“Des blood tied ternity!” artinya adalah “Selamanya terikat darah!” Begitulah sumpah lama yang menyatukan ribuan jiwa melawan Penyihir Abadi. Tidak peduli saudara atau tidak, semuanya tidak berarti di medan perang. Ah, sumpah lama yang membawa Enire pergi ke masa lampau, tepatnya ke dua puluh tahun lalu.
Mengapa ia mengingatnya? Ia sesungguhnya tak ingin mengingatnya dan sangat ingin pula melupakannya. Waktu adalah obat paling mujarab juga garam paling pekat untuk luka hati. Ia tahu itu dan ia sendirilah yang merasakan. Sempat waktu mengampuninya, tapi takdir yang merajut jalannya tidak. Kini orang tua itu mengandai-andai, memikirkan alternatif cerita lain jika saja mengambil tindakan berbeda di masa lampau.
Alasan mengapa ia mengingatnya adalah pesan terakhir yang ia terima dari kawan lamanya, Master Septim. Ia berkerabat betul dengan empat Petinggi Asosiasi. Dimulai dari Lothius yang memang ia kenal dari kecil, Master Septim yang mulai ia kenal semenjak bertarung bersama melawan Penyihir Abadi, si pendiam Ratatoskr, hingga tunangan sekaligus muridnya sendiri, Laura Niele.
Pesan yang ia terima itu bebarengan dengan kabar kematian Septim yang disampaikan oleh seorang bentara muda. Tangannya gemetaran ketika menerima, namun ia kembali meneguhkan hatinya dan membuka surat terakhir itu. Isinya tidak banyak, namun makna yang tersemat di tiap jalinan kata itu cukup menggetarkan hatinya.
Berikut adalah surat wasiat yang ia terima:
Des blood tied ternity! Jangan lupa kau masih memegang teguh janji itu, Enire kawanku.
Kawan... jujur saja aku tak punya banyak kata-kata yang akan kutinggalkan untukmu. Jika ada, aku punya satu: “Jangan lupa kau masih punya orang yang perlu kau lindungi!”
Bukan maksudku untuk menyuruhmu melupakan istrimu, Enire. Tapi ingat, Laura telah lama meninggalkan kita. Aku rasa, dengan tanganmu itu, kau mampu mengubah dunia sesuai dengan kehendakmu...
Jika kau ada waktu, kunjungi diriku.
Kawanmu, Septimus.
Itu omong kosong! Ia tak bisa melindungi siapapun! Tidak Laura, Loth, Morgausse, Erno, dan kini Florence sedang terbaring sekarat sementara ia tak bisa berbuat apa-apa. Apa ia memang bisa melindungi seseorang? Ia tidak mengerti jawabannya.
Oleh karena itu ia melangkahkan kakinya keluar dari rumah, meninggalkan Gawain dan Florence di sana. Ia mencari jawaban apakah ia betul-betul bisa melindungi seseorang. Pak tua itu tak mengerti arah yang kakinya langkahkan hingga ia menyadari bahwa pemandangan bunga-bunga kapas terbang ditiup angin musim panas menarik perhatian pandangannya.
Secara tak sadar, kini arah kakinya berbelok mengikuti petunjuk angin yang menghembuskan bunga kapas putih. Lama-kelamaan, ia sampai di Bukit Para Pahlawan. Di kejauhan, tampak satu orang sedang berjongkok di sebelah nisan yang masih mengilap baru. Enire langsung tahu itu nisan milik Septim dan bersegera ke sana hingga suatu suara dingin mencegahnya: ”Mau apa kau ke sini, Enire?”
Dengan desahan sejenak, ia memberanikan menjawab, “mencari jawaban.”
“Apa jawaban yang kau maksud? Master Septimus sudah pergi untuk selamanya! Apa kau tak malu mendapati dirimu sekarang ini berdiri di depan peraduan terakhirnya?! Dasar pengecut!”
Enire menggigit bibir. Ucapan adik iparnya itu benar-benar menusuk. Tapi ia tak mundur, kalimat Septim memberinya dorongan ditambah air muka Sofia yang lemah dan hancur itu memantapkan niatnya. “Tidak perlu dia untuk menjawabnya, Sofia. Kau mungkin adalah jawabannya.”
Wajah Sofia merah padam. Tangan kanannya terayun cepat ingin menampar wajah Enire tua itu. Namun suatu suara mencegahnya untuk berhenti. “Monsieur Niele dan Mademoiselle Niele?” tanya satu suara dari belakang Enire. Sofia menarik tangannya, memasang postur tubuh senormal mungkin serta mengembalikan kontur wajahnya yang tegas.
“Monsieur Niele, katamu?” tanya Enire seraya berbalik, “hanya ada satu orang yang memanggilku begitu.” Karena penasaran, Sofia ikut mengintip perihal siapa yang berbicara dengan Enire. “Sudah lama tak jumpa, Ratatoskr.” Keduanya bersalaman, satu tangan berambut tipis ala manusia, satu tangan berbulu coklat muda dengan bintik hitam dan putih.
“Bagaimana kabar Anda, Monsieur?”
“Tua bangka. Aku tak akan berusia lama, Rat.”
Ratatoskr kini tampil sebagai pemuda ras Half-Beast dari ras setengah tupai. Matanya yang hitam legam tampak berputar melongok menuju sosok Sofia di balik Enire. “Ratatoskr, kemana Anda pergi beberapa hari ini!?” tanyanya setengah berteriak.
“Waktuku tidak banyak... wahai darah Niele. Aku kali ini tidak bertindak sesuai dengan perintah Master Septim, tapi bertindak sebagai pengantar pesan darinya. Para Dewa dan Dewi memanggilku kembali untuk jangka waktu lama untuk segera melapor apa yang terjadi. Dari suara mereka, aku mungkin tidak diizinkan kembali untuk beberapa waktu ini. Jadi, dengarkan pesan yang akan kusampaikan dari Master Septim.”
