Saking sukanya dengan hal-hal yang berbau zombie, aku meminta pacarku untuk membuat komik tentang zombie khusus untukku. Namanya Kent, dia memang seorang komikus. Makanya ia langsung mengiyakan permintaanku. Kala komik itu selesai ia buat, aku juga meminta hal lain padanya. Dan itu, adalah permintaan yang begitu konyol.
Bagaimana tidak? Aku meminta agar menjadi tokoh utama dalam komiknya untuk merasakan seperti apa dikejar-kejar oleh zombie. Dengan kata lain, aku meminta masuk ke dalam komik buatannya Kent. Sungguh konyol bukan?
Awalnya permintaanku ini hanyalah candaan belaka. Namun, Kent malah menyanggupinya. Aku pikir dia juga sedang bercanda. Nyatanya tidak. Ia serius dengan ucapannya. Buktinya, saat ini aku berada di perpustakaan kecil di rumahnya Kent. Berdiri bersebelahan dengan Kent di hadapan sebuah rak buku dengan tinggi kira-kira empat meter.
"Amanda, kamu siap?" tanya Kent padaku. Tangannya menggenggam erat tanganku.
Aku mengangguk. Menunggu ia mengakhiri candaannya ini. Tapi, wajahnya terlihat serius. Tidak seperti orang yang sedang bercanda.
Tiba-tiba, ada sebuah komik yang terjatuh dari rak teratas tepat di depan kakiku. Aku terkesiap. Sepertinya, itu komik yang kuminta padanya dilihat dari sampul dan judulnya. Dua detik kemudian, aku dikejutkan lagi dengan terbukanya komik itu dengan sendirinya.
Mataku disilaukan dengan cahaya terang yang keluar dari komik itu. Tubuhku tertarik masuk ke dalam komik seolah-olah ada magnet berkekuatan tinggi yang mampu membawaku ke tempat lain, seperti sedang teleportasi.
Mataku terbelalak. Apakah sekarang aku benar-benar berada dalam sebuah komik? Tadi, aku berada di perpustakaannya Kent. Sekarang, aku duduk di kursi kelasku dengan Kent yang duduk bersebelahan denganku. Raut wajahnya datar saja seolah-olah tidak ada yang terjadi. Suasana kelas hening. Tidak ada guru yang mengajar. Pandangan teman-teman sekelasku lurus ke arah papan tulis. Entah apa yang mereka perhatikan dari papan tulis yang bersih dari tinta spidol itu.
"Kent?"
Kent menoleh ke arahku, "Iya."
"Apa kita ada di dalam komik?" tanyaku memastikan.
Kent mengangguk. Lalu menyunggingkan senyumnya padaku. Senyum yang mampu menghilangkan keresahanku. Senyum yang begitu aku suka darinya. Aku sadar. Aku sering meminta hal-hal aneh pada Kent. Dan dengan sabarnya ia menuruti permintaanku. Itulah yang membuatku sangat mencintainya.
Sebuah pulpen tiba-tiba ada dalam genggamanku. Membuatku terkejut. Kurasa, kedepannya akan lebih banyak kejutan yang menanti. Sepertinya aku perlu mempersiapkan diri dengan segala kemungkinan yang akan terjadi.
Benar saja. Aku dikejutkan lagi dengan tangan kananku yang bergerak sendiri. Di luar kendaliku. Bersama pulpen itu tanganku bergerak, menorehkan tinta pulpen di telapak tangan kiriku. Menuliskan dua huruf yang mampu membuatku mengernyit tidak mengerti. B dan N, huruf yang tertulis di sana. Aku menoleh ke arah Kent. Memberinya tatapan seolah bertanya apa maksud ini?
Kent malah mengedarkan pandangannya ke seluruh penjuru kelas. Seolah memintaku untuk mengikuti arah pandangannya. Seketika, aku merinding. Suasana kelas begitu hening. Bau amis menyeruak masuk ke dalam indra penciumanku. Tubuh teman-teman sekelas kami terlihat membusuk. Ada luka yang terkoyak di berbagai bagian tubuh. Ada beberapa yang kehilangan kepala. Sungguh, itu sangat menjijikkan. Aku hampir muntah rasanya.
