Loading...
Logo TinLit
Read Story - The Eternal Witch
MENU
About Us  

Untuk ukuran tubuhnya yang lebih kecil daripada Gawain, Si Pembawa Lentera memiliki jarak jangkauan kaki yang cukup lebar ketika berlari, membuat tubuhnya lebih melesak cepat daripada Gawain ketika keduanya melintasi rute di Nixie. Waktu yang mereka habiskan dari pagi hingga sore adalah berlari dan mencari tempat berlindung ketika malam turun. Hari itu, mereka sampai di sebuah ceruk gua yang kecil dan sempit, cocok untuk berlindung dari Tyran. Saat sampai, Gawain menaruh perlengkapannya lalu mulai berjalan pergi mencari ranting dan batu api untuk unggun nanti malam.

   Ketika akan pergi, suatu tangan menarik jubah Gawain dan menghentikannya. Ketika menoleh, Si Pembawa Lentera menggeleng dan memberikan bahasa isyarat bahwa ialah yang akan mengumpulkan kayu bakar sementara Gawain menyiapkan sup dari persediaan makanan. Gawain menurut. Jika dibandingkan dengan dirinya, Si Pembawa Lentera lebih tahu Hutan Magis Nixie dan lebih lincah, apalagi dengan mata dan pendengaran yang tajam membuat Gawain semakin yakin meninggalkan Si Pembawa Lentera pada tugas sederhana itu.

   Keduanya tidak banyak bicara. Semenjak pagi hingga sore, tidak dari keduanya mengeluarkan sepatah kata. Gawain tidak terganggu dan senang hati berinteraksi dengan bahasa isyarat—pun toh, ia pernah kehilangan lidah dan di Nixie, satu suara bisa berarti satu Tyran mengejar.

   Petang berubah menjadi gelap. Unggun telah menyala dan sup sudah jadi. Gawain duduk di sisi luar berjaga dengan semangkuk sup. Suara lolongan terdengar jauh dari balik rimbunnya hutan, tanda mahkluk buas merajai malam. Malam cerah berubah menjadi kelam ketika bayangan awan jatuh di Nixie, memangkas jarak pandang menjadi dua puluh depa. Gawain lekas-lekas menghabiskan mangkuk dan berjaga penuh di depan ceruk gua.

   Sebuah tangan menghampiri pundaknya. Si Pembawa Lentera menarik Gawain, mengisyaratkan bahwa ia akan berjaga di ceruk gua hingga tengah malam, lalu bergantian dengan Gawain sampai bintang kejora muncul.

   Kali ini, Gawain tidak menurut. “Kau tak kelelahan, kawan?” tanyanya dengan isyarat.

   Si Pembawa Lentera menggeleng lalu berlalu sembari membawa busur peraknya. Ia terduduk di salah satu batu dekat pintu masuk. Tangannya yang berbalut sarung tangan hitam itu terampil memasang senar-senar lain di busur. Dari pendek hingga panjang sampai puluhan serat benang halus tertaut di busur itu. Malam sudah benar-benar larut. Gawain berbaring namun tak sekejap pun tertidur, malahan ia sedari tadi mengamati kawan seperjalanannya.

   Saat awan sudah bosan menutupi dengan bayangannya, ketika cahaya bintang dengan lembut menembus celah-celah awan dan akhirnya bertumbuk di pintu gua, barulah Gawain mengerti dengan jelas apa yang sedari tadi kawannya lakukan.

   Si Pembawa Lentera memetik senar-senar itu, menghasilkan suara alunan halus. Itu alat musik petik semacam harpa! Gawain yang mengerti akhirnya bangun dan memilih menemani Si Pembawa Lentera di pintu masuk gua. Alunan musik itu dihiasi oleh syair musik dari bahasa-bahasa lama yang Gawain kenal sebagai bahasa runik ketika ia menjadi murid Enire. “Cukup sedikit orang di dunia ini yang mengenali syair dan bahasa itu. Dan tak kusangka kau salah satu darinya.” Kali ini, Gawain berbicara dengan bahasa yang sama digunakan dalam musik.

   Demi mendengar kalimat itu, Si Pembawa Lentera berhenti dan menoleh. Dari balik bayangan jubahnya, Gawain menebak-nebak air muka terkejut di kawannya. Bukan keheranan juga bukan keterkejutan, melainkan senyuman. Setelah beberapa saat, keduanya melanjutkan nyanyian itu hingga pagi datang.

