Kamu selalu sama, tak pernah berubah. Aku suka itu.
πππππππ
Andra terdiam, menunduk. Memainkan tangan di atas rok yang sedang ia pakai. Melilitnya pelan lalu melepaskannya kembali, berulang. Di depannya, ada Darpa yang menatap dengan intens. Tadi sehabis turun dari lantai tiga, tak sengaja ia bertemu Darpa yang sedang kebingungan. Seperti orang linglung yang mencari-cari sesuatu yang hilang. Padahal, yang hilang itu adalah Andra.
Andra dibawa ke dalam kelas yang sudah tidak terpakai. Kelasnya jauh dari kerumunan anak-anak yang sedang melakukan MPLS. Darpa sengaja mengajaknya ke sini untuk menanyai keberadaannya saat tidak bersamanya.
Andra tidak berani memulai percakapan dengan Darpa. Mengeluarkan sepatah kata pun ia tak mempunyai nyali yang cukup. Darpa melihat Andra seperti akan menikam saat ini juga. Tatapannya tajam, menembus benteng pertahanan Andra.
"Kamu habis dari mana, sih?!" Seru Darpa kesal, bersedekap dada.
Andra mendongak, menatap mata indah itu. Tak ada senyum di wajahnya, senyumnya masih tersimpan rapi dibalik mimik datarnya.
"Aku minta maaf, Darpa..."
Hanya kalimat singkat itu yang mampu keluar dari rongga mulut Andra. Semuanya seakan terkunci rapat, kalimat mengelak ataupun berbohong seperti enggan keluar.
"Aku tanya kamu habis dari mana?!" Tanya Darpa mengulang pertanyaan sebelumnya. Masih dengan wajah super dingin.
"Aku ngumpet di lantai tiga."
Terdengar hembusan napas kasar dari cowok di hadapan Andra. Andra semakin menunduk, takut Darpa marah. Takut emosinya membeludak saat itu juga. Andra takut.
"Kenapa gak bilang? Aku udah bilang sama kamu, jangan jauh-jauh dari aku. Nanti kalau kamu hilang gimana? Siapa yang nantinya akan dibuat repot?"
"Maaf Darpa, aku lupa."
"Kamu ngapain di lantai tiga? Permainannya cuma mengumpulkan tanda tangan anggota OSIS. Kamu cukup berlari menghindari mereka, bukan malah berdiam di lantai tiga. Memangnya sedang main petak umpet?!" Omel Darpa kesal.
"Darpa, maaf."
"Kamu selalu mengulang kesalahan yang sama."
"Darpa..." lirih Andra saat Darpa berkata seperti itu.
Sesak, itu yang ia rasakan. Darpa seolah lupa dengan siapa dia berbicara. Tapi, ini juga salahnya. Andra hanya diam, menghela napas lelahnya. Tidak ingin memperumit keadaan disaat hanya emosi yang mengambil alih keadaan.
"Darpa, kamu selalu gak pernah sadar dengan siapa berbicara. Kamu selalu mengulang kesalahan yang sama."
"Kenapa membalikkan ucapan aku?"
"Kamu juga salah, Darpa. Kamu seakan lupa aku itu siapa. Padahal kamu tahu betul aku seperti apa orangnya."
"Ya, kamu selalu sama."
Darpa pergi meninggalkan Andra yang masih berdiri di ruangan persegi ini. Hanya ada ia sendirian, tak ada Darpa. Dia lebih memilih pergi meninggalkannya.
Andra tahu ini sebuah kesalahan kecil yang selalu terulang. Tapi apa salahnya jika berbicara baik-baik? Lagi pula, bukankah lupa itu sudah hal biasa bagi seorang manusia?
Tak mau ambil pusing, Andra lebih memilih keluar kelas dan menjernihkan pikirannya. Mungkin Darpa pun sama, ia tahu betul sifatnya. Dia hanya ingin kembali mendinginkan pikirannya yang kacau. Sebab, hanya dia yang diberi amanah oleh orang tua Andra untuk menjaganya.
*****
Helaan napas terus keluar dari mulut Andra. Berulang kali seperti ingin beban yang ia pikul pergi tak kembali. Tapi Andra cukup sadar diri, ia cuma manusia biasa. Memiliki kesalahan adalah hal lumrah di kehidupan, namanya juga manusia. Merasa benar atau salah disebuah permasalahan bukanlah hal baru. Banyak orang yang terus mengelak dan merasa dirinya benar hanya karena tidak ingin disalahkan. Ada juga orang yang mengaku salah karena sadar perbuatan yang dilakukannya memanglah salah. Kembali lagi pada pribadi masing-masing karena setiap manusia yang hidup memiliki keberagaman pemikiran dan karakternya sendiri.
Orang biasa seperti Andra mana ada pengaruhnya untuk mereka? Mengubah karakter buruk menjadi lebih baik memang bisa, tapi memerlukan waktu yang cukup lama. Ingat proses, semua tak luput dari itu.