Kent menarik tanganku. Seolah menginstruksiku agar bangkit berdiri kala tatapan teman-teman sekelas kami tertuju padaku. Kecuali yang kehilangan kepala, tentu saja mereka hanya menghadapkan tubuhnya ke arahku dan Kent. Toh, mereka gak punya mata.
"Kita harus pergi!" Kent menggiringku ke luar kelas. Tepatnya ketika teman-teman sekelas kami yang sudah menjadi zombie itu mulai berdiri dan hendak mengejar kami layaknya kami adalah mangsa yang mereka incar.
Di ambang pintu kelas, sempat ada dua zombie yang mengadang kami. Namun, dengan sigapnya Kent menendang tubuh dua zombie itu hingga jatuh terlentang ke lantai.
Koridor. Tak disangka, di sana ada puluhan zombie yang menunggu kami. Oleh sebab itu, kami berlari ke arah lorong sekolah yang bersih dari zombie.
"Cepat pikirkan! Kamu harus memikirkan kata yang tepat sesuai dengan huruf yang ada di telapak tanganmu. Itu kunci agar kita bisa terlepas dari zombie-zombie itu," jelas Kent padaku dengan napas yang terengah-engah.
Di belakang kami, puluhan zombie itu mengejar kami dengan langkah yang sempoyongan.
"Itu huruf awal dan akhir dari sebuah kata dalam bahasa Inggris. Kata itu berhubungan dengan yang kita lakukan sekarang," lanjut Kent.
Aku mulai memikirkannya. Berhubungan dengan yang kami lakukan sekarang? Ayolah otakku, bekerjalah sekarang! Jika tidak, kamu akan menjadi santapan para zombie itu.
Sulit memikirkannya apa lagi para zombie itu semakin dekat dengan kami. Aku jadi panik sendiri.
"Kita akan bersama, berarti kita ...." Kent menggantung ucapannya. Tangannya semakin erat menggenggam tanganku.
"Kita apa?" bodoh, otakku sulit bekerja sekarang. Sesekali aku menoleh ke belakang.
"Ini baru pertama, berarti ...." Kent memberi clue lagi padaku.
"Ini adalah permulaan! Kita baru saja memulainya."
"Iya, bahasa Inggrisnya."
"Beginning? Tidak, tidak, huruf akhirnya adalah N," aku mulai berpikir lagi.
"Begin!" ucapku lantang. Untung saja aku pintar bahasa Inggris.
Tiba-tiba sebuah pintu muncul di depanku. Sepertinya jawabanku benar. Tanganku langsung membuka dan memasuki pintu itu. Membawaku dan Kent ke tempat lain. Suasana pun ikut berubah. Kini, kami berada di sebuah restoran mewah.
Aku bernapas lega. Akhirnya aku terlepas dari kejaran zombie-zombie yang bertampang jelek itu. Sungguh, aku menyesal sudah meminta hal aneh seperti ini pada Kent. Aku tidak tahu kalau zombie ternyata lebih menyeramkan bila dilihat secara nyata.
Dress putih selutut, baru saja aku menyadarinya. Seragam yang aku kenakan ketika di sekolah berganti menjadi dress putih selutut. Pandanganku beralih ke arah Kent yang duduk berhadapan denganku. Saat ini kami menempati sebuah meja yang berada di pojokan restoran.
Setelan jas warna putih, rambutnya tertata rapi ke belakang. Sangat tampan. Kent sangat tampan saat ini. Tatapan teduhnya, juga senyum yang terlukis di wajahnya. Membuat jantungku mulai marathon.
"Kamu cantik sekali malam ini, Amanda," ucapnya dengan suara pelan.
Aku membalas senyumnya, "Kamu jelek banget sih?"
Wajah Kent berubah cemberut kala aku mengatainya jelek. Kentara sekali ia kesal dengan ucapanku. Aku yakin, dia pasti ingin aku balas mengatainya tampan.
"Biarin jelek. Yang penting, kamu suka, 'kan?" Kent mengedipkan matanya narsis.
Aku hanya tersenyum, tanpa menjawab apa pun. Toh, dianya juga tahu kalau aku menyukainya. Lagian, Kent itu pacarku. Tentu saja aku menyukainya. Bahkan lebih dari perasaan suka.
