Loading...
Logo TinLit
Read Story - The Eternal Witch
MENU
About Us  

Semenjak pertemuan itu, rasa sakit hati Florence terobati meski tidak semuanya. Kebenciannya terhadap Dewa dan Dewi perlahan lenyap karena hanya mukjizat Dewa dan Dewi sajalah yang membawa Erno kembali hidup. Namun ia tak mencabut kebenciannya terhadap umat manusia. Gawain tahu ada yang berubah pada diri Florence, tapi ia memilih menghiraukannya. Lagipula, Florence selalu menghindari pertanyaan yang menjurus dengan topik yang lain, membuat Gawain tak punya pilihan selain menurutinya.

   Sekali-kali, Florence menyelinap keluar asrama akademi untuk menemui Gawain di palaza atau di kedai. Ia prihatin dengan keadaan kakaknya. Keadaan kaki Gawain memaksanya berhenti dari pekerjaannya sebagai petualang. Selepas Gawain memberikan surat berharga dari Ser Rei dan bijih permata dari mendiang Sa’rah, ia tak memiliki sepeser pun untuk minum. Mengetahui keadaan Gawain, Florence menawarkan pekerjaan yang tak Gawain sangka-sangka.

   “Jadilah asistenku, Kak. Kujamin Kakak punya tempat untuk berteduh.” Gawain yang tak punya pilihan banyak hanya bisa mengangguk.

   Meskipun terlambat, Gawain baru mengetahui bahwa Florence sudah menjadi kandidat termuda Petinggi Asosiasi untuk mengisi kursi yang ditinggalkan ayah mereka. Bayangkan, di umur tujuh belas tahun sudah mampu mengemban tugas seberat itu! Gadis muda yang amat bertalenta. Tidak hanya itu, gadis itu berhasil meraih kepercayaan dua dari tujuh enam petinggi.

   Master Septim dan Ratatoskr-lah yang menerima dan mendukung Florence. Gawain sedikit bergidik ngeri mendengar nama Septim. Ia kenal dengan High-Elf tua itu dan sempat bertemu dengannya beberapa kali. Pak tua yang baik hati, ramah, juga bijaksana. Meskipun matanya tertutup dengan kain hitam, namun ia dapat melihat selaiknya orang normal. Konon katanya, jika ia membuka matanya, ia dapat melihat rahasia langit.

   Penebusan, begitulah Gawain menyimpulkan dukungan Master Septim pada Florence. High-Elf dan manusia sering bertikai sedari dulu; perlu hubungan seerat mungkin hingga seorang High-Elf mau mendukung manusia, apalagi manusia yang dimaksud anak dari seseorang yang pernah melakukan kesalahan terburuk sepanjang sejarah. Satu-satunya alasan yang dapat masuk akal adalah karena Master Septim berhutang nyawa pada ayahnya—begitulah yang diceritakan di jurnal.

   Keseharian Gawain kembali ke sedia kala. Di pagi hari, ia membantu menyiapkan sarapan di kantin bersama pegawai yang lain. Selepas sarapan, ia membantu Florence dalam melakukan tugasnya sebagai satu dari tiga calon pengganti Lothius. Mulai dari mengatasi administrasi keseharian di Asosiasi Sihir atau mengajar di Akademi Hyulida. Dari keseharian itu, hanya segelintir orang yang memusuhinya.

   Salah satunya adalah Petinggi Asosiasi bernama Sofia Niele. Informasi yang Gawain dapat mengenai wanita terkait amatlah sedikit. Dalam memo yang berada di catatan Florence hanya tertulis bahwa Sofia Niele adalah keluarga dekat dari Petinggi Asosiasi sebelumnya, Laura Niele. Nasibnya serupa dengan Florence; Laura meninggal dan langsung digantikan oleh adiknya sendiri. Keduanya orang yang hebat dan telaten.

   Dia adalah orang kedua yang paling diam dari tujuh Petinggi Asosiasi setelah Ratatoskr. Sifatnya yang jarang bicara itu menyebabkan ia sulit ditebak. Florence sendiri tidak senang jika berurusan dengan Sofia juga Gawain sendiri tak ingin bertemu dengannya.

   Di suatu malam musim semi terakhir, para rakyat melakukan tradisi Tama Rise; tradisi di mana kita menyematkan sepucuk surat bertuliskan harapan di lampion yang nanti malam akan terbang setelah bintang jatuh pertama melintas. Tradisi yang sama persis ketika mereka masih di Junier. Malam itu, semua batu lumos dimatikan, membuat seluruh Hyulida gelap gulita. Semua umat menunggu tidak sabaran hingga tengah malam. Gawain dan Florence yang hanya duduk-duduk di bangku palaza sudah menyiapkan dua lampion serta secarik kertas lengkap dengan benang pengikat.

   Jam di tengah menara berdentang sebelas kali; waktu bintang pertama jatuh akan lewat tinggal satu jam. Semua orang sudah menumpahkan isi hati mereka melalui ukiran tinta di atas kertas putih, kecuali Gawain dan Florence. Tangan keduanya beku dan kaku, tak mau bergerak seinci pun.

   Gawain memang masih muda; dan wajarnya pemuda di usianya masih punya mimpi yang harus ia gapai—tapi ia hampa. Orang bijak pernah berkata, “Sumber dosa seorang pria dari tiga hal: harta, tahta, dan wanita.” Oh hei, Gawain tak pernah sekalipun mengharap sekeping emas selama mimpinya. Jika ia mengharapkan harta, maka ia meminta kekayaan pengetahuanharta yang tak berwujud emas atau permata. Juga tahta, tak sekalipun terbersit di batinnya untuk menjadi penguasa. Lagipula kenapa harus jadi penguasa? Mengapa kita merepotkan diri kita dengan tanggung jawab orang banyak? Gawain tak tertarik dengan tahta sama sekali.