   Semenjak malam itu, hubungan mereka tidak sejauh seperti sebelumnya. Si Pembawa Lentera dapat berbicara lancar dengan bahasa kuno daripada bahasa sekarang. Alasan cara bicaranya yang aneh tak lain adalah ketidakmampuannya memahami bahasa zaman sekarang, seolah-olah Si Pembawa Lentera adalah orang yang melompati waktu dari masa lalu.

   Di hari keempat, Si Pembawa Lentera akhirnya mau berbicara sedikit tentang dirinya. “Aku seorang pengembara dari tanah yang jauh dan tak terjamah oleh orang di tanah ini. Setengger lentera menemaniku hingga tahu-tahu aku berada di Larista, membasmi Tyran demi Tyran. Hanya satu hal yang kuingat: tak ada yang mengharapkanku. Semua orang takut denganku dan ingin menyingkirkanku.”

   Dari pengalamannya, Gawain tahu bahwa separuh dari perkataan Si Pembawa Lentera adalah kebohongan. Sayangnya, Gawain tak tahu mana bagian yang benar atau salah. Ia tak yakin, tapi ia juga tak berhak bertanya lebih dalam. Sebagai balasannya, Gawain juga bercerita sedikit tentang masa lalunya—yang tentunya juga ia bumbui dengan beberapa kebohongan.

   Selepas mendengar cerita Gawain, sebuah seringai muncul di balik bayangan jubah Si Pembawa Lentera. “Kau cerdas. Kau mampu mengetahui ceritaku bohong dan membalasnya. Sayang kawan, kau tak bisa membohongi diriku.”

   Gawain selama ini yakin dengan kemampuan bicaranya. Hanya beberapa makhluk yang mengerti kapan ia berbohong atau jujur, salah satunya adalah Peri Hutan.

   “Tidak-tidak, aku bukan peri seperti yang kau pikirkan. Sebenarnya, aku seorang Tuner yang dapat mendengar jiwa seseorang. Aku tahu kapan seseorang berbohong atau jujur meskipun tak tahu apa yang mereka bicarakan. Dan dari yang kudengar selama ini, dunia dipenuhi dengan kebohongan-kebohongan.”

   “Jadi itu alasannya kau menjadi seorang pengembara, kawan? Kau memilih untuk bebas dari hubungan dengan orang lain dan lebih memilih sendiri; lepas dari tanggung jawab?” tanya Gawain.

   “Ah! Separuh keliru, separuh benar.” Si Pembawa Lentera berdiri dari tempat duduknya. Hari ini, mereka berteduh di salah satu rumah kayu yang berada di sisi tanah lapang. Bara api di perapian menghangatkan tubuh keduanya. Sejauh ini, perjalanan mereka lancar tanpa gangguan yang berarti. Sekarang, yang menjadi permasalahan adalah persediaan makanan yang menipis. Tapi itu tak apa. Jika perjalanan mereka lancar, mereka akan sampai di malam hari keenam atau pagi hari ketujuh.

   “Bukankah ini terlalu mujur, Lentera?” ujar Gawain sembari berdiri dan berjaga.

   “Lentera? Kurasa kita perlu nama untuk lebih mudah bicara. Tak selamanya kau memanggil seseorang dengan sapaan kawan, bukan? Lagipula, tidak ada seseorang di sini.” Si Pembawa Lentera membenahi harpa busurnya itu dan menyandarkannya di gelondongan kayu. Tangannya menyisir hingga ke penutup kepala, lalu menyingkap wajah di balik bayangan itu.

   “Abi. Aku sering dipanggil seperti itu.” Begitu terlihat, Gawain sedikit bergidik karena sosok di depannya adalah seorang gadis. Ditilik dari wajahnya keduanya seumuran. Namun sorot mata putih itu menandakan ia orang yang lebih bijak dan berumur.

   “Gawain. Itu nama keduaku.”

   “Apa yang terjadi dengan yang pertama?”

   Gawain tak menjawab. Ia menunduk sesaat demi menyampirkan senyumnya guna mengubah suasana. Mata Abi yang putih ke abu-abuan itu mencoba menerawang menembus kulit Gawain, hingga ia sendiri yang mengetahui jawaban yang tersembunyi di hatinya. Gawain memalingkan pandangannya. Bagaimanapun, ia tidak mengenal Abi dengan baik. Berbeda dengan semua petualang yang pernah ia hadapi, orang yang satu ini bijak dan amat cerdas, ditambah lagi dengan insting dan naluri yang tajam.

