Mama Tersayang
Air mata Anya menetes satu-satu. Pandangannya yang kosong terarah ke gundukan tanah merah yang semakin lama semakin sempurna di hadapannya.
“Dari tanah, kembali ke tanah, abu, kembali ke abu,” gumam seorang lelaki berbaju hitam dengan rosario melingkar di lehernya. Ia adalah Romo Gabriel, pemimpin upacara pemakaman itu.
Hari ini, tanggal 18 Februari 2012, Arifin Indrawan dimakamkan di sebuah tempat pemakaman umum yang asri di daerah Bogor. Pemakaman ini dihadiri oleh sejumlah kawan dekat dan seluruh keluarga, termasuk Anya, putrinya semata wayang, dan istrinya, Maya.
Anya melirik ibunya yang berjongkok di hadapannya. Mereka mengambil tempat tepat di sebelah batu nisan Arifin. Wanita berusia empat puluhan itu nampak tegar. Matanya bahkan tidak basah sama sekali. Sangat kontras dengan Anya sendiri. Rasanya ia tak bisa berhenti menangis. Ayahnya, Papa yang terkasih, sungguh-sungguh tak ada lagi di dunia ini…
~~~***~~~
Dua bulan kemudian…
Kaca besar berbingkai tembaga itu memantulkan sosok seorang gadis belia. Anya menatap lekat-lekat bayangannya yang membias di cermin itu. Ia baru saja mandi. Titik-titik air dari rambutnya yang baru dikeramas membasahi baju seragamnya.
Anya mendekat dan memulaskan bedak bayi tipis-tipis ke wajahnya. Ia memang selalu tampil sederhana setiap hari. Buat apa berdandan macam-macam? Banyak orang bilang ia cantik, dan ia pun sadar akan hal itu. Kulitnya putih bersih, matanya bulat bening, dengan hidung yang kecil tapi mancung, dan bibir penuh. Rambutnya tebal dan hitam bak mayang mengurai. Posturnya tinggi semampai. Dilihat sepintas, keseluruhan penampilannya serupa dengan Arifin, almarhum papanya.
Anya mendesah. Sudah dua bulan Papa meninggal dunia. Ia masih saja belum dapat percaya. Kadang, ia masih tidak sadar menghubungi ponsel Papa sepulang sekolah. Ia juga belum terbiasa makan tanpa kehadiran Papa yang humoris dan pintar melucu. Kini ia makan hanya berdua dengan Mama yang pendiam.
Sedari kecil, Anya memang dekat dengan papanya, dan tidak dekat dengan mamanya. Papa yang selalu mendambakan anak perempuan, sayang sekali padanya dan teramat memanjakannya. Sedang Mama paling-paling hanya memandikan dan menyiapkan makanan baginya. Mama tidak pernah bertanya apa-apa padanya, dan tidak pernah mengobrol dengannya seperti Papa. Mama memang pendiam dan tidak suka menonjolkan diri. Sifatnya itu membuat Anya sulit dekat dengannya. Ia sayang kedua orangtuanya. Tetapi, di antara mereka, ia jauh lebih sayang Papa. Singkatnya, kehadiran dua orangtua yang lengkap bagi Anya sudah memadai jika diisi hanya oleh Papa.
Krek. Anya terlonjak, lamunannya buyar. Kepala Mama muncul di balik daun pintu.
“Sayang, kamu sudah siap? Kita berangkat sekarang.” Semenjak Papa pergi, setiap hari Anya pergi ke sekolah dengan Mama. Ibunya itu sekarang bekerja di usaha catering teman lamanya yang cukup besar. Mama memang langsung mencari pekerjaan setelah Papa meninggal. Hal itu memang agak sulit, mengingat satu-satunya kepandaian Mama hanya memasak. Untunglah datang tawaran dari teman lamanya untuk menjadi karyawan di usaha katering miliknya. Tentu saja, kini mereka terpaksa hidup hemat. Selain untuk membiayai kehidupan mereka dan sekolah Anya, juga untuk mempertahankan rumah mereka yang sekarang. Anya ngotot menentang niat mamanya untuk menjual rumah mereka yang lumayan besar itu. Enak saja. Mama tidak mengerti kalau rumah mereka itu penuh berisi kenangan tentang Papa. Mama memang tidak pernah memahami apapun tentang dirinya. Tidak seperti Papa.