   Untuk poin ketiga—wanita—membuat Gawain benar-benar berpikir. Apa masih ada orang di luar sana yang mau menerima jati dirinya yang asli? Seorang pendengki dan pendendam? Seorang anak dari pengkhianat umat manusia? Seorang yang bahkan tak tertarik dengan segelimpang harta dan kekuasaan tahta yang biasanya wanita dambakan? Wanita mana yang mau bersamanya—bersama orang yang mati mimpi dan semangatnya?

   Wajah Sa’rah muncul di pikirannya. Jemarinya merogoh kantong dan mendapati sepasang anting emas imitasi. Bukan harga anting itu yang membuatnya berharga, tapi ingatan yang tersematlah yang membuatnya menjadi mahal. Pengetahuan dan ingatan semacam itulah harta yang Gawain idamkan. Di balik bayangan tudung dan gelapnya Hyulida yang dikungkung dengan udara kesenangan dan penuh harapan, seorang pemuda yang duduk di bangku terujung di Palaza Hyulida menangis tanpa air mata pun menjerit tanpa suara.

   Florence Orkney juga demikian; ia belum mampu menggurat satu huruf pun. Dua tahun sebelumnya, ia tak pernah menulis harapan; ia tak percaya dengan itu. Tapi sekarang beda lagi. Ia masih mengingat permohonannya kala di Junier di mana kematian lah yang memisahkan mereka. Dan itu terbukti. Erno kembali lagi meskipun beberapa ciri fisiknya dan namanya diubah. Sehabis mendengar cerita perjalanan Erno, Florence mengerti bahwa sepenggal cinta masih tumbuh dan berkembang di hati Erno meskipun bukan untuknya. Florence menghormati pilihan itu, tapi kenapa hatinya hancur?

   “Apa aku belum merelakannya?” batinnya. Ia dulu menyangkal perasaannya. Tapi ini pilihan sulit. Lubang di hati kakaknya terbuka—seseorang harus segera mengisinya atau Erno akan menyakiti dirinya sendiri. “Apa ini kesempatanku?” tanyanya sekali lagi pada dirinya sendiri. Tentunya, ia tak bisa menjawab pertanyaan itu.

   Wajah Florence bersemu merah dan hangat. Ketika ia menoleh, ia mendapati sebenih air mata jatuh dari pelupuk mata Gawain yang melihati sepasang anting di kedua belah tangannya. Pikiran Florence kosong. Tangannya meraih memeluk Gawain. Wajahnya mendekat menuju Gawain, dalam gerakan cepat dan tak terkira, bibir mereka bersentuhan.

   Hangat namun menyakitkan, tetapi Gawain tak menghentikan Florence dan membiarkan perasaannya tumpah. Tidak ada sepasang mata yang melihat mereka kecuali Dewa dan Dewi yang tak pernah tidur dan selalu mengawasi. Setelah beberapa saat, Florence berhenti. “Masih ada aku... iya, masih ada aku...”

   Itu jawaban yang Gawain terima. Buat apa mencari orang di luar sana untuk menerimanya jika ia punya seseorang yang telah menunggunya? Sebuah pertanyaan muncul di kepala Gawain. Tepat sebelum ia berbicara, telunjuk Florence sudah tertaruh di kedua belah bibirnya, seolah-olah tahu pertanyaan yang terbersit di kepala Gawain.

   “Kita tidak perlu seisi dunia menerimanya. Persetan dengan Dewa dan Dewi... jika kita mau, kita bisa membuat cerita kita, Ern—tidak, Gawain.” Untuk kali pertama Florence memanggilnya bukan dengan sebutan kakak; gadis itu sudah mengganti pandangannya ke Gawain. Kata itu manis dan menjanjikan. Tanpa Gawain sadari, ia mengangguk.

   “Jadi, sudah diputuskan! Mari kita tulis harapan kita bersama...”

   “Iya,” imbas Gawain sembari mengusap matanya dan menaruh anting emas imitasi di kantongnya.

   Tinta mulai tertoreh. Di kegelapan malam, keduanya tak perlu cahaya untuk melihat dan menulis—sinar mata mereka mencerminkan cahaya dari hati keduanya. “Selalu bersama, dalam suka dan duka, dalam miskin dan kaya, hingga kematian yang memisahkan kami...” itulah yang tertulis di kedua kertas itu.

   Lampion itu sudah tinggal disulut sumbunya untuk terbang. Florence dengan rasa senangnya yang tumpah mulai tak sabaran. Ia berdiri dan berlarian kecil mengitari Palaza di depan mata Gawain. Setelah beberapa saat, gadis itu kembali. Keduanya bisu, namun kali ini tidak runyam. Mereka tidak perlu kata apapun untuk saling mengerti.

   “Menunduklah...” tanpa bertanya dua kali, Gawain sudah menundukkan kepalanya.

   Dari gerakan tangannya, Gawain tahu Florence sedang mengalungkan suatu benda di leher Gawain. Gawain mendongak bertanya, “apa ini?” Gawain mencoba meraih apa yang digantungkan di kalung itu dan mendapati benda yang tak asing. “Sebuah koin Miriadin?” di Kerajaan Laitan, mata uang Koin Miriadin tidak berlaku. “Dari mana kau mendapatnya?

