Loading...
Logo TinLit
Read Story - The Eternal Witch
MENU
About Us  

Gawain duduk di sebuah pelataran yang terletak di taman belakang rumah Tigra Lily. Kanvas alam berupa bunga dahlia mengundang kupu-kupu dan lebah untuk bergumul berebutan mengisap sari bunganya. Suara gemericik air di sisi timur taman berasal dari mata air gunung yang mengalir. Jika ia mendongakkan kepala ke sana, terdapat latar tirai bambu yang berbaris rapi dan rapat, seolah-olah menutupi rahasia yang tersimpan di sana.

   Tigra Lily menyuruh dua abdinya untuk enyah dari pandangannya, meninggalkan dirinya berduaan dengan Gawain. Rupa-rupanya Tigra Lily lebih suka berbicara empat mata daripada diawasi. Setelah dua abdinya itu pergi, barulah ia mengendurkan bahunya, lalu bersandar pada dinding. “Aku penasaran, sebenarnya siapa dirimu?” tanya Tigra Lily dengan intonasi menekan.

   Gawain menjelaskan lagi siapa dirinya. Mendengar itu, Tigra Lily tertawa keras lalu memasang wajah penuh intimidasi, “aku tidak bicara denganmu, manusia. Aku bicara pada dirimu yang lain. Bukan sepenuhnya makhluk bumi, tapi juga bukan sepenuhnya penghuni langit, siapa dirimu?”

   “Jika kujawab, apakah kau akan mendengarkanku?”

   “Tentu saja. Kau adalah orang kepercayaan Hartein.”

   Florence juga mengangguk, tak ada gunanya lagi menyembunyikan fakta. Dengan satu hentakan, Florence kini mengambil alih tubuh Gawain dan mencoba bicara langsung dengan Tigra Lily. Aura di sekitar tubuh Gawain berubah menjadi lebih pekat dengan mana dan sihir. Dengan bungkukan penuh hormat, Florence berbicara, “namaku Circe, satu dari Penyihir Abadi.”

   “Kenapa seorang Penyihir Abadi repot-repot bersembunyi di bawah daging manusia... oh, kau sekarat ya...”

   “Aku benci mengakuinya, tapi tubuh asliku memang sudah hancur. Sebuah keberuntungan semata aku berhasil menyelamatkan diri di detik terakhir.”

   Tigra Lily tak mendengarkan lebih, ia lebih sibuk dengan tumpukan buku yang ia baca tapi ia tetap menyuruh Florence bercerita sembari mendengarnya. Setelah selesai, ia akhirnya menyimpulkan, “ada satu dari kalian, Penyihir Abadi, yang berencana untuk memenangkan pertarungan ini walau dunia jadi taruhannya. Cukup egois dan ambisius! Tapi sayang kawan, kami tak bisa berbuat banyak...”

   “Kenapa?”

   “Oberon menutup Neverland dan Tír na nÓg dari dunia luar. Apapun yang terjadi di sana tidak mungkin bisa terjadi di sini. Sebuah penghalang khusus yang bahkan tak bisa ditembus Petra. Jika kuboleh bilang, kalian benar-benar beruntung bisa ke Neverland setelah melalui Perairan Iblis!”

   Tigra Lily menjelaskan fenomena yang terjadi di Perairan Iblis. Karena teknik sihir tingkat tinggi, kawasan Perairan Iblis dapat melempar seseorang untuk terjebak dalam dimensi waktu yang berlainan. Dari penjelasan itu, Florence dan Gawain tahu bahwa alasan mengapa mereka terlambat satu minggu jika dibandingkan dengan Kurish. Itu artinya, masih banyak kelasi lain yang terjebak di dimensi itu, terombang-ambing di tengah lautan ganas tanpa ampun.

   “Bagaimana menyelamatkan yang lain?” tanya Gawain setelah mendapat kembali kendali atas tubuhnya.

   “Cukup sederhana. Semua sihir berlaku prinsip yang sama; habisi perapalnya dan sihir itu akan lenyap.”

   “Kau memintaku untuk mengalahkan Oberon?”

   Tigra Lily diam seribu kata. Dengan wajah penuh khawatir, ia bertanya, “kau bernyali betul untuk berkata hal semacam itu.” Wanita itu bangkit dari duduknya, berjalan menuju jalan paving merah yang di sisi kanan-kirinya ditumbuhi bunga sepatu merah. Gawain diam-diam mengikuti, secara tak langsung Tigra Lily menyuruhnya untuk demikian.

   Mereka masuk ke bagian dalam hutan bambu. Di sana tidak ada jalan berpaving, tapi digantikan dengan jalan setapak tua yang tampaknya dibuat dengan metode kuno. Jalan itu sedikit memancarkan sinar keperakan dan mungkin akan semakin terang bila malam datang. Semilir angin yang berhembus melalui celah dan rongga bambu membuat alunan seruling alam, menenangkan namun juga menambah kesan kesunyian.

   Mereka berjalan selama sepuluh menit dan sampai di sebuah pohon. “Kita sampai,” ujar Tigra Lily. Gawain mendongak, mencari-cari rumah pohon di atas. Tapi ia tertipu, rumah yang dimaksud bukan di atas pohon, melainkan di bawah tanah. Tigra Lily membuka sebuah lubang yang terkatup rapi seperti jahitan. Lubang itu tidak cukup untuk dua orang sekaligus masuk, jadi Tigra Lily meluncur terlebih dahulu disusul Gawain.

   Tidak membutuhkan waktu lama bagi Gawain untuk meluncur. Ketika sampai, Tigra Lily sudah menunggunya di depan daun pintu kayu. Rumah bawah tanah ini lembab, berlumut, dan tentunya licin. Sebuah kucuran air tampak menetes di langit-langit gua kapur yang disulap jadi rumah bawah tanah ini. Tigra Lily mengetuk pintu, menunggu sebuah balasan dari dalam.

   Sebuah lubang terbuka di daun pintu. Lubang itu digunakan untuk mengintip dari balik sana. Lubang itu kecil hingga hanya satu mata saja yang mampu mengintip dari sana. Mata biru itu menyisir sejenak dan berhenti menatap Gawain dan Tigra Lily. Setelah tertutup, sebuah suara muncul. “Masuklah.”

   Keduanya menurut dan mendorong daun pintu. Kini Gawain bertatapan dengan seseorang. Wajahnya yang teduh namun tegas itu mengingatkan Gawain pada Hartein. Aroma tubuhnya hampir mirip. Dari sana, Gawain sudah tahu siapa sosok itu. Dialah Petra Pan.

   “Mari kita buat singkat saja, Lily. Apa maksudmu kau mengundang seseorang kemari?”

   “Dia ingin pulang.”

   “Pulang?!” tanya Pemuda itu dengan nada tersentak, “kau terlalu bodoh untuk mengharapkan jalan kembali! Lagipula, salahmu sendiri datang ke sini! Datang ke tanah terkutuk ini!”

   “Kau salah paham, Petra,” balas Tigra Lily cepat-cepat. “Dia memang pulang, tapi dia punya rencana lain.” Dari lirikan mata Tigra Lily, Petra langsung tahu apa yang dimaksudkan.

   “Duduklah. Mari dengar ceritamu.” Ketiganya duduk di sebuah kursi bundar. Petra yang memang masih bergelagat muda itu menawarkan kue coklat dan coklat panas. Gawain menceritakan kembali ceritanya. Setelah mendengar, Petra Pan tertawa terbahak-bahak.

   “Senjata apa?! Senjata untuk membasmi Penyihir Abadi?! Itu omong kosong! Oberon pemalas itu bahkan tak tau seluk beluk peperangan! Ia pengecut yang ketepatan saja berkuasa! Alasan ia menutup diri dengan penghalang hanyalah karena ia pengecut! Tak lebih!” ujarnya dengan menggebu-gebu. “Asal kau tahu saja, senjata itu bukanlah hal spesial. Akan kuberitahu; darah merekalah senjatanya!”

   Gawain tambah mengeryitkan dahinya. “Darah mereka? Apa maksudnya?”

   Petra mengambil belati dari pinggangnya. Dengan gerakan tanpa ragu, ia menyayat telapak tangannya lalu membiarkan darah itu menetes. Warna darah itu sama-sama merah, tapi entah mengapa darah itu memancarkan sinar. Setelah beberapa saat menetes, darah itu cepat-cepat menguap menjadi bola cahaya dan meletup lenyap. Gawain takjub dengan darah itu. Dengan melihatnya saja, semua penyihir tahu bahwa alasan mengapa darah itu bersinar lalu berubah menjadi bola cahaya adalah kandungan mana yang melimpah ruah. Petra adalah seorang peri, jadi memang pantas ia memiliki mana yang berlimpah ruah, tapi Gawain baru tahu fakta mengejutkan ini.

   “Inilah alasan para peri hutan, peri laut, ataupun peri-peri kecil lainnya memancarkan cahaya,” imbuh Petra. “Kau pasti bertanya-tanya apa itu tadi. Biar kujelaskan secara singkat; darah para peri dapat menetralisir berbagai macam sihir dan benar-benar melenyapkannya. Imbasnya, kami para peri tidak bisa menggunakan mantra yang sama digunakan seperti manusia, tapi kami berhasil mengembangkan mantra yang lain, yaitu nyanyian jiwa.

   “Alhasil, terjadi dua perbedaan besar antara sihir yang kalian ciptakan dan kami ciptakan, juga terjadi perbedaan besar antar bahasa yang menghubungkan. Kalian tak bisa menggunakan sihir kami dan juga sebaliknya; kecuali beberapa orang terpilih yang kalian sebut sebagai tuner.

   “Baiklah, mari kita kembali ke topik awal. Kau bilang ingin mengalahkan Penyihir Abadi bukan? Aku tak tahu siapa mereka; hanya mendengarnya dari epos lama. Tapi jika kau repot-repot datang ke sini dan bertanya senjata ampuh apa yang dimiliki para peri untuk membabat habis Penyihir Abadi, maka jawabannya hanya satu: darah kami.”