“Kalau mau masuk itu ketuk pintu dulu kek, ngomong kek! Anya kan kaget,” tukas Anya ketus.
Mamanya mencoba tersenyum. “Maafkan Mama ya, Nya. Mama lupa. Soalnya Mama buru-buru. Tante Mia minta Mama datang lebih pagi hari ini. Soalnya…”
“Iya, iya! Ayo kita jalan!” Anya keluar mendului mamanya.
“Nya, itu bekalnya jangan lupa dibawa!” seru Mama yang mengikuti Anya dari belakang.
Anya cemberut. “Nggak mau ah, Ma! Malu-maluin aja kelas dua SMA masih bawa bekal dari rumah. Biasanya juga jajan!”
Mama terdiam. Lalu katanya, “Ya sudah, ini Mama kasih 20.000 untuk jajan. Jangan dihabiskan semuanya, ya!”
Anya mendengus. “Iya! Pelit amat sih. Coba kalau Papa masih ada, pasti uang jajanku ditambah!”
“Anya!” tegur mamanya. Anya diam. Mama memang tidak suka kalau ia menyebut-nyebut Papa. Padahal Anya tidak melihat di mana kesalahannya. Wajar kalau dia masih suka bicara tentang Papa—itu kan papanya! Tapi Mama tidak pernah mau mengerti.
Akhirnya, sepanjang perjalanan ke sekolahnya, Anya diam saja. Mereka naik bis. Anya membuang muka keluar jendela, tidak memedulikan mamanya yang berusaha mengajaknya bercakap-cakap. Anya tidak sabar untuk segera sampai di sekolah.
~~~***~~~
Keira tersenyum prihatin mendengar curahan hati sahabatnya. Setiap hari itu-itu saja. Mama yang tidak asyik, tidak memanjakan dirinya seperti Papa, tidak pernah mau mengerti.. Sebetulnya, Keira pribadi menganggap hal itu bukan sepenuhnya kesalahan mama Anya. Anya sendiri juga tidak pernah mau memberi kesempatan pada mamanya untuk berusaha dekat dengannya. Tapi, jika Keira mengatakannya terus terang, Anya bisa ngamuk. Temannya ini memang kepala batu dan sangat sensitif, bicara dengannya harus baik-baik, tidak bisa dikerasi.
“Yang makin membuatku kesal, Kei, Mama tidak pernah mengajakku berjalan-jalan, atau membelikan hadiah buatku seperti yang biasa dilakukan Papa dulu,” cerita Anya berapi-api.
“Mungkin, mamamu beranggapan tidak perlu mengeluarkan uang untuk sesuatu yang kurang penting,” jawab Keira perlahan.
“Jadi, menurutmu mamaku berpikir kalau kebahagiaanku itu tidak penting?!” Anya meledak. “Aku kan anak Mama satu-satunya! Masa Mama tidak mau berkorban sama sekali?”
“Tapi, biar bagaimanapun kan biaya kehidupan kalian sekarang hanya berasal dari penghasilan Tante Maya. Itupun tidak terlalu besar. Wajar jika Tante Maya berusaha mengaturnya sebijak mungkin,” sahut Keira.
Anya menarik napas panjang. “Aku kangen sekali pada Papa,” desahnya dengan mata berkaca. “Tapi Papa tidak mungkin kembali, ya kan? Mau tidak mau aku harus menyesuaikan diri dengan Mama. Dan aku tidak tahu bagaimana caranya.”
“Menurutku, kamu harus lebih terbuka dan memberi mamamu kesempatan untuk mencoba dekat denganmu,” kata Keira hati-hati.
Anya cuma mengangkat bahu dan menyeruput es tehnya dengan muka lesu. Keira pun berhenti bicara. Kalau Anya sudah begitu, tandanya pembicaraan mereka tentang masalah ini sudah berakhir.
~~~***~~~
Anya menyangga kepalanya dengan satu tangan. Pelajaran Sejarah selalu membosankan baginya. Ia kan sudah di jurusan IPA, kenapa masih harus belajar sejarah? Buat apa menghafal tahun-tahun yang sudah lewat?
