Loading...
Logo TinLit
Read Story - The Eternal Witch
MENU
About Us  

Kini Gawain mengerti apa yang dimaksud dengan sebutan dirinya sebagai “Anak Jenius.” Setelah melakukan kontrak penuh dengan Florence, semua tulisan tersembunyi di lembaran kosong jurnal ayahnya muncul secara tiba-tiba. Semuanya tertulis dengan tulisan rune juga enkripsi unik yang belum ia temui sebelumnya, tapi ia bisa membaca semuanya.

   Orang jenius dapat mengerjakan apa yang tidak bisa dilihat orang lain. Itu benar, ia kini merasa jenius seketika melihat semua enkripsi rune di jurnal ayahnya. Setelah menelaah, semua enkripsi unik itu adalah teknik sihir dan mantra yang dikuasai ayahnya. Hanya butuh semalam suntuk untuk mempelajarinya, Gawain sudah menguasai semua teknik. Meskipun ia senang dengan kemampuan sihirnya, tapi ia tidak berbangga diri; ia serasa memakan mayat ayahnya untuk mendapatkan kemampuan ini.

   Tidak hanya kemampuan sihir yang ia dapatkan, tapi juga kaki kanannya. Gawain tidak memerlukan tongkat lagi untuk berjalan. Ia dapat melompat, berlari, menjungkir, dan sebagainya. Sebagai bonusnya, Gawain abadi dari penuaan.

   Pada pagi hari, ia menghirup udara segar menyambut hari baru. Sekarang tujuannya sudah jelas: memburu Penyihir Abadi yang lain. Untuk petunjuk bagaimana cara mencari mereka, seseorang sudah memberi tahu Gawain melalui jurnal. Dengan mantra tertentu, buku jurnal tersebut juga bisa digunakan untuk alat komunikasi. Gawain tak mengenal siapa yang menyampaikan pesan melalui buku itu, tapi dilihat dari tulisannya, orang itu dapat dipercaya—meskipun tidak sepenuhnya.

   Di saat yang sama, tanpa Gawain ketahui sedikitpun tentang identitas teman baru bicaranya, Sofia menulis di meja kerjanya. “Apa pekerjaanmu?” secepat mungkin ia perlu menemukan identitas pemilik jurnal yang lain dengan paksaan. Ia yakin dengan jaringan luas Guild, ia bisa mengetahui siapa temannya ini cepat atau lambat.

   “Mantan petualang. Kini pengangguran dan mungkin akan kembali berpetualang lagi,” tulis Gawain.

   “Kemana?

   “Entahlah, apakah seorang petualang membutuhkan tujuan di awal? Kurasa tidak; ia kan menemukan tujuannya di perjalanan.

   “Dia seorang petualang sejati...” gumam Sofia. “Dilihat dari bagaimana cara ia membahasnya, ia mungkin bijak dan sudah berumur lama....” dalam pikiran Sofia, ia berbicara dengan seseorang yang lebih tua dan bijak daripada dirinya, padahal dia salah. “Seperti yang diharapkan dari orang pilihan Master Septim!”

   “Bagaimana ke tanah Tír na nÓg? Dari yang kudengar petualangan ke sana cukup menegangkan dan penuh kejutan. Apa kau tertarik? Aku dengar Asosiasi Sihir akan melakukan ekspedisi ke sana!” Sofia tersenyum kecil. Dengan ini, ia dapat mencarikan petualang veteran untuk anggota armada Hartein sekaligus mencari identitas asli Gawain.

   Gawain berdiam sesaat. Ia bertanya-tanya mengapa melakukan ekspedisi ke Tír na nÓg? Perlu beberapa menit pemuda itu berpikir dan akhirnya ia menyimpulkan suatu hal, “Asosiasi Sihir memerlukan bantuan para peri rupanya. Baiklah. Jika mereka bisa jadi batu loncatan untuk memburu Penyihir Abadi, kenapa tidak?” gumam Gawain.

   “Terima kasih, kawanku di sana. Engkau telah berbaik hati memberi kompas pada orang yang telah kehilangan arah ini. Semoga Dewi Hestias selalu memberkati keluargamu.” Dengan itu, Gawain menutup jurnalnya dan beranjak dari meja kerja Enire. Rumah Enire kini tak berpenghuni, kosong melompong tanpa siapapun di sana. Dengan kunci yang ditinggalkan Enire, Gawain mengunci pintu itu dan menyimpannya di saku. Saat ia merogoh saku, ia merasa ganji dan tak terbiasa karena semua permatanya telah habis. Itu tak apa. Meskipun ia tak memiliki sepeser pun, ia masih dapat makan.

   Lagipula, ia masih memiliki tiket emas dari Lucas Han’s. Dengan tiket itu, ia berjalan menuju kuil terdekat, berbicara dengan pengurus harian pendeta dan menunjukkannya. Tanpa banyak bicara dan urusan yang berbelit, ia sudah mendapat lima keping emas—cukup baginya untuk hidup satu bulan dengan menganggur.

   Uang itu ia bagi menjadi beberapa bagian. Salah satu bagian adalah membeli identitas baru. Dengan kemampuan barunya, Gawain mencoba membuat identitas baru sebagai seorang penyihir sekaligus tabib. Pada siang itu, ia membeli satu set baju petualang baru berwarna merah tua, berbagai gulungan perkamen sihir, permata sihir, serta obat-obatan berupa salep. Di sore harinya, ia pergi ke Guild petualang, mendaftarkan dirinya dengan nama “Gawain” si penyihir.

   Tersisa tiga keping emas dan lima belas keping perak di malam harinya. Lima keping perak ia gunakan untuk menyewa jasa pengiriman berkas yang berisi tiket emas dan sepucuk surat yang ditujukan ke Kota Alasti, kota paling ujung selatan Kerajaan Laitan dan berbatasan langsung dengan Padang Pasir Halina. Rencananya jika urusan Penyihir Abadi ini selesai, ia akan berangkat langsung menuju Amarta menyusul Florence.

   Malam itu, ia tidak tidur dan malahan mengambil tugas dengan sekelompok pemburu amatiran. Dengan pengalamannya, Gawain memberi masukan dan saran kepada kelompok pemburu itu. Di tengah malam, mereka selesai berburu satu kawanan penuh babi hutan yang menganggu kebun di luar Hyulida dan bersegera kembali ke Guild untuk mengambil bayaran.