"Amanda," desis Kent dengan tatapan teduhnya. "Aku mencintaimu."
Itulah Kent. Sosok yang sering membuatku senyum-senyum sendiri. Sosok yang mampu membuat pipiku merona. Sosok yang ingin kulihat terus-menerus.
"Aku juga, Kent." Aku menopang daguku dengan kedua tanganku di atas meja.
Dua orang pelayan datang membawa dua piring steak untukku dan Kent. Seingatku, kami belum memesan apa pun. Oh tidak, bagaimana bisa aku melupakan sesuatu? Saat ini, di restoran mewah ini, hanya aku dan Kent yang menjadi pelanggannya. Pulpen yang tidak kuharapkan kehadirannya ada dalam genggamanku. Bukankah artinya aku akan bertemu dengan zombie lagi?
Aku mengalihkan tatapanku ke arah Kent. Lalu bertanya, "Apakah kita akan bertemu zombie lagi?"
Kent mengangguk, "Tersisa lima pintu untuk pulang."
"Berarti akan bertemu dengan zombie lima kali lagi, begitu?"
Kent mengangguk. Bahuku merosot. Saat ini, tidak ada semangat sedikit pun dalam diriku. Akan lebih baik jika aku berkencan dengan Kent saja di restoran ini tanpa ada gangguan dari siapa pun. Jika bisa mengembalikan waktu, aku tidak akan meminta agar dipertemukan dengan para zombie. Aku sangat menyesal. Ya, penyesalan selalu datang terlambat.
Tanpa kendali dariku, tanganku bergerak sendiri lagi. Menorehkan tinta pulpen di telapak tangan kiriku. Kali ini huruf D dan G yang tertulis di sana.
Aku mengedarkan pandanganku. Jika sudah ada dua huruf itu. Berarti para zombie sialan itu sudah ada. Sembari menunggu kedatangan zombie, lebih baik aku mengisi perutku yang berdemo meminta makanan ini terlebih dahulu. Aku terkesiap. Steak yang ada di piring depanku berubah menjadi belatung-belatung. Refleks, aku menepis piring itu hingga terjatuh ke lantai. Menimbulkan bunyi yang begitu keras.
Bagus. Bunyi keras itu berhasil memancing para zombie keluar. Aku bangkit berdiri diikuti oleh Kent yang juga menatap ke arah yang sama denganku. Yaitu, pelayan yang tadinya mengantarkan makanan untuk kami sudah berubah menjadi zombie. Dengan tangan yang memegang sepiring belatung. Berjalan pelan-pelan dari belakang restoran ke arahku dan Kent.
"Lepasin itu!" titah Kent menunjuk ke arah kakiku.
"Ah, iya." High heels sangat menggangu ketika seorang wanita hendak berlari. Akan lebih baik jika berlari dengan kaki telanjang saja. Apalagi pada waktu genting seperti saat ini.
Kami berlari ke luar restoran. Mataku terbelalak. Ada puluhan zombie yang menunggu kami di luar sana. Makanya kami berbalik arah, kembali memasuki restoran. Begini, di depan restoran ada puluhan zombie yang tidak sempat aku hitung berapa jumlahnya. Sedangkan di dalam restoran hanya ada dua zombie. Jadi, lebih baik kami mengurusi dua zombie itu ketimbang puluhan zombie.
"Kamu tetap harus memikirkan kata kunci untuk terlepas dari para zombie itu," Kent mengingatkanku.
"Apa hanya aku yang memikirkannya?"
"Iya, aku hanya bisa memberimu clue saja. Mengerti?"
Aku mengangguk. Otakku mulai berpikir, sedangkan langkahku tetap mengikuti ke mana pun langkah Kent membawaku. Berpapasan dengan dua pelayan yang sudah menjadi zombie itu, Kent melempari kursi ke arah dua zombie tersebut. Mencegah zombie itu agar tidak menyerang kami dari belakang.