Darpa masih sama. Tidak ada yang berbeda maupun berubah. Dia masih tetap Darpa yang Andra kenal, Darpa yang selalu menemaninya kemana pun ia berada. Ya, setidaknya dipikiran Andra masih seperti itu.
Andra berdiri dari taman yang ia singgahi tadi, beranjak dari sana dan kembali ke tempat semua anak MPLS berada. Sudah cukup waktu yang ia ambil untuk menjernihkan pikirannya. Tak boleh berlama-lama karena ia pun mempunyai tanggung jawab diacara ini.
Sepanjang perjalanan menuju aula, ternyata banyak murid yang tidak mengikuti kegiatan akhir di dalam sana. Mereka lebih memilih duduk lesehan di depan aula ataupun di sepanjang koridor. Karena sejak dari taman tadi, sekitar dua sampai sepuluh murid masih duduk santai di tempat yang bukan seharusnya.
"Kalian ngapain di sini? Acara di dalam aula segera dimulai. Kenapa masih berdiam di sini?" Tanya Andra pada mereka yang menatap dirinya penuh kebingungan.
"Kakak siapa, sih?!" Kesal salah satu mereka, cowok yang bername tag Khadzam Adiluhur.
"Saya salah satu anggota OSIS di sekolah ini. Kenapa kalian tidak masuk ke dalam aula?"
"Panas kak, males banget gue panas-panasan di dalem. Mana sumpek pisan!" Celetuk teman Khadzam. Ah, cowok yang bertemu dengannya di lantai tiga tadi.
"Kamu lagi?!" Kesal Andra menatapnya tajam.
"Eh lo lagi, ngapain di sini? Bukannya masuk ke dalam aula. Katanya anak OSIS, gimana sih?!" Ucapnya meledek.
"Lo kenal dia, Jen?" Tanya Khadzam pada cowok itu.
Cowok yang dipanggil Jen itu mengangguk lalu menggeleng, "Kenal, eh enggak. Cuma ketemu tadi di lantai tiga. Cantik-cantik tapi galak, Bro."
"Heh?! Masuk kalian ke dalam aula sekarang!" Tegas Andra, kesal.
Sekumpulan anak cowok itu malah tertawa ngakak, seperti baru saja melihat pertunjukan sirkus. Ah, sebegitu lucunya Andra? Tidak. Ini bukanlah lelucon, ini sudah masuk ke dalam tindak bullying.
"Berisik lo ah! Lo aja sana masuk ke tempat panas itu, gue sih males." Seru salah satu dari mereka lalu tertawa. Yang lain lantas ikut tertawa.
"Gausah repot-repot ngurusin kita, deh. Kita udah kurus. Mending urusin aja diri lo sendiri. Lo cuma OSIS, budak sekolah, gak usah banyak gaya!"
Mereka kembali menertawai Andra. Wajah Andra sudah memerah menahan kesal juga malu. Seandainya di sini ada Darpa, sudah pasti cowok itu akan menolongnya dan memberi sedikit pelajaran pada sekumpulan anak tidak beretika ini.
"Kalian...."
"Apa?! Lo mau marah-marah sama kita? Udah sana gih pergi, ganggu aja. Jadi cewek gak ada bagusnya banget, udah pendek, bawel, sok banget lagi. Idih! Cowok juga ilfeel kali neng sama lo!" Usir cowok yang Andra ketahui bernama Barel.
"Udahlah Rel, gausah diurusin. Biarin aja sih, gak perlu repot-repot ngurusin yang gak seharusnya diurusin." Sahut Khadzam menyindir Andra, lalu menoleh menatap Andra malas. "Kak, mending pergi aja. Gak usah ngurusin kita, buang tenaga doang. Lagian ngapain masih di sini? Apa emang mau dibully terus sama mereka?"
"Kalian nyebelin!"
"Emang!" Celetuk Barel. Mereka kembali tertawa.
Mata Andra sudah memerah. Menahan malu dan emosi bersamaan sungguh menguras tenaga. Apalagi jika ucapan lawan bicara sudah melukai hati, pasti rasanya hanya ingin menangis. Tapi Andra kembali sadar, ia tak bisa lemah di hadapan mereka. Kalau Andra lemah, ia pasti ditindas lebih dari ini. Padahal Andra adalah senior mereka dan mereka masih anak baru di Mandala ini. Tapi kelakuan mereka tidak mencerminkan layaknya pelajar.
"SIAPA YANG NGATAIN SAHABAT GUE?!" Bentak seseorang yang baru saja datang. Tiba-tiba sudah berdiri di sebelah Andra.
Mereka semua tersentak lalu senyum-senyum tidak jelas. Andra menoleh ke orang itu yang ternyata adalah Darpa. Andra tersenyum, bersyukur karena Darpa berada di sini dan membantunya. Padahal sebelumnya cowok itu masih marah padanya.
Darpa terlihat begitu marah, dia menatap sekumpulan anak cowok itu penuh dengan amarah yang menggebu. Rasanya ingin mengobrak-abrik sekelilingnya. Andra tersenyum kecil, menatap sekumpulan anak itu dengan wajah yang dibuat songong. Ya, sepertinya Darpa cukup berpengaruh.