   “Pak Tua Enire lah yang menyimpannya dengan baik. Itu memento yang mengingatkannya padamu. Tadi sore, aku membujuknya—memaksanya lebih tepat, untuk memberi koin itu.

   Jemari Gawain meraba koin emas itu. Sebuah torehan rune tipis terasa halus, hampir berbaur betul dengan struktur koin. Itu percobaan Katalis Sihir. Bagaimana ia bisa lupa? Ia ingat ketika koin itu digunakan untuk percobaan, sebuah badai ganas datang entah dari mana.

   Dan sama seperti sebelumnya, badai akan datang.

   “Lihat!” ucap kerumunan di sekitar sembari menunjuk ke langit utara. Di tengah-tengah Segitiga Musim Panas, tampak kemerlap cahaya yang melesat menuju selatan. Itu bintang jatuh musim panas. Gawain cepat-cepat mengambil pemantik dan lampion. “Florence, mari kita nyalakan bersa—”

   Belum usai kalimat Gawain, tubuh Florence jatuh menuju bangku. Gawain menangkap tubuh gadis itu. Gawain tak cukup bodoh; Florence ingin dimanja. Tangan halus gadis itu memeluk Gawain dan Gawain memabalasnya serupa. Di balik samar-samar bayangan, Gawain mendapati Florence tersenyum tipis.

   Menara jam di tengah Palaza Hyulida berdentang dua belas kali; tanda hari sudah berganti sekaligus bintang jatuh melintas. Beberapa orang telah menyalakan lampion mereka dan melayangkannya ke angkasa. “Hei, kau lupa kita punya dua harapan yang perlu dikirim saat ini.” Gawain mengguncang tubuh Florence, tapi tidak ada respon. “Kau manja sekali, Florence.”

   Tangan Florence yang memeluk Gawain hilang kekuatan dan kini bergelantungan lemas, tapi tubuh gadis itu tak mau lepas dari sandarannya. Gawain khawatir, kemungkinan adiknya tertidur dan kelelahan. Untuk usianya yang muda, gadis itu sudah memaksakan dirinya melebihi batasnya sendiri. Gawain tak menyalahinya, lagipula ia senang melihati sisi Florence yang satu ini.

   “Huh... Baiklah. Aku rasa harapan kita bisa menunggu.” Tangan kanan Gawain meraih pinggang Florence sementara tangan kirinya tetap di punggung. Dengan ayunan, ia menggendong Florence selaiknya seorang kekasih. Meskipun Gawain pincang, tapi ia dapat berjalan perlahan kembali ke asrama.

   Baru saat itulah, Gawain baru menyadari ada yang aneh. Bagian pinggang Florence tampak basah oleh air atau sejenis cairan. Tapi Gawain kenal sensasinya, ia merasa tak asing dengan sensasi yang ia rasakan di tangan kanannya. Karena penasaran, ia mengintip telapak tangannya sejenak dan menyandarkan Florence di bangku kembali. Baunya manis seperti coklat atau permen. Tapi bagaimana? Sedari tadi mereka tidak melalui kedai atau kios makanan; mereka langsung duduk di bangku dan menunggu.

   Siluet cahaya bintang jatuh melintas. Dengan bantuan cahaya itu serta tempias ribuan lampion yang mulai terbang, Gawain tahu apa cairan merah tua itu: darah dari bekas tikaman belati.

   “Florence!” serunya. Di tengah kegelapan semacam itu, Gawain mencari-cari siapa pelakunya. Gawain tak mengandalkan mata, namun cukup mengandalkan intuisi tajamnya. Matanya penuh amarah menyala melihati seseorang berjubah hitam yang lenyap di belokan gang sempit. Tidak banyak yang menyadari keadaan di tengah kegelapan semacam itu, dan Gawain juga termasuk salah satunya. Sekarang bukan saatnya mengejar pelaku; nyawa Florence lebih berharga daripada apapun saat ini.

   Gawain cepat-cepat menggendong Florence kembali. Panik dan kegelisahan tercermin dengan jelas di wajahnya. Ia mengumpati dirinya sendiri yang lengah. Bagaimana ia lupa dengan prinsip kedua seorang petualang: kemujuran membawa kelengahan dan kelengahan membawa pada kesialan. Ah, ironis sekali.

   Jarak antara Palaza Hyulida dengan asrama cukup jauh dan jalan yang mereka lalui sudah menjadi lautan manusia. Keduanya menyelinap melalui gang-gang yang ada. Itu lebih baik. Skenario terburuknya Gawain harus melawan pelaku habis ini; mereka tahu Florence belum sepenuhnya mati, mengira satu tikaman dapat menghabisinya.

   Tinggal satu gang dan satu jalan besar dan Gawain sampai ke rumah Enire. Jika intuisi Gawain tepat, sang pelaku menunggunya di sekitar asrama akademi. Menyadari bahwa targetnya mereka tidak kembali, kemungkinan sang pelaku sedang mencari keduanya. Tepat di gang terakhir, satu bayangan telah menunggu mereka di jalan keluar gang.

   Gawain tak butuh satu kata untuk bertanya. Ia cukup mendengus bau yang menguar dari tubuhnya dan tahu apa yang menghadangnya. “Mayat berjalan sialan!” umpatnya dalam hati. Gawain menoleh kebelakang, mendapati mayat berjalan lain yang menunggu di tempat mereka tadi masuk. Tersudut, tapi itulah tujuan Gawain.