Ratatoskr mengintip kedua orang dan mulai berbisik, “ikuti aku. Aku memesan ruang di desa terdekat hanya untuk kita bicara.” Keduanya menurut lalu mengekor. Tiga orang berjubah itu keluar dari pemakaman lalu berjalan menuju desa terdekat yang terpisah tiga ladang dari Bukit Para Pahlawan. Mata Ratatoskr mawas penuh selama perjalanan. Ia baru mengendurkan penjagaannya setelah masuk di kawasan desa yang dimaksud.
Mereka masuk ke salah satu kedai. Setelah berbicara dengan pemilik kedai, mereka digiring menuju ruang rahasia di bawah tanah, tepatnya menuju gudang anggur yang sedikit dirubah menjadi ruang diskusi dengan meja berukuran sedang di tengahnya. Sang pemilik menyediakan tiga kursi kayu dan tiga cangkir besi berisi root beer dingin. Dengan membungkuk hormat, si pemilik kedai pergi meninggalkan ketiganya.
Ratatoskr merapal mantra penangkal agar suara mereka tak didengar siapapun selain di ruangan. Setelah yakin tidak akan ada pihak siapapun yang melihat dan mendengar—bahkan Dewa dan Dewi— ia mulai angkat bicara. “Aku senang melihat kalian berdua baikan... itu pesan pertama dari Master Septim.” Andai saja Ratatoskr tak melanjutkan kalimatnya, Sofia sudah bangkit dan menyangkalnya. Tapi saat ini bukanlah waktu yang tepat untuk bertarung dengan saudara sendiri.
“Yang kedua: kumohon jaga rahasia bahwa kalian bertemu dengan Ratatoskr. Hanya kalian berdua sajalah yang paling kupercaya. Yang ketiga: jangan mudah percayakan punggungmu bahkan pada orang yang selama ini kau anggap kawanmu sendiri.”
Dahi tua Enire mengernyit. “Seseorang sedang berkhianat? Tapi siapa? Jika ada yang berkhianat, kita akan tahu sesegera mungkin... oh tidak, kita terlambat menyadarinya.”
“Anda benar, Monsieur Niele. Tapi aku tak bisa menjawab pertanyaan tentang siapa yang berkhianat.”
Sebuah belati tiba-tiba teracung dari tangan Sofia, “jika itu benar, sebutkan alasan dan jaminan mengapa kami percaya padamu!”
Dalam hal ini, kesepakatan tercapai dengan memberi kepercayaan oleh kedua pihak. Enire setuju, tapi ia menyuruh Sofia menurunkan belatinya dan duduk diam mendengar. “Kau bisa percaya padaku atas nama Dewa Hermus yang memberkatiku sebagai pengirim pesan kepercayaannya. Jika kau tak mempercayaiku, kau sama saja mempertanyakan dewamu.”
Sofia tak menjawabnya dengan kata, namun dengan tingkah lakunya yang kembali menyarungkan belatinya. “Aku mempercayaimu, Ratatoskr. Sekarang lanjutkan dan mari kita lupakan masalah baru saja ini.”
“Baiklah kalau begitu, lagipula kita sudah di pesan terakhir.” Ratatoskr mengeluarkan sebotol elixir dan satu buku jurnal coklat tua. Dia memberikan elixir berwarna ungu itu kepada Enire dan buku jurnal coklat tua kepada Sofia. “Pesan untuk Monsieur Niele: bawa pergi Florence Orkney keluar jauh-jauh dari Hyulida. Gunakan elixir awet muda ini untuk menyamarkan wajah dan identitasmu. Tentang Florence, dia tak akan bangun kecuali seseorang mencabut kutukan Penyihir Abadi yang melekat di tubuhnya. Inilah jawaban yang kau cari, orang yang perlu kau lindungi, Enire.” Enire yang mendengar itu sontak terkejut, tak menyangka bahwa jawabannya ada di bawah hidungnya sendiri. Dengan tangan bergetar, ia menerima botol itu dan menaruhnya dengan hati-hati di kantongnya.
Kini Ratatoskr mengalihkan pandangannya menuju Sofia, “pesan untuk Mademoiselle Niele: kau mungkin tak mempercayai siapapun saat ini, Sofia. Tapi kuberitahu satu hal, kau bisa percaya dengan pemegang buku jurnal ini yang lain. Buku jurnal ini adalah salinan persis dari buku yang lain. Dengan kata lain, apa yang kau tulis di sini juga tertulis di jurnal yang sama. Kau bisa menyebutnya alat untuk berkomunikasi. Aku kenal dengan pemilik buku ini dan aku rasa kau bisa percaya juga padanya.” Jemari Sofia menyentuh pinggiran kasar buku jurnal coklat itu. Dilihat sekilas, banyak kertasnya yang sudah menguning, juga rusak dan kuyup oleh air. Ketika membukanya, tinta-tinta yang melekat sudah acak tak beraturan berkat air, meninggalkan lembaran yang tulisannya sudah tak bisa dibaca lagi.
“Kau tahu siapa pemegang buku ini?”
“Tidak. Hanya Master Septim sajalah yang tahu siapa pemilik yang lain. Tapi seperti yang aku sampaikan, Anda dapat percaya betul dengan orang yang dimaksud. Coba Anda nanti menghubunginya melalui buku ini. Mungkin saja ia adalah orang yang Anda kenal juga?”
Sofia mengangguk tanpa banyak tanya dan memasukkannya ke dalam saku. Selepas kalimat terakhir itu, mereka keluar cepat-cepat dan berpisah. Ratatoskr lenyap di antara lautan manusia, Enire masih memilih diam di kedai, sementara Sofia lekas kembali ke kota dan bersegera menyelesaikan masalah yang menunggunya.
Figur Julia menyambutnya ketika ia masuk di ruangan. Gadis itu berdiri memberikan satu bendel kertas dokumen analisis. Dengan itu, mereka berhasil menyempitkan menjadi beberapa nama. Itu langkah yang cukup cepat dalam waktu satu hari saja. Lekas-lekas, ia pergi menemui Iason di perpustakaan dan memberinya dokumen itu. Terdapat belasan nama yang sedari dulu dicurigai adalah Penyihir Abadi.
