Terbit)
15932      2797     14     
Inspirational
Lahir dalam sebuah keluarga kaya raya tidak menjamin kebahagiaan. Hidup dalam lika-liku perebutan kekuasaan tidak selalu menyenangkan. Tuntutan untuk menjadi sosok sempurna luar dalam adalah suatu keharusan. Namun, ketika kau tak diinginkan. Segala kemewahan akan menghilang. Yang menunggu hanyalah penderitaan yang datang menghadang. Akankah serena bisa memutar roda kehidupan untuk beranjak keatas...
A Place To Remember
987      600     5     
Short Story
Cerpen ini bercerita tentang kisah yang harus berakhir sebelum waktunya, tentang kehilangan, tentang perbedaan dunia, juga tentang perasaan yang sia-sia. Semoga kamu menyukai sepotong kisah ini.
SEBUAH KEBAHAGIAAN
498      385     3     
Short Story
Segala hal berkahir dengan bahagia, kalau tidak bahagia maka itu bukanlah akhir dari segalanya. Tetaplah bersabar dan berjuang. Dan inilah hari esok yang ditunggu itu. Sebuah kebahagiaan.
Ikhlas, Hadiah Terindah
577      357     0     
Short Story
Menceritakan ketabahan seorang anak terhadap kehidupannya
Transformers
234      196     0     
Romance
Berubah untuk menjadi yang terbaik di mata orang tercinta, atau menjadi yang selamat dari berbagai masalah?