   “Jadi kalianlah yang dipanggil Topeng Hitam, ya... organisasi yang sama menghabisi separuh Junier dua tahun lalu juga Grende, Larista, dan Nixie di tahun selanjutnya.” Gawain mencoba mengulur waktu, membiarkan dua mayat mendengarkan ocehannya sejenak. Sering ia gunakan strategi yang sama ketika melawan bandit dan penjarah; membujuk mereka untuk lengah dan membuka kesempatan di waktu yang tepat.

   Sayang trik semacam ini hanya berlaku pada makhluk yang hidup.

   Secara bebarengan, kedua mayat berjalan itu meluncur cepat menuju Gawain dengan belati teracung ganas. Gawain menyeringai, ia melepas Florence ke tanah, lalu dengan gerakan cepat ia menarik belatinya dan menangkis serangan keduanya secara bersamaan. Gerakan itu tangkas dan hebat, terbukti ia seorang petarung andal meskipun gelapnya bayangan benar-benar merajai Hyulida.

   Dua potongan belati terlempar ke udara. Potongan itu patah hampir secara bersamaan. Satu belati terkena belati hitam milik Gawain, sementara satu belati lain pecah karena menghantam bagian tangan Gawain yang berubah menjadi berlian (mari kita sebut gelang berlian dari sekarang). Tanpa menunggu mengambil napas, Gawain mengayunkan belatinya dengan cepat ke leher salah seorang dari mereka bebarengan menghantam perut yang lain.

   Belati itu berhasil menggorok leher. Darah terciprat dari sana. Biasanya, lawannya akan rubuh dan memegangi luka fatal itu secara sia-sia, tapi kali ini musuhnya adalah zombie (juga ini, mari kita gunakan kata ini untuk merujuk mayat berjalan), mereka tidak akan kesakitan.

   Keseimbangan Gawain rubuh ketika belatinya tersangkut di leher, hal ini membuka kesempatan bagi zombie yang lain untuk menghantam kepala Gawain dan mengirimnya ke tembok. Gawain hampir tak bisa melawan, hanya bertahan dari tiap hantaman. Tapi ia tak bisa bertahan selamanya. Ia perlu mengambil napas sementara musuhnya tak perlu; ia kehabisan stamina sementara musuhnya tidak; ia hidup sementara musuhnya tidak.

   Di saat genting seperti itu, sebuah panah melesat tepat mengenai kedua kepala zombie secara bebarengan. Tubuh mereka bergetar hebat setelah terkena panah, lalu terbakar dan berubah menjadi abu dalam dua detik. Dilihat dari arah panahnya, tampaknya sang pemanah berasal dari atap jalan seberang—jika Gawain tak salah, itu berarti lima puluh depa. Apa memang ada pemanah yang dapat menembak panahnya di tengah gelap gulita ke gang kecil yang lebih gelap?

   Tapi sekarang bukan itu yang membebani pikiran Gawain. Ia kembali menggendong Florence dan berjalan lagi menuju rumah Enire. Saat sampai, ia langsung masuk. Ia tahu tabiat gurunya; selalu lupa mengunci pintu. Setelah itu, Gawain tahu apa yang akan dikatakan gurunya: “Demi Dewi Fortunie! Siapa—”

   “Ini Aku, Gawain!”

   “Apa orang tuamu tak mengajarimu sopan santun?!”

   Gawain tak menjawabnya. Ia menyalakan pemantik di kantongnya ke lilin terdekat. Mata tua Enire mulai menelaah Gawain, mendapati baju pemuda itu bersimbah darah, juga tangan dan belati yang ia pegang. Pemuda itu tak berbicara, ia terus membawa Florence ke ruang tidur terdekat dan membaringkannya di sana. “Guru, ambilkan handuk lengkap dengan air hangat juga antiseptik dan pembalut luka. Jangan tanya.”

   “Apa yang terjad—” Enire tercekat mendengar kalimat tegas Gawain. Dengan langkah setengah tergopoh-gopoh, ia berlalu ke dapur dan ruang kerjanya. Tiga menit terasa menusuk bagi Gawain berlalu lambat itu berakhir ketika Enire datang membawa barang yang diminta. Enire tua yang matanya tak kuasa melihat menyalakan batu lumos, namun Gawain mencegahnya.

   “Musuh masih mengincar kami, Guru. Sebaiknya kita tetap dalam keadaan semacam ini.”

   “Tapi tidak ada yang bisa mengobati di tengah gelap—”

   “Jangan remehkan Si Pengembara Kesepian.” Gawain menyuruh Enire keluar, ia bisa mengobati Florence sendirian. Saat membuka baju gadis itu, Gawain melamun sejenak dengan kulit putih yang terlindung di sana, tapi lamunannya pecah ketika darah menodainya. Di pinggang Florence terdapat bekas luka lengkap dengan darah mengalir segar dari sana. “Hanya beberapa senti meleset dari ulu hatinya—beberapa senti ke kanan ia sudah pergi.”

   Gawain membasuh luka itu dengan air hangat lalu memeriksanya. Bekas sihir tampak di luka, menguarkan bau busuk dan aura hitam pekat. “Sihir dari Penyihir Abadi...”

   Meskipun mulutnya diam, tapi hatinya benar-benar meronta dan meraung. Apa ini dari Penyihir Abadi yang membunuh ayahnya? Untuk apa berbuat sejauh itu? Ah, Gawain dapat jawabannya: Penyihir Abadi yang dimaksud takut Florence menjadi Petinggi Asosiasi dan mendapat pengaruh tinggi.