Jika mau, Asosiasi bisa mengambil tindakan sedari dulu, tapi Master Septim tidak mau bertindak gegabah dan memberi keputusan untuk berdamai. Lagipula, mencari Penyihir Abadi di segala penjuru Unomi tidaklah mudah.
“Fantastis, Sofia. Aku akan memanggil yang lainnya untuk datang dan rapat lagi. Kita akan rapat lima belas menit lagi di sini!” Iason menyuruh burung pengantar pesannya terbang dan menyampaikan pesan. Sesuai degnan ucapannya, dua petinggi asosiasi yang lain datang. Pias di wajah mereka menyatakan bahwa panggilan itu sudah mereka nantikan. Iason menyambutnya, lalu menyuruh mereka duduk di salah satu bangku perpustakaan.
Setumpuk buku melayang datang atas perintah Iason dan mendarat di tengah-tengah meja. Semua orang tahu buku itu dan tentunya konten yang ada. Tapi mereka bertanya-tanya mengapa mengeluarkan buku dongeng di saat-saat seperti ini? Sebelum seseorang berani menanyakan, Iason menjawab pertanyaan yang tersangkut di tenggorokan mereka.
“Epos Si Pengkhianat, kalian mungkin bertanya-tanya mengapa cerita saga Penyihir Abadi yang melegenda ini kubawa-bawa. Tapi tenang, aku punya jawabannya.” Iason membuka salah satu buku dari cerita saga itu, lalu menunjuk salah satu halaman penuh enkripsi bahasa kuno yang tak diketahui. “Ini adalah naskah asli dari Epos Si Pengkhianat, kita tak tahu apa-apa dari sini. Oleh karena itu, sekitar seratus tahun yang lalu, pendahulu kita menulis ulang cerita ini dan menggantinya dengan bahasa yang kita kenal hingga saat ini.” Iason kini menunjuk buku lama yang tampak lebih terawat dan muda dan membandingkannya.
“Karena bahasa yang kuno serta cerita epos lama yang berbelit-belit, si penterjemah memangkas cerita yang menurutnya tak penting. Padahal dia malah memangkas hal-hal yang amat penting!”
“Bagian yang mana?” Hartein dan Reynald bebarengan.
“Yang paling mencolok adalah bagian akhir cerita. Di cerita yang kita kenal, kita tahu bahwa kiamat dapat kita hindari dengan bantuan Si Pengkhianat juga Dewa dan Dewi.” Semua orang mengangguk. “Di naskah yang asli, justru sebaliknya! Akhir dunia terjadi dan tak ada yang bisa mencegahnya!”
Semua orang saling pandang. Hartein menampilkan senyum mengejek, “aku rasa kau perlu istirahat, Iason. Aku tahu kau bekerja keras hingga kelelahan dan mulai mengaitkan hal-hal lain yang tak bersangkutan.” Reynald dan Sofia setuju dengan Hartein.
“Baru saja kemarin kalian percaya padaku, dan kini kalian berkata seperti ini?”
“Maaf, kami bercanda.”
Iason menghela napas kesal, “baiklah, mari kulanjutkan.” Setelah mengatur kontur wajahnya, ia kembali menjelaskan. “Bagaimana bila Epos Si Pengkhianat bukan cerita lama, melainkan prediksi masa depan?”
“Alasan apa kau bilang begitu?”
Jemari Iason membolak-balikkan halaman dan ia sampai di bagian awal cerita. Dengan jari telunjuk, ia menunjukkan tulisan tipis si penterjemah di bawah tulisan runik kuno. Sepertinya, si penterjemah mencorat-coret naskah lama sembari mengartikan cerita yang akan dimaksud. “Kalian bacalah tulisan itu...”
Semua mata tertuju ke tulisan dan mulai membacanya:
...
Syahdu angin menurunkan sepuluh jiwa yang kami kan berkati untuk tanah, kan kami lihat dari surga, tahta dan altar suci.
Oh, apakah mereka akan bermain sesuai dengan peran mereka? Kan kami ceritakan...
Sepuluh Penyihir, bertarung, melawan saudara-saudari, bahkan Dewa dan Dewi...
Satu mulai bangkit dengan anjing-anjing peliharaannya, meluluhlantahkan apa yang ia lihat, dengar, kecap, raba, dan endus.
...
“Bagaimana menurut kalian... apa kalian merasa familiar dengan pembuka cerita ini?”
Secara spontan, semua kepala mengingat perang pertama dengan Penyihir Abadi. Musuh mereka hanya satu, tapi Tyran yang ia kendalikan jumlahnya ribuan. “Apakah maksudnya ‘Anjing-Anjing’ di naskah ini merujuk pada—”
“Tyran. Aku juga berpikir seperti itu,” potong Iason cepat-cepat. “Dan dari bagian ini, kita tahu bahwa total musuh kita ada sepuluh Penyihir Abadi. Dengan kata lain, kita bisa tahu musuh kita melalui epos ini!”
Hartein menggeleng lemah, “buktimu kurang kuat, Iason. Bisa saja itu hanya kebetulan semata. Mungkin saja penulis puisi lama ini menulis cerita dan menggayakannya, melebih-lebihkan bahwa dunia akan kiamat atau sebagainya.”
“Awalnya aku mengira seperti itu, Hartein. Tapi kutelan ludahku setelah membaca bagian yang lain.” Iason kembali membolak-balikkan buku serupa kitab itu dan berhenti di bagian lain yang telah ditafsirkan oleh si penterjemah. “Baca bagian ini, kalian semua. Dan kemungkinan kalian kan percaya.”
...
Tujuh turunan Adam memimpin saudara-saudarinya, mengangkat pancang, melilit rantai, melempar api.
