Devon's Point of View
Tiba-tiba kepalaku sakit sekali ketika akhirnya aku bebas dari kejaran cewek-cewek itu. Kukira aku hanya kaget dengan perhatian yang berlebihan. Tapi bahkan ketika aku sudah duduk dan mengobrol santai dengan Yuki, sakit kepala itu masih saja terasa. Bahkan begitu menusuk sampai rasanya aku tidak bisa bernapas. Entah apa yang aku pikirkan ketika aku mengoceh tentang kehidupan keluargaku yang menyedihkan padanya. Akhirnya aku berhasil lolos dan berhasil sampai ke kelas. Lagi-lagi kuminum obat-obatan yang kubenci itu. Tapi setidaknya napasku segera kembali teratur dan sakit itu perlahan berkurang.
Aku baru akan tidur sebentar ketika bel istirahat sialan itu berbunyi dan murid-murid kelasku menghambur masuk dengan langkah kaki yang berisik seolah mereka lagi ngajak tawuran. Kepalaku seolah ditusuk-tusuk paku karenanya.
"Lo ngga apa-apa?" tanya Yuki yang sudah kembali ke tempat duduknya, di sebelahku.
"Iyah gue nggak apa-apa kok. Cuma kaget aja sama sekolah baru." Aku tahu alasan itu sangat konyol dan Yuki tidak mungkin percaya. Tapi toh aku tidak peduli. Aku hanya ingin cepat-cepat keluar dari kelas ini dan menenangkan diri.
"Pantes aja muka lo pucat banget. Tenang, cewek-cewek di sekolah ini memang kayak gitu, ganas abis. Waktu Ryo baru menang Indonesia Mencari Bakat, dia tiba-tiba dikejar cewek-cewek. Dia sampai harus sembunyi di toilet selama jam istirahat," Yuki tertawa renyah. Tanpa sadar aku pun tersenyum. Entah itu karena Yuki yang begitu ceria atau karena aku membayangkan cowok dingin yang disebut Ryo itu bersembunyi di toilet karena takut dikejar-kejar cewek remaja.
"Ya kan, Ryo?" tanyanya kepada cowok bernama Ryo itu.
"Iyah," jawabnya singkat.
Aku tidak habis pikir kenapa Yuki yang cerah itu bisa berteman dengan Ryo yang mukanya ditekuk kayak kertas yang habis diremas-remas.
Dari ujung mataku, kulihat Yuki sedikit terkejut dengan jawaban Ryo. Ada apa sebenarnya dengan Ryo ini?
Ryo's Point of View
Aku tidak bisa mendinginkan kepalaku meskipun aku berteriak sampai tenggorokanku sakit dari atas atap sekolah. Aku bahkan dengan bodohnya meninggalkan Yuki saat jam istirahat. Dia pasti khawatir.
Tapi untuk saat ini, aku punya kekhawatiran yang jauh lebih besar. Cowok itu, Devon, dia masuk sekolah ini. Apa sih yang ayahku pikiran? Sampai sekarang aku tidak bisa melupakan malam itu, malam dua minggu yang lalu ketika ayahku pulang dengan wajah tak karuan. Lalu aku bisa mendengar ibuku berteriak dari dalam kamar dan mulai marah-marah. Ketika ia akhirnya keluar dari kamar, matanya sembab dan bengkak. Melihat aku yang masih berdiri di ruang keluarga dengan bingung, ia hanya berkata bahwa ia akan tidur di kamar nenek malam itu.
Esoknya aku mengendap-endap ke kamar ayahku ketika ia sedang di kamar mandi. Di meja kerjanya kutemui foto seorang anak cowok seumuranku dengan tulisan nama Devon Trumanjaya di belakangnya. Muka Devon Trumanjaya itu sama persis dengan Devon Michael Senjaya yang tadi masuk ke kelasku. Siapa Devon sebenarnya?
Keren. Lanjut, ya. Sukses selalu. :)
Comment on chapter Prolog