Si pemilik penginapan tempat Gawain bermalam kemarin mengatakan bahwa Canise adalah putri angkat dari seorang pandai besi yang kehilangan istri dan anaknya. Nama pria pemandai besi itu Hefias, seorang High-Elf bertalenta tinggi dalam membuat senjata. Tidak hanya keuletannya dengan menempa besi, ia dikenal dengan kemampuannya menyematkan sihir di senjata-senjata tersebut sebagai penguat. Logam yang ia pilih juga bukan logam sembarangan; ia sering pergi ke pegunungan dan menambang sendiri batuan yang ia pilih sebagai bahan.
Gawain sempat mendengar nama si pemandai besi di jurnal ayahnya ketika mengisahkan alur peperangan umat manusia melawan Penyihir Abadi. Tak ia sangka ia sendirilah yang akan bertemu dengan pembuat tongkat sihir milik ayahnya. Tapi tidak hari ini.
Ketika Gawain sampai di rumahnya, ia tahu bahwa tidak ada asap sedikitpun di cerobong rumah, juga batu bara terlihat malas menunggu di sebelah tungku api; tanda sang pemandai besi sedang pergi ke gunung demi mencari bahan dari batuan murni. Itu berarti hanya Canise yang sedang berada di rumah. Gawain meraih pengetuk pintu yang terbuat dari tapal kuda dan memberi salam.
Suara langkah seseorang datang dari balik pintu kayu, disusul dengan suara selot kunci dan gembok terbuka. Decit engsel terdengar. Dari balik daun pintu, muncul sosok figur gadis Elf berambut pirang menyapanya. “Maaf, Ayah sedang.... Astaga! Si Pengembara Kesepian!” tanpa berpikir dua kali, Canise menyuruh Gawain masuk. Gawain memilih duduk di kursi tamu, menaruh tongkatnya, dan menunggu gadis itu kembali.
“Apa Anda mau teh?” Gawain menjawab dengan gelengan.
“Anda tak perlu repot-repot, Nona Canise. Urusan saya di sini sebentar. Pertama, saya ingin mengirimkan salam dari Urs. Kedua, saya meminta pertolongan Anda untuk membaca masa lalu seseorang.... Aku dengar Anda berhasil membaca masa lalu saya.”
Rona merah di wajah Canise mekar namun hanya sebentar saja. Ketika ia melihat tongkat kayu di sanding tangan Gawain, rona di wajahnya luntur. Dengan raut wajah khawatir, ia bertanya, “apa yang kejadian yang menimpa Anda?”
“Ah, ini?” Gawain menunjuk betis kanannya, “taring kelabang besi menggigitku kuat-kuat. Aku lepas dari maut dengan bayaran kakiku ini. Aku rasa aku cukup beruntung kehilangan satu kaki dengan tebusan nyawaku ini.”
“Jangan bilang Anda melintasi Nixie baru-baru ini!”
“Tidak sendirian, namun dengan seorang kawan...”
“Umur manusia sangat pendek jika dibandingkan kami, Si Pengembara Kesepian. Anda terlalu ceroboh jika membuang umur Anda di usia seperti itu. Berapa umur Anda? Aku dapat memperkirakannya Anda masih berumur delapan belas atau sembilan belas tahun; terlalu muda untuk manusia mati.”
“Kau tahu hingga usiaku... presisi dari kemampuan membaca masa lalu-mu cukup akurat.” Sebelumnya, tidak ada orang mana pun yang mengerti identitas Gawain, termasuk usianya. Kebanyakan pengembara mengira bahwa Gawain berusia dua puluh tahunan keatas—mengira bahwa dia adalah seorang bujang lapuk yang mengisi hatinya dengan menjadi pengembara. “Kau tahu, kau melanggar sumpah pengembara nomor lima tentang mengintip privasi orang—”
“Aku bukan seorang pengembara,” balas singkat Canise. “Baiklah-baiklah, aku minta maaf Si Pengembara Kesepian.” Canise menyilangkan tangannya sembari menutup satu mata ambernya. “Sebagai kompensasinya, kau ingin mencari masa lalu seseorang?”