Ratu dan anjing-anjingnya, juga tujuh putra adam dan saudara-saudarinya bertarung, perebutkan tanah yang mereka pijaki. Satu demi kemakmuran, satu demi idealis.
Apakah yang membuat mereka melawan? Wahai, oh, wahai! Guncangkanlah panggung drama, dan mari kita lihat kebun-kebun kami yang kotor oleh tangan mereka!
...
Semua orang hening. Jujur saja, istilah “Tujuh turunan Adam” sangat menjurus pada Petinggi Asosiasi. Semuanya saling pandang, bertanya-tanya apakah kitab yang ada di depan mereka bukan puisi legenda lama melainkan ramalan apa yang akan terjadi?
Iason tak berhenti, ia membolak-balikkan dan loncat ke bagian yang lain. Di sana, bacaan yang menunggu mereka sedikit berbeda dengan sebelumnya, tapi tetap saja membuat mereka semua terkejut. Berikut yang tertulis:
...
Tanah demi tanah jatuh di silih musim berganti. Kadang tak tampak, dan kadang tampak. Itulah yang dihadapi turunan adam yang tersisa!
Si kutu buku mengantikan si pemimpin, mencari kebijaksanaan yang disimpan sejarah, demi mendapati rahasia...
“Lelah tak kau rasakan? Kau mulai mengutuki kebijaksanaan yang tak terhubung oleh apa yang kita pegang!” salah satu dari mereka berkata.
“Tak percaya padaku? Kalian penipu!” bantah kutu buku.
“Oh, wahai! Engkau tertawalah! Engkau tak perlu menanggungnya!”
...
Peluh dingin tampak mengalir jatuh dari semua orang. Tulisan di buku merujuk persis dengan perbuatan mereka beberapa saat sebelumnya. “Jika kau ingin membalas candaanmu, jangan lakukan sekarang Iason. Ini tidak lucu.”
“Sayangnya tidak, Hartein. Kalian lihat, tulisan tanganku berbeda betul dengan ini.” Semuanya diam seribu kata ketika benar mengingat tulisan Iason yang mereka kenal. “Jadi, bagaimana? Apa kalian percaya padaku?”
Ketiganya mengangguk dan diam seribu kata. “Kalau begitu, kita tinggal menerjemahkannya dan kita akan meringkus semua Penyihir Abadi. Kau cerdas, Iason! Tak salah kau ditunjuk sebagai pengganti Master Septim!” Hartein menepuk-nepuk pundak Iason dengan bangga dan rasa penuh senang.
Biasanya, pria Half-Elf itu akan menerima dan tersenyum senang, tapi kali ini tidak. Muram di wajahnya muncul, juga pucat yang mewarnai kulitnya menjadi susu. Dengan mulut bergetar, ia mulai berkata, “tidak Hartein, itu lebih buruk dari yang kubayangkan. Jika kitab ini benar-benar ramalan dari apa yang terjadi, maka di akhir cerita...”
Semua orang tercekat dan tak ada yang berani berbicara hingga Iason melanjutkan kalimatnya, “kita harus tetap berusaha! Tapi kuingatkan lagi, kawan-kawanku, apa nanti yang ada di depan mata dan jalan kita setelah ini tidak bisa kuprediksi. Aku bukan Lothius yang terlatih membuat strategi, juga tidak sebijak Master Septim. Dan jujur saja, aku takut dengan masa depan yang mungkin buruk bagi kita, tapi aku adalah orang bodoh! Aku tidak akan berhenti! Masa depan kita adalah milik kita sendiri, bukan milik seorang peramal dari masa lampau!”
Iason berhenti sejenak dan mengambil napas, “jadi, jika kalian mundur, maka ini adalah kesempa—”
“Mundur? Rupanya kau bercanda, Iason. Bagi pelaut sepertiku, memutar kemudi lebih sulit daripada menghadapi badai. Jujur saja, kawan. Rasanya aku ingin memutar kemudi dan kembali ke perairan tenang. Tapi ayolah, kita sudah terlambat! Mereka tidak memanggilku kapten jika aku tak bernyali!”
“Begitu juga denganku, Iason,” imbuh Reynald. “Mereka menginjak-injak kehormatan bangsa kami sebagai penjaga dari hutan magis. Aku tak akan memaafkan mereka!”
Iason berterima kasih dengan keduanya lalu melirik Sofia. Sifat diamnya itu sudah menandakan bahwa dirinya setuju. “Kau memang selalu diam seperti ini, berlainan dengan kakakmu,” gumam Iason.
“Baiklah. Jika begitu, kita sudah mengambil langkah yang cepat. Di bendel lembaran-lembaran ini, Sofia sudah menyortir nama-nama orang yang dicurigai Penyihir Abadi. Kita tinggal melakukan investigasi lanjutan dan kita bisa mengeksekusi mereka satu persatu.” Iason menyisir ketiga kawannya, “bagaimana dengan kalian, Hartein dan Reynald?”
“Armada kapalku akan berangkat lima hari lagi. Sesuai dengan perintahmu, kami akan merantau ke tanah para peri, Tír na nÓg dan akan kembali pada musim gugur.” Jawab Hartein sembari memberikan surat-surat izin yang telah ia urus, “kami tinggal mengisi muatan armada kapal dan mencari anggota kelasi andal.”
“Kaumku sudah berjaga dengan petualang-petualang berkat tindakan Sofia,” tambah Reynald. “Kita siap, Iason!”
“Baiklah kalau begitu, kita bubar dan tetaplah lakukan seperti yang seharusnya kutugaskan!”
Sama seperti sebelumnya, mereka bubar dari ruangan dan kembali ke pekerjaan yang menunggu mereka. Sofia memilih mengirim tim pengintai dan investigasi khusus untuk menentukan siapa saja dari yang termasuk Penyihir Abadi. Cukup banyak nama yang perlu diintai, ia perlu bertindak cepat.