   Subuh menjelang seperti biasanya dan unggun di perapian telah lenyap. Perjalanan mulai kembali dimulai. Bau tanah berlumpur menyapa mereka ketika matahari mulai baik lima belas derajat. Itu daerah yang sama ketika penugasan melawan Centaur dan telah menjadi perkuburan massal petualang. Saat sampai di lapangan yang sama, kali ini keduanya mendapati palang setinggi tiga kaki sebagai penanda. Mereka tak berlama-lama di sana ketika suara lolongan terdengar di belakang mereka.

   Kali ini, strategi yang mereka gunakan adalah berbaur dengan lingkungan hutan. Dari empat hari yang mereka habiskan, mereka mendapati banyak dari hewan-hewan seperti beruang, rusa, serigala, dan hewan hutan yang lain masih mampu hidup bersisian dengan Tyran. Terkadang, mereka mendapati Tyran berupa Anjing Hitam dan sekelompok serigala berpapasan tanpa ada keributan, seolah-olah Tyran itu tak ada di pandangan serigala. Itu aneh, tapi itu fakta. Tapi masih ada pula Tyran yang ganas memburu apapun di depan matanya, mencincang habis tanpa ampun demi mengisi nafsu laparnya yang tak terkira.

   Jadi, untuk beberapa kesempatan mereka memilih membaur dengan hutan dan berjalan dengan tenang. Dan itu benar, mereka tidak dikejar oleh apapun tiga hari belakangan ini. Sayangnya, kali ini mereka tak beruntung.

   Awalnya tidak satupun dari kedua orang itu menyadari hingga langkah Abi terhenti karena merasakan hawa nafsu membunuh. Dengan aba-aba tangan, Gawain bersiaga dengan belati teracung di tangannya sementara Abi masih diam di tempat dan pelan-pelan meraih busur perak yang tersampir di punggungnya.

   Naluri Gawain menyuruhnya untuk berlindung di balik bayangan pohon dan bersembunyi. Apapun musuhnya sekarang mereka sedang mengincar Abi, bukan Gawain. Jika prediksi Gawain tepat, sang musuh akan muncul dan mencoba menyerang Abi karena mengira dia sendirian. Dengan memanfaatkan kelengahan itu, Gawain akan mencoba menerjang sang musuh dan menyerang dengan cepat, memberi waktu beberapa saat untuk Abi membidik dan menembak jatuh sang musuh.

   Mata Gawain menyapu lingkungan sekitar, mencari-cari musuh yang dimaksud.. Ia sudah merasa rasa haus darah menegakkan bulu kuduknya. Dengan mengatur napas sekecil mungkin agar tak terdeteksi musuh, Gawain menajamkan pendengaran daripada penglihatannya. Matanya terpejam, mencoba melihat dunia dengan cara yang lain.

   Yang ia dapat bukan hanyalah suara gesekan angin membelah daun yang gugur, tikus pengerat yang takut-takut, dan suara hewan merayap di bawah tanah. Dari struktur tanah yang dipijakinya berupa gambut dan tanah berawa, Gawain tak bisa mendengar dengan jelas apa yang ada di bawah sana. Tangannya menyentuh lapisan tanah itu, mengeduknya sesaat lalu menenggelamkannya di dalam. Sebuah getaran terasa samar-samar dari bawah sana. Gawain langsung menyadari apa yang terjadi.

   Tubuhnya bergerak cepat. Tahu-tahu, ia sudah berjarak satu kaki dari punggung Abi. Instingnya berteriak, tanah yang ia pijaki sedikit bergetar; ada sesuatu di bawah kaki mereka. “Abi!” seru suaranya terhenti di tenggorokan yang kering. Jika ia tak bertindak cepat, ia terlambat. Dengan pikiran beradu bersama waktu, ia melompat lalu mendorong tubuh kecil Abi ke depan.

   Abi yang tersungkur ke depan segera mengetahui maksud Gawain. Dengan gerakan lincah, ia melompat lagi menambah jarak, mengambil busur panah dan membidik. Di depannya, Gawain sudah terkoyak dengan darah mengucur deras. Kaki kanannya tercabik-cabik di salah satu taring makhluk buas itu, namun Gawain masih mampu menahan sakit itu dan menggerakan tubuhnya. Dengan ayunan cepat, ia mencoba menikam kepala makhluk buas itu.

   “Kelabang bajingan!” serunya seraya menikam kepala bercangkang besi itu. Ting! Suara belati patah terdengar nyaring. Berkat momentum, tangan Gawain terpental namun kakinya masih tertaut di taring mematikan itu. Tubuh Gawain mulai melemas, ia terlambat menyadari racun dari kelabang mulai bereaksi di tubuhnya.