“Benar sekali.” Gawain mengeluarkan buku jurnal ayahnya, lalu menjelaskan penjelasan sesaat. “Aku kenal seorang guru bernama Lothius dari Keluarga Orkney. Seperti yang kau dengar, dia mati atas tuduhan bekerja sama dengan salah satu Penyihir Abadi. Teman dekatnya yang bernama Ser Enire memintaku untuk mengantarkan buku jurnal yang tersisa di puing-puing rumahnya di Junier.” Kebohongan lain terucap dari mulutnya. Tanpa Gawain sadari, kebohongan itu sama dengan cara dia bernapas; tanpa sadar ia melakukannya demi hidup.
“Si Mahaguru Alkemis...baiklah. Lagipula Ser Loth sudah lama mati untuk protes bahwa masa lalunya dilihat orang lain.” Tangan Canise menerima buku jurnal itu. Ketika sekilas dilihat, buku jurnal itu sudah tersegel rapi seperti sedia kala, seolah-olah Gawain menjaganya betul dan telah bersumpah tak akan membukanya. Melihat buku itu masih tersegel rapat dan kalimat Gawian, Canise kembali bertanya, “kau yakin aku orang yang pertama membukanya? Bukankah Ser Enire yang lebih berhak menjadi orang pertama yang membacanya?”
“Ser Lothius sudah kuanggap sebagai ayahku sendiri ketika aku berguru di Junier. Selain putrinya, Florence, aku juga berhak membuka dan membacanya—meskipun sering kuurungkan niatan itu dan menundanya.”
Kali ini Canise tak membantah lagi setelah mendengar jawaban penuh yakin itu. Ia mengangguk dan menyarungkan buku jurnal di kantongnya. Gawain berencana pergi dari sana menuju gedung Guild dan meminta pekerjaan guna mengisi dompetnya yang tipis. Meskipun masih banyak permata di kantong rahasianya juga surat berharga seratus ribu koin miriad yang tinggal ia tukar dengan uang, ia lebih suka menikmati uang setelah memeras keringatnya.
Permasalahannya, ia tidak selincah seperti dahulu. Ia dapat berhutang pada sesama petualang untuk meminjamkan satu belati, tapi ia tak bisa berhutang satu kaki. Menjadi pemburu yang mengandalkan perangkap lebih mudah daripada memburu Tyran, tapi tetap saja tak semudah dengan satu kaki.
Di tengah pikiran Gawain yang berkalut, seseorang datang dari pintu depan. Tubuhnya cukup kekar dan berisi untuk ras elf. Wajahnya yang tegang merefleksikan perjalanan hidup yang ia lalui. “Canise kau belum membuka pintu belakang setelah kugedor beberapa kali tak ada jawaban tapi malah membuka pintu depan...” pria itu berdiri dengan pakaian lusuh serta satu tas penuh peralatan tambang yang sama lusuh dan hitamnya. “Aku tak suka lewat pintu depan karena takut mengotori ruang. Bagaimana bila seorang tamu—” pria itu berhenti seketika menyadari Gawain.
“Maafkan aku, Ser Hefias, karena bertamu di pagi hari.” Gawain menunduk memberi salam, “salam kenal, namaku Si Pengembara Kesepian. Aku datang untuk menemui putri anda karena beberapa urusan.”
Hefias yang mendengar nama itu langsung pergi ke belakang. Dua menit setelahnya, ia kembali dengan pakaian yang lebih rapi. Kusam di wajahnya hilang digantikan dengan sinar muka ramah dan menenangkan. “Ah, tidak apa-apa. Aku merasa terhormat bertemu dengan Anda langsung. Jika aku boleh jujur, alasanku turun gunung cepat-cepat karena kudengar Anda datang ke Tulious! Tapi tak kusangka Anda juga bertamu ke rumahku!”
Pembicaraan dilanjutkan dengan topik lain hingga Hefias menyinggung perjalanan Gawain melintasi Nixie. Dari kabar yang ia dengar, ia sudah tahu bahwa kaki kanan Gawain lumpuh dan tak akan bisa digerakkan. Pria elf tua itu menawarkan suatu hal yang tak bisa langsung Gawain tolak. Pertama, ia menawarkan seorang tabib berbakat untuk membantu mengobati kaki dan luka-luka Gawain yang lain. Kedua, ia menawarkan jasa dirinya sebagai pemandai besi untuk membuatkan belati, tongkat, serta baju pelindung baru dari logam murni yang ringan.
