Ryo's Point of View
Hari ini aku sudah bertekad akan mulai mencari tahu. Siapa itu Devon? Apa sebenarnya namanya? Senjaya kah? Trumanjaya kah? Haruskah aku bertanya padanya langsung? Tidak-tidak. Kurasa dia tidak tahu bahwa aku adalah saudara tirinya. Aku tentunya tidak ingin menggali liang kuburku sendiri. Bertanya sama Mama? Bisa-bisa aku diterkam hidup-hidup. Papa sama sekali tidak mau buka mulut. Aku pun malas bertemu dengannya. Kalau begitu sepertinya tidak ada pilihan lain, aku akan mulai dengan menanyai nenek.
Pulang sekolah aku mengendap-endap seperti maling di rumah sendiri. Aku bergegas menuju pavilion di belakang rumah tempat nenek tinggal. Nenek memang memiliki rumah kecil di dalam rumah kami yang besar. Dia bilang dia tidak ingin mengganggu ketentraman keluarga kecil kami. Nenek memang nenek paling pengertian di dunia.
"Nenek," kataku setengah berbisik ketika sampai di pavilion.
"Oh cucu favoritku!" kata Nenek. Ia segera mem-pause film serinya. Setengah sadar kulirik TV di kamar nenek. Astaga, itu kan.. itu kan Descendants of the Sun! Film korea yang lagi beken itu! Yuki sampai jerit-jerit tiap kali Song Joong Ki di-close up di layar. Tidak kusangka.. Ternyata nenekku berjiwa muda.
"Aku kan cucu nenek satu-satunya," kataku.
"Ada apa, Ryo?" tanyanya santai.
"Nek, aku mau tanya sesuatu. Tapi nenek jangan bilang siapa-siapa yah,"
Setelah aku melihat nenek mengangguk, aku pun melanjutkan pertanyaanku.
"Papa bilang aku punya saudara tiri. Devon namanya. Nenek tahu masalah ini?"
Nenek terlihat terkejut untuk sepersekian detik tapi dengan sangat rapih, keterkejutannya ia tutupi.
"Sini, duduk bareng Nenek," katanya sembari ia beringsut ke meja makan lalu menuangkan teh untuk kami berdua. Maka aku pun menurut dan duduk di seberang Nenek.
"Nenek tahu bahwa ketika Papamu pergi ke Jerman untuk mengambil S2 dia tidak sengaja berhubungan dengan seorang wanita di sana. Tapi saat itu Mamamu sudah hamil jadi Papamu berpikir lebih baik merahasiakan hubungan gelap itu. Tapi ternyata dua bulan kemudian wanita asing itu juga hamil. Papamu pun membelikan apartemen untuknya di Jakarta. Ia berharap untuk bisa membesarkan kedua anak dari dua wanita berbeda ini di Indonesia. Tapi setahu nenek, papamu tidak pernah bertemu dengan anaknya itu," jelas Nenek.
"Nenek, kenapa nenek tidak pernah bilang Mama?" Aku tahu kekecewaanku terpanjar jelas di intonasi bicaraku.
"Oh, Mamamu tahu, Ryo. Dia melakukan segala cara untuk membuat wanita itu, Serena Williamson, kembali ke Jerman,"
Sekarang aku mengerti mengapa Papa bilang Mama tidak akan sanggup melihat wajah Devon karena wajah Devon akan mengingatkan Mama pada selingkuhan Papa. Mama ternyata bukannya kaget dengan berita selingkuh Papa. Ia hanya murka mendengar mimpi buruk itu datang kembali setelah susah payah ia usir dari kehidupan kami.
Aku hanya menunduk dan bergumam-guman tidak jelas. Nenek menepuk pundakku dan berkata," Keluarga kita memang rumit, Ryo. Kamu hanya harus belajar menerimanya seperti Mamamu belajar menerimanya belasan tahun yang lalu. Nenek sangat marah pada Papamu. Tapi biar bagaimana pun dia tetap anak Nenek dan tetap adalalah Papamu juga."
Nenek benar, biar bagaiamana pun dia tetap Papaku dan aku tidak bisa memungkiri itu. Tapi aku masih tetap tidak terima posisiku sebagai anak tunggal keluarga Trumanjaya harus kubagi dengan Devon.
Devon's Point of View
Aku tahu bahwa nama asliku bukanlah Devon Michael Senjaya. Selama ini aku dikenal sebagai Devon Michael Williamson di Jerman. Mama tiba-tiba menyuruhku mendaftar sekolah sebagai Devon Michael Senjaya di Indonesia. Katanya dengan begitu, orang-orang tidak akan bertanya-tanya tentang asal-usulku. Aku tidak keberatan karena sejujurnya aku tidak peduli dengan siapa pun. Aku hanya ingin bertemu ayahku dan melihatnya dengan mata kepalaku sendiri. Aku ingin tahu kenapa ia membiarkan ibu tak becus itu membawaku. Kenapa ayah yang katanya menyayangiku dan selalu baik di setiap email dan suratnya itu menolak menemuiku? Jika aku sudah mendapat jawaban itu, aku akan bisa meninggalkan dunia ini dengan tenang. Tapi semua pikiran itu mulai goyah ketika aku bertemu Yuki. Dia begitu cerah ceria. Aku ingin sekali masuk ke dunianya. Dunia di mana sepertinya tidak ada kekhawatiran, kepedihan dan ketakutan. Aku ingin mengenal Yuki lebih jauh. Tapi tentunya takdirku tidak mengijinkanku untuk jatuh cinta. Toh aku tidak akan bisa memilikinya. Kalau aku mengejarnya, aku hanya akan melukai diriku sendiri and dirinya.
Keren. Lanjut, ya. Sukses selalu. :)
Comment on chapter Prolog