Kutolehkan kepalaku ke belakang. Zombie yang tadinya menunggu kami di luar sana, kini ikut masuk ke dalam restoran. Kent membuka pintu sebuah ruangan. Dengan cepat kami memasuki ruangan itu yang ternyata adalah dapur restoran ini. Aku bernapas lega sembari bersandar di pintu dapur yang berhasil kami tutup.
Tidak. Aku keliru, kami ada dalam bahaya sekarang. Karena di dalam dapur ada zombie lain yang lebih banyak jumlahnya. Yaitu zombie-zombie berseragam pelayan, yang sedang menyantap daging-daging segar. Ketika menyadari kedatangan kami, zombie itu seperti mendapat makanan baru untuk disantap.
Aku membuka kembali pintu dapur. Tentu saja itu karena di sini bukanlah tempat yang aman untuk bersembunyi dari para zombie kelaparan itu. Kuikuti langkahnya Kent yang menggiringku ke arah lorong kecil di samping dapur.
"Cepat Amanda, pikirkan!"
Aku gelisah. Keringat mulai membanjiri pelipisku. Telapak kakiku jadi sakit karena tidak beralas apa pun.
"Di sini, apa yang kita lakukan sebelum bertemu zombie?" tanya Kent.
"Kita ...." Ayolah, pikirkan Amanda. Zombie itu semakin dekat. Kaki ini sudah tak sanggup berlari lagi.
Oh, no. Lorong itu buntu. Para zombie semakin dekat menghampiri. Sebelum bertemu zombie, kami berkencan? Hurufnya D dan G.
Berarti, "Dating!"
Akhirnya, pintu yang kuharapkan kehadirannya itu muncul di depanku. Tidak mengulur waktu lagi, aku dan Kent langsung membuka dan memasuki pintu itu.
Rasa lega menghampiriku. Aku mengatur napasku. Suasana sudah berubah. Kini, aku berada di depan sekolahku. Hari sudah sore. Langit tertutupi oleh gumpalan awan yang redup. Sepertinya sebentar lagi hujan akan membasahi kawasan ini. Kupalingkan wajahku ke samping kanan dan kiri bergantian. Tidak ada Kent di sampingku. Entah ke mana ia menghilang tiba-tiba.
Aku memicingkan mataku ke arah halte yang tidak jauh dariku. Tidak salah lagi. Mataku berhasil mendapati kehadiran Kent. Rasa nyeri menjalar di hatiku kala aku menyadari Kent tidak sendiri. Di sana, ia bersama seorang cewek yang juga sebaya dengan kami. Penyebab rasa nyeri ini hadir, ketika Kent mengangkat tangannya dan menyentuh pipi cewek lain. Apakah dia sedang selingkuh sekarang?
Kupangkas jarak antara kami. Membuat dua orang yang tertangkap basah sedang bersama itu menoleh ke arahku.
"Wah, ternyata kamu punya cewek lain, ya?" tanyaku sarkastis pada Kent.
Kent menjauhkan tangannya dari wajah cewek itu. Ia mendekat ke arahku, seolah ingin menjelaskan sesuatu padaku.
"Kalau kamu gak suka lagi sama aku ya bilanglah! Dasar pengecut! Beraninya cuma di belakang saja," ketusku bersamaan dengan turunnya hujan.
Aku melenggang pergi. Menerobos hujan yang perlahan-lahan menjadi semakin deras. Dadaku sesak rasanya. Air mataku menerobos ke luar. Untung saja hujan turun, sedia menghapus air mata ini.
Langkah kakiku kupercepat. Pergi ke tempat di mana aku bisa menyendiri. Namun, sebuah tangan melingkar di pinggangku. Menghentikan langkahku yang cepat ini.
"Kamu salah paham, Amanda. Dia hanya temanku." Aku tahu ini suara Kent.
Dia memelukku dari belakang dengan erat. Sebisa mungkin aku mencoba melonggarkan tangannya dari pinggangku. Namun, aku tidak berhasil. Bagaimanapun kekuatannya lebih besar dariku.
"Aku jelas-jelas lihat kamu pegang wajah cewek itu," ucapku dengan serak, mampu mengalahkan suara hujan.
"Dia nangis. Terus, aku hapus air matanya," jelas Kent.