Tanpa ia sadari, malam sudah menggelayut di langit-langit dunia. Atas saran Julia, Sofia berhenti dari pekerjaannya dan memilih menikmati malam itu di rumahnya. Banyak yang ia lewatkan selama ia menyibukkan diri di ruang kerjanya. Kepanikan massal akibat kematian Master Septim sudah larut dan tenang berkat kendali Iason. Tidak hanya itu, rumor tentang Penyihir Abadi sebagai dalang semua hal ini juga teredam dan digantikan dengan kabar bahwa kematian Master Septim diakibatkan penyakitnya.
Beberapa menit setelah ia merebahkan punggungnya di kursi kayu dekat perapian rumahnya, seseorang mengetuk pintu. Itu Julia, dia muncul dengan pias wajah datar biasanya. Kali ini ia tak membawa setumpuk lembaran atau semacamnya, ia hanya membawa sebotol anggur dan madu hangat. Gadis itu menuangkan isinya, lalu memberinya kepada tuannya dan berdiri menunggu perintah.
“Kau boleh beristirahat, Julia. Sebelum itu, ambilkan aku lilin, aku ingin membaca di sini.” Julia mengangguk dan pergi. Selang beberapa menit, ia kembali dengan setangkai lilin. Meskipun pada saat ini keberadaan lilin hampir sepenuhnya digantikan oleh Batu Lumos sebagai alat penerangan, Sofia masih lebih menyukai lilin. Pendapat pribadi yang mendasari pilihannya ini karena kenangan bersama Laura.
Salah satu cara mengenangnya adalah lilin dan buku. Sofia muda tidak pernah mengenal ibunya karena meninggal ketika melahirkannya di usia enam puluhan. Semua orang tak mengira bahwa keluarga Niele diberkahi satu orang putri lagi. Karena tak memiliki ayah dan ibu, Sofia diasuh langsung oleh kakaknya yang terpaut hampir empat puluh tahun. Seiring waktu, Sofia tumbuh dan mengangap Laura adalah ibunya dan Enire adalah ayahnya sendiri.
Tapi pandangan ini berubah ketika perang dengan Penyihir Abadi dua dekade lalu. Laura meninggalkan Enire dan dirinya, melenyapkan semangat hidup yang terpancar dari mata Enire. Atas pesan Enire sendiri, ia menitipkan Sofia kepada Lothius dan Master Septim agar menggantikan peran Laura sebagai petinggi asosiasi. Sofia muda merasa dikhianati oleh ayahnya sendiri. Dan dari situlah, ia membenci Enire. Ia selalu bertanya-tanya mengapa Enire meninggalkannya ketika dia sangat perlu orang di sisinya? Apa ia dibenci?
“Nona? Apakah Anda sedang memikirkan sesuatu?” suara Julia mengejutkan Sofia dari lamunannya.
Sofia menggeleng dan menyuruh pelayan pribadinya itu beristirahat untuk pekerjaan esok hari. Ia berpindah dari kursi santai ke meja di depan sofa di dekatnya. Sinar lumos di sekitar, api hangat perapian, dan temaram lilin kecil menemani malamnya. Perlahan, ia mulai membuka lembaran demi lembaran. Tidak ada yang bisa ia baca hingga ia sampai di lembaran yang bersih belum tertulis. Ada beberapa bagian yang dapat ia baca, namun hanya sedikit. Dari sana, ia tahu beberapa penggal kehidupan pemilik sebelumnya.
Sofia membolak-balikkannya lagi. Ada satu hal yang membuatnya penasaran. Mengapa jurnal ini masih menyisakan begitu banyak lembaran putih? Jika dilihat dari kuningnya kuarto, seharusnya jurnal itu sudah terisi penuh. Ada rahasia kecil yang terselip di lembaran-lembaran jurnal itu. Ketika sampai di halaman terakhir dari bagian yang tertulis, ia menyibak rahasia dengan temaram lilin. Dengan kejelian matanya, ia mendapati tulisan yang hampir transparan.
Itu teknik menulis dengan tinta khusus. Untuk membacanya, kita perlu menerawang menggunakan cahaya. “Rupanya masih ada pesan lain yang Master Septim tinggal?” tulisan itu digurat dengan bahasa runik lama. Lekas-lekas Sofia mengambil kamus dan mulai mengartikan kata demi kata.
“Dengan ini, aku berjanji mengikat kontrak padamu...” begitulah yang tertulis.
Terdapat tulisan lain yang digurat dengan tinta serupa. Sayang, sama seperti epos lama, tulisan itu ditulis dengan bahasa runik yang cukup kuno hingga kamus yang Sofia miliki tidak dapat mengartikannya. Semakin ke belakang, semakin kuno bahasa yang digunakan. Satu pertanyaan tertuang di benak Sofia, “apakah ini berkaitan dengan Penyihir Abadi?”
***
Beberapa menit sebelumnya, kediaman Enire Allai’en di Hyulida.
Enire datang dengan kereta kuda yang siap bertolak pergi dari Hyulida. Gawain yang kebingungan bertanya perihal kemana gurunya itu kan pergi. “Kemana Anda pergi?”
“Kau tak perlu tahu, anak muda. Ini urusanku sebagai bapak asuh Florence. Aku akan membawanya pergi jauh dari Hyulida. Mulai hari ini, kau tidak bekerja sebagai asistennya, kau diberhentikan.”
Gawain menjadi beringas. Ia mendorong gurunya ke dinding untuk bicara. “Aku perlu tahu kemana kau akan membawanya, pak tua!”
“Memangnya kau siapa?! Kau bukanlah siapa-siapa selain asisten pribadinya! Bahkan kau masih berumur jagung melayaninya—hanya tiga bulan! Lagipula, kau petualang bukan? Sana pergi! Habiskan umurmu dengan berpetualang!”
“Kau ingin tahu siapa diriku, guru? Baiklah.” Gawain mundur dan melepas cengkramannya. Ia membuka jubah yang menutupi wajahnya, menampilkan figur diri yang sebenarnya. “Bayangkan bila rambut dan mataku coklat, guru. Bayangkan pula wajahku lebih bersahabat. Kau pasti mengingatnya, bukan?”
