"Lalu setelah itu, kita dengar Clanica dan berikutnya...Kita Yuki yah," sambung Pak Satya.
Hampir saja aku mengumpat. Apa sih yang diinginkan Pak Satya? Ryo dan Clanica kan dua orang paling berbakat di kelasku. Terus setelahnya harus aku yang maju? Dia sengaja ingin aku terlihat menyedihkan atau bagaimana?
Jadi begitulah ceritanya mengapa aku bisa sampai berdiri di depan kelas dan bernyanyi dengan suara yang bisa mengiris-iris gendang telinga pendengarnya.
"Ehem.. Yuki, coba ditingkatkan lagi yah," kata Pak Satya. Wajahnya mendadak terlihat lelah dan aku bisa melihat keringat mengucur menuruni kepalanya yang berambut minim. Aku sampai merasa bersalah padanya.
"Bapak Satya dimohon menuju ruang kepala sekolah," tiba-tiba speaker di kelas kami berbunyi dan Pak Satya pun tergopoh-gopoh menuju ruang kepala sekolah.
Beberapa temanku mengikuti Pak Satya, mengendap-endap menguping di dekat kantor kepala sekolah lalu rusuh lari-lari ke kelas.
"Murid baru woy! Murid baru!!!" kata Andika si biang ribut.
"Hah? Murid baru? kayaknya kita belum pernah kedapetan murid baru sejak SD." kataku.
"Paling juga murid pintar pindahan dari luar negeri. Kuper deh pasti," jawab Ryo asal.
"Tenang semuanya!" Pak Satya kembali lebih cepat dari yang kuduga.
"Hari ini kita kedatangan murid baru dari Jerman," lanjutnya.
"Woaaah, blasteran dong Pak! Cantik nggak pak?" celetuk Andika.
"Ayo masuk!" kata Pak Satya denga suara dihalus-haluskan.
Maka masuklah cowok yang tinggi dan atletis. Mungkin tingginya ada 180 cm. Cewek-cewek sibuk menarik napas dan membuka mulut. Celongo maksudnya. Sedangkan cowok-cowok mendesah kecewa. Mungkin mereka berharap yang datang tuh cewek yang tinggi langsing kayak model macem Nadine Chandrawinata.
"Ini Devon Michael Senjaya," lanjut Pak Satya yang disabut 'oooh' pajang seolah kata-katanya baru saja menyadarkan para kaum hawa dari imajinasi dadakan mereka.
"Ehm, Halo. Gue transfer dari Wuerzburg di Jerman. Panggil gue Devon aja," katanya gugup.
Untuk orang yang transfer dari Jerman, Bahasa Indonesianya masih sangat lancar. Kelihatannya dia memang blaster sih. Rambutnya cokelat keemasan dan hidungnya mancung banget. Harus kuakui, aku cukup sedikit terpesona tadi. Tapi cepat-cepat kulenyapkan perasaan itu. Karena aku kan sukanya sama Ryo. Cuma Ryo yang bisa mengerti aku. Itulah yang kukatakan padaku sendiri sejak kecil. Tapi ketika Devon tersenyum ke arahku, darahku serasa berdesir aneh. Saat kulirik Ryo, mukanya datar dan dingin. Aku belum pernah melihat ekspresi Ryo seperti ini sebelumnya.
"Devon, kamu duduk di bangku kosong di antara Yuki dan Clanica yah. Coba Yuki angkat tangan supaya Devon tahu kamu tuh yang mana," kata Pak Satya, lagi-lagi membuyarkan lamunan. Aku pun mengangkat tanganku dan Devon segera berjalan ke kursi yang terletak di sebelahku dan Clanica, sang Miss girang.
"Halo," katakku kikuk. Pasti mukaku sudah merah dengan noraknya. Aku memang tidak pandai berkenalan dengan orang asing. P.S. apalagi yang ganteng.
Sayangnya senyum tebar pesonaku cuma dijawab dengan anggukan kecil oleh makhluk tampan yang sekarang duduk manis di sebelahku ini. Sontak saja, Clanica, yang cantik dan imut-imut itu mengambil kesempatan dengan cara mengedip-ngedipkan bulu matanya yang panjang. Kayaknya itu bulu mata udah pake sambungan sintetis deh, rutukku dalam hati. Dia seperti sudah tenggelam dalam usahanya menarik perhatian Devon. Anehnya Ryo tidak mengucpakan satu patah kata pun sejak Devon melangkahkan kaki ke kelas kami ini.
"Ryo! Tebakan lo salah tuh! Yang datang cowok keren bukan nerd." bisikku.
Lagi-lagi hanya dijawab dengan anggukan kecil dan alis mata terangkat. Ada apa sih dengan cowok-cowok ini? Memang lagi trend yah menjawab orang dengan manggut-manggut? Mereka kan bukan boneka anjing di dashboard mobil.
Pelajaran demi pelajaran pun berganti tapi Ryo bahkan tidak berkata satu kata pun. Aneh sekali. Ryo-ku yang ceria dan cerewet itu tiba-tiba berubah dingin. Mulutku benar-benar gatal. Ingin rasanya aku menanyainya. Akhirnya bel istirahat pun bernyunyi. Buru-buru kurangkul tangan Ryo dan kuseret ke tangga dekat kantin, tempat rahasia kami.
"Lo sakit?" tanyaku.
"Nggak kok. Biasa aja."
"Lo kebelet ke belakang yah?" tanyaku.
Keren. Lanjut, ya. Sukses selalu. :)
Comment on chapter Prolog