   Kelompok kecil itu terdiri dari satu pria berbaju zirah yang berperan sebagai tameng utama kelompok, satu pria berbaju tunik yang bertarung dengan belati sebagai senjata utama, satu gadis sebagai pendeta muda dari kuil, dan yang terakhir tentunya Gawain. Malam itu mereka menghabiskan separuh uang mereka untuk minum-minum dan berbincang hingga pagi hari.

   Tiga teman baru Gawain itu terbangun di pagi selanjutnya. Dengan semangat baru, mereka melakukan beberapa tugas di hari itu dan pada larut malam mereka minum-minum. Begitulah keseharian Gawain dua hari berturut-turut.

   Pada pagi hari ketiga—yang bertepatan dengan hari terakhir pendaftaran armada Hartein— Gawain mengatakan bahwa ia memiliki niatan lain dan ingin keluar dari kelompok. Ketiganya tidak banyak bicara, malahan senang hati melepas kepergian Gawain karena Gawain selain penyihir yang ahli dan cerdas, ia punya banyak pengalaman. “Akan sangat sia-sia bila Anda bersama kami,” ucap ketiganya.

   Pada sore hari, mereka sengaja berhenti lebih awal demi pesta perpisahan. Mereka minum lebih banyak dari biasanya dan mabuk lebih cepat. Saat semua petualang amatiran itu sudah tak sadarkan diri, Gawain diam-diam mencuri sebagian uang mereka dan menyisakannya tiga keping emas masing-masing. “Paling-paling, mereka tidak menyadari bahwa aku mencuri uang mereka,” batin Gawain. Sebelum benar-benar pergi, ia menulis catatan kecil yang berisi pesan dan saran terakhir darinya: “berhati-hatilah pada orang yang tak kau kenal, kawanku sekalian. Jika kalian ceroboh, kalian akan dirampok habis-habisan!” Memang Gawain tak ingin mencuri. Ia hanya ingin memberi pelajaran berharga melalui pengalaman langsung agar mereka dapat berdiri lebih kuat dengan kaki mereka sendiri meskipun ia lah yang jadi kambing hitamnya.

   Angin kering malam musim panas bersiul keras di telinga Gawain yang berlari cepat. Purnama telah menggantung tinggi di langit, tanda malam sudah benar-benar larut. Dalam beberapa menit, ia sudah sampai di gedung Asosiasi Sihir dan cepat-cepat menuju lobi. Seorang pengurus menyambutnya dan menawarinya dengan beberapa layanan. Gawain langsung menyatakan bahwa ia ingin masuk ke armada kapal.

   “Siapa nama Anda?” tanya si pengurus.

   Gawain tak menjawab dengan kata; ia memberikan dua keping emas hasil curian. Si pengurus tahu maksudnya; cukup mengarang suatu nama. “Kalau begitu, selamat berlayar tuan Eias.”

   Gawain bernapas lega, ia sudah cukup menutup identitasnya dengan sempurna. Ketika ditanya Florence mengapa repot-repot membuat identitas baru? Dengan gumaman kecil seperti orang berbicara sendiri, Gawain menjawab, “ada besar kemungkinan seseorang mengincarku. Kau ingat ketika Topeng Hitam membabat habis Grende dan menyiksaku dengan pedih kala itu? Dari sana, ia tahu bahwa Erno Orkney masih hidup. Ia memang kehilangan jejakku setelah kejadian itu selama beberapa bulan lamanya. Tapi kemarin, ketika Florence ditikam, ada kemungkinan musuh kita mengetahui identitas Si Pengembara Kesepian. Kau paham maksudku?”

   “Sama seperti ayahmu, kau cerdas dalam mengatur strategi. Tapi, mengapa dengan nama Gawain? Bukankah kau masih meninggalkan jejak kalau begitu?

   “Kalau itu, kita lihat terlebih dahulu. Aku punya alasan lain mengapa aku sengaja melakukannya.”

   Untuk pertama dalam tiga hari, Gawain memilih bermalam di sebuah penginapan murah. Ia cukup tidur selama dua jam dan bangun pagi-pagi, mencomot sebuah apel di salah satu kios, lalu bertolak menuju karavan ekspedisi. Karena kabar angin yang menyatakan bahwa dirinya seorang penyihir yang ahli, ia ditempatkan di kapal utama sebagai pasukan.

   Setelah menempuh perjalanan dua hari menuju kota pelabuhan paling utara di Laitan, mereka berangkat menuju tanah yang tak kan ditemukan oleh pelaut manapun, tanah di mana harta yang belum pernah kalian temui menunggu, tanah yang bahkan digadang-gadang berada di ujung dunia; itulah Tír na nÓg atau sering kali para pelaut-pelaut tua memanggilnya dengan sebutan Neverland.

                                                                                                    ***

Bongkahan batu lumos seukuran kepalan tangan tampak bertumpuk-tumpuk di tengah geladak kapal. Dengan warnanya yang merah keemasan, seseorang mungkin mengira bahwa sebuah unggun sedang dibakar di kapal. Semua anggota berkumpul di sana tak terkecuali Gawain. Dari kejauhan, Gawain mendapati aktivitas yang sama juga dilakukan di lima kapal yang lain; bedanya di sini lebih banyak anggota dan juga lebih banyak tumpukan lumos.

   “Selamat datang di armada kapalku, wahai petualang, kelasi, dan pelaut!” suara seorang wanita terdengar. Gawain menengoknya, mengetahui betul wanita berambut merah dengan mata kanan tertutup luka gores. Dia adalah kapten seluruh armada dan orang yang Gawain kenal: Alkiey Hartein, salah satu Petinggi Asosiasi.

   Melihat tampang wajahnya yang cantik sekaligus sangar dan garang, kebanyakan anggota menelan ludah. “Hei-hei tenanglah kalian. Apa aku sebegitu menakutkannya bagi kalian? Oh ayolah!” Hartein mengambil kotak peti kosong dan duduk di atasnya. Ia melepas topi kapten kapalnya, memamerkan rambut panjang sepinggulnya yang merah darah. Angin laut malam meniup rambutnya tuk berkibar mengikuti layar. Cahaya lembut lumos dan purnama mencerahkan postur tubuh wanita idaman di balik remangnya kapal.

   “Aku adalah—tunggu, aku rasa kalian sudah mengenalku, bukan? Alas, aku belum mengenal kalian, aye? Jadi, bagaimana bila kalian yang bicara, huh?” jemari Hartein berputar-putar, memilih-milih orang yang terlihat menarik baginya dan berhenti. “Coba dari kau! Kulihat kau seorang terpelajar, aye?” seringainya diselingi dengan telunjuk mengarah ke Gawain.

