Chapter 10: When The Survivor Talks (part 1)
Pada saat ketiga anak Brandon Cherlone sedang menjelaskan dan menceritakan alasan mereka sudah mengetahui adanya dua adik tiri, benak Chester dan Cheryl mampu menangkap sesuatu yang janggal. Mereka datang di hari sang ayah menjadi korban pembunuhan.
Tidak terasa suasana duka dalam ruang keluarga tersebut. Wajah-wajah Don, Sarron dan Farah yang justru ceria dan bahagia bisa bertemu serta berkumpul bersama kedua saudara tiri yang hilang. Hanya para pelayanlah yang masih memperlihatkan ekspresi wajah agak murung.
Anehnya juga, bukankah Chester dan Cheryl lahir dari ibu tiri yang keberadaannya seharusnya justru menyakiti Don, Sarron dan Farah?
Malah kalau dipikir secara logika, ketiganya seharusnya membenci adik-adik tiri mereka. Apalagi seandainya otak tiga orang itu hanya tertuju pada warisan semata.
Satu hal yang mungkin terjadi—bisa membuat jiwa Brandon tidak tenang di alam sana—Don, Sarron dan Farah sangat menginginkan kepergian ayah mereka untuk selama-lamanya.
Usai penuturan terakhir dari mulut Don yang semakin membuat pasangan kembar itu mengerti benar, Cheryl memecahkan keceriaan dengan menyertakan rasa bersalah di dalam kegugupannya.
"Aku sungguh tak enak hati... kalau kami berdua datang di saat yang tidak tepat ini," ucapnya dengan merasa pilu.
Spontan ekspresi Don dan Sarron berubah menjadi kebingungan sekaligus keheranan. Tanda tanya menggantung dalam benak mereka.
Farah mendadak mengeluarkan bunyi desah dan isak kecil. Tanpa mengeluarkan air mata, mulutnya berkata dengan suara yang lirih, "Tolong jangan terlalu kau ambil dalam hati, Cheryl. Kami harus merelakan kepergiannya, meski—memang terasa sulit dan berat."
Segera kedua kakak tertua menjadi murung. Spontan Chester berdiri menyampaikan bela sungkawa dengan mengucapkan, "Kami turut berduka cita," menghampiri dan memeluk kakak-kakaknya satu demi satu.
Cheryl hanya terpaku di tempatnya. Lautan dan lapisan emosi serta pikiran berkecamuk di benaknya.
Ritual Chester berakhir pada Cheryl. Tapi malah kembarannya itu yang maju, memeluk erat saudaranya. Menumpahkan segala isi hatinya. Sambil mengusap matanya, dia berkata lirih dalam isak pelan, "Aku ikut bersedih untuk Ayah."
Menyaksikan sikap sentimentil Cheryl, ketiga anak tertua merasa sungkan padanya. Secara bergantian, mereka memeluk dan menghiburnya.
Mereka berpikir dan merasakan yang sama; sungguh betapa kasihan dan merananya Cheryl, begitu mengetahui sosok ayah kandung sebenarnya—orang yang seharusnya menjadi pahlawan pertama dalam hidupnya itu malah meninggal dibunuh. Apalagi dia seorang perempuan yang masih berusia sangat muda—berbeda dengan Chester yang lebih dapat menerima dengan akal sehat.
"Kalian ingin melihat Ayah?" tanya Farah menawarkan. Sikap yang membuat Don dan Sarron menjadi salah tingkah. Sedangkan Chester merasa sungkan kepada kakak-kakak tirinya.
Pada saat itulah, seorang pelayan masuk ke ruang keluarga memecahkan keheningan, katanya, "Maaf mengganggu, tuan-tuan dan nona Cherlone, serta Tuan Muda dan Nona Muda, makan siang sudah disiapkan di atas meja. Sesuai dengan pesanan Tuan Don tadi, tersaji untuk lima orang."
"Larry, kuperkenalkan padamu," dengan pandangan mata tertuju pada pelayan itu, Don berkata kepadanya sambil mengarahkan tangan ke Chester dan Cheryl, "mereka bagian dari keluarga Cherlone yang hilang."
Larry tercengang sesaat sebelum Sarron segera menyambung, "Chester Cherlone dan Cheryl Cherlone."
"Tolong beritahukan juga pada Chelsea dan Mrs. Rusty, ya Larry. Terima kasih," ujar Don ramah, "Kau boleh kembali ke tempatmu."
Lalu dia menoleh pada Chester dan Cheryl—menyadari ada yang terlewat dari perhatiannya, lantas dia bertanya, "Bagaimana kalian bisa melewati Marlon yang sekeras baja itu untuk memasuki rumah?"
Sesudah menunggu Larry mengundurkan diri pada kelimanya, Chester menyahut, "Mungkin lebih baik kalau perut kita terisi dulu untuk saat ini. Dengan demikian, obrolan kita akan terasa lebih nyaman dan menyenangkan. Bagaimana kami menghadapi Marlon, kubocorkan nanti sesudah makan."
"Saran yang bagus," sahut Farah, yang disambung Sarron, "Mari kita makan dulu! Perutku sudah minta diisi!"