   Apapun sihirnya, selama sihir itu bukan tertulis dari bahasa Dewa dan Dewi, sihir itu dapat dilenyapkan dengan darah peri termasuk kemampuan regenerasi Penyihir Abadi. Ini fakta yang mencengangkan! Tidak pernah Gawain atau Florence sadari bahwa senjata mematikan itu selama ini bertengger di bawah hidung mereka sendiri! Tapi ada yang janggal. Maka ia bertanya, “jika memang caranya semudah itu, mengapa tidak tersebar? Maksudku kenapa Asosiasi Sihir tak punya satupun perkamen yang mendokumentasikan hal semacam itu?”

   “Pertanyaan bagus,” balas Petra. “Alasan mengapa kalian tidak memilikinya karena Kutukan Darah Peri yang berbunyi: ‘barang siapapun yang membunuh peri, maka ia akan mendapat kutukan berupa darah yang mendidih hingga akhir hayatnya!’ itulah mengapa kalian tak sedikitpun membunuh peri bukan? Dan kutukan ini memang ada nyatanya.”

   “Ah...” Gawain mendesah paham, “pantas saja Kaisar Oberon menyuruh Kapten Hock untuk menghabisimu... ia tak ingin mengotori tangannya sendiri...”

   “Itu... kutukan serupa... kutukan di mana kami para peri tak boleh membunuh sesamanya atau bayarannya adalah mati mendadak.” Petra menaruh dagunya di tangan, “kau cukup cerdas. Siapa namamu tadi? Aku lupa!”

   “Gawain.”

   “Baiklah, akan kuingat.” Ia mengambil buku catatan kecil dan pensil lalu menulis nama Gawain di sana agar ia tak lupa. “Jadi, bagaimana keputusanmu setelah mendengar hal ini? Apa kau akan pulang dan menyampaikan kabar ini? Apa reaksi orang-orang di sana? Mereka akan kecewa dan menganggapmu gila karena cara bengis seperti membunuh peri adalah kunci kemenanganmu! Lagipula, kalian tak bisa pulang dan terjebak di sini selamanya!”

   Gawain menyandarkan punggungnya. Petra benar. Meskipun ia bisa menyampaikan pesan pada seseorang di Benua Unomi melalui buku jurnalnya, tapi apakah pesan itu benar-benar bisa disampaikan? Gawain tak tahu siapa kawan yang memegang jurnal itu. Bisa saja ia hanya seorang petualang biasa sepertinya (padahal bukan). Dan bayangkan saja bila seorang petualang biasa tiba-tiba berkata lantang “kita bisa menang dengan darah peri!”. Alhasil dia dijebloskan ke penjara, bukan diangkat menjadi ksatria.

   “Jawabannya hanya satu... aku sendirilah yang akan pulang membawa senjata itu...” Gawain tampak berpikir-pikir, lalu memunculkan beberapa pertanyaan. “Aku dua pertanyaan. Pertama, apakah darah yang digunakan harus darah khusus? Contohnya darah seorang bangsawan peri? Atau aku bisa menggunakan darah peri-peri kecil untuk menghabisi mereka?”

   “Lily... bisakah kau ke dapur dan menghangatkan sup kelinci kemarin malam? Aku rasa kita perlu beramah-tamah dengan tamu baru ini.” Tigra Lily mengangguk lalu berlalu, ia paham bahwa keberadaannya hanyalah menganggu dua pemuda itu. Setelah Tigra Lily hilang di balik tirai, barulah Petra melanjutkan percakapan, “sebelum kujawab, aku perlu meyakinkan satu hal: apa kau benar-benar rela dikutuk?”

   Petra tahu dari pandangan mata Gawain bahwa pemuda itu sudah bertekad untuk melakukan apapun, jadi ia menanyakan hal itu. “Demi siapa?”

   “Seseorang yang kucintai...” jawab Gawain tulus.

   “Cinta adalah kutukan... tapi juga merupakan kekuatan...” Petra melemparkan pandangannya ke langit-langit kusam rumahnya, berdiam sejenak, menghela napas, dan akhirnya berujar, “apa kau yakin? Kutukan membunuh peri cukup ganas hingga mungkin manusia sepertimu bisa tewas!” imbuhnya dengan pias penyesalan. Bagaimanapun pula, Petra juga telah menerima tragedi dari manis-pahitnya cinta, bahkan lebih pahit dari Gawain. Petra ingin rasanya membalaskan dendam pada Oberon, tapi apa yang bisa ia lakukan? Jika ia membunuh Oberon maka ia hanya membunuhnya sendiri. Selama ini ia telah menyimpan amarah dan dendam yang tak mungkin bisa terbalas.

   “Jika itu yang menjadi jalanku nanti, itu tak apa. Tapi aku akan mencari alternatif lain.”

   Petra mendesah halus, ia tak bisa menghalangi tekad pemuda di depannya. “Baiklah, akan kujawab pertanyaanmu. Seperti perkiraanmu, darah peri-peri kecil tidak bisa membunuh Penyihir Abadi; bahkan darah mereka tak mampu untuk melenyapkan sihir. Tapi setidaknya darah bangsawan peri mampu melenyapkan beberapa sihir tingkat rendah dan menengah. Kau bilang Penyihir Abadi memiliki sihir unik bukan? Aku takut sihir mereka tak bisa dilenyapkan dengan mudah... kau tahu maksudku bukan?”

   Gawain mengangguk paham. Untuk melenyapkan sihir Penyihir Abadi, ia perlu darah yang murni. “Darah kerajaan...” gumamnya pelan. “Pertanyaan kedua: kutukan apa yang menungguku bila aku membunuh peri?”

   “Tyran... itulah kutukannya. Perlahan-lahan, kewarasanmu akan hilang, miasma hitam mulai keluar dari tubuhmu diikuti dengan darah yang mendidih, dan tahu-tahu kau telah berubah menjadi Tyran... kau bersungguh-sungguh akan melakukan ini, kawan?”

   Gawain termangu diam. Ia sudah mengira mempersiapkannya sedari awal. Cara untuk menyelamatkan Florence adalah membunuh Penyihir Abadi dan mengangkat kutukannya agar gadis itu membuka mata. Gawain rela mengotori tangannya itu untuk Florence. Tapi, bila ia ingin membunuh Penyihir Abadi, ia harus mengotori tangannya dengan darah peri dan menerima kutukannya. Apakah ia sanggup? Tentu saja ia mau, tapi apakah tubuhnya sanggup? Bagaimana sepulangnya nanti, setelah ia menikah dengan Florence ia berubah menjadi Tyran yang bengis dan keji?

   Tigra Lily datang dari dapur dengan tiga mangkuk kayu berisi sup hangat yang masih mengepul. Saat menghidangkannya, Petra tampak senang begitu juga Lily, hanya Gawain yang masih terdiam. Ia terdiam bukan karena putus asa, tapi mencari dan memikirkan cara lain sambil menyantap habis supnya. Selepas habis, Tigra Lily meringkas dan kembali ke dapur untuk bersih-bersih.

   Selama waktu lima belas menit untuk menghabiskan sup, Gawain tidak mendapatkan cara apapun selain membunuh peri. Ada beberapa alasan yang dipertimbangkan yaitu:

   Pertama, ia tak bisa serta merta mengirim pesan bahwa senjata untuk membunuh Penyihir Abadi adalah darah para peri. Hal ini akan sia-sia belaka bila memperkirakan siapapun yang menerima pesan Gawain melalui jurnalnya.

   Kedua, karena ia tak bisa mengirim pesan, maka dia sendirilah yang harus membawa senjata itu. Permasalahannya, bagaimana mereka pulang? Neverland dan Tír na nÓg tertutup dari dunia luar. Satu-satunya jalan pulang adalah dengan seizin Kaisar Oberon. Tapi Gawain tahu bahwa Kaisar tak akan menurut akan permohonannya. Cara lainnya adalah bermain kasar: membunuh Oberon.

   Ketiga, dibutuhkan darah peri berkualitas tinggi untuk membunuh Penyihir Abadi. Dari semua darah peri, darah yang paling bagus adalah darah Kaisar Oberon sendiri. Dalam artian lain, Gawain harus membunuh penguasa itu agar semua permasalahannya terselesaikan.

   “Aku akan melakukannya...” jawab Gawain. “Tapi aku minta beberapa hal kepadamu. Maukah kau mendengarkanku?”

   Petra melihat secercah harapan kelam di wajah Gawain. Pemuda itu sudah bulat tekadnya. Karena merasa sudah berkenalan baik dan menganggapnya sahabat, Petra mau mendengarkannya. “Apa itu, Gawain?”

   “Tolong dengarkan rencanaku dan berjanjilah melakukan serta merahasiakannya. Kau akan berperan sebagai seorang pewarta.”

                                                                                                      ***

Gawain kembali pada petang hari dengan membawa beberapa bola bom berisi garam mineral bernama dagang Saltpetra. Seperti namanya, garam itu berasal dari mitos Petra Pan yang mengelabui musuhnya, Kapten Hock, dengan petasan dari garam mineral ini. Garam ini cukup melimpah di alam, tapi jarang sekali digunakan karena kebanyakan orang tidak mengetahui kegunaannya.

   “Apa yang kalian bicarakan tadi?” tanya Tigra Lily sembari memimpin jalan setapak untuk kembali.

   “Hanya perbincangan di antara pria. Tidak lebih.”

   Tigra Lily tak menanyakannya lebih lanjut. Saat mereka kembali ke taman di belakang rumah Tigra Lily, Gawain langsung pamit undur diri. Ketika keluar, ia sudah ditunggu dengan Abi dan Kurish. Dengan dua abdi Tigra Lily, mereka tampak bercengkrama di dekat batu cadas di tepi ngarai. Gawain menyapa mereka, mengajaknya kembali ke pondok pantai. Saat turun dari ngarai, Abi hendak berburu sebelum kembali.

   Di pondok, sebuah api unggun terlihat terbakar di bibir pantai. Sekumpulan orang-orang duduk melingkar di sana sembari memakan ikan asap hasil tangkapan tadi siang. Gawain langsung bergabung dan disambut hangat oleh semua anggotanya. Meskipun wajahnya bermuram durja, tapi hiburan dari para anak buah kapal cukup membuat dirinya terhibur.