   “Aye, Kapiten!” Gawain berdiri ke tengah unggun lumos dan mulai bicara, “namaku Eias. Aku petualang amatiran. Aku di sini sebagai penyihir. Ada yang ditanyakan?”

   “Lepas tudungmu, bung!” sergah Hartein sembari tertawa meminum anggur, “kau tahu ada suku di timur yang memiliki tradisi untuk mandi bersama agar mengenal kawannya! Hei! Bayangkan pria muda ini terdampar di sana! Bahkan dia tidak mau menunjukkan wajahnya, apalagi tubuhnya, aye?!” Hartein tertawa keras-keras diikuti dengan seluruh anggota. “Kesan pertama yang bagus, aye!”

    Gawain tidak merasa tersindir, tapi ia berani menerima tantangan Hartein. “Aye, kapiten! Jangan sampai kau jatuh cinta padaku bila kau melihat wajah tampan ini!” godanya. Suara siulan dan sorakan ramai terdengar hingga menggetarkan lantai yang Gawain pijaki. Dengan tabuhan genderang agar tampak lebih dramatis, Gawain perlahan menurunkan tudungnya.

    Siulan semakin ramai ketika wajah Gawain terekspos. Beberapa mengatakan ia memang tampan. Sorot mata hitamnya yang dingin, bengis, dan penuh perhitungan itu menjadi daya tarik tersendiri. Gawain merekahkan senyum dan menunduk, malahan ia menawarkan diri untuk menyanyi demi mengakrabkan diri dengan kawan-kawan barunya ini. Tapi keadaan itu berhenti karena suara pecahan botol anggur.

   Semua kelasi bergidik. Hartein yang sedari tadi minum dengan gelak tawa kini terdiam. Pias wajahnya yang garang membuat semua orang kesulitan mengetahui isi hatinya. Sesaat kerumunan benar-benar hening, ia akhirnya angkat bicara, “keparat, apakah aku sudah terlalu mabuk hingga botolku meleset?! Kurish! Ambilkan aku botol yang lain!” dengan itu, salah seorang kelasi senior pergi ke lambung kapal. Hartein berdiri dari tempat duduknya, mendekat menuju Gawain.

   Gawain tak mundur, malahan ia maju dengan seringai penuh percaya diri. “Oh, apakah hati wanita milik kapiten yang dikenal bengis dan beringas di lautan utara ini tergetar, kawan-kawan? Bahkan ia sampai menjatuhkan Anggur Bourdon dari tangannya!”

   Seharusnya, kawanan bersorak ramai. Tapi melihat air muka Hartein yang semakin menegang, mereka diam. Hanya Gawain sajalah yang benar-benar berani berbicara. Tanpa disuruh siapa pun, hanya cukup dengan melirik pedang bajak laut yang tersampir di pinggang kanan dan pistol di pinggang kiri Hartein, Gawain bertekuk lutut dan menunduk dalam-dalam, “maafkan aku kapiten! Aku rasa aku terlalu berlebihan! Apapun hukumannya akan kulakukan, asal jangan ambil nyawaku!” serunya lirih.

    Insting Gawain berteriak. Ia sudah merasa pancaran sihir dari tubuh Hartein. Baru kali ini ia melihat pancaran sehebat itu. “Apakah ini kekuatan sesungguhnya Petinggi Asosiasi?” batin Gawain dengan peluh berkucuran. Ia bahkan tidak berani mendongak, cukup merasakan aura sihir sekuat itu sudah menciutkan nyalinya.

   “Angkat kepalamu.”

   Gawain diam tak mengangkat kepalanya.

   “Angkat kepalamu!” hardik Hartein lebih keras.

   Gawain tetap bersikukuh menunduk. Pekikan Florence menyuruh Gawain agar menurut. Baru ketika sebuah palu pistol terdengar dan Gawain merasakan sepucuk pistol di ubun-ubunnya, Gawain ragu. “Angkat kepalamu atau kuledakkan kepalamu dan kulihat sendiri wajahmu.” Ucapannya tidak bernada tinggi, namun menusuk dalam.

   Gawain mendesah halus. Perlahan, ia mendongakkan kepala demi mendapati ketakutan yang tak berujung. Ia diam seribu kata. “Siapa namamu?” tanya Hartein.

   “Eias,” jawabnya cepat-cepat.

   Hartein yang sudah puas melihati wajah pemuda itu menyarungkan kembali pistolnya dan berbalik arah untuk kembali duduk. Kurish sudah kembali dengan dua botol anggur yang sama. Hartein menyambar keduanya dan membawanya kembali ke ruangan kapten. “Besok malam... datanglah ke ruanganku besok malam...”

   Agenda malam ini seharusnya diisi dengan perkenalan anggota, tapi malah berhenti di orang pertama dengan kesan pertama yang begitu buruk. Agar tidak runyam, Kurish membawa satu peti penuh botol anggur murahan dan membagikannya kepada anggota baru. Perkenalan anggota dapat dilanjut tanpa kapten di geladak. Semua orang tertawa terpingkal-pingkal jika mengingat tingkah laku Gawain yang begitu berani lalu ketakutan setengah mati.

   Satu persatu nama terpatri di pikiran Gawain. Mereka adalah orang yang baik, tangkas, dan dapat diandalkan. Mereka bernyanyi penuh ria hingga botol terakhir habis dan semuanya terkapar mabuk. Lumos unggun masih menyala, namun meredup. Dari semua orang di sana, hanya Kurish dan Gawain sajalah yang masih terjaga. Kurish sudah mabuk tapi Gawain masih memegang sebotol penuh anggur, jadinya perbincangan antar keduanya tidak menyambung.

   “Dan ada Marsi yang pintar memasak—hick—juga Parsha yang ahli berpe—hick—dang, dan... sampai di mana aku?” gegara anggur, Kurish kecegukan. Tiba-tiba ia menyebut anggota senior lain kepada Gawain. Gawain merasa berterima kasih, itu artinya ia diterima dan sudah diakui oleh Kurish yang paling senior di sini.

   “Oh, ada satu orang lagi. Iya, di—hick—a orang yang diam. Ah, jangan salah pe—hick—laut! Dia bukan sombong, dia hanya ditakuti karena reputasi dan ke—hick—kuatannya.” Dengan tangan yang terombang-ambing selaiknya tali layar ditiup angin malam ini, ia menunjuk angkasa.

