Tahun 1998, Bandung
"Apa sebenarnya yang kamu inginkan dari kami? Uangkah?" tanya seorang wanita tua kepada wanita asing yang bermata biru dan berambut pirang.
"Kumohon pergilah dari hadapan kami selama kami masih bicara baik-baik," wanita muda yang duduk di sebelah wanita yang lebih tua itu ikut angkat bicara. Wajahnya lelah, matanya bengkak dan nada bicaranya sangat dingin. Di balik gaun terusan berwarna rose gold selutut dapat terlihat bahwa perutnya sudah membesar. Ada bibit kehidupan yang sedang bertumbuh di sana. Wanita asing yang mengenakan gaun terusan sederhana berwarna putih pun terlihat sedang mengandung. Walaupun usia kandungan wanita asing itu sepertinya masih lebih muda dibanding sang wanita kaya dalam balutan gaun mewah.
Dengan terbata-bata wanita asing berambut pirang itu berkata," I never asked for money. I simply ask you to let me and the child in my stomach to stay here in Indonesia. I do not want to have to lie to my child about his father."
Kedua wanita yang terlihat lebih mapan dari wanita itu pun terdiam. Mereka awalnya yakin bahwa wanita asing itu datang ke Indonesia untuk meminta uang dan pertanggungjawaban atas kehamilannya.
"Baiklah. Tapi jangan pernah mencoba-coba meginjakkan kaki di rumah ini lagi. Kamu bukan istri yang sah dan anakmu tidak berhak menerima secuil pun dari perusahaan Trumanjaya," kata wanita kaya yang lebih muda. Nadanya lebih dingin dari sebelumnya seolah ia berusaha mati-matian menyembunyikan emosinya.
Sebenarnya tidaklah mengherankan jika wanita muda itu takut bahwa status anaknya sebagai pewaris tunggal takhta perusahaan suaminya akan direbut anak wanita asing ini. Ia menikah tanpa didasari apa pun selain untuk menggabungkan kedua perusahaan milik orang tuanya dan milik orang tua suaminya. Bayi yang sedang dikandungnya itulah materai pelindung bagi statusnya sebagian istri sah sang anak tunggal keluarga Trumanjaya. Tanpa keluarga suaminya, perusahaan keluarga wanita ini pasti sudah habis dililit hutang yang semakin lama semakin membengkak. Tidak ada yang tahu perasaan wanita itu sebenarnya. Di balik senyum angkuh dan topeng kemewahan yang selalu dikenakannya, dia sebenarnya menangis sendirian. Seperti burung di sangkar emas, dia tidak pernah bahagia.
Wanita asing itu pun melangkah pergi meninggalkan rumah keluarga Trumanjaya tanpa bertemu dengan ayah bayinya untuk yang terakhir kalinya. Air mata yang mengalir dari matanya membasahi pipinya. Walaupun begitu wajahnya tetap terangkat dan ia melangkah pergi tanpa menoleh sedikitpun, apalagi menunduk. Dia bersumpah dalam hati bahwa anaknya tersebut tetap berhak memperoleh harta warisan tidak peduli apapun yang dikatakan kedua tuan rumah angkuh yang baru saja ditemuinya. Di dalam otak wanita itu ia memikirkan berbagai cara untuk memberikan bayi yang masih dikandungnya apa yang menjadi haknya. Anak sah maupun bukan dia yakin bahwa bayinya itu dialiri darah pewaris keluarga Trumanjaya.
Keren. Lanjut, ya. Sukses selalu. :)
Comment on chapter Prolog