   Saat malam datang, para kelasi memilih untuk bercengkrama. Karena tingkat kreativitas yang tinggi, mereka mampu menyadap air nira dan meraciknya menjadi alkohol yang berbau manis. Mereka tampak senang karena sejatinya di manapun tempat mereka, asalkan ada tuak, masalah apapun tiada apa-apanya, meskipun esok mungkin adalah hari terakhir mereka untuk hidup. Tapi itulah petualang, apalagi mereka adalah pelaut—para petualang yang mengarungi laut.

   Gawain meminum satu gelas. Manis seperti namanya, tuak manis. Tapi perlahan pahit, entah kenapa. Rasa-rasanya ia ingin lari dari kenyataan, hidup bebas tanpa beban apapun di pikirannya. Kepalanya mulai berkunang-kunang, dan sebuah gagasan tiba-tiba muncul di kepalanya. “Bagaimana bila kita hidup selamanya di sini?”

   Neverland dan Tír na nÓg sama-sama tidak terpengaruh dunia luar. Jika ada Penyihir Abadi yang mencari mereka, tentunya Oberon akan bertindak karena tak mau seseorang sembarangan menginjak teritorinya. Tapi kenapa ia memikirkan hal semacam ini? Apakah cintanya pada Florence hanya omong kosong hingga ia memikirkan suatu hal untuk lari?

   “Aku menyedihkan... aku amat menyedihkan...” ucapnya sembari berlinang mata. Beberapa saat kemudian, seseorang muncul dari balik semak. Itu Abi yang sedang membawa rusa sebagai hasil buruannya. Rusa itu sudah dikuliti dan dipotong-potong lalu dimasukkan karung goni bekas. Keduanya duduk, bersebelahan. Abi memanggang salah satu potong di dekat api unggun dan membumbuinya dengan rempah-rempah berupa lada dan pala serta garan pasir.

   Gawain mendongakkan kepala. Dengan suara lirih dan penuh keraguan, ia bertanya, “aku ingin bertanya, Abi. Apa menurutmu kau ingin pulang?”

   “Tentu saja aku ingin pulang. Masih ada tanggungan yang harus kukerjakan.”

   “Apapun yang terjadi?”

   “Iya, apapun yang terjadi,” jawab Abi mantap.

   “Meskipun hanya kehancuran sajalah yang menantimu?”

   Abi terdiam, melirik pias wajah Gawain yang menyedihkan tapi serius itu. Kepalanya bertanya-tanya, apa yang dimaskudkan Gawain? Apakah ada maksut tertentu di setiap kalimatnya? Apakah ini pertanda dari suatu hal yang buruk?

   “Jawab aku, Abi!” seru Gawain sembari meremas bahu gadis itu. Keduanya bertatapan. Abi tak berkata apa-apa. Meskipun ia menaruh rasa kepada sang pemuda, tapi ia memiliki tanggung jawab yang lebih besar daripadanya. Ia pernah berjanji bahwa ia tak akan hidup bahagia sebelum membalaskan dendam gurunya, dan ia hampir tergelincir karena pesona Gawain. Tapi ia tak terbodohi. Gawain sudah memiliki seseorang dan ia harus merelakan itu.

   “Bukankah sudah kubilang? Apapun yang terjadi aku harus kembali! Meskipun tinggal abu atau namaku kelak yang akan tersisa setelahnya!”

   Gawain tertegun mendengar jawaban itu. Cepat-cepat ia melepas cengkramannya, berdiri, lalu berjalan menjauh dan akhirnya meringkuk di pasir, terlelap tanpa angan dan mimpi, hanya ketakutan akan masa depan yang tak pasti. Di dalam mimpinya, Gawain mengunjungi Florence dan mengajaknya berbicara. Dengan pertanyaan yang sama seperti yang ia tanyakan pada Abi, ia juga mendapatakan jawaban serupa, “aku harus memenangkan permainan ini.”

   Gawain mengalah. Bila ia tak sanggup untuk melakukannya demi dirinya sendiri, maka ia cukup memberi alasan untuk melakukannya demi orang lain. Itu tak apa. Lagipula, seseorang harus mengotori tangannya untuk menyelamatkan yang lain. Gawain mengatupkan rahangnya. Ia benar-benar membulatkan tekadnya.

   Ketika pagi, Gawain bangun dengan semangat barunya. Cepat-cepat ia memanggil Abi, mengajaknya berjalan, lalu menyampaikan beberapa kata, “Abi, aku punya permintaan padamu. Jika kita sampai ke Unomi sekali lagi, bisakah aku mempercayakan punggungku padamu sekali lagi?”

   Abi hanya mengangguk untuk mengenyahkan keraguan Gawain. “Baiklah kalau begitu,” Gawain memberikan buku jurnalnya. “Bisakah kau menyuruh peri untuk menulis cerita tentangku? Aku ingin dikenang...”

   Abi tak memahaminya dan bahkan mengira Gawain sedang bercanda dengan wajahnya yang memang melankolis itu. Ia hanya menurut, ia tak memikirkan apapun pada saat itu. Selepas menyuruh untuk menyimpan jurnal itu, Gawain meminta tolong Abi untuk memanggil Kurish dan Parsha. Lima menit menunggu, keduanya datang. Parsha dengan pedang tersarung gagah sementara Kurish dengan jubah dan kacamata yang cukup elegan untuk ukuran pelaut. Mungkin jika seseorang melihat orang itu berkumpul, mereka akan mengira bahwa kapten kapal adalah Kurish berpakaian rapi, bukan Gawain yang berpakaian lusuh itu.

   Dengan rute lain, Gawain mendatangi rumah Petra Pan seperti janjinya kemarin. Petra Pan langsung muncul ketika ia dipanggil. Dengan set baju hijau serta seruling, ia akhirnya memimpin jalan. “Omong-omong kapten, kita akan kemana?”

   “Tanah para peri, Tír na nÓg. Kita tak bisa bermalas-malasan lebih lama lagi. Bukankah kita punya tugas? Lagipula,” Gawain berhenti dan menoleh menuju Parsha dan Kurish, “apa kalian tak ingin mendapatkan kebebasan kalian yang telah dijanjikan?”

   Keduanya saling pandang. Gawain menepuk lengan mereka, “jangan sungkan-sungkan. Kapten Hartein menjanjikan kalian itu bukan? Menjanjikan kapal untuk kalian berlayar?”

   Keduanya mengangguk, “Anda benar Kapten Eias. Kapten Hartein telah menjanjikan hal itu,” ujar Kurish yang senang dengan gagasan itu, “tapi—”

   “Jangan permasalahkan hal kecil itu, mari kita lanjutkan perjalanan ini.” Gawain kembali melanjutkan perjalanannya, diikuti dengan dua bawahannya itu. Setelah berjalan lama, mereka masuk ke sebuah kawasan kuil yang berada di tanah lapang. Kuil itu terbangun dari batu-batuan besar dan tertata unik dengan ukiran yang tersebar rata. Mereka berjalan ke tengah kuil dan mendapati satu altar dengan tongkat scepter bermahkotakan bola kristal berwarna biru laut. Petra bola tongkat itu, lalu membuatnya bersinar.

   “Kita sampai di gerbang portal Tír na nÓg,” ucapnya dengan bahasa peri, yang membuat hanya Gawain dan Abi sajalah yang mengerti. Kurish yang mengerti bahasa peri sedikit-sedikit dapat paham, tapi tidak untuk Parsha yang hanya tahu bahasa kaumnya. Dengan sungkan, ia bertanya pada Kurish dengan bahasa umum yang masih patah-patah. Ketika dia mengerti kemana mereka akan pergi, ia langsung mundur satu langkah.

   “Para peri membenci kaum ogre karena tampang kami yang mengerikan bagi selera tinggi mereka. Aku takut dengan adanya diriku hanya memperalot perbicaraan kalian, maka dari itu—”

   “Apa yang kau bicarakan, Parsha? Justru dengan adanya dirimu itu menjamin keselamatan kita! Percayalah pada kaptenmu ini! Aku punya rencana tersendiri.” Parsha hanya bisa patuh terhadap kaptennya. Setelah itu, Gawain menggangguk kecil pada Petra. Petra lekas-lekas berkonsentrasi penuh pada tongkat scepter itu. Sebuah cahaya biru memancar hangat, menyelubungi mereka. Beberapa detik kemudian, sebuah sensasi janggal menyentak tubuh mereka, menggoyangkan tanah.

   Tidak ada tempat berpengagan di sana. Semua orang kecuali Petra mencoba menyeimbangkan tubuh mereka yang anehnya terasa lebih ringan. Saat mereka memandang sekitar, mereka berada di tengah-tengah ruangan putih yang kosong tanpa apapun. Abi bergumam kecil, “ruang antardimensi... aku pernah mendengarnya tapi tak menyangkan ruang antardimensi benar-benar ada.”

   Sebuah lubang terlihat di depan Petra. Ukurannya hanya segenggam tangan, tapi membesar dengan percepatan konstan. Satu detik kemudian, lubang itu sudah berubah menjadi bola berukuran kepala Parsha. Dua detik berlalu, bola itu menelan semua dari mereka. Kegelapan merajai pandangan mereka, hinngga akhirnya sebuah cahaya terlihat di sudut mata.

   Cahaya itu adalah sinar matahari yang menembus melalui celah-celah langit-langit batu. Abi yang matanya terlahir tajam langsung tahu bahwa mereka sampai di sebuah kuil bawah tanah. Ia langsung tahu dari struktur tanah dan langit-langit yang lebih solid namun juga dibangun renggang agar setidaknya cahaya matahari mampu sampai. Dengan melangkah halus, ia mengambil obor mati yang bertengger di dinding terdekat, mematiknya dengan batu api, dan memberikan penerangan.