   “Maaf... aku tak bermaksud menyinggung hal ini,” Kurish yang malang, lanjut Gawain dalam batinnya. Gawain tak menyangka bahwa Kurish juga mengenalkan dirinya pada orang yang sudah mati. Sudah menjadi tradisi untuk mengenang kawan yang mati dengan melihati konstelasi hari lahirnya lalu mendoakannya dengan kepala mendongak kepada konstelasi yang dimaksud.

   “Tidak, bodoh! Matamu ra—hick—bun, huh?! Lihat di atas sana?!”

   Mata Gawain yang tadinya melurus ke konstelasi bintang kini berubah arah ke bagian tertinggi kapal. Di atas sana, tepat di bawah bendera armada yang berkibar, terdapat tempat kecil yang hanya muat untuk dua orang. Gawain akhirnya paham, teman yang Kurish maksud adalah seorang pengamat di atas sana. “Karena pekerjaannya adalah menga—hick—wasi daerah sekitar dari atas, ia tak ikut minum dengan kita! Dasar keparat serius!” tukas Kurish dengan nada sedikit membentak. Jemari tangan kanannya yang sedari tadi memegang botol kosong melemas, lalu tubuh elf berusia 106 tahun itu rubuh bersamanya. Dengan setengah sadar, ia melanjutkan kalimatnya, “hei, darah baru! Bisakah kau an—hick—tarkan satu botol untuknya?! Aku sebenarnya bisa, ta—hick—pi aku sudah....” bahkan ia tertidur dengan mata separuh terbuka. Sungguh mabuk berat pria satu ini.

   Motif Gawain dalam persona barunya sebagai penyihir adalah berkerabat dengan sebanyak-banyaknya orang—berbeda betul dengan personanya sebagai Si Pengembara Kesepian. Alasan mengapa ia melakukannya adalah untuk menguji jaringan informasi kelompok Topeng Hitam. Jika musuhnya memiliki jaringan informasi yang cepat dan terpercaya, maka hanya hitungan hari Gawain akan disergap.

   Tapi kenyataan bahwa ia berdiri di armada kapal ini menyatakan sebaliknya. Sempat ada pikiran bahwa dalang Topeng Hitam membiarkannya pergi dan merencanakan hal yang lebih besar. Tapi tetap saja; Gawain tak pernah menemukan jawaban logis mengapa kucing membiarkan tikus pergi ke gorong-gorong? Ke tempat yang tak mungkin akan dijangkaunya?

   “Tenang saja, Gawain. Kau tak perlu secemas itu. Mereka tidak akan mengejarmu seandainya mereka tahu tentangmu saat ini.” Tiba-tiba suara Florence terdengar beriringan dengan desauan angin ketika Gawain memanjat tiang dengan membawa sebotol anggur.

   “Kenapa kau bisa seyakin itu, Florence?” gumam Gawain.

   “Dia pasti sedang memburu pemain yang lain, Gawain. Ingat, bukan kalian saja yang bermain di papan catur ini....

   “Papan catur hanya bisa dimainkan dua orang,” dengus Gawain sembari terus naik. Semakin ia ke atas, tekanan angin semakin kuat. Saat ia hampir sampai, tak terasa ia kehilangan pijakan di kaki kanannya dan tergelincir karena tiupan angin. Teriakan Gawain tertangguh di tenggorokannya. Ia meneriakkan nyawanya yang rapuh itu di ambang kematian hingga suatu tangan meraih lengan bajunya. Iya, di lengan bajunya! Bayangkan kalian bertaruh nyawa kalian di ujung ngarai gelap dengan taruhan apakah kain baju kalian robek atau tidak.

   Gawain yang tangkas kembali mengambil pijakan lalu membuat tolakan dan naik ke atas dengan tarikan cepat dari si pengawas. Tempat si pengawas tidaklah sesempit yang ia kira. Ia bahkan bisa merebahkan tubuhnya dan melihati bintang lebih anggun dan jelas daripada di bawah sana. Namun Gawain tak sendiri. Wajah seseorang tiba-tiba muncul di dekat wajahnya. Karena terkejut, Gawain beringsut bangun, membuat mereka berbentukan. Suara teraduh terdengar dari keduanya.

   “Maafkan kecerobohan dan bentukan kepala barusan ini. Ah, aku tahu yang kau pikirkan. Kau mengira bahwa diriku terlalu mabuk hingga memanjat tiang ini seperti orang gila? Tidak. Akan kuluruskan; aku memanjat ini untuk bertemu denganmu. Perkenalkan namaku—”

   Belum usai kalimat Gawain, sebuah api biru menyala di sebuah lentera yang kerangka besinya berkarat. Cahaya api biru membasuh keduanya, lalu menyingkap sosok si pengawas. Dengan mata membelalak, Gawain terperanjat kaget, “Abi!”

   “Lama tak bertemu, Gawain.” Pertama-tama Gawain hampir tak mengenali Abi karena mengenakan kacamata khusus berlapis kulit; yang membuat Gawain mengenalinya adalah rambut keperakan yang khas itu. “Rupanya kau bertemu tabib andal hingga kakimu tampak baik-baik saja.”

   Gawain bersandar santai. Ia tak menyangka-nyangka akan bertemu wajah lama di ekspedisi yang sama bahkan di kapal yang sama. Tidak banyak yang berubah dari Abi; hanya ada satu bekas goresan di batang hidungnya sehingga ia menggunakan penutup wajah. Tidak besar, namun cukup membuat wajah cantiknya ternodai. “Bagaimana kabarmu? Apa luka itu dari orang yang kau incar?”

   Abi terkikik pelan, “tidak. Dia licik bersembunyi.”

   “Kalau boleh tahu, siapa yang kau incar?”

   Abi mengernyitkan dahinya, menimbang apakah tepat memberitahu Gawain. “Maaf, kurasa tak apa bila kau enggan bicara.”

   Abi menatap Gawain lamat-lamat di mata. Dengan desahan kecil sembari bersandar, ia mulai bicara, “aku rasa aku bisa mengatakannya padamu. Lagipula, nasib kita sama semenjak kita sekapal, Gawain.” Abi membuka botol anggur dan meneguknya sekali lalu memberikannya pada Gawain. Gawain menerimanya sembari mendengar Abi. “Ini tentang Penyihir Abadi.”