   Di sisi lain, Abi sudah melesatkan panah tepat menuju titik mata kelabang. Ting! Ujung panah itu bernasib sama seperti belati Gawain. Gawain yang hampir lemas merogoh kantongnya, meraih barang apapun yang sampai di jangkauan tangannya. Dengan mata berkunang-kunang mata Gawain mengenali barang diambilnya sebagai botol racun. Rencananya ia ingin melempar botol itu tepat ke mulut kelabang besi itu, namun racun sudah melemaskan otot lengannya. Ia hanya mampu menggerakan pergelangan tangannya sedikit saja.

   Akhirnya, ia punya rencana. Dengan gerakan mulut tanpa suara, ia mengirim sebuah pesan kepada Abi. “Tembak ramuan ini ketika aku berhasil melambungkannya.

   Abi mengangguk dan mulai membidik. Kelabang besi itu masih mengamuk dan mengayunkan Gawain, mencoba mencabiknya lebih dalam. Satu taring lain berhasil mengoyak paha kanan Gawain. Ia tidak berteriak, malahan ia menyeringai. Dengan memanfaatkan ayunan itu, ia berhasil melambungkan botol ramuan tak berwarna itu.

   Tepat melambung, panah Abi melesat dan menghancurkan botol. Semburat ramuan itu menyirat Gawain dan kelabang besi. Reaksinya, kelabang itu kesakitan ketika beberapa percik ramuan bercampur dengan liurnya.

   Kelabang itu mengamuk. Dengan tubuhnya, ia mulai menggeliat menggilas apapun. Abi berhasil menghindarinya dengan melompat kebelakang. Sekarang, ia berpikir cepat tentang apa yang harus ia lakukan.

   Gawain yang makin memucat mengirimkan sebuah pesan. Kali ini hanya dengan pandangan mata saja. Pesan itu singkat. Jika diubah menjadi kalimat, hanya berbunyi: “tembak taringnya!

   Abi sempat ragu. Semua bagian tubuh kelabang itu keras. Mengapa Gawain menyuruhnya melakukan hal yang sia-sia? Tapi di saat seperti itu kita harus mengambil tindakan cepat. Abi membuang keraguannya. Dalam sepersekian detik, ia berhasil membidik dan menembak panah dengan tepat.

   Krak! Suara taring retak terdengar. Beberapa saat kemudian, taring itu putus dari inangnya yang kini melolong kesakitan. Gawain jatuh tersungkur di tanah. Abi masih membidik dan menembaki kelabang itu hingga akhirnya si kelabanglah yang mundur dari pertarungan.

   Selepas yakin dengan sekitar, Abi berlari menuju Gawain. Darah masih mengucur deras di kakinya meskipun tubuhnya memucat. Saat Abi menyentuh tubuh Gawain, ia merasakan sarung tangannya menghangat dan menyengat. Mata Abi memeriksa sarung tangan yang rusak oleh cairan ramuan di tubuh Gawain. Dari sana, ia tahu ramuan itu. “Asam sulfur murni...cukup cerdik untuk merusak cangkang besinya...”

   Tanpa memperdulikan rasa menyengat ketika menyentuh cairan itu, Abi memanggul tubuh Gawain menuju tempat perlindungan terdekat yang dapat ia temui. Abi tak menghentikan langkahnya hingga ia sampai di ujung tebing. Di bawah sana, ia menemui sungai kecil yang mengalir tenang. Daerah itu aman, tidak ada hewan buas apapun yang hidup di sana.

   Abi merebahkan tubuh Gawain yang tak sadarkan diri itu. Pertama-tama, ia membasuh ramuan di sekujur tubuh Gawain. Beberapa bagian sudah melepuh, namun bukan berarti ia terlambat. Setelahnya, ia membasuh dan menutup luka di kaki kanan Gawain. Dari luka itu, Abi tahu bahwa Gawain tak akan bisa berjalan tanpa tongkat seumur hidupnya.

   Sore kian berganti menjadi malam. Abi baru selesai mengobati Gawain. Sekarang, ia hanya berharap pada mukjizat. Jika malam ini Gawain menghembuskan napas terakhir, ia tak sungkan-sungkan untuk menyiapkan pemakaman yang layak baginya; jika tidak maka ia akan mengantar Gawain menuju kota terdekat dan membayar pengobatannya.

   Gadis itu duduk di sebelah Gawain, menunggu penuh harap kawannya itu membuka mata. Tanpa sang gadis sadari, tangannya meraih busur dan membenahinya menjadi harpa yang siap dipetik. Terdiam sesaat, gadis itu akhirnya menyanyikan lagu tanpa seorangpun yang mendengarnya. Itu lagu pemanggil para peri.