Enire mengernyitkan dahinya. Beberapa saat setelah menyipitkan mata dan mengingat, ia membelalakan mata terkejut, “demi Dewi Fortunie! Erno! Kau masih hidup?!” Enire memeluk Gawain, tapi tak mendapatkan balasan. “Kemana saja—”
“Guru, aku mengerti Anda punya banyak pertanyaan. Tapi tolong simpan saja. Aku lihat Anda amat terburu-buru meninggalkan Hyulida. Anda mau kemana? Jawab dulu pertanyaanku ini!”
“Padang Pasir Halina di Selatan. Di seberang sana, ada daerah bernama Amarta. Aku kenal dengan seseorang di sana dan aku minta pertolongannya untuk menyembuhkan Florence.”
“Kenapa harus sejauh itu?”
“Alasan pertama, Master Septim menyuruhku untuk membawa Florence sejauh mungkin. Aku rasa Hyulida juga sudah tidak aman. Alasan kedua, seseorang harus segera mengangkat kutukan yang Florence derita saat ini, dia adalah orang yang cukup berpengetahuan tentang urusan semacam ini.”
Gawain menggemeretakan gigi. Pantas saja ia merasa aneh ketika mengobati luka Florence. Dilihat dari wajah gurunya, pak tua itu tak berbohong sama sekali. Dengan pertimbangan matang, Gawain menggendong Florence ke kereta kuda. Sebelum berpisah, ia mengecup kening Florence sebagai salam perpisahan, membelai rambut dan pipinya sejenak, lalu mencium tangan dinginnya yang lemas dan pucat itu.
Enire sudah siap pergi setelah mengemasi beberapa pakaian, surat-surat, serta beberapa uang. Sebelum Enire memacu kudanya, Gawain memberi semua sisa perhiasan miliknya. “Untuk bekal kalian berdua. Guru, jika Florence sudah siuman dari tidurnya, kumohon jadikan aku orang pertama yang tahu.”
Gawain yang ingin balik kanan mengurungkan niatannya dan kembali merogoh kantongnya. Satu dari sepasang anting kenangan dari Sa’rah ia berikan. Bukan ia melupakan Sa’rah, tapi saat ini ada orang yang telah menggantikannya. Cinta Sa’rah sudah ia ubah haluan ke Florence. “Satu untuk Florence... bilang dari orang yang mencintainya...” tukasnya lemah dan pasrah.
Enire tak bisa berkata apa-apa membalasnya selain dengan senyuman dan anggukan mantap. Dengan tangannya yang lincah untuk ukuran pria setua itu, pria itu memacu empat kuda yang tertambat di kereta, meninggalkan Gawain yang kini sendirian di depan rumah.
Ah, pikirannya kembali berkalut. Sial, pikirnya. Padahal ia sudah sampai di tempat yang sudah ia anggap tempat untuk kembali. Kini semua orang meninggalkannya lagi, meninggalkan dirinya yang lemah dan tak berdaya, sebatang kara. Dengan langkah pincangnya, ia kembali ke rumah Enire dan duduk-duduk di meja makan.
Sebelum Enire datang dengan keretanya, Gawain sudah membuat sup hangat khas masakan rumah sambil berharap-harap Florence kan siuman. Sop itu sudah jadi, cukup untuk tiga orang, bukan satu. Dengan senyum kecut serta ditemani musik keheningan yang ia sukai sekaligus benci, ia menghabiskan satu kuali penuh.
Sepanjang perjalanannya, semua petualang berkata bahwa anggur adalah obat sesaat bagi masalah. Itulah yang kini Gawain minum setelah mengetahui bahwa Enire memiliki segudang penuh anggur. Dengan pengetahuannya, ia memilih anggur paling berkualitas dengan aroma alkohol yang kuat dan menyengat. Itu bagus, semakin kuat anggurnya, semakin cepat pula masalah yang ia hadapi hilang.
Satu gelas pertama habis hanya dalam hitungan detik. Anggur itu enak, nikmat, manis, dan menghangatkan. Tapi mengapa rasa anggur itu hambar? Bahkan terlalu hambar bila dibandingkan dengan anggur yang ia minum dengan Urs ketika di Antarie. Kenapa? Apakah karena tidak ada teman untuk berbagi dan minum?
Gelas kedua, ketiga, dan keempat menyusul setelahnya. Semakin ia minum, hatinya semakin hambar dan rasa gelisahnya bertumpuk. Tubuhnya gemetaran, perlahan ia mulai menangis di tengah sunyinya malam. Ia sekarang memerlukan setidaknya sepasang telinga untuk mendengar asa dan harapannya yang hancur.
Setelah gelas kelima, Gawain mulai mabuk berat. Ia mulai mengeluarkan sumpah serapah kepada Dewa dan Dewi yang menyiksanya dengan takdir semacam ini. “Kenapa di setiap cintaku mekar?!”
Sehabis gelas ke sekian, satu botol sudah kosong, meninggalkan seorang pemuda yang rubuh di lantai. Pemuda yang menyedihkan. Ia menatap atap-atap rumah yang tampak rapuh setelah dimakan rayap bertahun-tahun lalu memilih bangkit dan duduk kembali. Kepalanya berat, namun ia tak bisa tidur dengan nyenyak, tidak dengan perasaan gelisah yang menggerogotinya.
“Master...” suatu suara tampak terdengar. Tapi Gawain terlalu mabuk untuk menggubrisnya. “Master...?” Gawain merasa mengingat suara itu. Suara persis milik Florence kembali terngiang di kepalanya, berkali-kali hingga ia muak dan menggebrak meja di depannya.
“Bisakah kau diam!? Kepa...” Gawain tak sempat menghentikan kalimatnya sebab terkejut akan pemandangan yang ada di depan matanya. Meja dari batu marmer putih menyambutnya, juga dengan tumpukan kue di cake tier. Matanya mawas melihat pemandangan sekitar, ia sampai di Gazebo yang sama dengan ilusi dahulu.