"JAWAB GUE?!!"
"Eh," Pekik Barel, kaget.
"Sans dong, Bro. Lo siapa, sih? Dateng langsung rusuh gitu. Gak pernah liat anak-anak lagi nyantai gitu?" Sahut cowok yang dipanggil Jen. Dia maju berhadapan dengan Darpa.
Darpa kembali dibuat murka, "Lo masih anak baru di sini, gak usah banyak tingkah! Kapan aja lo bisa dikeluarin dari sekolah Mandala. Dengan atau tanpa persetujuan kepsek!"
"Wow, serem." Sahut Barel tertawa. "Gila gak sih, Bro, kita baru aja masuk sekolah langsung kena drop out? Ngakak asli nih gue."
Derai tawa sekumpulan anak itu kembali terdengar. Andra semakin murka melihatnya, benar-benar muak.
"Kalian itu harusnya mikir! Udah gede gak bisa mikir, gimana sih?!" Kesal Andra.
"Diem deh lo! Emangnya lo siapa?" Sahut Barel.
Andra melotot kesal. Cowok dihadapannyq ini memang benar-benar kelewatan. Bagaimana tidak, sudah begini saja masih sanggup melawan. Sungguh tidak mempunyai etika yang baik. Apalagi Jen yang memandang Andra dengan senyum sinis.
"LO?!" Darpa menarik kerah baju Jen. Emosinya sudah diujung tanduk.
"Apa?" Jawab Jen dengan wajah menantangnya.
"WOI!!! Udah kenapa, sih? Katanya udah gede tapi masih aja ribut!" Lerai Khadzam pada keduanya. "Ini apaan lagi pake segala narik kerah? Udah gede kan lo, gak usah pake tenaga kalo mau menyelesaikan masalah. Mikir lah, kalo gak mau digituin ya jangan gitu!" Lanjut Khadzam menarik kembali tangan Darpa dan menghempasnya sedikit kasar.
"Bilangin sama temen lo, jangan kurang ajar! Didik temen lo! Bisa hargain perempuan gak? Lo itu anak cowok, anggap semua perempuan seperti Ibu yang udah lahirin lo ke dunia! Jangan ngerendahin cewek! Tanpa dia, lo lahir dari mana, heh?!" Cerocos Darpa saking kesalnya.
"Iyaudah, santai dong." Ucap Khadzam dengan tenang. "Mending bawa cewek lo pergi dari sini. Daripada temen gue khilaf semua, mencegah lebih baik, bukan?"
"Bacot!"
"Cepetan!"
Darpa menarik lengan Andra, menjauh dari mereka. Ya, kami berjalan dengan cepat dan rasa amarah yang masih melekat. Sayup-sayup terdengar derai tawa dari mereka setelah kepergian kami.
Mungkin begini rasanya dipermalukan, meski bukan di depan umum tapi rasa malu itu cukup menyakitkan. Andra melirik Darpa yang masih menarik tangannya. Wajahnya tegas dan mengeras, masih menyimpan amarah. Dia masih mengendalikan emosi yang siap meledak kapan saja dia mau.
"Darpa..." Panggil Andra pelan. Andra masih takut Darpa marah soal kejadian beberapa saat lalu.
Darpa menghentikan langkahnya, melirik Andra dengan alis yang dinaikan sebelah, "Kenapa?"
"Kamu gapapa?"
"Harusnya aku yang tanya. Kamu gapapa?"
"Aku gapapa." Sahut Andra tersenyum. Darpa membalas senyumnya.
"Lain kali, kalau ada segerombolan anak nakal kayak gitu jangan diladenin. Bahaya. Kamu tau sendiri, kan?"
"Iya, Darpa."
"Tadi ngapain bisa berantem di situ? Bukannya masuk ke aula. Aku udah nungguin kamu dari tadi."
"Kamu nungguin aku?" Tanya Andra tidak percaya. Sehabis marahnya, dia masih mau menungguku?
Senyum Andra mengembang, rupanya benar dia adalah Darpa-ku. Darpa yang akan menjaga dan menemani Andra meski kadang sikap menjengkalkannya selalu membuatnya kesal.
"Ngapain senyum?" Tanya Darpa menahan senyumnya.
"Enggak, kamu lucu."
"Lucu gimana?" Darpa mengernyit bingung.
"Tadi marah sekarang udah enggak. Tadi ninggalin tapi setelahnya malah nungguin. Kamu labil tau gak?"
Darpa terkekeh pelan, "Kamu selalu tahu aku orangnya gimana."
"Jangan pernah berubah, Darpa."
Darpa tersenyum lalu mengelus puncak kepala Andra. Kembali menarik tangan gadis itu menuju aula yang sudah sedikit sepi karena lima menit yang lalu acara penutupan sudah selesai.
"Iya, aku selalu sama. Darpa-nya Andra."
Saat itu juga, senyum terus merekah sepanjang jalan Andra.
πππππ
Lucu banget Darpa sama Andra ini
Comment on chapter Sahabat