Setelah dua hari berlalu, pasca pemakaman ayah. Aku seolah masuk ke dalam sebuah kehidupan baru, yang tidak pernah di duga sebelumnya. Area kehidupan, di mana segalanya serba materi yang bicara. Begitu pun ketika bertemu dengan seorang pengacara kepercayaan ayah, bernama Pak Saleh Gunawan S.H. Beliau memberikan beberapa petunjuk mengenai hak diriku terhadap usaha ayah selama ini, yang memang diketahui secara hukum oleh beliau selama ini. Begitu pun mengenai surat wasiat sebelum ayah meninggal.
Untuk beberapa usaha ayah di bidang perbankan, aku coba banyak berdiskusi dengan Nouna. Sedangkan mengenai usaha di bidang lainnya, aku banyak belajar dari Lemi yang ternyata seorang asisten pribadi ayah semasa hidupnya. Entah karena kelebihan harta, atau memang tergila-gila oleh dunia sewaktu ayah masih hidup. Sehingga sekarang aku jadi seorang pria terkaya di daerah Selangor, khususnya daerah Damansara.
Sehari sebelum Panji pulang kembali ke Indonesia. Aku mencoba menyelesaikan program My Bank yang sempat tertunda. Beberapa fasilitas komputer, sengaja aku pasang di rumah berikut dengan wifi dan jaringan internet. Agar mempermudah aksesku, dalam mengembangkan bisnis ayah di luar jam kantor.
“Ji, maaf kalau beberapa hari kemarin, aku masih belum fokus dengan rencana kita menyelesaikan program ini, ya? Semoga hari ini, kita bisa menemukan titik masalah dari programnya. Biar kamu bisa pulang terlebih dahulu ke Indonesia untuk laporan ke Pak Agus, setelah kuselesaikan beberapa urusan bisnis ayah di sini,” ungkapku, saat kembali berkutat dengan laptop kami masing-masing siang itu.
“Sudahlah, Sat. Ane juga mengerti dengan keadaan lu sekarang. Lu bukan lagi Satria, yang bisa selalu fokus dengan laptop dan program. Sekarang lu, Satria yang sibuk dengan bisnis dan kehidupan baru. Ane bisa pahami itu, kawan,” balas Panji menyemangatiku.
Aku hanya membalas dengan seutas senyum yang entah apa artinya, hanya hatiku yang merasakan. Sedangkan Panji, kembali berkutat dengan tugasnya hingga selesai.
Sore hari setelah salat ashar. Aku bermaksud hendak menelusuri daerah sekitar rumah diikuti Panji, bermaksud menyapa beberapa tetangga yang tidak jauh dari rumah. Salah seorang tetangga bernama Encik Rahmat yang berprofesi sebagai dokter di salah satu rumah sakit, kujumpai sore itu. Percakapan dengannya, sangat menarik saat menjelaskan bagaimana sikap ayah semasa hidupnya.
Sosok dermawan, juga memiliki sikap yang baik terhadap tetangga. Pernah ayah lakukan ketika salah satu anak tetangga dari Encik Rahmat masuk rumah sakit. Waktu itu, ayah yang membiayai seluruh pengobatan. Hal itu yang membuat semua tetangga sekitar rumah, menyegani segala sikap ayah.
“Beliau sangat baik sekali, Encik Satria. Tak jarang mengajak kami para tetangga di sini, untuk makan bersama di rumahnya, atau sekedar berlayar menikmati pantai yang tak jauh dari komplek perumahan sini. Sungguh tak menyangka, umur beliau bisa secepat ini harus meninggalkan dunia,” ucap Encik Rahmat, mengenang kebaikan ayah dulu.
“Saye sungguh terharu dengan cerita Anda, Encik. Tak tahu bagaimana bisa berterima kasih kepada semua tetangga di sini, selama saye belum bertemu kembali dengan almarhum. Sunggu, kalian sangat baik,” balasku.
“Kami yang seharusnya berterima kasih kepada Encik Dani juga awak, Encik Satria. Tak percaya, jika selama ini Encik Dani punya budak di Indonesia yang juga baik cam beliau, tuh.”
“Yah ... saye nih bisa dibilang terlambat, untuk mengenal kebaikan ayah saye tuh, Encik. Selama ini, selalu menduge jika ayah hanya memikirkan diri sendiri tanpa mahu mengerti keadaan keluarganya di Indonesia. Tapi ... saye bersyukur, setelah jumpe di sini ternyata jauh dari perkiraan saye selama ini.”
“Begitulah hidup, Encik Satria. Selalu mengajarkan kita untuk bersabar, dengan ape yang sebenarnya terjadi. Meski jauh dari perkiraan kita, apa yang nak ada dalam hati tak selalu benar dengan kenyataan yang dihadapi.”
Perkataan Pak Rahmat membuatku terkagum, dan sedikit merenung perihal apa yang telah terjadi selama ini. Ternyata di balik apa yang kupikirkan tentang ayah, tidak semuanya seperti yang ada dalam pikiranku. Terlambat? Mungkin aku terlambat menyadari. Tapi setelah semuanya terjadi, baru bisa memahami apa arti kehidupan sesungguhnya. Begitu pun keadaanku sekarang, yang tadinya sekedar pria biasa, tanpa ada yang tahu sekarang jadi pria dengan kekayaan yang selama ini kuimpikan.