   “Akan kubalas... lihat saja nanti...” Gawain menghabiskan sisa malam dengan merawat luka Florence hingga esok pagi. Sekitar jam empat pagi, sebuah keramaian terdengar di jalanan. Itu suara bentara yang berkeliling ke jalanan. Suaranya cukup keras hingga terdengar di ruang Gawain yang sebenarnya cukup kedap suara.

   Gawain yang penasaran keluar demi mendapati wajah tua Enire yang tegang. Sekilas, Gawain dapat tahu bahwa rasa tidak percaya tergambar di wajah tuanya. Tangan keriputnya bergetar hingga ke pundak dan kakinya. Rasa-rasanya ketika pria tua itu akan rubuh, Gawain menangkapnya. “Ada apa guru?”

   “Master Septim... dia dibunuh!”

                                                                                                            ***

“Apa yang harus kita lakukan sekarang?!” tanya seorang wanita yang terduduk di salah satu kursi ruang rapat di Pusat Asosiasi Sihir. “Kita tidak bisa tinggal diam di saat krisis semacam ini! Kita harus segera melawan!”

   “Dinginkan kepalamu, Hartein,” jawab pria berambut emas yang berdiri di kursi hadapan si wanita. “Tergesa-gesa di saat seperti ini dan kita bisa mati dalam satu kali serang. Kita harus berhati-hati dan membangun rencana. Jika tidak, kita jatuh tepat ke perangkap Penyihir Abadi.”

   “Kau benar, Iason.” Hartein kembali melempar tubuhnya untuk duduk, namun tangannya tak jauh-jauh dari pedang yang tersampir di pinggangnya. “Kepanikan massal mulai tercium di berbagai distrik Hyulida; tinggal menunggu hitungan jam dan seluruh Unomi jatuh dalam kepanikan. Kita perlu sosok penggantinya secepat juga.”

   “Dia benar, Iason. Entah mengapa, berita kematian Master Septim tersebar lebih cepat daripada yang kita duga. Tapi Hartein juga benar di poin sebelumnya—kita harus segera melawan Penyihir Abadi. Aku, Murf Reynald mewakili seluruh Druid di Unomi menyatakan bahwa kita sudah terpojok. Si Topeng Hitam juga ribuan Tyran secara sporadis menyerang saat ini dari Nixie, Grende, dan Larista. Seluruh pasukan Druid-ku sedang kukerahkan untuk mempertahankan empat Hutan Magis yang lain.”

   Iason The Argonauts tampak berpikir keras. Ia menyapu pandangan ke sisa Petinggi Asosiasi yang ada. Terhitung dirinya, hanya tinggal empat orang. Master Septim dan Lothius sudah meninggal. Sementara keberadaan Ratatoskr Si Pembawa Pesan tidak tercium di manapun. Masa depan dunia sedang dipanggul oleh empat petinggi ini.

   “Iason, kau yang memimpin,” ucap suatu suara dari kursi rapat terujung. Di sana, seorang bertudung hijau daun duduk menatap dari kejauhan. Semua orang yang duduk di sana mengenalnya sebagai The Leader of Guild, Sofia Niele. Nama julukan itu diambil karena memang dirinya lah yang memimpin Guild di seluruh benua Unomi. “Dari semua yang ada di sini, kau lah yang paling cerdas dalam mengatur strategi selain Ser Loth.”

   “Aku benci mengakuinya, Iason. Tapi Sofia benar. Kau akan jadi otak di sini.” Hartein mengangguk setuju, sementara Reynald si Druid tidak berkomentar dan tetap diam. Semua orang tahu bahwa bila Reynald diam, ia menyetujui ide semacam itu.

   “Baiklah. Kalau begitu kita akan membagi tugas kita.” Iason mengambil peta raksasa Unomi yang ada di rak-rak buku. Ukurannya satu meja makan, cukup besar den berdetail tinggi. Letak dan nama semua kota tampak terlihat dengan jelas. Dengan rapalan mantra singkat, peta itu berubah menjadi dua warna; merah dan biru. “Biru adalah wilayah kita dan merah sebaliknya. Kita sudah tahu bahwa sebagian besar Miriadin bagian utara sudah jatuh, juga perbatasan telah direnggut oleh mereka.” Iason berkatas cepat dengan menggerakan telunjuknya ke berbagai titik berwarna merah. “Dengan ini, kita tak bisa berharap banyak dari Miriadin.”

   “Tapi banyak dari petualang bertempat tinggal di sana, Iason,” imbuh Sofia. “Aku sudah mengirim pesan kepada mereka agar mempertahankan Ibukota Tersias dan sisa kota yang masih ada. Sebagai catatan, kita tak bisa ke sana melalui jalur darat melalui Nixie: pilihannya antara memutari laut atau menggunakan kapal terbang milik Dwarf.”

   “Bisa kau estimasikan lama perjalanannya?”

   “Satu minggu paling itu paling cepat dengan perahu layar; itupun sudah diberkati dengan angin tercepat. Untuk kapal terbang aku tidak mengetahuinya. Aku sudah mengirim bantuan ke Ibukota Neotir, tapi masih belum ada jawaban.”

   Iason mengangguk. Seperti biasanya, Sofia cepat tanggap dengan perannya sebagai penyedia informasi. Sekarang kepalanya teralih ke Hartein si mata satu. Gelagat garangnya sebagai bajak laut diturunkan dari ayahnya itu mengotori keanggunan peri yang diwarisi dari ibunya. Beberapa orang mengira ia keturunan Petra Pan. Itu separuh benar; lebih tepatnya darah ibunya berasal dari Petra Pan sementara darah si ayah berasal dari keturunan musuh bebuyutan Petra Pan, Kapten Hock. Kisah yang rumit, bahkan bagi keluarga Hartein sendiri, ia tak menyangka bahwa ia lahir dari hubungan gelap dua keluarga bermusuhan. Tapi, mari kita kesampingkan terlebih dahulu cerita ini.