Anya memandang bunga krisan dalam vas yang terletak di meja guru. Setiap minggu, seluruh anggota kelas bergiliran memetik bunga dari taman sekolah dan menatanya dalam vas. Papa juga dulu sering membeli bunga. Bunga mawar untuk Anya, dan anyelir putih untuk Mama. Ah, Anya melamun lagi. Ia kembali terkenang-kenang pada sosok papanya.
Papa Anya adalah orang yang supel dan lucu. Ia punya banyak sekali teman, dan pandai bicara dengan siapa saja. Papa juga luar biasa pintar. Ia arsitek yang cukup terkenal, dan pekerjaannya yang fleksibel membuatnya bisa sering berada di rumah, bahkan pada hari-hari biasa sekalipun. Sedang pada akhir pekan, Papa memberikan waktunya dua puluh empat jam dalam sehari untuk keluarganya. Biasanya, Anya akan mengajak Papa berenang atau jalan-jalan di mall. Mama jarang sekali ikut. Mama tidak bisa berenang, dan jika ikut ke mall pun tidak berkeliling bersama Papa dan Anya. Mama hanya akan diam di toko buku, sampai Papa dan Anya menjemputnya.
Papa juga berparas tampan. Tubuhnya tinggi tegap dengan mata yang jernih dan pandangan tajam. Ketampanannya masih jelas terlihat, walaupun usianya sudah nyaris setengah abad. Kontras sekali dengan Mama yang mungil dan berwajah biasa. Mama juga tidak berpendidikan tinggi seperti Papa. Kadang Anya bingung, apa yang membuat Papa begitu mencintai Mama? Apa sih yang dilihat Papa dari Mama?
“Papa lebih memilih kecantikan hati daripada fisik,” selalu itu jawaban Papa bila Anya bertanya apa yang membuat Papa memilih Mama sebagai pendamping hidupnya. Padahal, Papa bisa memilih wanita cantik manapun di dunia ini jika ia mau.
Kalau semakin dipikir… Anya tahu ia tidak boleh berpikiran seperti ini, tetapi ia tak dapat menahannya. Papa meninggal karena demam berdarah. Kalau saja… kalau saja Mama yang mengidap penyakit itu, apakah keadaannya sekarang akan berbeda? Anya berusaha menepiskan pikiran ini setiap kali hal itu timbul di benaknya, namun sulit sekali. Setiap kali ia memikirkan hal itu, setiap kali pula hatinya digurat sesal.
Kenapa Tuhan mengambil Papa? Papa yang begitu dicintainya. Kenapa bukan Mama saja?
~~~***~~~
Itu dia! Itu dia! batin Anya bersemangat. Tak jauh di depannya, seorang pemuda jangkung sedang berjalan santai. Anya berlari mendekatinya dan menepuk punggungnya dari belakang.
“DOR! Hahahahaha!” Anya tertawa ngakak ketika pemuda itu terlonjak kaget.
“Anya!” Pemuda itu mengusap-usap dadanya.
Anya memandangi wajah orang yang baru saja dikagetkannya itu. Kevin, siswa kelas tiga yang sudah sebulan ini dekat dengannya. Mereka sudah sering pergi bersama-sama, dan sudah lumayan dikenal seisi sekolah sebagai pasangan, meski belum resmi berpacaran.
Setelah menghilangkan kekagetannya, Kevin menggandeng tangan Anya. Anya langsung tersipu-sipu saat pandangan orang-orang di sepanjang koridor terarah pada mereka. Ada yang senyum-senyum menggoda, ada juga yang terlihat iri. Bagaimana tidak, Kevin adalah salah satu cowok terganteng di sekolah itu. Anya bangga sekali bisa bersamanya.
“Eh, dua bulan lagi kan pesta kelulusan. Aku mau ajak kamu, kamu mau nggak?” tanya Kevin pada Anya.
Yesss! Ini yang ditunggu-tunggu oleh Anya! Sudah sejak kelas satu ia mendambakan ada kakak kelas yang mengajaknya sebagai partner untuk pesta kelulusan kelas tiga.
“Oh ya? Oke deh, aku ikut,” jawab Anya malu-malu.