   Kelap-kelip datang dari segala penjuru. Para peri yang mendengar permohonan di balik nyanyian sendu itu. Ribuan peri mengerubungi keduanya. Tangan Abi terangkat dan mengirim intruksi dengan nyanyian kepada ketua peri. Di saat itu pula, peri-peri bersinar mengirim sihir penyembuh kepada Gawain. Pandangan mata Abi kini terlempar menuju tubuh Gawain. Dari dalam hatinya yang gundah itu ia bertanya satu hal yang tak ia tahu jawabannya: “kenapa?”

                                                                                                              ***

Tubuh Gawain terasa ringan dan melayang. Sensasi itu dimulai dari luka kakinya, naik ke paha, menjalar ke tubuh, merambat ke dada, leher, lalu yang terakhir ke kepala. Menenangkan, namun juga mematikan. Para tabib pintar pernah berkata bahwa kematian memiliki sensasi serupa. Ingatan Gawain tentang sensasi tak asing ini membuatnya bangun dari rebahannya.

   Begitu bangun, tahu-tahu ia sudah duduk di meja piknik di gazebo asing. Kue-kue manis tersusun rapi di cake tier yang terletak tepat di tengah meja. Di depannya, secangkir teh coklat lengkap dengan tempat gula dan susu menunggu. Itu pesta minum teh klasik gaya bangsawan. Gawain menyisir pandangannya. Mendapati bahwa selain gazebo, ia tidak melihat apa-apa, hanya tempat putih sejauh mata memandang.

   “Sudah lama kita tidak bertemu, Kakak.” Gawain tahu logat dan nada suara itu juga dengan sapaan dan cara memanggilnya. Ketika menoleh, Gawain mendapati sosok orang yang ia rindukan.

   Florence. Begitulah sosok di depannya terlihat. Namun Gawain tak cukup bodoh dan tertipu dengan trik semacam itu. Dengan sigap, ia menarik pisau di meja lalu menyodorkannya langsung di leher Florence. “Cukup licik. Kau bahkan repot-repot memanipulasi pikiranku dengan tipuan semacam ini. Tapi sayang bung! Aku akan keluar dari ilusi sampah ini!”

   Cara terbaik untuk keluar dari sihir manipulasi adalah melawan emosi yang diilusikan. Jika hasrat tinggi seseorang adalah menemukan kekayaan, maka orang itu harus berpaling dari kekayaan palsu itu untuk lepas. Sama seperti keadaan Gawain sekarang. Ia bahkan tak ragu untuk menggorok leher Florence kali ini.

   Florence menangis. Tangan kecilnya meraih pergelangan tangan Gawain, mengelusnya dengan isak tangis. “Kakak melupakanku? Bagaimana kakak lupa denganku?”

   Gawain gemetaran. Jemarinya lemas dan menjatuhkan pisau meja itu. “Kau ingat, Kakak?” tanya Florence dengan suara tertahan. Bagaimana Gawain tak gemetaran? Sosok yang di depannya adalah orang yang ia rindukan selama ini. Bagaimana ia tak ingin melewatkannya? Jarak mereka tinggal satu kaki saja! Gawain maju dan ia akan bersama dengan Florence untuk selamanya, dalam ilusi.

   Iya, dalam ilusi.

   Gawain tersenyum. Melihat reaksi kakaknya, Florence maju demi mendekap Gawain. Gawain membuka tangannya, menjawab dekapan itu. Itu pelukan yang menghangatkan untuk jiwanya yang dingin. Tangan Gawain meraih punggung kecil Florence, meraba-rabanya sejenak dan mengelus-elusnya. Pelukan itu cukup lama. Tangan Gawain merayap ke pundak dan mendorong perlahan figur itu menjauh. Florence mendongak demi melihat wajah kakaknya.

   Itu ilusi yang bagus dan manusia juga tak salah jatuh pada ilusi semacam itu. Bayangkan saja orang yang kalian cintai hidup kembali. Hati manusia macam apa yang tak senang?

   Sayang seribu sayang, ada satu kesalahan yang dilakukan si pembuat ilusi; Gawain adalah orang yang sempat mengingkari perasaan dari hati manusianya.