   Sesegera Abi datang, Gawain menyuruh mereka untuk berkumpul. “Baiklah, dengarkan rencanaku baik-baik. Rencana utamanya adalah untuk berbicara baik-baik dengan Kaisar Oberon, membujuknya untuk membantu kita, lalu pulang ke Unomi. Apa kalian mengerti?” Gawain menunggu semua orang mengangguk dan melanjutkan perbincangannya, “jika suatu hal buruk terjadi, jangan ragu untuk berlari, camkan itu! Petra akan selalu di sini berjaga di depan gerbang portal dan selalu siap untuk pulang kapanpun.”

   Semuanya mengangguk. Gawain melanjutkan pembeberan rencananya, “apapun yang setelah ini terjadi, dengarkan perintahku baik-baik.” Gawain bergegas dan memimpin rombongan itu. Petra bersembunyi di ruang tersembunyi yang terletak di balik pojok ruangan itu, cukup kecil hingga hanya satu orang saja yang muat di sana.

   “Abi, matikan obor itu. Sebaiknya, mari nyanyikan lagumu itu dan undang para peri untuk menyambut kita. Akan semakin cepat bila para ksatria Oberon lah yang menyusul dan membawa kita padanya.”

   Abi paham maksud Gawain dan memainkan busur harpanya. Alunan musik indah terdengar. Kurish dan Parsha yang baru tahu bahwa si pengawas kapal yang terkenal diam dan dingin itu adalah seorang tuner, terkagum dengan suara merdu yang mengawal perjalanan mereka. Satu-dua Peri Gua menemui mereka, berterbangan ke sana-ke mari karena alunan harpa. Cahaya mereka yang remang-remang menuntun rombongan itu pergi ke ceruk gua yang ada di atas puluhan anak tangga.

   Saat sampai, sesuai dengan perkiraan Gawain, beberapa peri menunggu mereka di depan gua. Berbeda dengan Peri Gua yang mungil dan hanya seukuran sekepalan tangan, peri yang menyambut rombongan ini adalah peri yang tampil seperti manusia pada umumnya. Tampilan mereka humanoid. Fitur wajah mereka tidak jauh beda dengan Petra: awet muda, tampan atau jelita, dan tentunya cerah. Hanya ada satu fitur yang dimiliki semua peri-peri itu tapi tidak dimiliki Petra: sepasang sayap transparan untuk terbang yang tertaut di tulang belikat.

   Sayang, Gawain salah bila mereka mendapat sambutan yang ramah. Rombongan itu tentunya tak dapat kemewahan semacam itu, tapi setidaknya sambutan yang dimaksud cukup untuk menghangatkan suasana. Dengan zirah besi yang mengilap, perisai solid yang keras dari cangkang kura-kura hitam, dan tombak tajam pada masing-masing ksatria membuat rombongan itu juga mulai angkat senjata. Tapi Gawain mencegahnya, “tidak perlu ada pertumpahan darah di awal negosiasi.” Mendengar nada bicara Gawain yang santai, ketiga orang yang lain mengendurkan bahunya dan memasukkan kembali senjata masing-masing, namun tetap mawas-mawas diri.

   “Siapa kalian?” tanya seorang dari ksatria dengan nada tegas.

   Gawain menjawabnya dengan lantang, “kami adalah pengirim pesan dari Asosiasi Penyihir di Unomi, lebih tepatnya dari Kota Suci Hyulida. Dengan segala hormat, ksatria pemberani, kami diberi tugas untuk bertemu dengan Kaisar Oberon dan mengajaknya bernegosiasi.” Gawain bahkan membungkukkan kepalanya.

   Sring! Tombak itu terayun cepat menuju leher Gawain. Parsha cepat bereaksi, tapi jangkauan pedangnya tak sampai. Tapi Parsha keliru, tombak itu tak menebas leher Gawain, malahan berhenti ketika menyentuhnya. “Bagaimana bisa kupercaya kalau kalian bukan bagian dari anak buah bajingan Petra itu?!” bentak sang ketua ksatria.

   “Dengan segala hormat dan mohon maafkan mulutku yang lancang ini. Tapi, marilah kutanya balik, tuan ksatria: apakah ada satu diantara kami yang tampak seperti anak buah bajingan yang Anda maksudkan?” kapten ksatria menyisir empat orang itu. Yang ia dapat hanyalah satu elf, satu manusia, dan, “ogre yang di sana... dia benar-benar tampak seperti bajingan!”

   Ah, prediksi Parsha benar-benar terjadi. Hanya karena tampangnya yang penuh luka serta postur tubuhnya yang memang besar dan berotot, ditambah kulit gelapnya karena terpapar sinar matahari secara terus menerus, ia dicap sebagai bajingan. Yah, namanya dunia: makhluk hidup hanya mampu menilai dan mengidentifikasi dari apa yang mereka lihat. Lagipula, Parsha sudah bilang sendiri kepada Gawain. Tapi justru itulah poin plusnya.

   “Anda jangan salah, tuan ksatria. Meskipun dia adalah ogre, tapi dia adalah pemimpin satu legiun; jika Anda berani bermacam-macam dengan kami dan terutama dia, maka satu pleton legiun akan memburu Anda, bahkan ke tanah Tír na nÓg ini!” seru Gawain.

   Sring! Tombak-tombak yang lain teracung. Gawain tak gentar sedikitpun, juga tiga orang yang lain. Mereka bisa-bisa saja menarik senjata masing-masing, tapi sekali lagi tatapan mata Gawain menyuruh mereka untuk diam, seolah berkata: “tunggu dan berharap. Hanya itu saja tumpuan kita.

   “Kau diam ya... kemana omong kosong dari mulut besarmu i—”

   “Berhenti!” sebuah suara terdengar dari kaki bukit. Suara itu cukup keras hingga terdengar di depan gua, tempat rombongan Gawain dan para ksatria sedang adu mulut dan mungkin mungkin pergulatan akan meletus. Saat semua menoleh, terlihat beberapa orang lain. Semua dari mereka adalah wanita. Satu di antara mereka tampak mencolok dengan berbalut gaun putih panjang hingga ada dua dayang yang mengangkat ekor gaun itu, sedangkan yang lain adalah ksatria peri wanita. Gawain cepat-cepat berlutut hormat, juga diikuti yang lain. Ia sudah menunggu saat-saat ini.

   “Atras kau sudah berlebihan terhadap pengirim pesan ini,” ucap wanita bergaun itu dengan nada penuh wibawa.

   Atras, pemimpin kapten yang tadi menggores leher Gawain dengan tombak itu menunduk lebih dalam, “maaf Permaisuri Titania, aku tidak bermaksud. Aku hanya melakukan tugasku sebagai—”

   “Cukup!” tegas Titania. “Enyahlah dari pandanganku secepat mungkin!” cukup dengan ucapan itu, semua ksatria undur diri dengan terbang menjauh. Atras memandang Gawain sejenak. Matanya yang tajam berusaha menindas dan menekan Gawain, tapi Gawain yang terbiasa dengan pandangan meremehkan semacam itu tidak terusik sama sekali. Malahan ia senang. Itu berarti ada orang yang sudah mengakui bahwa dirinya itu patut dipandang—meskipun bukan pandangan yang bersahabat.

   “Wahai makhluk bumi, angkatlah kepala kalian.”

   Gawain adalah yang pertama mengangkat kepalanya. Sejauh ini, semua hal sesuai dengan rencananya. Rencana yang sederhana tapi cukup licik. Dari hasil pemikirannya kemarin, ia tidak menemukan satu cara pun untuk membujuk Kaisar Oberon, dari sana ia berkesimpulan bahwa ia tak akan bisa mengambil hati Kaisar. Tapi akan berbeda cerita bilamana Gawain mampu memikat hati Permaisuri Titania, yang tak lain adalah istri dari Kaisar Oberon.

   Menurut cerita yang ia dengar dari Petra, pernikahan adalah hal yang paling sakral dan suci bagi para peri. Mereka berjanji dalam bahagia dan kesedihan bahkan kematian tak akan memisahkan mereka—dalam artian lain, bila satu di antara mereka mati, maka keduanya mati. Tapi hal itu seolah berlainan dengan fakta yang Gawain dengar dari Petra. Karena perbedaan pendapat, hubungan Oberon dengan Titania tidak berjalan seperti sepasang suami-istri pada umumnya. Oberon yang keras tidak mau untuk membuka tanah Tír na nÓg selamanya, berlainan dengan Titania yang pengampun dan beraura keibuan itu. Dengan memanfaatkan celah itu, Gawain berharap untuk bisa memanipulasi hati Titania dan lantas membujuk Oberon.

   Tapi tentunya bicara tidak semudah melakukan kerja. Gawain memang memiliki pesona, tapi untuk membuat Titania memandangnya lebih dari seorang pengirim pesan ia memerlukan waktu yang tak sedikit. Beruntungnya waktu yang berlalu di Tír na nÓg berbeda dengan dunia luar. Satu hari di Tír na nÓg tidak lebih dari satu menit di dunia luar. Hari ini ia memang membuat kesan pertama sebagai pria dengan pakaian lusuh, tapi entah esok atau lusa, ia akan berubah menjadi pria menawan. Di belakang sana, Petra sudah menyiapkan satu set jas terbaik yang pernah ditenun Tigra Lily. Memang bentuk dan gayanya berbeda dengan jas dansa yang Gawain kenal dari bangsawan di Unomi, tapi justru itulah yang akan menjadi daya tarik Gawain.

   Melihat Gawain yang cengar-cengir di depan keanggunan Titania, seorang ksatria wanita dengan tegas mengangkat pedangnya. “Sungguh lancang kau berperilaku semacam ini di depan yang mulia!”

   Dengan nada terkendali, Gawain angkat bicara, “oh tidak, maafkan hamba. Hamba adalah seorang penganut agama yang taat kalau boleh kubilang. Dan ini mungkin mukjizat bahwa orang seperti saya mampu bertatap muka dengan Dewi Foresta sendiri.”