“Sip!” Kevin terlihat gembira. “Dandan yang cantik ya.”
Kevin kemudian mengalihkan percakapan mereka pada hal lain, tetapi otak Anya hanya terpaku pada satu hal. Baju pesta! Ia hampir tidak pernah membeli baju pesta karena jarang dipakai. Ia hanya punya gaun bekas pesta kelulusan SMP dulu yang tentu saja sudah kekecilan. Anya bertekad sepulang sekolah akan pergi ke mall dengan Keira untuk mencari gaun yang indah. Ia ingin tampil sempurna di hadapan Kevin.
~~~***~~~
“Di sebelah situ tuh, Nya…” Keira menunjuk ke bagian toko yang khusus menjual gaun pesta. Toko ini adalah toko pakaian favorit Anya di mall, sebab toko ini komplit menjual segala jenis baju, mulai dari baju-baju santai sampai formal. Namun, sejak Papa meninggal Anya sudah tidak pernah lagi berbelanja di situ karena harga baju-bajunya cukup mahal.
“Naaah, ini dia!” Anya menyibak-nyibak gaun-gaun yang tergantung di salah satu rak. “Aku udah lama banget naksir gaun ini! Bagus, ya?”
Keira menatap gaun vintage berbahan lace yang dibentangkan Anya di depannya. Gaun itu memang cantik. Modelnya sederhana, namun terlihat anggun. Warnanya cokelat keemasan.
“Iya, bagus Nya. Cuma harganya nih. Dua kali lipat budgetmu,” kata Keira.
“Iya sih. Tapi aku udah telanjur sreg sama gaun ini! Gimana dong?” keluh Anya.
“Mmm, gimana kalau kamu jahit sendiri aja? Tinggal cari bahan yang mirip. Beres kan? Kamu bisa hemat lebih dari setengahnya.”
Anya menggeleng kuat-kuat. “Nggak mau ah! Pasti ada aja yang nggak pas nantinya. Aku mau beli jadi aja.”
“Lho, pesta kelulusan kelas tiga tinggal dua bulan lagi lho. Kamu mau nyari dimana uang sebanyak itu dalam waktu enam puluh hari?”
“Itu gampang! Pokoknya aku harus bisa beli gaun ini!” putus Anya.
~~~***~~~
“MAAA…” Tidak biasanya, sepulang sekolah Anya langsung mencari Mama.
“Ada apa, Sayang?” tanya Mama yang baru keluar dari kamar mandi.
Anya menghela napas dalam-dalam sebelum bicara. “Gini, Ma. Ada temen yang ngajak aku ke pesta kelulusan kelas tiga dua bulan lagi. Ngg, aku kan nggak punya baju pesta.”
Mamanya tersenyum. “Ooh, begitu. Ya sudah, nanti Mama carikan gaun lama Mama ya? Baru sekali dipakai kok, pasti masih bagus.” Mama beranjak ke kamar.
“Ma! Ma! Nggak usah. Aku mau beli gaun baru aja.“ Anya menahan tangan mamanya. “Ada gaun yang aku suka di Clothe. Toko besar di mall itu lho. Gaun lace warna cokelat keemasan. Bagus deh.”
“Gaun baru?” Kening Mama berkerut. Lalu ia mendesah. “Anya, Mama lagi nggak punya uang.”
“Mama bohong! Kemarin kan katering Tante Mia baru dapat order besar. Mana mungkin nggak ada uang. Mama pelit!” omel Anya.
“Anya! Yang sopan kalau ngomong sama orangtua! Sekarang Papa sudah nggak ada, Anya. Kita harus belajar hidup hemat. Penghasilan Mama hampir-hampir nggak cukup untuk membiayai kehidupan kita sehari-hari, juga sekolah kamu. Apalagi kamu berkeras untuk mempertahankan rumah kita ini. Kau harus mengerti kondisi Mama sekarang,” nasihat Mama.
Anya cemberut. Sifat keras kepalanya muncul. “Aku? Aku harus mengerti, Ma? Apa Mama nggak salah tuh? Mama sendiri pernah nggak mengerti aku! Mama nggak pernah peduli sama aku. Nggak seperti Papa!” Dada Anya terasa sesak menahan tangis. Gumpalan yang selama ini menyekat di sana akhirnya meledak keluar.