   Burst! Anggur yang hampir tertelan itu keluar dari mulut Gawain. Dengan separuh terbatuk-batuk, ia menaruh botol anggur itu dan memilih memasang posisi duduk senyaman mungkin. Wajahnya serius dan mengeras, serta telinganya benar-benar terpasang siaga. “Lanjutkan.”

   “Informasi dibayar informasi, bagaimana?”

   Gawain mengangguk, “kau duluan.”

   Mulut Abi yang manis itu bercerita panjang lebar. Ia menceritakan tentang informasi siapa Topeng Hitam. Dugaan Gawain bahwa Topeng Hitam dipimpin oleh Penyihir Abadi memang benar. Abi juga menceritakan bahwa Topeng Hitam bergerak di bawah tanah, mereka menghablur dengan orang-orang sekitar dan sulit untuk dilacak. Di akhir cerita Abi, Gawain menanyakan satu hal terakhir, “mengapa Hyulida?”

   “Sebelumnya, kau pernah mendengar nama Kota Herte?”

   “Sedikit ke Tenggara dari Larista.”

   “Kota itu sama hancurnya dengan Grende juga dengan serangan yang sama. Yang mereka incar adalah guruku.” Suaranya sedikit gentar, namun ia memilih melanjutkan cerita, “guru Lilith mengorbankan nyawanya demi diriku. Alhasil, aku selamat. Tapi mereka tak akan usai di sana...”

   “Biar kusimpulkan, gurumu adalah Penyihir Abadi yang nyawanya diincar oleh Penyihir Abadi yang lain?” tanya Gawain mawas-mawas.

   Sementara itu, di telinga Gawain suara Florence berbisik pelan, “apa kita bisa mempercayai dia?

   “Dengan segenap nyawaku, Florence,” batin Gawain.

   Abi mengangguk kecil. “Dan di sini aku akan membalaskan nyawanya! Aku tak akan berhenti hingga orang itu mati!”

   “Jika kau mempercayainya, bagaimana bila kita bekerja sama?” bisik Florence.

   Gawain diam sejenak sembari terus meneguk anggur. Kepalanya mulai berat dan pandangannya berkunang. Ia heran mengapa Abi tidak mabuk sama sekali; bahkan rona merah di wajahnya tidak terlihat sama sekali. “Apakah gadis ini memang kuat alkohol? Dari ras mana dia, Dwarf?” tanya Gawain di benaknya yang kini kepalanya terasa berputar. Mual di perutnya naik akibat mabuk laut dan anggur. Tapi sungguh tak sopan bila ia muntah di depan gadis.

   Karena tak kuasa, Gawain rubuh. Seakan-akan mengikuti Gawain, Abi merebahkan dirinya di sebelah Gawain. Kelap-kelip beberapa peri laut yang berwarna biru kehijauan tampak mengerubungi mereka. Itu peristiwa yang membuka luka hati Gawain. “Sa’rah... Florence...” tanpa Gawain sadari, dua nama itu terucap pelan. Raut wajah tegasnya berubah menjadi melankolis. Tapi hatinya yang teguh tak membiarkan ia berlama-lama larut dalam arus kesedihan. Ia mengusap matanya, lalu menoleh menuju Abi.

   “Bagaimana bila kita bekerja sama lagi?” tawar Gawain.

   “Bukankah kita memang kru satu kapal? Memang wajar bukan bila kita punya tujuan yang sama.” Abi bangun dan mendongakkan kepalanya menuju langit. Raut wajahnya samar-samar menggambarkan kesedihan yang bercampur amarah. Gawain mengenali raut wajah itu; raut yang sama ketika dirinya bercermin. Dia dan Abi sama: sama-sama dalam perjalanan membalaskan dendam untuk orang yang mereka sayangi.

   Sisa malam mereka habiskan dengan bernyanyi hingga mentari muncul. Gawain yang mendengar keributan di bawah cepat-cepat turun. Karena mata Abi yang tajam sebagai pemanah, ia harus berjaga siang dan malam dan turun hanya dua kali sehari selama tidak lebih sepuluh menit. Kali ini mereka turun dengan cara menarik pengait di sebelah mereka. Saat ditarik dan lompat, tubuh keduanya turun dengan cara elegan.

   Cara yang sama juga Abi lakukan untuk naik. Ia menarik pengait yang lain. Dengan mekanika yang rumit, pengait itu menarik tubuhnya kembali ke atas. Sekarang Gawain merasa bodoh karena memanjat tiang setinggi lima belas depa itu. Kurish cepat-cepat menyambut Gawain yang turun. Dengan tawa lebar, ia berteriak, “ahoy, Eias! Kau bahkan dapat berbicara dengan Si Pembawa Lentera! Kau memang bocah yang unik, kalau kuboleh bilang.”

   “Satu kapal ini haruslah jadi saudara; itulah prinsip petualangku,” tukasnya.

   Gawain bertugas seperti kelasi yang lain. Ia ikut membersihkan lantai-lantai kayu, mengelap dinding-dinding berlumut, pun juga ikut memasak. Di sore hari, semua kelasi berkumpul di lantai bawah sembari bercerita. Gawain kini menjadi pusat perhatian. “Kalian dengar? Setelah ia menembak kapten kita, ia bahkan menundukkan Si Pembawa Lentera! Sungguh darah baru yang satu ini penuh nyali!”

   Suara siulan terdengar riuh rendah. “Si Pembawa Lentera; Gadis itu bahkan tak mau menyapaku ketika berpapasan!” teriak Kurish si juru mudi pertama kapal ini. “Dan kulihat mereka tadi pagi turun bersamaan!” suara seluruh kelasi bertambah gaduh.

   “Cukup candaannya, Kurish. Malahan aku takut dengan tingkah laku kapten kita kemarin malam!” sergah Gawain yang duduk sembari bermain kartu bersama yang lain. “Dia serius betul akan menembakku jika saja aku tak menurut!”

   “Kau salah, mate! Kapiten kita sering berbohong dengan perasaannya! Bukankah dia bilang sendiri bukan, ‘meskipun aku menakutkan tapi aku tetaplah wanita!’ dan kau di sini berhasil membuatnya seperti itu dan bahkan diajak makan malam di kabinnya! Kau beruntung, mate!”

   Kerumunan meneruskan perkataan Kurish. Gawain hanya tersenyum kecut mendengar semua orang menggodanya. Kurish mendekat dan membisikkan sesuatu ke Gawain, “kau masih... perjaka... bukan?”