Setelah berbincang sebentar dengan Pak Rahmat. Aku dan Panji kembali menelusuri jalan setapak, menuju bukit yang terletak di pinggir pantai. Namun tanpa diduga sebelumnya, kami menemukan sebuah jalan menuju satu rumah terpencil, yang kuperkirakan tidak ada yang mengetahui sebelumnya. Entah dengan ayah dan Lemi, yang sudah lama tinggal di daerah ini.
“Kayaknya rumah ini jarang ditemui oleh penghuninya, Sat. Kita lihat dindingnya, seperti enggak keurus. Coba kita masuk, siapa tahu ada hal yang belum kita ketahui,” ajak Panji, begitu mendekati rumah yang sedikit berlumut bagian tanahnya.
“Awas hati-hati, Ji. Tanahnya licin, barangkali terjatuh bisa masuk jurang ke arah pantai itu,” ujarku, seraya menunjuk seberang rumah.
“Tapi, rumah ini masih masuk area tanah milik ayah lu, Sat. Tuh lihat. Di balik semak ini, bisa terlihat bagian belakang rumah. Ada Lemi yang kayaknya sedang mencari kita,” tunjuk Panji, ke arah balik pohon yang sedikit menutupi bagian depan rumah terpencil itu.
Jika dilihat dari arah belakang rumah utama. Jalan menuju rumah tersembunyi ini, terhalang oleh pohon akasia yang menutupi separuh rumah. Oleh sebab itu, saat pertama melihat ke arah sini aku seperti melihat beberapa tumpukkan semak saja tanpa tahu ada sebuah rumah kosong di balik pohonnya.
“Iya, Ji. Aku juga merasa seperti itu.”
Tidak banyak yang aku dan Panji lakukan, di dalam rumah kecil di balik semak. Hanya memeriksa beberapa bagian, yang tampak sudah lama ditinggal pengurusnya. Belum sempat kami keluar dari rumah. Tiba-tiba Pak Sugi salah satu pembantu, muncul dari arah depan dan mengagetkan kami.
“Lho! Encik Satria sedang apa keh di bungalo ini? Bahaya di sini, Encik. Anda bisa terperosok ke dalam jurang sana. Baru saye nak beres-beres rumah ini, seperti yang diperintah Puan Lemi tadi!” seru Pak Sugi, ketika berhadapan denganku dan Panji.
“Eh ... a—anu, Pak. Tadi tanpa sengaje saye nak tengok-tengok daerah sekitar sini, tak tahunye ada rumah kecil di sini. Ouh iya ... ape, Cik Lemi tahu kami ada di sini?” tanyaku sedikit gugup.
“Entahlah, Tuan. Saye pun baru saje dua kali ke sini, dan tadi Puan Lemi minta same saya untuk mebereskan rumah kecil ini. Entah untuk ape, saye tak tahu, pun,” balas Pak Sugi, datar.
Ada sedikit kecurigaan dengan sikap, dan tampang Pak Sugi tadi. Sepertinya aku sedikit menganal, dan tampaknya ia banyak tahu tentang rumah kecil yang tadi aku dan Panji temukan. Hanya seperti merahasiakannya.
“Baiklah, Pak Sugi. Korang jangan cakap, same Puan Lemi perihal ini, ye? Saye takut ia marah jika saye tahu banyak hal tentang daerah ini, meski saye tahu saye punya hak atas rumah ini. Paham, tak?” Aku mencoba memberi pengertian kepada Pak Sugi, perihal siapa diriku sekarang. Berharap ia tahu batasannya sebagai pembantu rumah kepada majikannya. Setidaknya itu yang kuusahakan, untuk membungkam pria tua yang sedang berdiri di hadapanku saat itu.
“Baik Tuan. Saye paham apa yang Tuan cakap. Saye memang sedikit tak suke, sama Puan Lemi yang lagaknye kayak Nyonya besar tuh.”
Deg! Perkataan Pak Sugi kembali membuatku penasaran, dengan sikap Lemi di balik keanggunannya selama ini. Apa jangan-jangan, dia ada kaitannya dengan pembunuhan ayah kemarin? Entahlah, setidaknya sedikit mendapatkan informasi mengenai wanita yang kini tinggal satu atap denganku.
Setelah dirasa cukup memahami apa yang terjadi, dengan keberadaan Lemi juga rumah kecil di balik semak itu. Aku dan Panji kembali ke rumah utama dengan cara memutari area perkomplekkan, agar tidak diketahui oleh Lemi dari mana kami sore itu.
*****
NB:
Terima kasih untuk yang sudah sudi mampir di episode ini.
Bila berkenan, ditunggu ulasan, saran, masukan, juga kritikannya. Agar cerita ini lebih baik lagi.
Selamat membaca, dan sukses selalu. :)
@Ardhio_Prantoko Wih ... terima kasih, Mas Dhim. Alhamdulillah karya ini sudah terbit, tinggal nunggu lounching saja, nih. Hehehe
Comment on chapter Info Novel IMPIANKU