   “Selamat tinggal, Florence...” kedua tangan itu meraih leher dan mencekik Florence kuat-kuat. Perlahan-lahan, namun kematian itu pasti. Tubuh kecil gadis itu bergetar-getar, menggeliat penuh asa akan hidup. Mata ungunya memancarkan sinar penuh harapan juga cinta murni—mata yang sama. Meskipun tangan Gawain semakin kuat mencekik, tidak sedikitpun Florence melawan. Sifatnya itu sama persis dengan Florence yang Gawain kenal; gadis yang sebenarnya lemah dan penurut.

   “Ka...kak... slalu... cin...tai...”

   Krak! Belum selesai kalimat itu, leher Florence sudah patah. Tubuh kejangnya melemas. Rona merah wajahnya memucat, juga sekujur tubuhnya. Gawain melempar segumpal daging itu menjauh, lalu berbalik dan menunggu ilusi itu hancur.

   “Kau punya hati yang teguh, Master...” ujar suara Florence dari belakangnya. Gawain lekas menoleh bersiaga kembali. Ia terkejut ketika mayat itu sudah utuh seperti sedia kala tanpa bekas luka apapun. “Maaf atas kelancanganku yang meragukan keteguhan hati Anda...”

   Sebuah guntur terdengar. Ketika Gawain mendongak, dunia itu bergetar, tanah meretak dan bertumbukan satu sama lain, dan langit tampak seakan-akan runtuh. Gawain mencoba menyeimbangkan posisinya, namun rubuh. Dari balik retakan tanah, terlihat kegelapan jurang yang tampak tak berujung.

   “Sayang... Anda belum menjadi Master mutlak... Hanya sebagian dari prosedur yang selesai...”

   “Prosedur? Master? Siapa kau?!” batin Gawain dalam hatinya karena ia tak bisa bersuara. Tahu-tahu, pijakan di kakinya runtuh dan dan pegangan di tangannya lepas dan ia terjatuh menuju gelapnya jurang.

   Tangannya mencoba meraih satu celah di tengah kegelapan. Ketika tangannya berhasil meraih, ketika itulah ia terbangun dari malam maut. Tangannya itu menggapai udara kosong di atasnya, namun beberapa saat kemudian sebuah tangan menyambar. “Gawain! Puji Arion! Kau membuka mata!”

   Tangan Abi lah yang menyapa Gawain pagi itu. Gawain tak mampu berbicara banyak, namun mampu mengirim intruksi sederhana kepada kawan seperjalanannya itu. Telinganya mulai terbiasa dan mendengar gemericik air di sekitar. Matanya menyusul kemudian, ia kini dapat melihat langit-langit pagi.

   “Berapa lama aku tertidur?” tanya Gawain cepat-cepat ketika mulutnya mampu bergerak.

   “Dua hari.”

   “Selama itu? Kita menunda-nunda perjalanan!”

   “Tidak, Gawain. Kau bisa lihat Pohon Ygradrasil lebih dekat daripada di Antarie.” Telunjuk Abi mengarah ke bayangan samar-samar pohon dunia itu. Bayangan itu lebih besar daripada yang Gawain ingat; tanda bahwa mereka sudah cukup dekat. Itu berarti selama dua hari penuh Abi membopong tubuhnya melintasi Nixie agar tak menunda jadwal sampainya di Hyulida.

   “Terima kasih, kawan. Aku berhutang padamu.”

   Abi berdiri mematikan unggun dengan air dari sungai terdekat. “Kenapa? Kenapa kau memilih menyelamatkanku?”

   “Kau tanya ‘kenapa’? Ayolah, Abi. Kita sama-sama petualang. Aku membutuhkanmu. Hei, siapa yang jadi penunjuk arah ke Hyulida bila kau mati kala itu? Lagipula, kau sudah berbaik hati memberikan bantuanmu untuk sampai ke Hyulida.”

   Jawaban itu membuat Abi terdiam dalam lamunan. Ia kembali memanggul perlengkapan dan membantu Gawain berdiri. Tongkat kayu membantu menopang jalan Gawain yang patah-patah. Gawain menghela napas kesal, dengan luka seperti itu, ia lumpuh selamanya. Itu tak apa, yang jadi masalah ia tak bisa bekerja seperti sedia kala lagi sebagai petualang. Sangat disayangkan, tapi ia harus pensiun dini.

   Ketika sore, keduanya berhasil keluar dari jalur tebing batu kapur itu. Sebuah desa dengan ladang gandum dan padi menguning terlihat di ujung mata. Keduanya berjalan menuju jalanan utama dan menemui kawanan gipsi yang ketepatan pula satu jalur menuju desa. Kawanan itu terdiri dari tiga tigra. Satu terlihat tua dan bijak jika dilihat dari nada bicaranya, satu pria tigra yang kekar membawa pedang, dan satu lagi penyihir wanita tigra yang bertudung. Melihat keadaan Gawain, mereka menawarkan tumpangan hingga ke desa.