   Sontak wajah Gawain bersemu merah. Melihat itu, Kurish menertawainya. “Kau naif, anak muda. Kau sudah tahu bukan marabahaya yang menunggu di perjalanan ini, kan? Hei! Jika kau tahu, seharusnya kau menikmati satu malam dengan kekasihmu! Tunggu dulu, jangan-jangan kau tak punya kekasih!” Kurish kali ini benar-benar melepaskan tawanya yang paling keras.

   Di sisi lain, karena mendengar kegaduhan dan setelah meyakinkan diri bahwa perairan akan aman sejauh sepuluh mil, Abi turun dari posnya. Ia yang penasaran segera mengambil porsi makanan dan minumnya, lalu cepat-cepat menghabiskannya. Sebelum ia kembali ke posnya, ia penasaran dengan kegaduhan di ruang berkumpul para kelasi yang terdapat di bagian tengah lambung kapal. Karena jarak dapur dan ruang berkumpul dekat, ia tak perlu masuk untuk mendengar apa yang para kelasi bicarakan.

   Lima menit mendengar, Abi tahu bahwa para kelasi sedang mengolok-olok Gawain. Setiap beberapa detik, Kurish tertawa terbahak-bahak. Dan kini, ia mendengar Kurish mengolok-olok Gawain yang masih belum berpengalaman dengan wanita.

   “Aku di usia semudamu sudah berkali-kali, mate! Coba tanya Parsha di sana! Aye mate, kukira kau sudah beristri. Jika kau ada masalah asmara, jangan sungkan-sungkan bicara dengan kami, mate. Kau tahu, kau sudah punya ruang di hati kami sebagai orang terhormat!” begitu kata Kurish sembari menepuk-nepuk punggung Gawain.

   Suara kegaduhan dan dentingan botol-botol besi terdengar. Meski masih sore, orang-orang ini sudah meneguk anggur walaupun sedikit. Tapi tiba-tiba mereka semua berhenti ketika Parsha mengangkat pedangnya. Melihat betapa menakutkannya pria kekar setinggi sembilan kaki dari ras ogre itu mengangkat pedangnya, semua kelasi terdiam. Hanya Kurish saja yang masih berani bicara. “Kenapa Kepala Pasukan? Padahal kita sedang asik-asiknya bercengkrama hangat! Hoi mate, kenapa tidak kau taruh pedang dan jabatanmu untuk berbaur dengan kita?”

   Parsha yang kurang fasih bicara bahasa umum berkata patah-patah, “dia...menangis...” pedang itu tertunjuk lurus pada Gawain.

   Bahkan tanpa Gawain sadari, ia menitihkan air mata. Ia menyadari di saat Parsha mengatakannya. Ketika melihat kartu yang ia mainkan sudah basah oleh air mata, barulah pemuda itu mengusap matanya.

   Kurish yang sedari tadi tertawa kini diam seribu kata. Ia duduk di sebelah Gawain hingga berlutut untuk meminta maaf. “Apakah aku kelewatan?”

   Ketika Gawain menggunakan identitas sebagai Si Pengembara Kesepian, ia tak akan menunjukkan sisi lemahnya dan menjaga jarak dari semua orang. Tapi, setelah ia hampir kehilangan Florence, ia tidak bisa mengendalikan emosinya. Cinta dan amarah serasa tercampur aduk menjadi satu. Wajahnya yang serius itu berlainan dengan hatinya yang rapuh dan melankolis, namun sama kukuhnya dengan langkah kaki yang ia mantapkan demi meniti hari.

   “Apa ini masalah wanita?” tanya Kurish. Dari sana, semua kelasi tahu mengapa Kurish mengalami perceraian dengan semua istrinya selama lima puluh tahun terakhir; dia bodoh dalam membaca suasana dan perasaan.

   Gawain mengangguk lemah. “Ceritakan pada kami, mate.”

   Semua kelasi lain menepuk dahi mereka hampir secara bebarengan sembari bergumam, “parah betul pria ini hingga tak tahu kondisi hati pemuda malang itu.” Tapi mereka juga penasaran dengan latar belakang dari pemuda yang satu ini.

   Gawain akhirnya angkat bicara. Pertama-tama ia bercerita tentang hidupnya dengan Sa’rah lalu berpisah dengan tragedi. Yang kedua adalah saudaranya sendiri yang ia temui setelah menempuh perjalanan yang cukup jauh, sayang sekarang meregang nyawa, “baru satu minggu lalu aku mengkecup dahinya... iya... baru satu minggu lalu...”

   Semua orang diam dengan kepala tertunduk. Satu-dua kelasi terdengar menangis terharu, bahkan Parsha yang setengah mengerti jalan cerita itu memalingkan pandangannya lalu melepas kain di kepalanya dan menaruhnya di dada; tanda kehormatan dari bangsa ogre. Di tengah-tengah keheningan itu, Kurish berdiri dan kembali bicara. “Maafkan aku, Eias... tak kusangka jalan cintamu penuh duri tragedi... jadi, bagaimana kalau...”

   Gawain melongok ke atas, memandang senyum Kurish. “... bagaimana kalau sekarang gunakan kesempatanmu kepada kapten?”

   Plok! Semua kelasi yang lain menepuk jidatnya keras-keras. “Kau memang tak mengerti perasaan orang, ya, juru mudi pertama...” beberapa orang menariknya keluar menuju geladak dengan paksa. Tampaknya ia akan dipukuli agar lebih sadar dengan kalimat yang ia pilih untuk bicara.

   Abi hanya mendengar sampai itu. Entah mengapa langkah kakinya lebih berat daripada biasanya. Ketika naik menuju posnya, ia merasa pipinya basah karena semburan kecil angin bercampur air laut. Ia langsung terduduk lesu meskipun perutnya kenyang dengan makanan. “Ada apa, Abi?” tanya Ariel, salah satu peri laut.

   “Tidak apa-apa...”

   “Mengapa kau menangis?” dengan juluran tangan kecilnya, Ariel mengambil sebenih air mata yang mengalir di pipi Abi. Menyadari fakta bahwa ia menangis, Abi cepat-cepat menekuk lutut dan menyembunyikan wajahnya di sana. Gadis itu terisak tanpa alasan yang ia ketahui.