Ketika ditanyai apa Hefias punya maksud tersendiri, ia menjawab bahwa tak sekecilpun ia memiliki niatan lain. Malahan, ia memberi kedua tawaran itu secara cuma-cuma. Gawain masih menaruh curiga hingga Hefias menjawab, “secara tak langsung, kami semua berhutang nyawa pada Anda ketika di Antarie.”
“Anda terlalu melebih-lebihkan. Tapi tak apa, kuterima tawaran itu dengan senang hati.”
Satu minggu berlalu. Hasilnya, Gawain mampu menggerakkan kakinya kembali meski terpincang-pincang, tidak jauh berbeda dengan keadaan sebelumnya. Satu set baju pelindung barunya sangat kuat seperti baju besi pada umunya, namun lebih ringan daripada baju pelindung kulit lamanya. Belati barunya lebih mengilap dan dirapal sihir kepemilikan; tidak ada orang selain Gawain sendiri yang dapat mengayun belati itu. Dengan setetes darah, logam belati putih itu berubah menjadi hitam legam lengkap dengan nama pemilik sahnya dalam bahasa runik kuno.
“Erno Orkney” begitulah yang tertulis. Beruntungnya, hanya Gawain sendiri yang mampu membacanya. Yang terakhir, tongkat kayunya disulap menjadi multifungsi. Selain digunakan berjalan, tongkat itu dimodofikasi menjadi sarung pedang tersembunyi. Tinggal menarik gagang dan pelatuk tersembunyi, maka sebilah pedang hitam lengkap dengan namanya muncul. Hefias yang melihat senyum di balik tudung Gawain tertawa pulas dengan hasil kerjanya.
Di sisi lain, Canise membawa kabar baik dan kabar buruk. Kabar baiknya, ia dapat menceritakan secara jelas ciri wanita yang selama ini Gawain cari-cari. Wanita itu sekarang tinggal di sebuah kota kecil di sisi utara Laitan, berjarak sejauh dua bulan dari Tulious. Ciri wanita yang dimaksud lebih detail dan bahkan Canise menggambar sketsa wajahnya. Informasi yang cukup banyak bila dibandingkan dengan petunjuk yang ada.
Kabar buruknya, Canise tak dapat membaca masa lalu Lothius beberapa saat sebelum kematiannya. Kemampuannya terhenti ketika menelusuri kematian Loth, seolah-olah ada kekuatan tersendiri yang menghalau kemampuannya. Hal ini membawa Gawain pada satu hal: Penyihir Abadi memang berkaitan dengan kematian ayahnya.
Selepas berterima kasih pada ayah-anak itu, Gawain bertolak menuju Hyulida dengan ditemani komplotan petualang. Selama dua hari yang terasa panjang, Gawain berbagi cerita dan pengalaman dengan mereka. Cerita itu tersebar dari mulut ke mulut dan melesat lebih cepat menuju Hyulida. Para penjaga kota mulai bercerita tentang petualang yang berani melawan Tyran Taurus dan melintasi bekas Hutan Magis Nixie.
Berita ini didengar oleh Lucas Han’s yang sekembalinya dari Antarie ia tak pernah habis-habis mengkhawatirkan kabar Agwain Septim yang ia tinggal di Antarie. Dari hubungannya selama ini dengan Agwain, ia merasa Agwain berbeda dengan pendeta pada umumnya. Agwain masih muda, namun sorot matanya menandakan bahwa ia tak tertarik oleh harta ataupun kedudukan, seorang pendeta yang memang berhati murni—pikirnya. Ia merasa bodoh ketika matanya berbinar senang saat pemuda itu mengeluarkan permata dari kantongnya. Tapi mau bagaimana lagi? Seperti itulah dunia bekerja.
Lucas Han’s sudah tak mendengar kabar dari Agwain Septim sekeras ia mencarinya. Ketika ia mendengar Si Pengembara Kesepian datang ke Hyulida, betapa senangnya ia. Dari Si Pengembara Kesepian, ia dapat tahu keberadaan Agwain Septim.
Di saat Gawain datang, ia disambut oleh seorang pendeta bertudung dari keluarga Han’s. Sesuai dengan dugaan dan prediksinya! Gawain dengan tenang mengekor hingga masuk ke mansion Lucas Han’s. Sang pemilik rumah sudah menunggunya di ruang tamu. Gawain dengan tudung tertutup serta tak lupa penutup wajah duduk berhadapan dengan Lucas. “Maaf atas ketidaksopananku, tapi tak kuingat seorang pengembara sepertiku berurusan dengan putra bungsu dari keluarga Hans’s.”