Sambil berjalan menuju meja makan mengiringi kakak-kakak tiri mereka, Chester dan Cheryl merasa heran dengan kalimat terakhir Larry tadi. Makan siang sudah disiapkan untuk lima orang?
Keduanya mendapat kesan bahwa mereka diundang kehadirannya di hari kematian sang ayah. Bahkan hingga memesan porsi tambahan untuk dua orang.
Selagi makan—melengkapi fakta bahwa dirinya bersama kedua adik kandungnya yang terlebih dulu mengetahui—Don berujar pada Chester dan Cheryl, "Jadi selama tiga jam pertama kebersamaan perdana tadi, kalian masih belum menyadari kalau kalian ini sesama pasangan kembar?"
"Sejak mengetahui tanggal lahir yang sama, kami mulai curiga," sahut Cheryl.
Chester hanya mengangguk mantap di sela-sela mengunyah makanan di mulutnya.
"Hanya saja, kami belum tahu siapa di antara kami yang lahir duluan," sambung pemudi itu.
"Aku jadi ingin tahu bagaimana rasanya punya saudara kembar," celetuk Farah iseng, tampak penasaran.
"Oh, aku jadi tahu alasannya," kata Chester seolah menjawab, "Kenapa sewaktu kuliah misalnya, tiba-tiba pada suatu sore aku jatuh sakit tanpa sebab yang jelas. Padahal paginya kuminum vitamin, dan siangnya itu suplemen."
Cheryl menoleh sambil berujar, "Aku juga mengalami hal yang sama."
"Tapi sepertinya kau yang lebih banyak punya masalah dan beban pikiran," tuding Chester, "Sering tampak irasional hatiku merasa depresi atau galau mendadak, sampai ingin sekali menangis. Tanpa kejadian apa pun selama beberapa jam sebelumnya yang bisa menjadi penyebabnya."
"Aku terpaksa masuk rumah sakit dua tahun lalu hanya gara-gara tidak punya sedikit nafsu makan saja," protes Cheryl, "dan terasa sangat sakit di perut, tapi sewaktu diperiksa dokter tidak ditemukan apa-apa kok."
"Dua tahun lalu ada virus yang menyerang pencernaanku hingga memaksaku dirawat di rumah sakit," sahut Chester menjelaskan, lalu mengeluh lagi, "tapi yang paling menyiksaku, aku hanya belajar untuk empat tahun, namun kepalaku seakan berjuang keras untuk lima tahun. Banyak sekali malam yang kulewati dengan pikiran yang masih tertuju pada studi akademik, padahal jelas-jelas masanya hidupku sedang mempraktikkan ilmu yang kudapat."
Cheryl terdiam. Maka Chester meneruskan dengan rasa tidak puas, "Memangnya kau ingin jadi profesor brilian dengan meneruskan ke strata tiga?"
"Mengakhiri strata duamu saja sudah cukup menyiksa pikiranku dengan segudang aktivitasmu yang seakan tak pernah beristirahat," keluhnya terus terang.
Cheryl menyadari ambisinya telah memengaruhi dan menyiksa Chester sebagai saudara kembar. Dan dia baru tahu pada saat makan siang pertama bersama kakak-kakak tiri mereka.
"Sudahlah, tidak baik sesama saudara kembar tak ada yang mau mengalah," ujar Sarron menengahi. Kemudian dia bertanya pada si adik bungsu perempuannya ini, "Apa yang kau pelajari sampai sejauh itu, Cheryl?"
"Hukum," jawab Cheryl pendek, sebelum memasukkan sesendok makanan lagi ke dalam mulut dengan gayanya yang terkesan angkuh.
"Aku juga," celetuk Chester singkat, dengan datar.
Sarron berseru dengan kagum, "Wow! Berarti ada tiga Cherlone yang beraksi dalam wilayah hukum!" sambil bertepuk tangan, lalu berkomentar pada mereka, "Sudah kuduga sejak awal kalau kalian mengambil bidang yang sama. Tak kusangka itu bidangku juga. Berarti kita bisa bekerja sama."
"Maaf, aku sudah bekerja pada sebuah kantor hukum besar yang cukup ternama—Fryer And Partners," sahut Cheryl menolak dengan halus dan sesopan mungkin, "sambil meneruskan strata duaku. Mereka sama sekali tidak keberatan, bahkan sangat mendukungku."
Selagi Cheryl mengungkapkan kehidupannya, Chester makin kesal dan merana.
"Pantas saja," keluhnya dalam hati, "kembaranku ini selalu punya keinginan untuk merasa lebih superior."
Cheryl menyadari benar suasana hati sang kembarannya. Dia sampai pada suatu keadaan yang tanpa daya—tidak tahu harus merasa apa dan berbuat apa. Karena di sisi lain, dirinya punya pendapat sekaligus bersikukuh dalam benaknya kalau pendidikan merupakan salah satu hak asasi setiap manusia. Baik laki-laki maupun perempuan. Hal yang tidak bisa dan tidak boleh dilanggar, sekalipun oleh kembarannya sendiri.
bersambung ke part 2
@Kang_Isa Terima kasih atas supportnya, kang
Comment on chapter #3