   Para peri hutan di jantung Hutan Grende pernah berbincang dengan Gawain yang dulunya masih bisu itu. Ketika ditanya siapa yang mereka sembah, semua dari mereka menjawab bahwa ibu para peri lah yang menempati posisi itu. Semua peri juga beberapa petualang menyebutnya dengan nama Dewi Foresta, dewi hutan dan alam. Dengan menggunakan premis dan trivia semacam itu Gawain berhasil menarik kesimpulan yang tepat.

   Titania mengangkat tangannya, “cukup Hilda,” membuat gadis ksatria itu menunduk lalu menyarungkan kembali pedangnya. Titania menyuruh rombongan itu bangkit. “Mari kita minum teh di puri milikku.” Dengan tetap menjaga keanggunannya, Titania beserta para ksatria wanita balik kanan.

   “Cukup ikuti mereka, kita aman untuk saat ini,” bisik Gawain kepada yang lain terutama kepada Parsha dan Kurish yang kesulitan mencerna perbincangan. Abi menatap Gawain dari iringan, kagum dengan pemuda itu. Tanpa Abi sadari sedikitpun, semua ini sudah Gawaiin rencanakan sebelumnya. Sebuah rencana yang boleh dikatakan sempurna. Tapi ia tahu, sesempurna rencana Gawain, ia tetaplah manusia—ia tidak bisa mengubah semuanya hanya dengan kedua belah tangan manusia dan otaknya saja. Perlahan, sebuah keraguan muncul di dada Abi bila ia mengingat kalimat Gawain malam kemarin dan kelakuannya tadi pagi.

   Jarak gua ke puri yang Titania maksudkan cukup jauh. Mereka berjalan melintasi hutan dari pagi hingga siang. Selama perjalanan, Kurish akhirnya menyadari bahwa semua ini sudah direncanakan dan tak sungkan bertanya. “Bagaimana Anda tahu bahwa Permaisuri Titania sendirilah yang akan menjemput kita?”

   “Sebaiknya kau tanyakan kepada tuner kita yang satu ini.” Parsha dan Kurish saling pandang sejenak, lalu memahami apa arti nyanyian Abi saat di gua, tapi tak mengira bahwa nyanyian itu sanggup mengundang sang permaisuri. “Kalian tak perlu khawatir, kapten kalian yang satu ini punya puluhan hingga ratusan rencana!” bualnya dengan berbangga diri agar mencairkan suasana. Dalam hati kecilnya, Gawain tak ingin kekhawatiran tumbuh di hati anggotanya. Hanya perlu dirinya saja yang menanggung, iya, hanya dirinya saja.

   Sebuah puri berwarna putih keperakan karena lapisan marmer mewah terlihat. Dengan hanya menggerakan tangan, semua dayang berseragam putih berenda hitam datang menyambut. Jumlahnya puluhan dan masing-masing dari mereka adalah gadis yang menawan. Pria mana yang tak tergoda bila melihat puluhan gadis manis berbaris? Hei, bukankah kebahagian pria adalah dikerubungi dengan gadis-gadis? Contohnya saja raja. Raja mana yang tak memiliki selir?

   Tapi sayang, ketiga pria di rombongan ini punya permasalahan masing-masing. Ketakutan Gawain adalah bila ia mencintai gadis lain, maka hanya tragedi yang menunggunya. Sementara Kurish yang bosan dengan kisah perceraian yang ia alami tak tertarik untuk melanjutkan jalan cintanya. Dan Parsha yang sebenarnya baik hati itu tak menyukai apapun selain bertarung dan bertarung. Hanya Abi sajalah yang rupanya masih normal, tapi dia gadis.

   Sepasang dayang datang menghampiri. Rupa-rupanya dayang itu diminta Titania untuk mengantarkan mereka ke ruang tamu. Ruang itu cukup luas, saking luasnya Gawain mengingat-ingat lapangan latihan yang digunakan Florence untuk berlatih sihir di Hyulida. Ah, Gawain kerap tersenyum pahit bila ia mengingatnya.

   Gawain duduk di kursi bersama Abi sementara Kurish dan Parsha memilih berdiri tegap di belakang mereka. Sebagai tamu, mereka telah menitipkan senjata mereka agar tampak terlihat sopan di mata sang penjamu. Gawain juga merapikan bajunya. Kini ia tampil dengan set baju kapten yang Hartein berikan. Warnanya sama seperti milik Hartein, merah terang dengan celana berwarna putih. Kurish tampil dengan baju hitam berkancing senada dengan celananya yang gelap. Abi dan Kurish tetap mengenakan baju petualang mereka, meskipun keduanya tampak compang-camping dan sederhana.

   Lima menit menunggu dan sang tuan rumah datang. Kini ia mengenakan baju yang tampak lebih ringan. Dengan tetap ditemani dua dayangnya, ia duduk bersimpu. Satu dayang lain mendorong gerobak yang bertatakan teko, cangkir teh, dan kue-kue manis. Karena menghadapi seorang bangsawan kelas atas, Gawain sudah belajar bagaimana melewati acara “minum teh” ini dari Florence.

   Dengan tata krama dan etika, Gawain menerima hidangan itu. Tak sekalipun mata Titania berpaling dari Gawain. Gawain tak mengacuhkan pandangan itu beberapa saat, tapi akhirnya ia angkat bicara, “maafkan Hamba. Apa pakaian Hamba tidak begitu cocok dengan selera Yang Mulia?”

   “Tidak-tidak,” gelaknya, “maafkan aku meremehkanmu. Meskipun kau tampak seperti bukan siapa-siapa, tapi kau sungguh di luar dugaanku. Tidak ada seorang pengirim pesan sepertimu. Kau pasti lebih dari seorang pengirim pesan, bukan? Ayolah, jangan sungkan-sungkan. Seorang pria seharusnya berbangga pada jabatan yang ia miliki.”

   Gawain tak menjawabnya, ia enggan melanjutkan perbincangan. Melihat hal ini, Titania langsung bertanya. “Mari kita dengar apa yang hendak si pengirim pesan satu ini sampaikan.”

   Gawain menaruh tehnya, memasang wajah lurus dan seriusnya. Dalam negosisasi, seseorang perlu membangun citra agar ia dipandang sebagai pihak yang sederajat. Karena merasa cukup, Gawain yakin dengan rencananya ini, “kami perlu darah peri untuk pertempuran dengan seisi dunia yang jadi taruhannya.”

   “Seisi dunia? Apakah kau tidak terlalu mengembel-embel cerita—”

   “Aku mohon.” Gawain sekali lagu membungkukkan tubuhnya penuh mohon. “Anda pasti berpikir bahwa kedatangan kami hanyalah mencari kejayaan semata. Maaf, tapi Anda keliru. Kami ke sini untuk mencari solusi atas permasala—”

   “Setelah kau berani memotong ucapanku, kau memberi alasanmu yang egois itu.” Jawaban Titania menyadarkan Gawain bahwa ia terburu-buru. “Kau mengecewakanku! Padahal aku sudah berharap kau berbeda dari darah adam sebelummu yang datang kemari. Tapi semuanya sama saja. Perbincangan ini berakhir.”

   Gawain shock berat. Pias wajahnya berubah sepucat mayat. Abi merasa goyah. Bukan karena melihat penolakan negosiasi melainkan melihat Gawain yang benar-benar di ambang asanya. Tubuh pemuda itu bergetar, hatinya terguncang, ia lemah tanpa daya.

   Di detik-detik yang sunyi itu, sebuah decit pintu raksasa terdengar. Dari sana, muncul Kaisar Oberon yang tampak angkuh dengan mahkota dan kumis kebanggananya lengkap dengan satu pleton. Oberon yang menyaksikan raut kecewa istrinya tak berpikir panjang langsung menyuruh semua serdadunya untuk meringkus rombongan Gawain.

   Seperti yang dikatakan Gawain bilamana suatu hal buruk terjadi, maka mereka akan kabur. Tapi mereka tak bisa serta merta kembali ke ceruk gua yang sama tempat mereka datang tadi. Ada alasan kuat mengapa hal itu tidak bisa dilakukan: ada kemungkinan besar Oberon mengirim serdadu untuk menyergap mereka. Mereka tak bisa melawan tanpa senjata yang tertinggal di puri Titania, jadi mereka memilih bersembunyi hingga malam menjumpai dunia.

   Saat petang, mereka berkumpul. Gawain bicara lemas bahwa ia menyesali hal ini, tapi bukan berarti ia tak memiliki rencana cadangan. “Kita harus kembali dan menyusun rencana yang lain. Kalau bisa, kita harus mengirim kabar ke Hyulida dan memberitahu rahasia senjata ini!”

   Semuanya hanya manggut-manggut setuju. Dalam medan perang, harta yang paling berharga adalah nyawa masing-masing. Hal ini sudah terpatri di kepala masing-masing dari mereka. Semua orang di sana sudah tahu risiko dari pecahnya perang antar umat manusia dan Penyihir Abadi; membunuh untuk bertahan hidup, walau membunuh salah satu teman karibmu sendiri.

   Gawain mengambil beberapa batu kali dan batu gosok. Dengan gerakan tekun dan sedikit bantuan sihir, ia menggosok batuan itu menjadi serpihan kecil yang cukup tajam. Serpihan berukuran setelapak tangan itu mampu menggantikan peran belatinya. Tiga orang yang lain mengikuti langkahnya sembari menunggu malam semakin larut untuk memudahkan mereka mengendap.

   Tengah malam datang. Penjagaan yang ketat sedikit mengendur karena para peri mulai kelelahan mencari rombongan ini. Dengan perlahan, mereka bangkit dari semak-semak, mengendap perlahan dan sesenyap mungkin. Mereka bersembunyi di balik jubah-jubah bayangan yang tertutup kanopi daun. Sekarang, jarak mereka menuju hanya tinggal beberapa ratus depa. Tapi gua itu terletak di perbukitan yang sama sekali tak tertutupi rindanganya pohon—siapapun akan melihat mereka di ruang terbuka semacam itu.

   “Kapten, apa keputusanmu?”