Apa kamu rela bila pacarmu menghapus air mata cewek lain tepat di depanmu? Jika tidak rela, maka kita sama. Bahkan aku sangat tidak rela ia menghapus air mata cewek lain. Kecuali adik atau kakak kandungnya sendiri.
"Kalau begitu, lepasin tangan kamu dariku! Terus pergi saja ke sana! Tuh cewek masih nangis. Hapus lagi air matanya," ketusku.
"Enggak, Amanda. Bagaimana mungkin aku meninggalkanmu saat kamu juga sedang menangis sekarang? Kumohon, mengertilah!"
"Pergi saja sana? Kita akhiri saja hubungan ini!"
"Maaf, kamu salah paham, Amanda. Jangan emosian, kita bisa selesaikan ini baik-baik. Jangan pernah berpikir untuk mengakhiri hubungan ini."
Saat ini, aku benar-benar dikuasai oleh emosi dan rasa kesal yang begitu luar biasa pada Kent. Kukerahkan kekuatanku, kucoba lepaskan tangannya Kent dari pinggangku.
Berhasil. Tangan Kent berhasil kulepaskan bahkan kujauhkan dari pinggangku. Aku berlari menjauh dari Kent. Baru sepuluh langkah, aku berhenti. Pulpen itu muncul. Berarti, akan ada zombie sebentar lagi. Beristirahat saja tidak sempat. Lah, sebentar lagi makhluk-makhluk menyeramkan itu muncul. Apa mungkin para zombie itu begitu merindukanku?
D dan E. Itulah tulisan yang tertulis di telapak tangan kiriku. Padahal tanganku basah. Tapi, tinta pulpen itu berfungsi dengan baik.
"Kamu sudah siap?" tanya Kent tiba-tiba.
Pakaian dan rambutnya Kent basah kuyup. Begitu juga denganku. Aku menatapnya tajam, tak berniat menjawab pertanyaannya. Toh aku lagi kesal padanya.
"Kamu gak bakalan bisa tahu kata yang tepat tanpa clue dariku," ucapnya.
"Aku lagi gak mau ngomong sama kamu."
Kent tidak membalas ucapanku lagi. Hanya sebuah senyuman yang ia tujukan padaku. Senyuman itu, bukan senyum yang biasa aku lihat. Ada rasa sedih yang terselip di sana.
Aku memang tidak menangis lagi. Tapi, melihat senyumnya Kent yang berbeda dari biasanya itu layaknya sedang memancingku untuk kembali menangis. Kualihkan tatapanku ke arah jalan raya yang ada di hadapanku. Kendaraan yang tadinya berlalu-lalang kini berhenti melaju. Di bawah guyuran hujan ini. Aku dipertemukan dengan para zombie lagi untuk ketiga kalinya.
Dari mobil-mobil yang berhenti itu, keluarlah zombie. Oleh sebab itu, aku langsung berlari menjauh dari mereka. Begitupun dengan Kent yang berlari di belakangku. Setelah ia sejajar denganku, tangannya hampir saja menggenggam tanganku jika saja aku tidak langsung menjauhkan tanganku darinya. Kentara sekali Kent kecewa padaku. Salah sendiri, siapa suruh pegang wajah cewek lain?
D dan E. Apakah ada hubungannya dengan kemarahanku pada Kent?
"Apa yang kita lakukan saat ini, ada hubungannya dengan kata kunci," ucap Kent layaknya bisa membaca pikiranku.
Aku marah pada Kent karena ia bersama cewek lain. Lalu aku ... bertengkar dengannya. Ya, bertengkar!
"Dispute!"
Ini adalah durasi tercepat di mana pintu itu muncul dan aku terlepas dari kejaran para zombie.
Sebuah taman yang dipenuhi oleh bunga matahari. Hari yang cerah. Akhirnya aku bisa duduk beristirahat di bawah sebuah pohon di taman ini. Pakaianku tak lagi basah. Suasana hatiku membaik kala melihat warna kuning terang bunga matahari itu. Mungkin ada ribuan bunga matahari di sini. Persis di hadapanku.