“Tak usah begitu tegang, Si Pengembara Kesepian. Aku hanya mengundangmu guna menanyakan keberadaan kawanmu.”
“Oh, si pendeta itu sedang pergi ke utara. Anda tahu, untuk pendeta seperti dirinya, ia sering ceroboh dan meninggalkan tugas-tugasnya sebagai pendeta!”
“Jadi dia masih pergi ya.... kau tahu kemana ia pergi?” tanya Lucas dengan nada sedikit sedih.
“Aku rasa dia ke Tír na nÓg—tanah para peri di ujung utara Unomi. Kudengar, dia mendapat tugas untuk menyelidiki alasan mengapa Tyran lebih agresif belakangan ini dengan menanyakannya pada peri-peri di sana.”
“Tak kusangka tanah para peri itu benar adanya. Tapi mari kesampingkan hal itu terlebih dahulu.” Lucas mengeluarkan secarik kertas dan memberinya pada Gawain. “Berterima-kasihlah pada teman pendetamu atas surat jaminan ini. Simpan baik-baik karena surat ini berharga nama keluargaku. Selamat melanjutkan perjalanan Anda, Si Pengembara Kesepian!”
Gawain hanya mengangguk. Dengan surat itu, ia bisa mendapat akses ke kuil manapun meskipun ia tidak menyamar sebagai Agwain Septim. Lagipula, ini Hyulida! Akan sangat berisiko bila ia menyamar sebagai Agwain Septim.
Setelah ia pergi dari mansion keluarga Han’s, ia memesan kamar di penginapan dan beristirahat. Esok harinya, ia berjalan berkeliling kota terbesar di Unomi ini untuk mengetahui beberapa tempat. Langkah kakinya terhenti di depan gerbang Akademi Hyulida, akademi sihir terbaik di penjuru Unomi. Di sana, seseorang yang ia cari sedang mengenyam bangku akademi. Ingin rasanya Gawain masuk melangkahkan kakinya, tapi mengurungkan niatan itu.
Aneh. Sedari dulu ia sering terburu-buru. Tapi mengapa kali ini ia tak bisa memantapkan kakinya? Apa yang menyebabkan nyalinya menciut? Ia memilih duduk di palaza dekat akademi sembari berpikir, menyelusuri ketakutan di hatinya yang baru ia sadari belum lama ini.
Dunia mengira bahwa sosok Erno Orkney telah mati, begitu juga dengan dirinya sendiri. Ia takut bahwa sosok Florence berubah. Bagaimana ia akan berbicara dengannya? Menjelaskan sedari awal cerita yang tak masuk akal lalu apa? Memberinya permata dan warisan yang sah dari mendiang ibunya dan cinta pertamanya?
Ironis. Gawain pernah bilang bahwa seorang pengembara akan membuat mimpi lain bila mimpi lama telah terwujud. Tapi sekarang ia tak bisa melakukannya semudah itu. Ia tak mampu membuat mimpi baru—alhasil ia tak akan mengakhiri mimpi ini. Menyedihkan, ia baru menyadari keteguhannya yang begitu rapuh itu.
Sore menghampiri. Hari sudah mulai berakhir. Orang-orang berlalu lalang untuk pulang ke rumah atau ke penginapan masing-masing. Gawain terlihat masih mendongakkan kepalanya, berpikir mengenai jalan pintas dari permasalahannya itu. Ketika palaza mulai sepi dan batu lumos di tongkat-tongkat yang melingkari palaza menyala, sebuah suara menyadarkan lamunannya yang lama itu. “Si Pengembara Kesepian?”
Itu suara yang Gawain kenal. Cepat-cepat ia menoleh dan mendapati figur tua berdiri di depannya. Dengan jubah petualang berwarna hijau ketuaan dan tongkat sihir sebagai penopang kakinya, pria itu bertanya lagi. “Kau Si Pengembara Kesepian dari Junier?”
“Guru Enire...” sebuah nama meluncur dari mulut Gawain. Tidak salah lagi, ia bertemu dengan guru lamanya. “Iya, saya sendiri, Guru Enire.”
Enire terkikik. Ia duduk menyandarkan punggungnya ke bangku. “Bagaimana Junier? Kudengar bencana silih berganti di sana...”