“Tenanglah Master. Apa sebegitu mengejutkannya kau bertemu denganku?”
Florence duduk bersandar santai memakan kue-kue. Jemarinya yang penuh krim ia jilati satu persatu, sungguh tiruan persis dari Florence yang Gawain kenal. “Mau apa kau?”
“Aku akan berterus terang; aku menawarkan kerja sama. Aku pinjamkan kekuatan untuk memenuhi ambisimu.”
“Tahu apa kau tentang diriku?”
“Semuanya, Master. Dari apa yang kau cintai hingga kau benci. Kita sudah terikat, tapi belum sepenuhnya.”
Gawain menyangka ia bermimpi karena mabuk. Ia tak mendengar Florence sama sekali. Pemuda itu tertawa seperti orang tak waras, menertawai dirinya dan kesialan yang mengutuk dirinya. Dilihat dari air mukanya, ia tampak seperti orang yang benar-benar rusak. Matanya yang seakan-akan ingin membludak keluar itu mengeluarkan isi hatinya yang remuk, sungguh jendela hati yang malang.
“Tak kusangka Anda akan menjadi seperti ini, Master.”
Demi mendengar kalimat itu, Gawain berhenti tertawa. “Kau tahu diriku? Siapa kau?!”
Florence mengulurkan tangannya, mengajak Gawain bersalaman, “namaku Circe, satu dari sepuluh Penyihir Abadi. Aku adalah kawan ayahmu dan kini adalah kawanmu, Erno Orkney.”
Sekonyong-konyong mendengar kalimat itu, Gawain merasa bahwa rasa mualnya, juga pusing di kepalanya lenyap seketika. Apakah itu benar? Apakah memang Loth bekerja sama dengan Penyihir Abadi? Apakah ayah yang selama ini ia bangga dan bela adalah orang yang salah? Gawain tak mempercayainya, ia menolak betul apa yang Florence ucapkan.
Gawain menjadi kehilangan kendali. Tahu-tahu, ia mendapati dirinya melompat menerkam Florence lalu mencekiknya di bawah meja gazebo. “Persetan siapapun dirimu! Ayahku adalah orang yang baik dan penyayang! Ia tak akan mengkhianati siapapun, tidak untuk keluarganya sekalipun! Pembohong!”
Florence tak menjawab hingga lehernya dipatahkan oleh Gawain sekali lagi. Dengan posisi kepala yang serasa tidak normal, mulutnya itu masih sanggup berbicara meskipun busa sudah keluar dari sana. “Kumohon dengarkan aku, Erno. Jika kau berjanji tidak mematahkan leherku, aku akan menjawab seluruh pertanyaan yang kau simpan selama ini. Bagaimana?”
Gawain bukanlah orang bodoh. Ia tahu tak bisa keluar dari ilusi ini sebelum Florence menyelesaikan urusan dengannya. Ia tahu bahwa untuk beberapa alasan Florence memilih muncul di saat seperti ini dan mencoba berbicara. “Baiklah, siapa dirimu?”
Gemeretak tulang leher beregenerasi terdengar ngeri dan cepat. Dalam satu detik selanjutnya, Florence sudah bangkit dan terduduk di lantai bersama Gawain. Matanya tampak menembus jiwa Gawain, mengisyaratkan Gawain untuk mempercayai tiap kata yang keluar dari mulut Florence. “Circe, satu dari sepuluh Penyihir Abadi. Tapi terserah Master mau memanggilku seperti apa.”
“Kau mengenal ayahku?”
“Tentu saja. Dia adalah Master pertama yang mengikrarkan sumpahnya. Aku meminjaminya kekuatan sehingga dia menjadi petinggi asosiasi sihir seperti saat ini.”
“Sejak kapan dan mengapa kalian bekerja sama?”
“Aku rasa semenjak Lothius seumuran denganmu. Sama sepertimu, ia awalnya tidak sengaja memanggilku. Seiring dengan waktu, kami akhirnya memiliki hubungan dekat lengkap dengan tujuan yang sama.”
“Sama sepertiku? Aku tidak merasa melakukan ritual pemanggilan, Circe.” Kali ini nada suara Gawain lebih tenang dan terkontrol. Lagipula, ia tidak mendapatkan apapun jika ia tidak dapat mengontrol emosinya yang masih larut dengan Florence.
“Koin itu. Iya, koin itulah yang memanggilku. Untuk kau tahu saja, torehan rune tipis itu menyimpan jiwaku. Kemampuan ultimaku adalah manifestasi jiwa; aku dapat mengirim jiwaku ke torehan rune. Dengan cara itulah, aku abadi hingga saat ini, Erno.”
“Bila kuingat-ingat, percobaan itu diakhiri dengan kegagalan...”
“Kau ingat bahwa kau tak sengaja meneteskan darah, bukan?” jika Gawain kembali mengingat, ia memang tak sengaja menggores tangannya. Gawain tak menyangka bahwa hanya dengan setetes darah, percobaan itu berhasil. “Semenjak itu, kita terikat oleh benang tak kasat mata, Master. Tapi kau memilih waktu yang tidak tepat! Saat itu, aku dan ayahmu sedang bertempur memburu Penyihir Abadi lain. Tanpa peringatan apapun, aku dipanggil oleh kontrak lain... pria yang malang.”
Gawain menggemeretakan gigi. Ia ingin saja menyangkal, tapi jika dilihat dari sorot mata Florence, gadis ini jujur dengan apa yang ia katakan. Secara tidak langsung, Gawain sendirilah yang membunuh ayahnya. “Aku tidak menyalahkanmu, Master. Itu sudah takdirnya. Lagipula, Master Lothius pernah berkata bahwa cepat atau lambat ia akan digantikan. Tapi tak kusangka penggantinya adalah anaknya sendiri.”