Angin sepoi-sepoi menabrak wajahku. Memberikan kenyamanan untukku. Kepala bunga matahari yang besar bergoyang-goyang mengikuti irama angin. Aku memejamkan mataku, menikmati rasa nyaman ini. Hingga sebuah tangan menyentuh pipiku lembut. Membuat mataku kembali terbuka. Menemukan Kent yang tengah menatapku teduh. Seteduh pohon yang menaungi kami.
"Maafin aku, ya? Aku gak bakalan dekat-dekat lagi sama cewek lain," ucap Kent.
Aku mengangguk kala melihat ketulusan dari matanya. Ia tersenyum.
"Makasih," ucapnya dengan suara pelan.
"Sama-sama Kent jelek," balasku.
Kent merubah posisi duduknya menjadi bersandar di pohon. Begitupun denganku. Hanya saja aku bersandar di bahunya Kent. Di atas rumput peking, kami menyelonjorkan kaki, lalu memejamkan mata. Harapanku saat ini, waktu tidak berlalu dengan cepat. Aku ingin begini terus. Teruntuk para zombie, jangan kacaukan waktuku bersama Kent. Biarkan kami bersantai seperti ini sebelum kalian datang dan membuat kakiku kelelahan.
Kurang lebih, sepuluh menit kami dalam posisi seperti itu. Hingga kurasakan tanganku menggenggam suatu benda yang kuduga adalah pulpen. Benar saja, setelah membuka mata, benda yang selalu menghilang ketika dua huruf tertulis di telapak tanganku itu kini ada dalam genggamanku. Aku menegakkan badanku. Tanganku menyentuh bahunya Kent, berniat membangunkan Kent yang sepertinya tertidur.
Kelopak matanya Kent terbuka. Ia melihatku sekilas, setelah itu menegakkan badannya dengan sudut bibirnya yang membentuk senyum tipis.
"Kenapa?" Kent bertanya.
Aku tidak menjawab karena pulpen itu mulai menuliskan dua huruf di telapak tangan kiriku. Aku mengernyitkan dahi. B dan K. Kualihkan tatapanku ke arah Kent. Cowokku itu malah menunjuk ke arah bunga-bunga matahari. Aku terbelalak. Jantungku mulai tak karuan. Bagaimana tidak? Bunga-bunga matahari yang tampak indah itu berubah menjadi makhluk-makhluk menyeramkan lagi menjijikkan yang sebelumnya mengejar kami.
Sebelum langkah sempoyongan para zombie itu mendekat, sembari saling bergenggaman, aku dan Kent bangkit berdiri dan berlari menjauh. Wah, aku merasa seperti sedang bermain drama Korea saja.
"Kalau ingin cepat pulang, kamu harus cepat mikir kata yang tepat!" seru Kent memperingatiku.
"Siap Abang Kent jelek!"
Tiba-tiba kakiku tersandung dengan batu. Membuatku terjatuh ke tanah. Genggamannya Kent terlepas. Kulihat ke belakang, ada satu zombie yang sangat dekat denganku.
"Cepat bangun Amanda!" Kent menarik tanganku kala zombie itu hampir saja menyerangku.
Aku berhasil berdiri meskipun kakiku terasa sakit. Kent memaksaku untuk berlari. Jarak para zombie dengan kami jadi semakin dekat. Oleh sebab itu, kami berlari dengan cepat. Di sisi lain, aku memikirkan kata yang tepat.
Sebelumnya kami bertengkar, lalu kami baikan.
"Kita, bersama, setelah bertengkar," ucap Kent dengan napas yang tidak teratur karena berlari.
"Berarti ...." Aku menggantung ucapanku. "Kita kembali?"
Kent mengangguk.
Kembali, berarti Back? Ya, B dan K.
"Back!"
Akhirnya, pintu yang kunantikan terlihat. Setelah ini, tinggal dua pintu lagi yang harus kami lewati.
Mataku berbinar kala aku sudah berada di tempat lain. Berjalan bersisian di jalan kecil yang sepi. Diapit oleh pohon maple yang tumbuh di sepanjang jalan. Warna oranye daun maple itu terlihat begitu indah.
"Apa kita berada di Kanada?" aku bertanya pada Kent. Memastikan kalau dugaanku seratus persen benar.
Kent mengangguk. Aku langsung tersenyum senang.