“Anda benar. Tapi tidak sepenuhnya Junier dikutuk. Ser Rei mulai memegang kendali perekonomian dan menstabilkan bursa saham yang berada di Junier. Suplai bahan pangan terpasok lagi untuk saat-saat ini, tapi aku khawatir tak selamanya. Semua petualang guild di Junier mencari jalan alternatif lain di Grende. Kota itu belum mati, hanya meredup.”
Enire mendongakkan kepalanya, seperti mengingat-ingat memori yang tersemat di kota kecil itu. “Dari caramu memanggilku, kau mengingatkanku pada seseorang.”
“Kemana orang itu?”
“Meninggal dengan damai di tengah kecamuk badai.” Enire meremas-remas palang tongkat sihirnya. Kesedihan tampak samar di garis wajahnya yang keras. Matanya tampak menerawang masa lalu yang jauh.
Sebenarnya Gawain tak mau memotong momen itu dan membiarkan gurunya larut sejenak dalam luka masa lalu, tapi Gawain tahu yang terbaik demi guru dan juga dirinya. Mereka mengidap penyakit yang sama—tidak mau berdamai dengan waktu. Enire masih menyimpan luka dengan masa lalu sementara Gawain takut dengan masa depan yang tak pasti. Tidak ada obat yang benar-benar manjur kecuali waktu untuk keduanya. Maka dari itu, Gawain memantapkan hatinya sekali lagi. “Permisi, Guru Enire. Aku ke sini untuk menemui Florence Orkney. Ser Leris memintaku untuk mengantar warisan yang ditinggalkan Madame Orkney sesaat sebelum kematiannya. Bisakah Anda mengatur jadwal Florence Orkney untuk bertemu dengan saya? Kudengar Anda adalah orang terdekatnya saat ini.”
“Akan kuusahakan. Hari-hari ini, Asosiasi sedang disibukkan dengan berita angin yang kurang menyenangkan.”
“Memangnya apa kabar itu? Aku tak mendengar hal-hal mencurigakan dari kedai-kedai.”
Enire menunduk dan memelankan suaranya, “berjanjilah padaku kau tidak mengatakannya pada siapapun... ada Penyihir Abadi yang berkeliaran di sini.”
Gawain terperanjat namun tetap menjaga kontur tubuhnya. “Anda bercanda! Tidak mungkin seorang Penyihir Abadi menembus penangkal tak terlihat Hyulida!”
“Sayangnya, mereka bisa menembus. Asosiasi sihir mulai melacak satu Penyihir Abadi ini ke penjuru Hyulida. Jika ia mencoba keluar, kita akan tahu dan segera mengejarnya. Tenang saja, Petinggi Asosiasi masih punya kartu truf. Kami tidak akan membiarkan Penyihir Abadi bermain-main di kota suci ini!” Enire berdiri dengan tongkatnya lalu berjalan, “Omong-omong, temui aku di palaza ini dua hari lagi saat pagi hari.”
Keduanya berpisah dan bertemu lagi seperti yang dijanjikan. Kali ini, Enire yang menunggu Gawain. Enire bangun dan memimpin Gawain menuju Akademi Hyulida. Mereka tidak banyak ditanya oleh penjaga sebab keberadaan Enire. Beberapa saat berjalan melalui lorong dan menaiki tangga, mereka sampai di sebuah ruang kerja. Dari jajaran buku yang bertumpuk-tumpuk di sana-sini, juga gantungan di dinding berupa tongkat sihir, serta patung Dewi Hestias di atas perapian memberitahukan bahwa ruang kerja ini milik gurunya.
Di sebelah perapian, terdapat tungku dengan teko berwarna putih menunggu. Batu arang sudah terisi di perut tungku, juga api biru yang menjilat-jilat udara memanaskan isi teko. Kepulan uap tampak mengungkung dan mulai menyebar ke penjuru ruangan. Itu aroma yang membawa nostalgia: teh hijau racikan khusus gurunya. Selama menunggu, Enire lincah mengaduk teh hijau dengan cara khusus hingga berbuih. Setelah selesai, ia menyajikan tiga cangkir di meja.
Gawain meneguk teh hijau itu setelah Enire sesuai dengan etika yang tak tertulis. “Teh racikan Anda selalu yang terbaik, Guru Enire.”
“Kau pernah mencoba tehku?”
