Ada apa sih dengan Ryo? Kenapa dia bengong terus di kelas? Aku juga dicuekkin. Memang salahku apa? Anak aneh.
"Ryo, mampir Macchiato Café dulu yuk!" aku masih keukeuhberusaha mengajaknya berdua supaya aku bisa memaksanya bicara. Aku tahu dia ada masalah. Aku kan teman terdekatnya. Tidak ada kebohongan di antara kami berdua.
"Sorry, Yuki. Not today," katanya.
"Kalo gitu gue anterin ke rumah lo deh sekalian gue pulang. Pak Rahmat dah jemput," Aku menarik tangan Ryo tapi dia melepaskan cengkeramanku dengan lembut dan tersenyum lemah. Senyum yang menyiratkan sesuatu seperti senyum Devon. Hanya saja senyum Ryo berbeda dengan senyum Devon. Ryo terlihat lelah sedangkan Devon terlihat sedih.
"Lo mau ke mana memangnya? Pak Rahmat pasti bisa anterin,"
"Gue mau ke kantor bokap gue dulu bentar," Ryo menjawab. Aku tahu sekarang aku harus membiarkan Ryo sendiri untuk berpikir. Aku sudah terlalu lama mengenalnya dan aku tahu kapan aku harus mulai berhenti memaksanya karena jika tidak dia akan meledak. Aku pernah melihatnya sekali dan aku tidak ingin melihatnya lagi. Kalau dia sudah siap bercerita, dia pasti bercerita.
"Oke kalo gitu. See you besok yah," Aku berjalan ke mobil Pak Rahmat dan tidak menoleh lagi. Aku harus berpura-pura bahwa aku tidak sepenesaran itu dengan masalah Ryo.
"Ke rumah, Pak," kataku begitu sampai di mobil.
"Siap, non!" kata Pak Rahmat.
Pak Rahmat juga seperti Bik Inah. Dia sudah lama bekerja untuk keluarga Tanudiredjo. Dia mulai bekerja saat aku masuk TK.
"Pak Rahmat lagi senang yah," kataku sambil membuka bungkus cokelat yang kutemukan di jok mobil belakang.
"Eh iyah, Non. Itu istri Bapak lagi berkunjung dari kampung," kata Pak Rahmat.
"Asik dong, Pak Rahmat. Bapak mau ambil cuti nggak? Aku kan udah bisa nyetir sekarang. Jadi Bapak temani istri Bapak aja."
"Eh, jangan Non. Wong Bapak kenal Non sebelom Bapak kenal si Ratih kok. Masa Non jadi ban serep," canda Pak Rahmat.
"Ah Pak Rahmat bisa aja. Tapi kalau Pak Rahmat pengen libur sebentar bilang aku aja yah, Pak. Ntar aku yang sampein Papa," kataku lagi.
Ratih itu istri Pak Rahmat. Dia adalah anak tukang sayur langganan Bik Inah. Karena Pak Rahmat sering sedang mencuci mobil ketika tukang sayur langganan Bik Inah dan Ratih berkunjung, timbulah hubungan di antara mereka. Cinta lokasi gitu deh.
"By the way, Non. Bapak lagi di rumah, Non," kata Pak Rahmat.
"Waduh keren euyPak Rahmat. Sekarang bisa 'by the way' segala," candaku.
Sebenarnya aku memang sudah tahu kalau Papa pasti lagi di rumah karena dia meninggalkan sekotak Lindtt di jok belakang mobil. Itu sudah jadi tradisi 'Papa pulang'. Dia tahu aku senang sekali cokelat dan akan sengaja menaruh se-bar cokelat untuk menyambutku pulang sekolah.
Betul saja, sebuat mobil Audi yang identik dengan mobil yang sedang kutumpangi sudah terparkir di halaman rumah.
Keren. Lanjut, ya. Sukses selalu. :)
Comment on chapter Prolog