"Wah, aku belum pernah ke luar negeri! Ini pertama kalinya!" seruku antusias. Aku memang norak, jadi, abaikan saja.
Daun maple itu mulai berguguran. Senyumku semakin mengembang. Daun maple yang mulai berjatuhan itu mengelilingi kami. Kuhentikan langkah kakinya Kent. Berdiri di depan Kent dan menatap ke arah cowokku itu.
"Aku pernah dengar mitos. Katanya, kalau kita kejatuhan daun maple di musim gugur kala bersama pasangan, berarti kita akan menjadi pasangan yang awet," ucapku pada Kent.
"Cuma mitos, 'kan?" Kent melipat kedua tangannya di dada. "Mitos, kenapa harus dipercaya?"
Senyumku memudar, "Iyain aja kenapa sih? Emangnya, kamu gak mau menikah dan hidup bersamaku hingga tua begitu?"
"Bukankah sebentar lagi kita akan bertemu zombie? Bagaimana kalau kamu digigit zombie? Terus kamu jadi santapan para zombie itu."
"Jadi, kamu pengen aku dimakan zombie, gitu?" aku berbalik, berjalan duluan meninggalkan Kent karena kesal. Enak aja tuh cowok. Dia pikir nyawa itu mainan? Huh!
Kent menyamakan langkah denganku. Tangannya bergerak menggenggam tanganku.
"Jangan ngambek dong sayang! Aku cuma bercanda kok."
"Bercanda apanya? Kamu ngeselin, tau gak?"
"Kamu itu, selalu ada dalam keinginanku. Aku ingin hidup bersamamu, dan aku ingin melakukan banyak hal denganmu," jelas Kent yang berhasil membuatku menahan senyum.
Dasar Kent! Dia memang sangat berbakat membuatku luluh padanya.
Daun-daun maple yang berguguran mulai menutupi jalan. Pulpen itu pun muncul. Sangat mengganggu. Aku menghentikan langkahku, begitu pun dengan Kent.
E dan G, huruf yang tertulis.
Kurasakan hawa aneh di sekitarku. Angin kencang menyapu kulitku. Terdengar seperti suara angin puting beliung. Daun-daun maple yang menutupi jalan terangkat. Perlahan-lahan membentuk tubuh manusia. Setelah kuhitung, ada lima tubuh yang terbentuk tepat di depanku. Aku berbalik. Di jalan belakangku, tak tersisa satu pun daun maple lagi.
Daun-daun maple yang membentuk tubuh manusia itu kini menjadi zombie. Hanya lima zombie.
Seperti biasa, aku dan Kent langsung berlari ke arah yang berbeda dengan para zombie.
"Kent, cepat katakan clue-nya!"
"Daun-daun maple berguguran. Tak lagi berada di pohonnya."
Aku mulai berpikir. Sesekali melihat ke belakang. Tubuh lima zombie itu dua kali lebih besar daripada para zombie sebelumnya. Langkahnya pun lebih cepat.
"Kent, aku tidak mengerti!" aku mulai panik. Lima zombie itu sudah sangat dekat.
Kenapa sih langkah mereka jadi begitu cepat? Apakah mereka mengonsumsi makanan yang mengandung energi yang begitu besar?
"Ketika menonton film, kamu akan menontonnya sampai ...." Kent menggantung ucapannya.
"Sampai tamat?"
"Iya-iya."
"Ending!"
Berhasil. Pintu itu muncul. Setelah ini, tersisa satu pintu lagi. Aku sudah tak sabar ingin pulang ke rumah. Aku begitu rindu pada keluargaku.
Mulutku terbuka. Mataku seratus persen tidak salah lihat. Sekarang, aku dan Kent tepat berada di anak tangga paling bawah. Ada begitu banyak anak tangga di depanku. Kurasa, akan lebih baik bila tidak kuhitung saja. Toh, aku tak mau ambil pusing untuk menghitung jumlah anak tangga itu.
Bersama Kent, aku menaiki anak tangga itu. Kala kakiku berpijak di anak tangga ke enam, begitu cepat pulpen itu hadir dalam genggamanku. Bahuku merosot, tanda aku kelelahan dan tidak bersemangat lagi. Seharusnya rasa semangat itu ada dalam diriku, mengingat ini adalah yang terakhir.
