Ryo's Point of View
"Pa, aku mau Papa jujur sama aku. Apa sih yang terjadi antara Papa dan Mama?" Aku bertanya segera setelah kami selesai memesan makanan.
"Ryo, Papa pasti cerita kalau waktunya sudah tepat," kata ayah dengan wajah khawatir, lelah dan segerombolan perasaan buruk lainnya.
"Oke kalau Papa nggak mau jawab pertanyaan aku yang itu aku nggak akan maksa. Aku tahu itu masalah di antara Papa sama Mama. Aku nggak akan ikut campur. Tapi aku mau Papa jawab pertanyaanku yang satu ini," bisa kulihat bahu ayahku menegang seolah dia sudah bisa menebak apa yang akan kutanyakan.
"Siapa itu Devon Trumanjaya?" rasanya tenggorokanku kering begitu kuucapkan nama Devon.
"Ryo..." ayahku hanya menghela napas. Lalu menyeruput teh hijau yang memang sudah disediakan ketika kami memesan makanan tadi.
"Devon itu.." dia berhenti berbicara seolah sedang berpikir berat.
"Pa, please," kataku lagi.
"Devon itu saudara tiri kamu," sekarang ayahku menatap mataku dalam-dalam seolah itu bisa mengurangi keterkejutanku.
Rasanya aku ingin mengguncang-guncang tubuhnya jika itu bukan ayahku. Apa maksudnya saudara tiri? Aku sedang serius. Apakah dia bercanda?
"Maksud Papa?" aku berharap, sangat berharap dia sedang bercanda. Walaupun aku tahu ayahku tidak bercanda. Setidaknya aku masih bisa berharap sebelum dia benar-benar mengklarifikasi ucapannya dengan pengakuan dari mulutnya sendiri.
"Papa minta maaf, Ryo. Tapi Devon memang saudara tiri kamu," katanya dengan kepala tertunduk.
"Terus kenapa dia tiba-tiba muncul setelah 17 tahun, Pa?"
"Mama Devon menikah lagi, Ryo. Bulan lalu Mamanya menelepon Papa dan memberitahu bahwa Devon akan dikirim ke Indonesia,"
"Terus?" Aku mulai marah setelah akhirnya aku sadar bahwa ibuku bukan satu-satunya wanita di kehidupan ayahku.
"Terus Papa minta ijin Mama supaya Devon boleh tinggal di apartemen kita yang di Ciumbuleuit," kata Papa.
"Papa tahu Mama tidak akan sanggup melihat anak itu tanpa mengingat wajah ibunya," lanjut Papa. Sekarang matanya menatapku tapi tatapannya menerawang. Seolah dia berbicara dengan dirinya sendiri.
"Pa, kenapa?" hanya itu yang bisa kukatakan. Sungguh, aku sangat kecewa.
"Waktu itu Papa masih muda, Ryo." Katanya.
"Itu bukan alasan!" aku hampir berteriak saking kesalnya. Aku yakin satu restorann ini menatapku dengan tatapan aneh tapi aku tidak peduli lagi.
"Ryo, kita bicarakan ini di rumah saja yah," kata ayahku berusaha menenenangkan aku.
"Supaya apa, Pa? Supaya Mama bisa dengar? Supaya Mama bisa ingat kalau Papa pernah selingkuh? Iyah??" aku berusaha meredam suaraku tapi aku yakin emosi di dalamnya masih meluap-luap dan ayahku bisa mendengar itu.
"Ryo!" kali ini dia membentakku tapi aku tidak bergeming. Aku tidak takut. Ayah seperti ini tidak cocok dipanggil Papa.
Aku membuang muka dan ketika itulah aku memergokki sosok Yuki dan ayahnya sedang menatapku dan ayahku dengan ekspresi terkejut.
Keren. Lanjut, ya. Sukses selalu. :)
Comment on chapter Prolog