   Perlu beberapa saat ia berhenti dan kini ia mengambil busur harpanya. Ia melantunkan lagu sepi sunyap. Aslinya, lagu itu adalah lagu kebahagiaan, tapi itu bergantung dengan keadaan pelantunnya. Sekarang, hati Abi terombang-ambing. Ia menumpahkan segalanya ke dalam lagu yang ia lantunkan hingga membuat semua peri laut yang mendengarnya ikut menangis.

   Mentari terasa terbenam lebih lama bagi Abi. Ia sudah merasa lega. Kini hening dan menenangkan, ia kembali mengawasi lautan yang maha luas di depannya. Suatu suara tali terkerek oleh katrol terdengar, itu artinya seseorang datang. Abi tahu siapa yang datang tanpa menoleh sedikitpun. “Bukankah kau ada janji dengan kapten, Gawain?” tanyanya dengan memunggungi orang yang dimaksud.

   “Tak perlu terburu-buru. Kapiten adalah orang sibuk. Lagipula, agenda makan malam masih larut nanti.”

   Diam sejenak. Gawain merasa keadaan runyam. Sesaat sebelum ia angkat bicara, Abi memotongnya. “Jadi, saat itu yang kau selamatkan adalah tunanganmu, bukan?” ketika Abi menyinggung itu, Gawain jadi tahu siapa yang menembak dua panah ke gang sempit saat ia di Hyulida.

   Gawain diam, dia menunggu Abi melanjutkan kalimatnya. “Kau jauh-jauh ke Hyulida untuk bertemu dengan kekasihmu, bukan?”

   “Oh, rupanya kau tadi mendengar cerita itu...” Gawain mendesah halus, “awalnya tidak. Tapi hatiku berubah ketika sampai di sana. Adikku mencintaiku melebihi apa yang kuminta. Dan sudah sebagai pria aku harus menjawab cintanya.”

   “Walaupun itu terlarang?”

   “Iya, walaupun itu cinta terlarang.” Gawain membusungkan dadanya dan berkata penuh kebanggaan. “Kami memang tidak sedarah. Aku hanyalah anak adopsi. Dan kini aku harus berusaha semampuku untuk membawanya kembali.”

   Abi tak berani menoleh; ia takut Gawain mengetahui bahwa dirinya jatuh hati padanya. Tapi ia tak bisa berbuat banyak. Hati Gawain sudah terpatri kepada gadis lain dan ia bersumpah betul untuk menyelamatkannya. Apakah ia bisa merebutnya untuk dia seorang?

   “Kalau begitu,” Abi memberanikan diri menoleh, “mari kita selamatkan dia!” tegasnya dengan nada suara yang dipalsu-palsukan. Ia menjulurkan tangannya sementara Gawain langsung membalasnya dengan salaman dan senyum penuh arti. Karena remang-remang, Gawain tak melihat buncahan mata Abi.

   Abi memang tak bisa merebut Gawain. Di sisi lain, ia tak bisa memadamkan api cinta yang abadi di hatinya. Dengan begitu, ia ingin selama mungkin menghabiskan waktunya bersama Gawain melalui perjalanan dan petualangan yang menunggu di depan mereka. “Iya, hanya bersama dengannya terasa cukup bagiku...”

                                                                                                      ***

“Selamat datang, aye!” Hartein menyambut Gawain dengan gaun berwarna merah menyala. Desainnya sederhana dan tidak berenda. Tidak seperti wanita pada umumnya, ia tidak mengenakan perhiasan apapun kecuali satu cincin bermahkota batu emerald di jari manis kirinya. Itu bukan hadiah dari suaminya—Hartein belum menikah—melainkan hadiah perpisahan dari mendiang ibunya yang meninggal ketika ia masih belia.

   Interior kabinnya dijejali dengan beragam barang. Yang paling mencolok adalah peta tiga kerajaan yang tertempel di dinding kayu. Bau ruangan yang disesaki oleh lilin dari lemak paus dan dupa sengaja dibuat untuk menyambut Gawain. Gawain yang sebenarnya penasaran ingin saja membuka beberapa buku tua yang bertumpuk di sana dan sini, tapi ia mengurungkan niatnya ketika kapten menyuruhnya duduk.

   Mereka berhadapan. Tidak ada orang selain keduanya, bahkan Parsha yang seharusnya bertugas berjaga di depan pintu diliburkan. Satu keranjang berisi anggur, keju, dan apel terhidang. Hartein mengambil apel dan menggigitnya langsung disusul Gawain. “Jadi, apa yang Anda perlukan dariku?” tanya Gawain tanpa basa-basi.

   Hartein yang tahu bahwa Gawain cukup serius dengan kalimatnya bangun, meraih sepucuk surat dan sebuah jam pasir. Jumlah pasir di atas masih banyak dan dilihat dari debit pasir yang jatuh perlahan, Gawain dapat mengira-ngira jam pasir itu mengukur waktu satu hingga dua minggu. “Baca surat itu, Lothius...”

   Cepat-cepat Gawain mengambil belati. Tapi ia kalah cepat dengan todongan pistol di kepalanya. Gawain tak punya pilihan, bergerak sedikit saja dan kepalanya dapat hancur meledak. “Apanya yang berhati wanita?!” umpat Gawain di hatinya.

   Dengan jemari gemetaran, Gawain membuka surat itu. Di sana terdapat satu pesan singkat:

 

Jika Lothius muda menghampirimu, maka waktumu sudah tak banyak Hartein. Maka dari itu, percayakan tugas yang kau emban padanya.

 

Septimus

 

   “Aku mempercayai Master Septim tapi jelas aku tak mempercayaimu, fellas. Kau muncul dengan wajah yang sama dengan Lothius di kala muda. Siapa kau?!” bentaknya keras-keras sembari mendorong pucuk pistolnya.

   Gawain menelan ludah. Dari yang ia tahu, Hartein adalah keturunan peri Petra Pan; artinya ia dapat mendengar jiwa seseorang dan mengetahuinya kapan lawan bicaranya jujur atau berbohong. Sial, umpat Gawain. “Kuperingatkan sekali lagi. Jika kau berbohong, maka jangan harap tengkorakmu utuh, fellas.”

   “Anda memang bajak laut sejati, Kapiten Hartein. Tegas, anggun, menawan, elegan, dan berani mengambil risiko. Kau sama persis dengan apa yang ayahku ceritakan.”