   “Bagaimana dengan kru kapalmu? Apa mereka siap untuk bertempur?”

   “Selama kami di laut, iya. Jika musuh kami di daratan, aku perlu waktu untuk menggerakan awak kapalku. Tapi hiraukan saja; kami siap berangkat kapan pun!” jawab Hartein dengan penuh semangat api.

   Kini mata Iason menuju orang terakhir. “Reynald, kau sudah tahu bagianmu, bukan?”

   “Menjaga Kota Suci dan empat hutan magis yang lain. Baiklah akan kulakukan itu, tapi itu berat, Iason. Aku sudah kehilangan hampir setengah Druid dan Peri Hutan demi mempertahankan Larista dan Nixie beberapa bulan lalu... aku perlu bantuan.” Reynald melirik Hartein, “bisakah kau...?”

   Hartein mendesah lemah dengan keluhan tertahan serta napas meluncur lemah dari mulutnya, “akan kuusahakan... sulit sekali berurusan dengan Kaisar, dia orang bodoh yang tak mau berurusan dengan dunia kita.” Hartein menyilangkan tangannya di depan dada tampak berpikir keras, “bagaimana keputusanmu, Iason?”

   Iason si Half-Elf mengernyitkan dahinya berpikir keras. Secara garis besar, kaum Half-Elf tidak memiliki hubungan baik dengan penghuni Tír na nÓg yang angkuh itu. Namun keadaan saat ini tak memberinya pilihan banyak. “Mintalah bantuan pada Kaisar Oberon untuk mengerahkan pasukan perinya. Bila dia menolak, bilang saja bahwa dunia akan berakhir. Kau bisa melaku—tidak, kau harus melakukannya, Hartein!”

   Iason berdiri, diikuti dengan tiga Petinggi Asosiasi yang lain. “Nasib dunia berada di punggung kita bersama, saudara.” Ia mengangkat tangannya ke depan, tanpa disuruh semua orang di sana ikut melakukannya. Mereka menyatukan tangan, tujuan, dan hati mereka demi tanggung jawab yang mereka panggul. “Banyak yang telah jatuh. Laura, Lothius, dan Master Septim contohnya. Kita tidak bisa gagal, kawanku! Kita harus bangkit dan melawan mereka! Des blood tied ternity!

   “Des blood tied ternity!” balas sisanya.

   Hartein dan Reynald pergi berbalik arah demi menuntaskan pekerjaan yang sudah dibagi: Hartein bernegoisasi ke Tír na nÓg dan Reynald mengatur strategi pertahanan, meninggalkan Iason dan Sofia yang masih berdiskusi. “Tugas lain, Sofia. Kita akan mencari mereka: kau dengan jaringan guildmu dan aku dengan perpustakaan milik Ratatoskr, barangkali si Pembawa Pesan Dewa dan Dewi itu meninggalkan petunjuk di perpustakaannya.”

   Sofia mengangguk bisu. “Satu minggu,” balasnya cepat. Sebelum sosoknya lenyap di balik pintu, suara Iason mencegahnya keluar dari ruang rapat itu. “Ada apa?” tanyanya tanpa menoleh.

   “Master Septim meninggalkan sepucuk surat untuk setiap petinggi. Karena kau tadi terlambat, aku tadi tidak sempat memberinya dan langsung memulai rapat. Hartein, Reynald, dan aku sendiri sudah menerimanya.” Iason memberikan sepucuk surat bersegel merah dengan cap logo Master Septim sebagai pembubuh. Sofia balik kanan kembali, menyambar surat itu dan membuka segelnya cepat-cepat.

   “Sekali-kali kau perlu mengambil udara segar untuk menenangkan diri, Sofia.” Begitulah yang tertulis di kertas surat itu. Hanya satu kalimat yang cukup ditulis dengan tinta biasa, tidak spesial bahkan tidak meninggalkan petunjuk apapun jika ada orang yang mau mengintipnya.

    “Apa yang kau dapat, Sofia? Kalau aku mendapat perintah untuk tetap berpikir tenang dan rasional. Ah, mungkin kau mendapat saran untuk baikan dengan Enire?” semburnya dengan nada menggoda. “Oh! Biar kutebak! Kau pasti mendapat saran untuk lebih santai bukan?”

   Sofia menyunggingkan senyum. “Anda benar,” balasnya. Sofia memang dikenal sebagai Petinggi Asosiasi yang paling serius dalam mengerjakan tugas-tugasnya. Dengan sifat dinginnya, ia mampu mendirikan dan memimpin Guild di usia mudanya. Keduanya berjalan meninggalkan ruangan rapat dan berpisah di lorong. Sofia lekas-lekas berjalan menuju ruangannya, mengambil beberapa perlengkapan petualangnya, lalu berangkat menuju kantor pusat Guild di Hyulida.

   Di sana, ia sudah ditunggu dengan tiga bawahan kepercayaannya. Tiga bawahan itu dari ras Tigra. Begitu datang, ketiganya membungkuk penuh hormat kepadanya. “Sabre, Felice, Panther kalian lama sekali... bagaimana investigasi kalian?”