   Gawain memandang langit, tampak selusin lebih ksatria terbang mengitarinya. Melawan mereka secara langsung bukanlah opsi yang bagus, tapi mereka tentunya ketahuan setelah menjejakan kaki dari bayangan. “Pengalihan... kita memerlukan pengalihan.” Gawain mengajak mereka berkumpul, lalu berbisik, “dari empat orang di sini, aku sajalah yang bisa menggunakan sihir. Aku akan mengalihkan mereka, kalian paham?”

   Abi ingin protes, tapi Gawain memotongnya, “ini perintah. Dan perintah sang kapten selalu absolut,” tegas Gawain dengan suara dinginnya.

   Gawain mengangkat tangannya tinggi-tinggi, Florence merapal mantra bola api. Satu detik kemudian, bola api itu sudah meluncur menuju ksatria peri yang terbang lalu meledak. Ledakan itu sudah menjadi pertanda untuk ketiganya pergi. Abi berhenti sejenak, berkata, “berjanjilah bahwa kau akan selamat,” ia menoleh, “kapten...”

   Gawain tak menjawabnya dengan kata, cukup dengan seringai angkuhnya. Entah kenapa, ia mendapatkan kembali rasa percaya dirinya. Dengan bertubi-tubi, ia mengirim puluhan bola api dan meledakannya, berusaha penuh mengalihkan semua ksatria itu kepadanya.

   Tapi para peri itu bukanlah makhluk bodoh. Mereka tahu bahwa hal itu hanyalah pengalihan. Maka sebagian dari mereka terbang menukik menuju Gawain, sementara sebagian menyisir mencari tiga orang yang lain. Setelah menemukan Parsha, Abi, dan Kurish yang tengah berlarian menuju mulut gua, para ksatria segera menukik dengan tombak terhunus.

   Pertarungan tak terelakkan.

   Hanya dengan berbekal belati dari batu serpih, ketiganya bertempur habis-habisan dengan nyawa sebagai taruhannya. Mereka tak bisa menyerang, tapi hanya mampu menepis tiap tebasan dan tusukkan maut. Abi dan Kurish yang memang tak terbiasa dalam pertempuran jarak dekat terluka, tapi Parsha yang belum terbiasa menggunakan belati cukup tangguh dan masih berdiri tegak.

   Gawain kerepotan dengan puluhan ksatria. Tapi ia cukup lincah bila ia menggunakan belati. Ia memang tak bisa terbang, tapi ia bisa berjalan di udara. Trik ini sebenarnya diajarkan oleh Petra untuk menggantikan peran sayap perinya yang hilang karena ditebas ksatria peri. Dengan membekukan sejenak udara yang ada di ujung kakinya, Gawain dapat membuat pijakan solid untuk dirinya berjalan di udara. Membekukan udara bukanlah pekara mudah, maka karena itu Gawain menunggu kesempatan hingga keadaan malam datang untuk menggunakannya. Kenapa malam jika kalian bertanya? Karena pada saat itu, uap air lebih banyak terkumpul di alam. Jadi, ia dapat mudah membekukan uap air untuk membuat pijakan tak kasat mata untuk melompat lincah di udara.

   Tentunya para peri tak tahu teknik pamungkas ini. Mereka memang bisa terbang, tapi mereka tak berpengalaman luas seperti Gawain; Tír na nÓg terlalu damai sampai-sampai para ksatrianya tak pernah bertempur hingga menyusul ajalnya. Berkat perbedaan pengalaman dan keterkejutan mereka, Gawain mampu menghabisi mereka satu persatu.

   Setiap kali membunuh, Gawain merasa darahnya mulai mendidih dan tubuhnya kesakitan. Rupanya kutukan itu mulai menjalari tubuhnya sendiri. Tapi rasa sakit itu tak sebanding dengan tragedi yang ia alami. Setelah berhasil membunuh sepuluh ksatria, para ksatria yang lain mulai khawatir dan menjaga jarak dari Gawain. Gawain berdiri di udara, melihati tiga kawannya yang kesusahan, ia berteriak, “Parsha! Panggul mereka dan masuk ke gua secepat mungkin!” Gawain melompat lincah dari pijakan demi pijakan menyusul mereka sembari mengirim lecutan petir dari tangannya.

   Parsha paham, ia lalu mengagkat Kurish dan Abi di kedua tangannya. Ia dikejar oleh dua ksatria, tapi Gawain berhasil melumpuhkan keduanya. Satu dengan tikaman belati yang tertanam di leher, satunya lagi jatuh karena sengatan petir dari langit dan langsung tewas seketika. Kini semua mata ksatria tertuju pada Gawain. Mereka tak mengira bahwa musuh mereka kali ini adalah seorang penyihir yang lincah pula dalam bermain belati.

   Hanya Gawain sajalah yang tertinggal di luar, ia masih berjaga dengan belati teracung. Sorot matanya dingin dan keji. Ia mengintimidasi lawannya cukup dengan serpihan batu yang meneteskan darah segar.

   Beberapa dari ksatria mundur dengan kaki gemetar, beberapa yang lain sudah berlutut meminta ampunan nyawanya, beberapa yang lain masih sanggup berdiri meskipun berwajah pucat. Gawain mundur, lalu menyelinap masuk menuju gua. Dengan lari cepat, Gawain sanggup menyusul ketiganya. Petra yang sudah mendengar huru-hara sudah siap mengirim mereka kembali.

   Gawain dan Petra saling bersitatap. Dengan anggukan Gawain, keduanya seolah tampak memiliki kesepakatan tersendiri. “Cepat, Petra. Kita pulang!”

   Abi bertugas mengawasi bagian belakang karena dirinyalah yang memiliki mata tajam. Tapi kali ini ia tak menyadari pergerakan cepat itu, pergerakan dari seorang peri berpedang ramping yang mengincar Abi. Tidak ada yang menyadarinya kecuali Gawain yang langsung menarik tubuh Abi hingga terhempas jatuh.

   Crash! Sabetan pedang itu begitu ganas hingga suara darah yang menyembur dari tubuh Gawain terdengar mengilukan telinga. Sepersekian detik kemudian, Abi hendak meraih tubuh Gawain dan menyelamatkannya. Tapi sayang, perapalan mantra Petra telah usai dan mereka langsung terkirim ke ruang antardimensi, meninggalkan Gawain yang terkapar tak berdaya di ujung sana.

   Dua detik terlampaui dan mereka kembali ke kuil bebatuan di Neverland. Semua orang menyadari bahwa ada satu orang tertinggal, tapi mereka segera dikejutkan dengan cahaya putih yang muncul dari altar. Petra berseru bahwa para peri sedang mengejar mereka melalui gerbang portal. Dengan pengambilan keputusan yang cepat, Petra segera menghancurkan tongkat dan altar itu dengan sihir anginnya, memporak-porandakan kuil.

   Berkat tindakannya, cahaya itu meredup lalu lenyap. “Hampir saja mereka berhasil menge—” buk! Abi menerkam Petra, memukulinya dengan kepalan tangan hingga muka pemuda itu lebam dan berdarah-darah.

   Jika saja Parsha tak menarik dan menahannya, mungkin Abi akan menghabisi Petra hingga mati. Abi meronta dan lolos dari Parsha lalu mencengkram kerah baju Petra dan mendorongnya ke pilar batu terdekat. “Kau meninggalkannya!”

   “Hanya ada dua pilihan: membiarkan mereka masuk atau tidak. Aku memang membantu kalian, tapi Neverland juga tanggung jawabku! Aku tak punya pilihan banyak!” balas Petra sembari menepis cengkraman Abi. “Lagipula, semua ini masih berjalan sesuai rencana—”

   Abi kali ini membogem mulut Petra. Darah segar keluar dari gusi-gusi pemuda itu. Dengan ekspresi yang sulit dijelaskan, ia berkata lirih, “kau bilang ini sesuai rencana!? Apa kau cukup waras?! Apa kau cukup waras bahwa semua ini masih dalam kendali?!”

   “Justru dirimulah yang di luar kendali!” kali ini yang menjawab adalah Tigra Lily yang ternyata sedari tadi duduk di cabang salah satu pohon besar. Ia turun dengan anggun, mengobati Petra yang lebam-lebam dan menjahitnya sedikit. “Aku tidak pantas mengatakan ini, tapi percayalah pada kaptenmu!”

   Abi tak menggubrisnya, ia balik kanan dan menyuruh Kurish dan Parsha kembali ke tempat mereka seharusnya. Dengan mendapatkan kembali ketenangannya, ia mencoba berpikir jernih. Kenapa ia memikirkan Gawain? Bukankah ia sudah merasa cukup bila nyawanya sudah selamat? Kenapa ia masih memikirkan hal yang sia-sia ini?

   Karena Gawain tidak ada, maka kepemimpinan diambil alih oleh Kurish sebagai juru mudi pertama dan memang dialah yang paling pantas. Abi memilih membuat panah yang lain dengan senar dari serabut kelapa yang ia temui. Memang bahannya tidak cocok, tapi dengan keuletan yang hebat, ia mampu menenunnya menjadi benang yang kuat. Tak lupa ia membuat empat anak panah yang ia buat dari ranting-ranting yang ia temui. Memilih ranting yang bagus dan kokoh amatlah sulit, jika saja ia keliru memilih maka lintasan panah tidak akan lurus seperti seharusnya.

   Waktunya berburu. Abi memilih tenggelam menuju semak-semak hutan yang lembab. Tanpa alas kaki berupa sepatu kulit, ia tidak bisa bergerak bebas karena takut tergelincir. Tapi ia cukup terlatih untuk mengendap dan memanjat tanpa suara. Ketika ia mendapati sepasang rusa yang berjalan bebarengan, jantan dan wanita, ia mulai membidik. Dalam satu tarikan napas, ia melepas panah dan meluncurkannya. Alhasil, panah itu tepat menembus jantung si betina dan membuatnya langsung terkapar seketika.

   Si jantan termangu diam, menjilati bibir si betina agar terbangun, namun sayang nyawanya sudah tak tertolong. Dengan sorot mata hitam yang meregang nyawa, si betina seolah-olah menyuruh si jantan untuk pergi meninggalkannya.