Gawat, pikir Gawain mencari jawaban tepat. “Iya. Ser Rei pernah memberi sedikit padaku. Teh herbal yang menenangkan, katanya.” Meskipun fitur wajah Gawain sudah berbeda dari yang dulu, tapi intuisi Enire tajam. Jika ia salah memilih kata, bisa jadi identitasnya terbongkar.
“Anak muda, kuberi tahu suatu hal sebelum Florence Orkney datang ke sini...” Enire berdiri menyalakan batu lumos yang tergantung di dinding guna penerangan. Sinar matahari tidak sampai berkat mendung pagi hari ini. Tidak dingin, namun cukup mengganggu aktivitas. Begitu sinar kuning redup batu lumos terpancar, Enire berujar, “berhati-hatilah dengan Florence Orkney. Ia punya kemampuan deduksi tinggi hingga mampu menebak betul isi hati lawan bicaranya.”
Gawain mengerti betul kecerdasan Florence. Tapi ia baru tahu Florence dapat menggunakan kemampuan deduksi itu untuk mengetahui isi hati lawan bicaranya. “Baiklah, Guru Enire.”
Beberapa menit menunggu, suara ketukan terdengar dari pintu luar. Enire membukanya cepat-cepat. Derit engsel terdengar, menunjukkan satu sosok yang menunggu di depan pintu. Dilihat dari bayangannya, ia memiliki figur yang kecil. Gawain mawas diri, tanpa ia sadari otot-ototnya menengang dan mengeras.
Sosok berjubah dan bertudung sihir itu masuk. Ia diam seribu kata, bahkan ia tak memberi salam pada Enire ataupun Gawain. Ia melangkah santai, membuka tudungnya, lalu duduk berhadapan dengan Gawain. Tangan halusnya mengambil cangkir teh yang masih penuh dan meneguknya. Pembawaan yang tenang sekaligus dingin.
Florence Orkney yang saat ini di depan Gawain bukanlah Florence Orkney yang Gawain kenal selama ini. Jika ia ingat, Florence memiliki rambut ungu gelap, bukan pucat. Matanya juga lebih biru dan dingin jika Gawain rasa-rasa. Tinggi tubuhnya hanya bertambah sedikit selama dua tahun lebih.
“Salam, namaku—”
“Si Pengembara Kesepian. Maaf aku tidak punya waktu banyak untuk—” cetang! Cangkir yang Florence pegang terselip jatuh ke lantai. Enire yang terkejut segera mengambil kain pel dan sapu, namun Florence mencegahnya dan berkata bahwa ia sendiri yang akan merapikannya. Malahan, ia menyuruh si pemilik ruang kerja itu untuk pergi dari ruangan, memberi ruang untuk berbicara empat mata dengan Gawain.
Setelah pergi, Florence melihati lagi Si Pengembara Kesepian. Matanya menelisik tiap jengkal tubuh Si Pengembara Kesepian hingga mencoba membaca aura tubuhnya. Dari sana, ia menarik kesimpulan: tak salah lagi itu tubuh Erno. Matanya buncah. Bagaimana mungkin? Ia pasti bermimpi! Hanya mukjizat Dewa dan Dewi sajalah yang dapat membawa orang mati kembali hidup!
“Kakak...?” ujarnya kecil pada Gawain.
Gawain yang biasanya dapat mengontrol emosinya, kali ini ia tak bisa menjaga kontur wajahnya. Dalam sepersekian detik selanjutnya, Florence sudah mendekap Gawain. Keduanya diam, hanya kebisuan yang mengisi percakapan mereka. Tangan Gawain tak bergerak membalasnya. Kedua tangan itu merayap menuju pundak Florence dan mendorongnya menjauh. “Maaf, Anda mungkin salah orang. Namaku Si Pengembara Kesepian. Beberapa orang memang salah mendugaku dengan orang yang mereka kenal, itu sering.”
Dengan senyum setulus hati, Florence membalas, “Kakak tidak pandai berbohong.” Tangan kecilnya mengusap air mata Gawain yang mulai mengalir melalui pipi.
Untuk pertama kalinya semenjak memulai petualangan, Si Pengembara Kesepian menangis di depan rengkuhan seseorang. Dengan bibir bergetar, ia mengucapkan isi hati yang selama ini ingin ia katakan pada keluarganya sekembalinya dari pekerjaan serabutan saat di Junier, “aku pulang...”
“Selamat datang, kakak...” balas singkat Florence.
ntap
Comment on chapter Fiveteen: Persona