   Sabre si Tigra tua maju dengan langkah berat. Terlihat sekali tubuhnya lelah dan penuh luka, tapi ia tak mau beristirahat sebelum melaporkan langsung hasil investigasi mereka. “Tahun lalu, tepatnya ketika terik musim panas masig memanggang, kami sampai di wilayah Grende. Seperti yang anda perintahkan, kami berhasil melacak Si Topeng Hitam hingga ke Junier.

   “Kami melakukan investigasi ulang terhadap Insiden Keluarga Orkney dengan menggali informasi dengan cara apapun, karena dari yang kami kira Si Topeng Hitam sedang mencari peninggalan Ser Lothius di Junier, tapi kami tidak menemukannya. Tidak ada sehelai rambut pun tersisa di bekas kediaman Orkney.

   “Di saat kami akan bertolak kembali menuju Hyulida, Grende jatuh di tangan Si Topeng Hitam. Dari sana, kami terus melacak dalang di balik Si Topeng Hitam hingga ke Antarie. Sayang kami kehilangan jejak sekali lagi dan tahu-tahu Larista dan Nixie sudah jatuh di tangan mereka. Maafkan kami, Madame Niele. Andai saja kami tidak terlambat barang satu hari, kami tidak akan ketinggalan jejak.”

   Sabre menunduk hingga tampak bersujud. Sofia yang melihat itu mencegahnya, menyuruhnya bangun. “Itu bukan kesalahan kalian. Musuh kita kali ini Penyihir Abadi. Mereka musuh yang tangguh dan cerdik. Sebuah pencapaian kalian masih selamat setelah melawan Si Topeng Hitam sendirian. Kalian beristirahatlah. Dua hari lagi temui aku di sini. Bubar!”

   Dengan memberi hormat, ketiganya pergi dari ruangan, meninggalkan Sofia yang kini menyibuki dirinya dengan berbagai kertas laporan yang tadi sore ia minta untuk dikumpulkan. Kertas-kertas itu berisi kronologi beberapa kejadian seperti perang dengan Penyihir Abadi dua dekade lalu, kematian Lothius dan analisisnya. Beberapa tumpuk kertas juga berisi rumor-rumor yang sengaja dipilah-pilah untuk mencari identitas Penyihir Abadi.

   Ia memerlukan daftar nama. Dengan itu, ia bisa mempersempit pencariannya dari puluhan ras dan jutaan nama yang ada di seluruh penjuru Unomi.

   Tak terasa, tumpukan-tumpukan kertas itu kini berantakan seperti isi kepala Sofia. Tahu-tahu, seseorang mengetuk pintu ruang kerjanya. Sofia yang separuh tertidur langsung bangun dan membenahi kacamatanya kembali. Didengar dari suara ketukannya, ia tahu bahwa Julia pelayan andalannya sedang menunggu jawabannya. Ketika di suruh masuk, gadis elf muda itu membawa dua cangkir kopi hitam yang siap diminum.

   Rasa kantuk Sofia terusir begitu ia menghabiskan penuh cangkir kopinya, namun ia tak bisa berkonsentrasi. Ia meregangkan otot-ototnya yang kaku di atas sandaran kursi kerjanya. Rasa kesemutan sekejap hilang di sekujur tubuhnya. Jendela di sisi kanan almari buku telah tertembus sinar mentari, tampak seperti jarum-jarum keemasan yang anggun menghujam, tanda pagi merubah malam.

   “Master Septim sudah dikebumikan di Bukit Para Pahlawan. Anda mau ke sana?” tanya Julia sembari menyortir lembaran-lembaran yang telah dan belum di analisis. “Akan kuurus di sini. Anda dapat ke sana terlebih dahulu.”

   Sofia memandangi asisten kepercayaannya itu, “kau benar, Julia. Aku kemarin bahkan melupakan prosesi pemakamannya. Lagipula, kalimat terakhir beliau menyarankanku untuk lebih sering bersantai.” Dengan langkah cepat, wanita itu turun ke jalanan, lalu berlari ke luar kota. Letak Bukit Para Pahlawan berada di sebelah tenggara Kota Suci Hyulida. Di sana adalah letak para orang-orang terhormat selaiknya pahlawan beristirahat. Kebanyakan dari mereka adalah bangsawan, petualang, serta penyihir yang tewas setelah perang melawan Penyihir Abadi.

   Seharusnya ada tiga orang yang Sofia kenal di sana, sayang gurunya, Lothius tidak dimakamkan—pria malang itu dibakar habis. Sepuluh menit berjalan dari gerbang kota, ia sampai di bangunan monumen mengenang jasa ribuan orang yang meninggal melawan Penyihir Abadi. Sofia menangkupkan tangannya, berdoa sejenak, lalu menaruh setangkai bunga kapas di sanding karangan bunga yang lain.

   Udara segar bercampur bau tanah, lengkap dengan madu-madu manis dari ribuan bunga bermekaran menyerbak ketika Sofia melangkahkan kakinya masuk. Tiada suara apapun yang menyapanya selain angin-angin yang ditiup oleh jiwa-jiwa kesepian yang menunggu hari pengadilan datang.

   Tampak dari tempatnya berdiri, terdapat batu nisan dari marmer keperakan. Dilihat dari kemilaunya juga dari segarnya taburan bunga-bunga di atas gundukan tanahnya, seseorang tahu bahwa gundukan tanah itulah yang termuda. Sofia berjalan tenang melintasi tiap peraduan. Tiap langkahnya terpanjat doa tak terucap kepada jiwa yang tenang.