   Namun si pejantan tak pergi hingga Abi menghampiri dengan pisau terhunus. Mengetahui bahwa nyawanya bisa jadi incaran, si jantan lari terbirit-birit. Abi yang menyaksikan hal itu merasa tersinggung. Apakah ia hanya meninggalkan orang yang ia kasihi seperti si penjantan rusa ini?

   Ia tidak berpikir lebih jauh. Rusa berbeda dengan manusia. Mereka hanya bertindak sesuai dengan naluri mereka, bukan akal. Abi menguliti rusa itu, menyeretnya ke pohon terdekat dan menggantungnya di sana hingga darahnya benar-benar habis. Sembari menunggu tetesan darah, Abi membuat api unggun karena sudah sore hari. Ketika api sudah cukup besar, ia memotong rusa itu menjadi beberapa bagian untuk dirinya makan.

   Ketika memanggang, aroma lembut daging yang diolesi rempah itu sudah menggelitik hidungnya. Itu malam perburuan yang sama, tapi entah kenapa ia tersakiti. Satu gigitan dan ia pecah dalam tangisan.

   “Ga...wain...” ia menyeka matanya yang basah. “Ke...napa?” tanyanya dengan nada bergetar. Sudah dua kali Gawain menyelamatkan Abi. Satu kehilangan kaki, satunya tertebas. “Kenapa?”

   “Kau tanya kenapa?” mendengar suara itu, Abi langsung mengambil busur dan panah di sebelahnya, lalu bersiaga membidik satu sosok di depannya. Aura sosok itu begitu tipis, saking tipisnya Abi tak mengetahui kedatangan sosok itu. “Tenanglah, penyihir. Mari kita bicara sejenak.” Sosok itu keluar dari bayangan. Abi mendapati Tigra Lily bersandar di pohon dengan bersedekap. Rupanya ia memang benar-benar menepati janjinya.

   Abi menegakkan tubuhnya lalu mengembalikan ekspresi datarnya. “Sudah lama sekali aku tidak dipanggil semacam itu. Sejak kapan kau mengetahuinya?”

   “Pertama kali kita bertemu. Aku sudah punya firasat buruk tentangmu. Baumu yang amis dan ditutup-tutupi itu makin menambah kecurigaanku...” Tigra Lily maju lalu mengambil potongan daging di atas api unggun, “aku rasa, pemuda itu juga tidak punya selera yang buruk. Kau masih manis untuk ukuran orang seumurmu!”

   “Gawain bukanlah orang murahan dengan cintanya. Dia kukuh, gigih, dan tentunya setia,” tanggap Abi.

   “Bukankah hal itu yang malah membuatmu menyukainya?”

   “Kau tahu sendiri bukan, kami Penyihir Abadi berumur panjang.” Rasa-rasanya Abi tak perlu menutupi identitasnya lagi. Ia sudah diketahui dan bahkan Tigra Lily tak tanggung-tanggung membahasnya. “Dia hanya manusia berumur pendek. Aku tidak ingin mengatakan ini tapi, ingatan adalah berkah sekaligus kutukan tersendiri. Kadang mereka membawa kenangan manis yang fana dan mengkhianati kita dengan kepahitan fakta sepeninggalnya—sepeninggal orang yang kita sayangi.”

   “Kebijaksanaan dari orang berumur lama memang berbeda... tapi tetap saja, aku belum terbiasa melihat Penyihir Abadi dengan mata kepalaku sendiri.” Tigra Lily memandangi langit, “tapi kau tahu, penyihir cilik, kita adalah makhluk bodoh. Kita hanya bisa menikmati waktu yang ada di sisa hidup kita. Aku tidak pantas mengatakan ini karena aku juga berumur panjang, tapi ketahuilah, kebahagiaan umat manusia hanyalah sesederhana itu.”

   Abi tak menyela pembicaraan itu, tapi juga tak mendengarkannya. “Omong-omong, siapa saja yang tahu?”

   “Hanya diriku seorang. Tenang saja, aku bukan tipe wanita yang sering menebar aib orang-orang.”

   Hening, keduanya melanjutkan makan malam mereka. Tigra Lily yang memang bertaring kucing dengan cepat menyantap habis bagian dada rusa. Abi yang berusaha menjaga etiket makan sedikit terganggu, tapi ia tahu bahwa perbedaan ras juga membawa perbedaan budaya. Ketika melihat Abi yang melamun, Tigra Lily mulai membuka mulut, “jika kau berpikir tentang pemuda itu, tenanglah, dia sama sepertimu.”

   “Apa maksudmu?”

   “Dia punya keabadian. Oh hei! Aku kira kalian sepasang kekasih, apa aku salah?”

   Abi mengernyit, ia baru saja mendengar kabar itu. “Kau tak percaya? Aku dengar dari Petra kalau pemuda itu memberimu jurnal. Dari sana kau akan tahu siapa jati diri pemuda itu.”

   Tangan Abi langsung merogoh tas kecilnya. Dia langsung membuka jurnal itu, membacanya sekilas. Di awal bagian jurnal, terdapat cerita dari Loth Orkney. Di tengah jurnal, tulisan tangan yang ada telah berubah. Itu tulisan tangan Gawain. Dari sana, Gawain mulai menulis ulang. “Erno Orkney... jadi itu nama pertamanya...”

   Tigra Lily bangkit dari duduknya lalu berbalik hendak pergi. Abi memanggilnya lalu bertanya, “kenapa kau memberitahukan hal ini?”

   “Karena kita akan melupakannya.” Wanita itu mengangkat tangannya yang bersinar karena tempias peri sekitar, “jika semua ini sesuai dengan rencana dan prediksi Gawain, maka hal-hal ini tidak akan pernah terjadi: pertemuan kita malam ini contohnya.”

   “Apa maksudmu?”

   “Oberon akan mati di tangan Gawain. Mengetahui bahwa Oberon adalah orang yang mengendalikan penangkal Distorsi Waktu di Perairan Iblis, Neverland, dan Tír na nÓg, akan banyak imbas besar. Perairan Iblis tidak pernah akan ada, juga Neverland akan jadi dongeng belaka, dan Tír na nÓg hanya jadi legenda. Tidak hanya itu, Distorsi Waktu akan terjadi di tempat ini. Waktu akan mengalir pada urutan yang acak dan tak terkira. Yang terburuk, ingatan kita akan berubah. Aku besok atau lusa tak memiliki ingatan tentang pertemuan malam ini—karena pada dasarnya, Neverland hanyalah legenda palsu, dan karena Neverland adalah legenda palsu, maka kalian tak pernah ke sini, kau paham maksudku bukan? Kalian bisa pulang kembali ke rumah kalian...”

   Abi yang juga setengah sibuk membaca jurnal Gawain. Dari sana, ada kecil kesempatan Gawain ingat—ia bukanlah Penyihir Abadi asli. Lagipula, tiap sihir yang ia gunakan, sepersekian ingatan Gawain akan digantikan atau hilang. Abi akhirnya memahami apa maksud ucapan Gawain pagi tadi agar pemuda itu dikenang... ia merasa bodoh. Sekarang Gawain amat bergantung pada Abi untuk melanjutkan jurnalnya itu. “Jangan ragu, penyihir. Sudah jadi tugasmu—orang yang masih mengingat apapun setelah Distorsi Waktu esok ini untuk menceritakan hal yang terjadi di lain hari. Aku mengandalkanmu, penyihir cilik...” ucapnya sambil melambaikan tangan, pergi.

   “Omong-omong, jika pemuda itu kembali, segeralah nyatakan cintamu...” Tigra Lily menoleh. Dari iringan, Abi tahu wajah sedih Tigra Lily, “jika kau benar-benar menyayanginya, maka buatlah dia jadi milikmu.”

   “Dia sudah memiliki orang lain.”

   “Aku tidak pantas mengatakan ini pada orang yang lebih berumur dariku, tapi aku sudah melihat sendiri...” Tigra Lily menggantung kalimatnya, demi merangkai kalimat yang lain, “Andai saja... andai saja aku bertindak lebih cepat daripada gadis itu... andai saja aku lebih berani bicara pada Petra, mungkin dia tak mendapati tragedi, mungkin saja kami hidup bahagia, mungkin saja kami berhasil pergi dari Neverland sebelum Oberon memasang penangkal.”

   Wanita itu lebih berpengalaman dalam hal cinta seperti ini. Abi tahu jalan yang ada di depan Gawain dipenuhi duri. Semakin Gawain meraih Florence—yang Abi ketahui dari jurnal—makin berat tantangan yang menunggu. Penuh pengorbanan. Bahkan Gawain mungkin tidak kembali seperti sedia kala; rusak seperti perkakas dan terbuang. Tigra Lily benar di satu hal; bila ia memang mencintai Gawain sepenuh hati, maka ia harus mencegah Gawain untuk merusak dirinya lagi.

   “Selamat tinggal, penyihir cilik. Aku harap kita bisa bertemu lagi, meskipun itu nanti jadi pertemuan kita yang pertama!”

   Kali ini Tigra Lily benar-benar lenyap dari pandangan Abi. Keadaan benar-benar hening, jadi ia melanjutkan tulisan di jurnal itu hingga larut malam. Setelah usai menulis jurnal itu hingga kejadian paling akhir, Abi tertidur pulas dengan senyuman dan sebenih air mata menetes.

                                                                                                         ***

Quak! Quak! Suara kicauan burung kakaktua membangunkan Abi dari tidurnya. Hari masih pagi; embun masih hinggap di dedaunan, dan tentunya sang surya masih malas. Jarang sekali Abi tertidur di malam hari karena ia harus bersiaga. Beruntung baginya tidak ada hewan buas yang datang menghampiri—lagipula, jika ada, ia langsung melompat bangun dengan busur dan panah siaga.

   Uap air dari napas Abi tambak mengepul pekat. Tubuhnya menggigil. Ia segera menggosok-gosok kayu untuk memercik dedaunan kering. Api unggun menyala, ia langsung mendekat guna menghangatkan diri. Semburat mentari terlihat, tapi langit masih gelap dengan bulan yang menggantung di barat.