“Anya…” Mama berusaha meraih Anya.
“Mama jangan pegang-pegang aku! Mama tahu, nggak? Semua orang menghibur aku, mereka bilang aku beruntung karena masih punya satu orangtua, dibandingkan anak-anak yang sama sekali yatim piatu. Aku memang udah kehilangan Papa. Tapi kadang-kadang aku merasa seperti nggak punya Mama juga!” kata Anya pedas. Ia berlari menuju kamarnya dan mengunci diri di dalam, meninggalkan Mama yang terpaku dengan wajah pasi dan sorot terluka di matanya.
~~~***~~~
Bel pulang sekolah mengalun nyaring. Anya mengeluh. Ia malas pulang ke rumah. Oleh karena pertengkaran mereka kemarin, sampai pagi ini ia dan mamanya masih belum saling bicara. Tadi pagi, Mama hanya menyiapkan sarapan untuk Anya dan meninggalkan sepucuk surat di meja makan yang mengatakan bahwa ia harus berangkat lebih pagi hari itu. Tidak jelas alasannya. Tapi Anya sama sekali tidak peduli.
Untung hari ini Kevin bilang akan mengajaknya pergi. Anya tidak tahu kemana. Tapi kemanapun masih lebih mendingan daripada langsung pulang dan bertemu Mama.
Kevin ternyata sudah menunggunya di luar kelas. “Yuk, Nya.” Digamitnya tangan Anya.
“Kita mau kemana nih?” tanya Anya antusias.
Kevin malah menunduk. “Nanti kamu juga tahu,” jawabnya pelan.
Kevin ternyata memacu motornya ke daerah pinggiran Jakarta yang masih asri dan sejuk udaranya. Anya turun dari motor sambil menarik napas sedalam-dalamnya. Udara di sini segar sekali. Mereka berhenti tak jauh dari sebuah bangunan putih yang tidak terlalu besar.
“Tempat apa ini, Kev?” tanya Anya.
Kevin tersenyum lembut sambil menunduk menatap Anya. “Namanya Rumah Santa Gemma, Nya. Semacam rumah sakit.”
“Siapa yang sakit?”
“Mamaku. Aku ingin kamu ketemu sama Mama hari ini.”
Mama Kevin sakit? Anya tak pernah tahu. Selama ini mereka memang belum pernah saling mengenalkan keluarga masing-masing. Kevin juga tak pernah bercerita.
“Sakit apa, Kev?”
“Mental. Sudah setahun ini Mama dirawat. Aku dan saudara-saudaraku bergantian menjenguknya setiap hari,” urai Kevin. “Kita masuk dulu ,deh. Nanti aku ceritain semuanya.”
Anya pun mengikuti Kevin masuk ke dalam. Mereka menyusuri koridor sampai tiba di pintu kaca bertuliskan PAVILIUN MELATI. Seorang wanita muda berbaju putih membukakan pintu bagi mereka.
“Halo Kevin. Lho, hari ini bukannya giliran Delia ya?” sambut wanita itu ramah.
“Tukeran, Sus. Cuma satu hari ini aja,” sahut Kevin.
“Oh, begitu. Wah, siapa ini Kev?” Suster itu tersenyum pada Anya.
Anya membalas senyumnya seraya mengulurkan tangan untuk bersalaman. “Anya.”
“Aku Frida. Aku suster kepala di paviliun Melati ini. Yuk, kuantar kalian ke kamar Ibu Sandra,” ajak Suster Frida. Dibawanya Kevin dan Anya ke sebuah kamar bernomor 307.
“Bu Sandra?” panggil Suster Frida halus sambil melongokkan wajahnya ke balik pintu yang hanya dirapatkan itu. “Kevin datang mengunjungi Anda. Senang?”
Pintu dipentangkan oleh Suster Frida. Terlihat sesosok wanita paruh baya berambut panjang yang duduk di sebuah tempat tidur mungil. Wanita itu mendongak menatap mereka. Anya langsung suka padanya. Sorot matanya terlihat polos sekaligus lembut dan keibuan.
“Masuklah,” katanya ramah.