   Desa itu bernama Tulious. Sedari yang Gawain ingat, di sana ada seorang peramal muda bernama Canise. Tak ia sangka jalur tebing yang Abi temui membawanya ke sana. Saat sampai, Abi dan Gawain berpisah dengan kawanan itu dan mencari penginapan murah di sana. Tidak jauh, hanya beberapa belokan dari gerbang desa dan mereka menemui penginapan murah. Setelah memesan, keduanya masuk ke kamar. Gawain duduk di ujung ranjang sementara Abi masih menaruh perlengkapannya di sudut ruangan.

   “Abi, sebaiknya kau berangkatlah terlebih dahulu ke Hyulida.”

   Abi berhenti lalu menoleh, “meninggalkanmu di sini? Bisa apa kau?”

   “Jangan remehkan aku.” Gawain mencoba berdiri dengan tongkatnya, namun terpeleset dan gagal. Abi yang berada di sudut ruangan tahu-tahu sudah menangkap Gawain. “Tenang saja. Beri Aku waktu satu hingga dua minggu dan Aku akan terbiasa. Sebaiknya kau pergi terlebih dahulu, kawan. Jika kuingat-ingat, kau punya urusan yang lebih penting di Hyulida, bukan?”

   Keduanya dari mereka sempat bertukar cerita tentang alasan mengapa terburu-buru ke Hyulida. Alasannya serupa, menemui seseorang. Bedanya, orang yang Gawain temui adalah orang yang ia cintai, sementara Abi sebaliknya. Sebenarnya, Gawain tak ingin menunda perjalanan lagi, tapi kali ini ia tak bisa berbuat apa-apa. Perjalanan ke Hyulida masih berkisar dua atau tiga hari lagi—jika Abi mengikuti kecepatan langkah Gawain, maka mereka baru sampai lima hingga enam hari kemudian.

   “Aku akan baik-baik saja, kawan. Lebih baik kau istirahat malam ini dan pergi esok pagi.”

   Abi tak membalas. Gawain tak tahu raut wajah kawannya itu karena tertutup bayangan tudung. Hanya secercah sinar mata yang terlihat dari sana. Sinar mata putih ke abu-abuan yang belum pernah Gawain lihat selama perjalanan mereka di Nixie. Itu sinar mata orang yang kehilangan.

   Gawain tak pernah mengerti sifat orang yang memiliki julukan Si Pembawa Lentera begitu sentimental. Gawain memahami perasaan itu. Perasaan di mana seorang pengembara yang telah melintasi dunia seorang diri menemui seorang lain yang dapat ia ajak berbagi dan bicara lalu berpisah karena salah satu dari mereka tak mampu melanjutkan perjalanan.

   Wajah datar Abi sempat bersemu hangat. Keduanya berpelukan sejenak lalu melepasnya. Gawain memilih beristirahat sementara Abi tetap bisu memanikan harpa busurnya.

   Saat Gawain terbangun pagi berikutnya, Abi sudah lama pergi dengan meninggalkan pesan pada secarik kertas. Setelah dengan kesusahan mengenakan baju, ia keluar dan membeli roti dan telur sebagai sarapan dan pergi. Ada satu hal yang harus cepat ia lakukan, mencari peramal muda bernama Canise. Dari yang Gawain dengar dari Urs, peramal muda itu mampu melihat masa lampau seseorang. Dengan kemampuan orang semacam itu, Gawain dapat mengetahui jawaban dari beberapa pertanyaan: kemungkinan ia tahu wanita yang memberinya pada Loth dan rahasia di balik kematian Loth.

   Perjalanannya memang berakhir di satu bab, tapi bab-bab yang lain masih menunggu untuk ditulis, juga dibaca.

How do you feel about this chapter?

0 0 0 0 0 0
Submit A Comment
Comments (3)
  • haruray

    ntap

    Comment on chapter Fiveteen: Persona
  • KurniaRamdan39

    @Ardhio_Prantoko Thanks Mas Ardhio atas semangatnya!