   Tiba-tiba, sebuah bayangan melintas dari sisi utara. Bayangan itu cukup besar dan cepat. Hewan-hewan hutan yang terlelap bangun dan panik ketakutan. “Bayangan yang besar dan melintas cepat di udara? Mungkin saja seekor naga!” batin Abi sembari memanjat pohon terdekat. Karena langit gelap, bayangan itu tak terlihat dengan jelas, tapi bayangan itu melintasi pulau dari utara ke selatan.

   Abi turun cepat-cepat. Ini bisa jadi pertanda bahaya! Api unggun langsung ia timbun dengan api dan mati. Dengan gerakan tangan yang tangkas, ia mengambil peralatannya lalu beranjak pergi. Langkahnya cukup cepat, ia berpindah dari pijakan demi pijakan yang tak ia anggap licin.

   Beberapa tigra menyamai langkah kakinya. Tigra yang mengenalnya berteriak bertanya, “demi Dewa-Dewi! Apakah Kaisar Oberon mengirim bala tentara naga?!” gerutu mereka dengan senjata seadanya. Meskipun tubuh mereka ditutupi baju besi seberat sepuluh kilogram lebih, tapi lari mereka cukup untuk menyamai Abi yang memang kesit dengan baju ringan petualangnya.

   Ketika sampai di pesisir, matahari sudah tampil setengah. Anggota-anggota kelasi lain juga terbangun akibat gemuruh yang terasa amat dekat. Semua dari mereka mengucek mata, lalu juga ikut menyaksikan benda besar itu melayang di udara, lalu turun berdebum dengan keras ke laut hingga menyebabkan ombak setinggi lima depa!

   Benda itu akhirnya bermandikan sinar mentari hingga semua orang di sana dapat menyaksikan bentuk benda itu seutuhnya. “Itu...” kata semua kelasi hampir tercekat, “itu Kapal Fortuner! Itu kapal kita!” sorak sorai kelasi hingga membangunkan mereka yang masih terlelap.

   Semua orang tak percaya, bagaimana kapal itu ada? Bahkan yang lebih membingungkan, bagaimana kapal itu melayang terbang? Di tengah sorak sorai dan tarian penuh bahagia semua kelasi, muncul sebuah suara lantang yang seolah-olah membelah langit. Suara itu adalah tembakan pistol ke udara. Semua orang memasang matanya, mencari asal suara dan mendapati sepucuk asap di geladak kapal.

   Abi memicingkan mata, melihat sosok itu dengan raut tak percaya, “Gawain!” serunya tertahan. Ia menitihkan tangisan air mata bahagia melihat pemuda itu akhirnya kembali.

   “KAPTEN! HIDUP KAPTEN! HIDUP FORTUNER!” sorak semua anggota kelasi yang lain. Beberapa dari mereka tanpa pikir panjang langsung menyeburkan diri dan berenang ke sana, beberapa yang lain masih cukup berakal untuk berlari ke pondok mereka, menggotong sampan bekas, lalu mendayung ke kapal kebanggaan mereka.

   Tidak hanya Abi sajalah yang menangis bahagia. Orang sekuat Parsha melepas bandana di kepalanya yang botak itu, lalu menyeka matanya yang basah. Kurish beda lagi, ia hanya menggeleng-gelengkan kepalanya, menepuk jidat, seraya berkata, “rupa-rupanya ia ingin pamer dengan kepulangannya.” Kedua pria itu hanya menunggu di pondokan, sama seperti Abi.

   “Pemuda itu berhasil!” seru suara dari belakang. Abi mengenalinya dan menoleh, mendapati Tigra Lily yang dikawal dengan dua penjaga kepercayaannya itu membuka mulut menganga. “Puji Dewi Artemia, dia benar-benar berhasil kembali!”

   “Pemuda itu adalah pria sejati, Lily,” kali ini Petra datang dengan berayun dari pohon. Ia berdiri angkuh seolah dirinyalah yang berderajat tinggi. “Dia menepati janjinya dengan mengalahkan Oberon dan membebaskan kita dari Neverland. Tapi yang membuatku heran, bagaimana Gawain dapat merencanakan semuanya? Ia membuatku tertarik!”

   “Jarang sekali kau mengingat nama seseorang, Petra.”

   “Aku dan dia adalah sepasang sahabat; dan sesuai dengan etika sosial, aku akan selalu mengingat—tunggu dulu, bukankah Distorsi Waktu... apakah pemuda ini juga berhasil mencegah Distorsi Waktu? Sungguh hebat!”

   Kapal Fortuner menepi ke pesisir di mana orang-orang itu sudah menunggu. Setelah melempar sauh, kapal itu akhirnya berlabuh. Abi yang sudah tak tahan langsung memanjat naik ke tangga, berlarian menuju Gawain yang masih memberi komando di belakang kemudi dan melompat memeluknya. “Selamat pulang, Gawain,” ucapnya lirih.

   Dimanapun, siapapun, dan kapanpun, dekapan seorang gadis untuk sambutan pulang adalah idaman tiap pria. Ucapan itu sama seperti yang dikatakan Florence kala itu, ah, sungguh membawa nostalgia. Dengan membalas rengkuhan itu, Gawain berbisik, “iya, aku pulang...”

How do you feel about this chapter?

0 0 0 0 0 0
Submit A Comment
Comments (3)
  • haruray

    ntap

    Comment on chapter Fiveteen: Persona
  • KurniaRamdan39

    @Ardhio_Prantoko Thanks Mas Ardhio atas semangatnya!

    Comment on chapter Fourteen: Retribution
  • Ardhio_Prantoko

    Aku sih YES sama cerita ini. Alurnya kompleks dan terarah. Implementasi figur tokohnya aku suka. Ditunggu kelanjutannya. Respect for writer

    Comment on chapter Fourteen: Retribution
Similar Tags
Bee And Friends
2986      1172     1     
Fantasy
Bee, seorang cewek pendiam, cupu, dan kuper. Di kehidupannya, ia kerap diejek oleh saudara-saudaranya. Walau kerap diejek, tetapi ia memiliki dunianya sendiri. Di dunianya, ia suka sekali menulis. Nyatanya, dikala ia sendiri, ia mempunyai seseorang yang dianggap sebagai "Teman Khayalan". Sesosok karakter ciptaannya yang ditulisnya. Teman Khayalannya itulah ia kerap curhat dan mereka kerap meneman...
Wabi Sabi
90      73     2     
Fantasy
Seorang Asisten Dewi, shinigami, siluman rubah, dan kucing luar biasa—mereka terjebak dalam wabi sabi; batas dunia orang hidup dan mati. Sebuah batas yang mengajarkan jika keindahan tidak butuh kesempurnaan untuk tumbuh.
Jikan no Masuku: Hogosha
3956      1393     2     
Mystery
Jikan no Masuku: Hogosha (The Mask of Time: The Guardian) Pada awalnya Yuua hanya berniat kalau dirinya datang ke sebuah sekolah asrama untuk menyembuhkan diri atas penawaran sepupunya, Shin. Dia tidak tahu alasan lain si sepupu walau dirinya sedikit curiga di awal. Meski begitu ia ingin menunjukkan pada Shin, bahwa dirinya bisa lebih berani untuk bersosialisasi dan bertemu banyak orang kede...
Ghea
471      309     1     
Action
Ini tentang Ghea, Ghea dengan segala kerapuhannya, Ghea dengan harapan hidupnya, dengan dendam yang masih berkobar di dalam dadanya. Ghea memantapkan niatnya untuk mencari tahu, siapa saja yang terlibat dalam pembunuhan ibunya. Penyamaran pun di lakukan, sikap dan nama palsu di gunakan, demi keamanan dia dan beserta rekan nya. Saat misi mereka hampir berhasil, siapa sangka musuh lamany...
PRECIOUS STONE
499      374     4     
Short Story
He kept walking forward, once he stepped he could not go back to the same place. Jerren feels there is something missing in his life, he keeps looking for things that make his heart feel nothing.
Bye, World
7785      1836     26     
Science Fiction
Zo'r The Series: Book 1 - Zo'r : The Teenagers Book 2 - Zo'r : The Scientist Zo'r The Series Special Story - Bye, World "Bagaimana ... jika takdir mereka berubah?" Mereka adalah Zo'r, kelompok pembunuh terhebat yang diincar oleh kepolisian seluruh dunia. Identitas mereka tidak bisa dipastikan, banyak yang bilang, mereka adalah mutan, juga ada yang bilang, mereka adalah sekumpul...
Train to Heaven
976      654     2     
Fantasy
Bagaimana jika kereta yang kamu naiki mengalami kecelakaan dan kamu terlempar di kereta misterius yang berbeda dari sebelumnya? Kasih pulang ke daerah asalnya setelah lulus menjadi Sarjana di Bandung. Di perjalanan, ternyata kereta yang dia naiki mengalami kecelakaan dan dia di gerbong 1 mengalami dampak yang parah. Saat bangun, ia mendapati dirinya berpindah tempat di kereta yang tidak ia ken...
Evolution Zhurria
348      225     4     
Romance
A story about the evolution of Zhurria, where lives begin, yet never end.
The Presidents Savior
9647      2111     16     
Action
Semua remaja berbahaya! Namun bahaya yang sering mereka hadapi berputar di masalah membuat onar di sekolah, masuk perkumpulan tidak jelas yang sok keren atau berkelahi dengan sesama remaja lainnya demi merebutkan cinta monyet. Bahaya yang Diana hadapi tentu berbeda karena ia bukan sembarang remaja. Karena ia adalah putri tunggal presiden dan Diana akan menjaga nama baik ayahnya, meskipun seten...
Reaksi Kimia (update)
5777      1532     7     
Romance
》Ketika Kesempurnaan Mengaggumi Kesederhanaan《 "Dua orang bersama itu seperti reaksi kimia. Jika kamu menggabungkan dua hal yang identik, tidak ada reaksi kimia yang di lihat. Lain halnya dengan dua hal yang berbeda disatukan, pasti dapat menghasilkan percikan yang tidak terduga" ~Alvaro Marcello Anindito~