   Hartein melihat bahwa pemuda di depannya tak berbohong, tapi ia meragukan fakta kebenarannya. “Aku tak ingat Lothius punya anak sepertimu. Lagipula, hanya Florence saja yang masih hidup—tak ada siapa-siapa lagi yang tersisa dari Orkney!”

   Gawain tak suka seseorang mengetahu identitas lamanya, tapi apa boleh buat? Kali ini taruhannya nyawa. “Salam kenal, Nona Alki’ey Hartein. Namaku Erno Orkney. Putra sulung dari Keleuarga Orkney.”

   Ekspresi yang dikeluarkan Hartein ketika terkejut serupa dengan Enire. Mengetahui bahwa pemuda itu jujur, ia menurunkan todongan pistolnya. “Aku tahu Anda punya banyak pertanyaan. Tapi mari kita kesampingkan itu terlebih dahulu. Mari kita bahas surat ini.”

   Hartein duduk dan berpikir dari mana ia harus bercerita. Cukup panjang jika Gawain boleh berkomentar, tapi ia tahu garis besarnya: Asosiasi Sihir ingin meminta bantuan pada bangsa peri untuk melawan Penyihir Abadi. Untuk beberapa alasan, para peri berahsil mengembangkan teknik yang lebih ampuh untuk membunuh Penyihir Abadi. Tugas Hartein adalah sebagai perantara umat manusia dengan Kaisar Oberon sebagai pemimpin Tír na nÓg untuk meminjam teknik tersebut. “Tapi di surat ini, Anda ditakdirkan mati... apa itu benar?”

   “Mata Master Septim dapat mengintip rahasia langit; ia yakin betul aku akan mati sebelum aku mengemban tugasku. Awalnya aku menganggap ini gurauan, Erno. Tapi setelah menyaksikan sendiri wajahmu yang benar-benar mirip Loth, aku langsung yakin sepenuhnya.”

   “Baiklah kalau begitu... jadi apa yang harus aku lakukan?”

   Hartein membentangkan tangannya, “mulai malam ini, kabin ini juga resmi jadi milikmu, wakil kapiten!”

How do you feel about this chapter?

0 0 0 0 0 0
Submit A Comment
Comments (3)
  • haruray

    ntap

    Comment on chapter Fiveteen: Persona
  • KurniaRamdan39

    @Ardhio_Prantoko Thanks Mas Ardhio atas semangatnya!

    Comment on chapter Fourteen: Retribution
  • Ardhio_Prantoko

    Aku sih YES sama cerita ini. Alurnya kompleks dan terarah. Implementasi figur tokohnya aku suka. Ditunggu kelanjutannya. Respect for writer

    Comment on chapter Fourteen: Retribution
Similar Tags
THE HISTORY OF PIPERALES
2083      812     2     
Fantasy
Kinan, seorang gadis tujuh belas tahun, terkejut ketika ia melihat gambar aneh pada pergelangan tangan kirinya. Mirip sebuah tato namun lebih menakutkan daripada tato. Ia mencoba menyembunyikan tato itu dari penglihatan kakaknya selama ia mencari tahu asal usul tato itu lewat sahabatnya, Brandon. Penelusurannya itu membuat Kinan bertemu dengan manusia bermuka datar bernama Pradipta. Walaupun begi...
Maroon Ribbon
514      372     1     
Short Story
Ribbon. Not as beautiful as it looks. The ribbon were tied so tight by scars and tears till it can\'t breathe. It walking towards the street to never ending circle.
Under The Darkness
54      51     2     
Fantasy
Zivera Camellia Sapphire, mendapat sebuah pesan dari nenek moyangnya melalui sebuah mimpi. Mimpi tersebut menjelaskan sebuah kawasan gelap penuh api dan bercak darah, dan suara menjerit yang menggema di mana-mana. Mimpi tersebut selalu menggenangi pikirannya. Kadangkala, saat ia berada di tempat kuno maupun hutan, pasti selalu terlintas sebuah rekaman tentang dirinya dan seorang pria yang bah...
Evolution Zhurria
348      225     4     
Romance
A story about the evolution of Zhurria, where lives begin, yet never end.
Sadness of the Harmony:Gloomy memories of Lolip
647      361     10     
Science Fiction
mengisahkan tentang kehidupan bangsa lolip yang berubah drastis.. setelah kedatangan bangsa lain yang mencampuri kehidupan mereka..
PRECIOUS STONE
499      374     4     
Short Story
He kept walking forward, once he stepped he could not go back to the same place. Jerren feels there is something missing in his life, he keeps looking for things that make his heart feel nothing.
The Arcana : Ace of Wands
164      143     1     
Fantasy
Sejak hilang nya Tobiaz, kota West Montero diserang pasukan berzirah perak yang mengerikan. Zack dan Kay terjebak dalam dunia lain bernama Arcana. Terdiri dari empat Kerajaan, Wands, Swords, Pentacles, dan Cups. Zack harus bertahan dari Nefarion, Ksatria Wands yang ingin merebut pedang api dan membunuhnya. Zack dan Kay berhasil kabur, namun harus berhadapan dengan Pascal, pria aneh yang meminta Z...
Ballistical World
9937      1948     5     
Action
Elias Ardiansyah. Dia adalah seorang murid SMA negeri di Jakarta. Dia sangat suka membaca novel dan komik. Suatu hari di bulan Juni, Elias menemukan dirinya berpindah ke dunia yang berbeda setelah bangun tidur. Dia juga bertemu dengan tiga orang mengalami hal seperti dirinya. Mereka pun menjalani kehidupan yang menuntun perubahan pada diri mereka masing-masing.
FORGIVE
2074      736     2     
Fantasy
Farrel hidup dalam kekecewaan pada dirinya. Ia telah kehilangan satu per satu orang yang berharga dalam hidupnya karena keegoisannya di masa lalu. Melalui sebuah harapan yang Farrel tuliskan, ia kembali menyusuri masa lalunya, lima tahun yang lalu, dan kisah pencarian jati diri seorang Farrel pun di mulai.
Why Joe
1279      658     0     
Romance
Joe menghela nafas dalam-dalam Dia orang yang selama ini mencintaiku dalam diam, dia yang selama ini memberi hadiah-hadiah kecil di dalam tasku tanpa ku ketahui, dia bahkan mendoakanku ketika Aku hendak bertanding dalam kejuaraan basket antar kampus, dia tahu segala sesuatu yang Aku butuhkan, padahal dia tahu Aku memang sudah punya kekasih, dia tak mengungkapkan apapun, bahkan Aku pun tak bisa me...