Gawain mendongakan kepala berpikir. Setiap ia menanyakan suatu pertanyaan, timbul satu jawaban dan pertanyaan lain yang seolah-olah berantai. Ia memilih pertanyaan yang sebaiknya perlu dijawab sesegera juga. Melihat dari keadaan di Hyulida, Penyihir Abadi sedang mengincar Florence dan dirinya dan juga mungkin Petinggi Asosiasi. Ditilik dari keterburuan Enire tadi, Gawain tahu ia sedang bermain di salah satu panggung besar. “Mengapa kalian memburu Penyihir Abadi yang lain?”
“Untuk memenangkan pertandingan. Asal kau tahu saja, sebenarnya Penyihir Abadi ini hanyalah permainan yang diatur oleh Dewa dan Dewi! Barang siapa yang menang—siapapun itu yang bertahan hingga babak akhir—Dewa dan Dewi menjanjikan pengabulan satu harapan. Siapa yang tak tergiur, Master?”
“Oh, kalau begitu kau menggunakan ayahku sebagai batu loncatan?”
“Tidak. Kami adalah partner, dan partner tidak akan membohongi satu sama lain. Kami punya harapan dan mimpi yang sama, kumohon Anda percaya...”
Gawain terdiam sesaat. Sekarang ia memahami apa yang sedang terjadi di dunia ini. Ada sebuah permainan yang diatur oleh Dewa dan Dewi di mana pemenangnya ditentukan siapa yang bertahan hingga akhir. Secara tiba-tiba, ia dan adiknya terseret karena peran ayah mereka. “Oh, jadi alasan mengapa keluargaku diburu dan dibunuh...”
“Demi permainan... musuh kita tahu bahwa aku masih hidup di tubuh lain. Agar ia bisa tenang, ia menghabisi satu persatu kerabat terdekat Master Lothius dimulai dari keluarga dan kerabat terdekatnya. Jika Anda pikir-pikir, mengapa Anda sering sekali bertemu boneka mayat berjalan itu? Apakah sebuah kebetulan? Bukan, Master. Andalah yang diincar!”
Gawain menekuri diri dan larut dalam pikirannya. Jika dipikir-pikir kembali dengan perlahan, semuanya jadi masuk akal. Sekarang, dia memikirkan tindakan yang harus ia pilih. Dengan berpikir cukup lama, akhirnya Gawain berbicara. “Empat pertanyaan terakhir. Pertama, apa tujuanmu hingga memotivasimu untuk menang?”
“Tujuan kami untuk membuat utopia menjadi nyata.” Sebenih sinar tampak di mata Florence, ia jujur dari lubuk hatinya sendiri. Gawain mempercayainya; jika tidak, apakah ia punya pilihan lain? Tapi ia dapat menimbangnya lagi setelah mendengar jawaban selanjutnya.
“Kedua: berikan alasan mengapa aku bisa mempercayakan punggungku padamu!”
“Ada satu alasan utama: kau tidak bisa hidup tanpaku, Master. Jika kau tanya mengapa, akan kujawab. Kau ingat bukan seharusnya kau sudah mati dua tahun lalu dan memang sudah dikubur. Berkat kekuatanku, jantungmu masih berdenyut hingga saat ini. Jika Anda menolak bekerja sama, maka galilah kuburan Anda secepat mungkin.”
“Ketiga: apa kekuatanmu yang menyebabkan gelang berlian ini?” tanya Gawain sembari menunjuk telapak tangannya yang masih berupa berlian itu.
Circe mengangguk, “kekuatan utamaku adalah Alkimia. Itu hanyalah sebagian kecil kekuatanku, Master. Sama seperti Master Loth, kau bisa menggunakan sihir Alkimia hingga tingkat sembilan; tingkat tertinggi yang dicapai makhluk hidup.”
“Pertanyaan terakhir: setiap kekuatan ada bayaran, jadi apa yang kau minta?”
“Biasanya aku meminta usia, tapi karena kau sejatinya sudah mati jadi tak ada yang bisa kuambil. Sempat aku mengambil ingatanmu, tapi kurasa itu terlalu berharga... jadi kukembalikan dan kau bayar dengan yang lain; api kebencian di hatimu.”
Gawain menyeringai. Meskipun ia sempat menyangkalnya, tapi sejatinya dia masih membenci jalan hidup yang harus ia lintasi. “Baiklah. Kita sepakat. Aku memang tak memiliki tujuan yang sama sepertimu, tapi cara kita sama; memburu Penyihir Abadi yang lain.” Gawain mengulurkan tangan, “kau tak akan komplain dengan caraku memburu mereka, bukan?”
“Umat manusia tahu sedari dahulu bahwa dibalik lautan darah dan mayat terdapat kemenangan. Jika pengorbanan merupakan jalannya, mengapa tidak?” Florence menjulurkan tangannya, juga buku jurnal milik Loth. Buku jurnal itu tiba-tiba terbuka di halaman terakhir yang terdapat tulisan. Tepat di bawah tulisan “Erno adalah anak jenius” yang kini buram dan luntur, muncul tulisan runik. “Bacalah, Master. Dan kita akan terikat selamanya hingga ajal—tidak, bahkan ajal kita akan tertangguhkan hingga kiamat bila kita selalu bersama.”
Bibir Gawain bergerak tanpa ia sadari mengucap kalimat yang dimaksud. “Dengan ini, aku berjanji mengikat kontrak padamu...”
Senyuman tulus Florence yang menggunakan wajah Florence itu mengingatkannya pada Florence yang asli. Sebelum mereka berpisah, Gawain mengecup punggung tangan Florence. Orang bijak pernah berkata, “ada dua macam kebohongan: satu mengobati, satunya menyakiti.” Dan Gawain sekarang membutuhkan obat secepat mungkin agar ia tak rusak walaupun ia tahu obat yang ia minum mungkin saja beracun. Apakah ia salah?
Mari kita simpan jawaban itu, pembaca sekalian. Seeloknya kita membiarkan waktu yang menjawab segala pertanyaan di cerita yang diukir oleh takdir.
ntap
Comment on chapter Fiveteen: Persona