Suster Frida menyilakan Anya dan Kevin untuk masuk. Pintu ditutupnya pelan-pelan.
“Mama,” sapa Kevin. Ia duduk di pinggir tempat tidur mamanya dan memeluk wanita itu. Mama Kevin nampak mengusap-usap kepala anaknya penuh sayang.
Anya menatap pemandangan itu dengan terenyuh. Ia beranjak mendekati tempat tidur itu saat Kevin melambaikan tangan padanya.
“Mama, ini Anya. Aku udah sering cerita sama Mama tentang dia. Mama ingat?” tanya Kevin lembut.
Mamanya tersenyum pada Anya. “Teman Kevin?” tanyanya.
Anya mengangguk, ikut tersenyum. “Saya Anya, Tante.”
Mama Kevin mengangguk-angguk sambil menatapnya dengan mata berbinar. Tak lama kemudian, wanita itu merogoh ke bawah bantalnya dan mengeluarkan selembar kertas putih lusuh. Ia juga meraih pensil yang terletak di meja sebelah ranjangnya. Hampir satu menit lamanya ia melesat-lesatkan pensilnya di permukaan kertas itu. Setelah selesai, dipandanginya sekali lagi, dan diserahkannya pada Kevin dengan raut muka bangga.
Anya ikut menjengukkan kepalanya dari balik bahu Kevin. Mama Kevin ternyata menulis nama anaknya itu besar-besar di kertas, “KEVIN”, dan membingkainya dengan gambar hati.
Tak terasa, mata Anya menjadi basah. Apalagi ketika dilihatnya Kevin mencium mamanya dengan mesra sambil berbisik, “Makasih ya, Ma. Kevin sayang Mama.”
Mama Kevin tersenyum kegirangan. Ditatapnya anaknya dengan mata bercahaya.
Kevin mengalihkan pandangannya pada Anya. Ia mengisyaratkan pada Anya agar keluar dari situ. “Sebentar ya, Ma. Nanti Kevin balik lagi.”
Kevin membimbing tangan Anya menuju taman di depan paviliun Melati. Mereka duduk di sebuah kursi di bawah pohon. Anya diam saja. Ia tahu ia harus menunggu.
“Dua tahun yang lalu,” Kevin mulai, “papaku menikah lagi. Ia pergi meninggalkan kami sekeluarga. Kami semua sedih, tapi yang paling sedih adalah Mama. Papa telah melukai hatinya sedemikian dalam. Ia menjadi stres, bahkan nyaris hilang akal saat Papa akhirnya benar-benar pergi. Setelah itu, kami semua berusaha melupakan kesedihan kami dengan menyibukkan diri di luar rumah. Hal itu membuat kami melupakan Mama, padahal Mama amat sedih dan kesepian. Sampai akhirnya, suatu hari kami menemukan Mama yang sekarat di kamarnya karena mencoba bunuh diri. Sejak itu, terpaksa Mama kami titipkan di sini,” cerita Kevin dengan pilu. “Kalau diingat lagi, tak habis-habisnya kami menyesali diri. Kami memang ditinggal Papa, tetapi kami beruntung masih memiliki Mama. Dan kami malah menyia-nyiakannya.” Kevin menunduk. Pemuda itu menangis tanpa suara.
Sedang Anya sendiri pun rasanya mau menangis juga. Ia teringat mamanya yang telah ia sakiti hatinya. Mama yang telah berhasil menjadi kuat untuk dirinya saat kepergian Papa. Padahal Anya tahu Mama amat mencintai Papa. Pasti berat sekali baginya untuk kehilangan Papa. Namun, Mama berhasil tegar untuknya. Untuk menyangga Anya. Pernahkah Anya menunjukkan penghargaannya pada kasih sayang mamanya itu? Mama yang bersusah-payah membanting tulang selama dua bulan sejak kepergian Papa, untuk apa lagi? Tentu saja untuk membahagiakan Anya, putrinya tersayang. Sedari dulu Mama selalu mencintainya, bahkan memberinya nama Anya, seperti anyelir, bunga kegemarannya.Tangis penyesalan pun mengalir di pipi Anya.