   Ketika sampai, dia memandangi makam Master Septim, mengelus-elus nisannya lalu terduduk di sebelahnya. Kepalanya tertunduk dalam lamunan tentang kenangan dan ingatannya bersama Master Septim. Lamunannya pecah hingga satu-dua benih air jatuh ke tanah. Cepat-cepat Sofia mendongak, menghadap langit cerah tanpa hujan atau gerimis. Wanita muda itu akhirnya menyadari bahwa itu hujan dari pelupuk matanya sendiri.

   Di tengah kesendiriannya, ia dikejutkan dengan keberadaan seseorang di balik punggungnya. Tanpa menoleh, Sofia sudah tahu siapa yang datang. “Mau apa kau kesini, Enire?”

   “Mencari jawaban.”

How do you feel about this chapter?

0 0 0 0 0 0
Submit A Comment
Comments (3)
  • haruray

    ntap

    Comment on chapter Fiveteen: Persona
  • KurniaRamdan39

    @Ardhio_Prantoko Thanks Mas Ardhio atas semangatnya!

    Comment on chapter Fourteen: Retribution
  • Ardhio_Prantoko

    Aku sih YES sama cerita ini. Alurnya kompleks dan terarah. Implementasi figur tokohnya aku suka. Ditunggu kelanjutannya. Respect for writer

    Comment on chapter Fourteen: Retribution
Similar Tags
Stars Apart
631      440     2     
Romance
James Helen, 23, struggling with student loans Dakota Grace, 22, struggling with living...forever As fates intertwine,drama ensues, heartbreak and chaos are bound to follow
The Call(er)
1384      828     10     
Fantasy
Ketika cinta bukan sekadar perasaan, tapi menjadi sumber kekuatan yang bisa menyelamatkan atau bahkan menghancurkan segalanya. Freya Amethys, seorang Match Breaker, hidup untuk menghancurkan ikatan yang dianggap salah. Raka Aditama, seorang siswa SMA, yang selama ini merahasiakan kekuatan sebagai Match Maker, diciptakan untuk menyatukan pasangan yang ditakdirkan. Mereka seharusnya saling bert...
Evolvera Life: Evolutionary Filtration
126      104     0     
Fantasy
.Setiap orang berhak bermimpi berharap pada keajaiban bukan. Namun kadang kenyataan yang datang membawa kehancuran yang tak terduga Siapa yang akan menyangka bahwa mitos kuno tentang permintaan pada bintang jatuh akan menjadi kenyataan Dan sayangnya kenyataan pahit itu membawa bencana yang mengancam populasi global. Aku Rika gadis SMA kelas 3 yang hidup dalam keluarga Cemara yang harmonis d...
Cigarette Ghost
498      330     0     
Short Story
Aryan dan Harris akan menghentikan kutukan dari sang arwah gentayangan Apa yang akan terjadi selanjutnya?
When I Was Young
9230      1920     11     
Fantasy
Dua karakter yang terpisah tidak seharusnya bertemu dan bersatu. Ini seperti membuka kotak pandora. Semakin banyak yang kau tahu, rasa sakit akan menghujanimu. ***** April baru saja melupakan cinta pertamanya ketika seorang sahabat membimbingnya pada Dana, teman barunya. Entah mengapa, setelah itu ia merasa pernah sangat mengenal Dana. ...
Tentang Penyihir dan Warna yang Terabaikan
7933      2212     7     
Fantasy
Once upon a time .... Seorang bayi terlahir bersama telur dan dekapan pelangi. Seorang wanita baik hati menjadi hancur akibat iri dan dengki. Sebuah cermin harus menyesal karena kejujurannya. Seekor naga membeci dirinya sebagai naga. Seorang nenek tua bergelambir mengajarkan sihir pada cucunya. Sepasang kakak beradik memakan penyihir buta di rumah kue. Dan ... seluruh warna sihir tidak men...
Ghea
471      309     1     
Action
Ini tentang Ghea, Ghea dengan segala kerapuhannya, Ghea dengan harapan hidupnya, dengan dendam yang masih berkobar di dalam dadanya. Ghea memantapkan niatnya untuk mencari tahu, siapa saja yang terlibat dalam pembunuhan ibunya. Penyamaran pun di lakukan, sikap dan nama palsu di gunakan, demi keamanan dia dan beserta rekan nya. Saat misi mereka hampir berhasil, siapa sangka musuh lamany...
Train to Heaven
979      656     2     
Fantasy
Bagaimana jika kereta yang kamu naiki mengalami kecelakaan dan kamu terlempar di kereta misterius yang berbeda dari sebelumnya? Kasih pulang ke daerah asalnya setelah lulus menjadi Sarjana di Bandung. Di perjalanan, ternyata kereta yang dia naiki mengalami kecelakaan dan dia di gerbong 1 mengalami dampak yang parah. Saat bangun, ia mendapati dirinya berpindah tempat di kereta yang tidak ia ken...
Jalan-jalan ke Majapahit
4616      1416     8     
Fantasy
Shinta berusaha belajar Sejarah Majapahit untuk ulangan minggu depan. Dia yang merasa dirinya pikun, berusaha melakukan berbagai macam cara untuk mempelajari buku sejarahnya, tapi hasilnya nihil. Hingga akhirnya dia menemukan sebuah website KUNJUNGAN KE MAJAPAHIT yang malah membawanya menyebrangi dimensi waktu ke masa awal mula berdirinya Kerajaan Majapahit. Apa yang akan terjadi pada Shinta? ...
Kenangan
650      410     1     
Short Story
Nice dreaming