    Comment on chapter Fourteen: Retribution
  • Ardhio_Prantoko

    Aku sih YES sama cerita ini. Alurnya kompleks dan terarah. Implementasi figur tokohnya aku suka. Ditunggu kelanjutannya. Respect for writer

    Comment on chapter Fourteen: Retribution
Similar Tags
North Elf
2149      1009     1     
Fantasy
Elvain, dunia para elf yang dibagi menjadi 4 kerajaan besar sesuai arah mata angin, Utara, Selatan, Barat, dan Timur . Aquilla Heniel adalah Putri Kedua Kerajaan Utara yang diasingkan selama 177 tahun. Setelah ia keluar dari pengasingan, ia menjadi buronan oleh keluarganya, dan membuatnya pergi di dunia manusia. Di sana, ia mengetahui bahwa elf sedang diburu. Apa yang akan terjadi? @avrillyx...
Pillars of Heaven
2981      959     2     
Fantasy
There were five Pillars, built upon five sealed demons. The demons enticed the guardians of the Pillars by granting them Otherworldly gifts. One was bestowed ethereal beauty. One incomparable wit. One matchless strength. One infinite wealth. And one the sight to the future. Those gifts were the door that unleashed Evil into the World. And now, Fate is upon the guardians' descendants, whose gifts ...
TRISQIAR
8768      1697     11     
Fantasy
Aku memiliki sesuatu yang berbeda. Ibuku bagaikan monster yang memelihara anak iblis. Teman hanyalah kata kiasan untuk mengutuk mereka Manusia bagiku hanyalah bayangan yang ingin aku musnahkan aku tidak pernah sama sekali memperdulikan hidupku karena aku tidak akan pernah bisa mati dan hal itu membuatku senang membunuh diriku sendiri. tapi karena kebiasaanku, sesuatu itu memberikanku kek...
Dream of Being a Villainess
1391      796     2     
Fantasy
Bintang adalah siswa SMA yang tertekan dengan masa depannya. Orang tua Bintang menutut pertanggungjawaban atas cita-citanya semasa kecil, ingin menjadi Dokter. Namun semakin dewasa, Bintang semakin sadar jika minat dan kemampuannya tidak memenuhi syarat untuk kuliah Kedokteran. DI samping itu, Bintang sangat suka menulis dan membaca novel sebagai hobinya. Sampai suatu ketika Bintang mendapatkan ...
Jikan no Masuku: Hogosha
4013      1408     2     
Mystery
Jikan no Masuku: Hogosha (The Mask of Time: The Guardian) Pada awalnya Yuua hanya berniat kalau dirinya datang ke sebuah sekolah asrama untuk menyembuhkan diri atas penawaran sepupunya, Shin. Dia tidak tahu alasan lain si sepupu walau dirinya sedikit curiga di awal. Meski begitu ia ingin menunjukkan pada Shin, bahwa dirinya bisa lebih berani untuk bersosialisasi dan bertemu banyak orang kede...
No Escape
439      307     4     
Short Story
They're trapped. They're scared. In the middle of nowhere, Cassie slowly learn how to survive, without water, without nothing. No, she's not the only one. A group of 20 people woke up in a remote island. They must work together to find not only an escape, but their lost memories as well. That, or they perish on a desolate island.
Reality Record
3022      1048     0     
Fantasy
Surga dan neraka hanyalah kebohongan yang diciptakan manusia terdahulu. Mereka tahu betul bahwa setelah manusia meninggal, jiwanya tidak akan pergi kemana-mana. Hanya menetap di dunia ini selamanya. Namun, kebohongan tersebut membuat manusia berharap dan memiliki sebuah tujuan hidup yang baik maupun buruk. Erno bukanlah salah satu dari mereka. Erno mengetahui kebenaran mengenai tujuan akhir ma...
LULLABY
14823      2866     2     
Fantasy
Lowin mengingat Nasehat terakhir yang diberikan oleh sang kakak mowrine sebelum ia mengemban tugas dari kerajaan. Sang kakak mowrine juga harus melanggar larangan dan terpaksa berbohong untuk mendapat kepercayaan dari keluarga yang akan ia tinggalkan. Bukan tanpa alasan mowrine melakukan hal itu, ia melihat sesuatu didiri lowin yang mengusik ketenangan. Namun, Kenyataan tidak sesuai dengan har...
Wabi Sabi
100      77     2     
Fantasy
Seorang Asisten Dewi, shinigami, siluman rubah, dan kucing luar biasa—mereka terjebak dalam wabi sabi; batas dunia orang hidup dan mati. Sebuah batas yang mengajarkan jika keindahan tidak butuh kesempurnaan untuk tumbuh.
Trip
940      476     1     
Fantasy
Sebuah liburan idealnya dengan bersantai, bersenang-senang. Lalu apa yang sedang aku lakukan sekarang? Berlari dan ketakutan. Apa itu juga bagian dari liburan?