Ia berdiri. “Kevin, aku benar-benar minta maaf. Ada sesuatu yang penting, yang harus kulakukan sekarang. Maaf , aku tidak bisa mengobrol dengan mamamu hari ini. Kamu tidak keberatan kan, untuk membawaku lagi ke sini di lain hari?”
Kevin awalnya terkejut, namun tatkala dilihatnya air mata Anya, ia pun mengangguk. “Kamu nggak perlu diantar?”
“Nggak usah. Kamu temani mama kamu aja ya,” kata Anya lembut. Lalu dilingkarkannya lengannya ke leher Kevin sejenak. “Aku sayang kamu Kev.”
“Aku juga,” jawab Kevin tersenyum.
“Aku tahu,” tukas Anya. Ditepuknya bahu Kevin seraya ia berbalik dan berjalan pergi. Setelah ia tiba di luar kompleks rumah sakit itu, barulah ia berlari sekencang-kencangnya menuju jalan raya. Sesampainya di sana, ia menyetop sebuah taksi dan pulang ke rumahnya.
Setengah jam kemudian, taksi yang ditumpanginya memasuki daerah tempat tinggalnya. Anya sibuk berpikir, sampai terlihat olehnya toko kue di sisi jalan. Ia ingat, mamanya paling suka bolu pandan. Segera dimintanya taksi untuk berhenti. Setelah dibelinya beberapa potong kue bolu pandan di situ, barulah ia melanjutkan perjalanannya pulang.
Rumah kosong setibanya Anya di sana. Ini tidak biasanya. Dimana Mama? Beliau selalu pulang sebelum Anya pulang sekolah. Kok sekarang tidak ada?
Anya menanti mamanya dengan gelisah. Hari sudah hampir Maghrib. Kenapa Mama belum pulang-pulang juga? Anya cemas bukan main.
“Tuhan,” doanya. “lindungilah Mama! Ampuni aku yang selama ini jahat padanya Tuhan. Ampuni aku yang tidak mensyukuri keadaanku yang masih memiliki satu orangtua. Aku berjanji akan menyayangi Mama seperti Mama menyayangiku. Jangan ambil mamaku juga, Tuhan, aku mohon, kembalikanlah Mama!”
Anya baru saja selesai berdoa saat pintu rumahnya terbuka. Sosok Mama muncul. Ia kelihatan lelah dan kuyu sekali, walaupun air mukanya berseri-seri senang.
“Anya, lihat nih! Mama belikan ini untuk kamu. Benar yang ini gaunnya, Nya?”
Mata Anya terbelalak kaget saat melihat gaun lace yang diidamkannya muncul dari dalam tas plastik yang dibawa mamanya. “Tapi.. darimana.. bagaimana..”
“Mama sengaja lembur hari ini, Nya. Ada orang yang memesan katering untuk pernikahannya akhir pekan ini. Sangat mendadak memang, tapi orang itu berani membayar dua kali lipat. Tante Mia mendiskusikan hal ini pada Mama. Mama pikir, kalau Mama mendapat uang banyak, Mama akan bisa membelikan gaun yang kamu minta. Jadi, Mama pun menyanggupinya,” kata Mama sambil tersenyum.
Anya tak kuasa lagi menahan air matanya. Gadis itu menghambur ke pelukan mamanya.
“Mama… maafkan Anya selama ini. Anya menyesal..”
“Sudah Mama maafkan. Maafkan Mama juga, Mama tidak pernah mencoba dekat dengan kamu seperti yang dilakukan Papa selama ini,” suara Mama bergetar.
Anya menatap mamanya penuh cinta. “Anya nggak peduli, Ma. Anya sayang Mama. Sayang sekali.” Dibenamkannya wajahnya ke pelukan ibunya.
Mama tersenyum haru sambil mengelus rambut putrinya. “Mama juga sayang sekali sama Anya. Anya putri Mama satu-satunya. Kan cuma Anya yang Mama miliki!”
Anya tertawa. Dihapusnya air matanya. “Oh ya Ma, tadi aku beli bolu pandan kesukaan Mama. Mama mau?”
Mama mengangguk bahagia. Anya pun membimbing mamanya menuju meja makan.
“Ma, aku pingin cerita sama Mama tentang Kevin. Mama tahu? Aku rasa kami baru saja resmi berpacaran.”
TAMAT