S dan E, menjadi dua huruf terakhir yang harus dipecahkan. Kakiku sudah menginjak anak tangga yang ke lima belas. Saat itulah para zombie keluar. Kurasa, para zombie itu bergerak dengan sangat lambat. Dengan begitu, aku tidak perlu cepat-cepat menaiki anak tangga selanjutnya.
Hingga tiba-tiba di anak tangga bawah kami muncul satu zombie yang berhasil meraih tubuhnya Kent. Aku terbelalak, juga panik saat zombie itu menggigit tengkuknya Kent.
"Kent!" aku takut suatu hal yang buruk terjadi padanya.
Kent meringis kesakitan. Tangannya bergerak, mencoba menjauhkan makhluk menjijikkan itu dari tengkuknya. Setelah berhasil, ia menghempaskan tubuh zombie itu ke bawah tangga. Menabrak zombie lain yang sedang menaiki tangga dengan pelan.
"Katakan berpisah dalam bahasa Inggris!" pinta Kent tiba-tiba.
Aku heran. Entah kenapa, ia langsung memberitahukan kata kunci padaku.
"Separate!"
Pintu terakhir muncul. Namun, aku tidak bisa membukanya.
"Apa aku salah?" aku bertanya pada Kent karena kenop pintu tidak juga bekerja.
Kent menggeleng. Ia mengangkat tangannya untuk menyentuh tengkuknya yang sempat digigit oleh zombie. Aku terkejut, tengkuknya Kent berdarah.
"Kent, pasti sakit, 'kan?" aku mulai gelisah.
Kent hanya menunjukkan senyumannya padaku. Lalu tangannya yang ikut berdarah karena menyentuh tengkuknya itu memegangi kenop pintu. Hasilnya, pintu itu terbuka. Apa karena darah itu?
Aku hendak memasuki pintu itu, namun kuhentikan karena Kent tidak juga berpindah dari pijakannya. Untung saja para zombie itu sangat lambat bergerak. Jika cepat, mana mungkin aku mengulur waktu lagi?
"Kamu gak mau pulang?" tanyaku pada Kent.
Kent menatapku hampa, "Maaf, Amanda. Aku tidak bisa ikut pulang."
"Kenapa tidak bisa?"
Kent tidak menjawab. Matanya terus menatapku dalam-dalam. Beberapa detik kemudian, ada air mata yang jatuh dari matanya. Aku kebingungan karenanya.
"Amanda, aku sangat mencintaimu," Kent menangis.
Perlahan-lahan warna kulitnya berubah menjadi gelap. Di wajahnya ada luka yang terkoyak.
"Pulanglah, Amanda!" ucap Kent yang keterakhir kalinya. Hingga tubuhnya terjatuh ke arah para zombie.
"Kent!" teriakku. Aku hendak menuruni tangga. Tidak kubiarkan Kent menjadi santapan para zombie itu. Namun, sesuatu yang berkekuatan tinggi menarikku ke arah pintu. Membawaku ke tempat lainnya.
Mataku terbuka. Seperti baru bangun tidur. Samar-samar aku melihat ruangan serba putih. Tubuhku terbaring, tanganku terasa kaku, sulit digerakkan. Ada selang-selang yang melekat di tubuhku. Seperti orang yang sedang sakit parah di rumah sakit. Apa mungkin aku memang sedang sakit parah?
"Amanda, kamu sudah bangun?" itu suara mamaku.
Ia mendekat ke arahku. Ia menangis haru, lalu ke luar dari ruangan ini untuk memanggil dokter. Dokter yang dipanggil mamaku datang bersama dua orang perawat untuk memeriksaku. Melepaskan selang-selang yang melekat di tubuhku, lalu meninggalkanku bersama mamaku setelah berbicara sebentar dengan mamaku.
"Ma ...." ucapku pelan. Lidahku rasanya kelu. Pelan-pelan kucoba merubah posisiku menjadi terduduk.
"Iya, kamu koma."
"Koma?"
Mamaku mengangguk. Koma? Jadi, aku dikejar oleh para zombie itu hanyalah mimpiku ketika koma?
"Kent di mana, Ma?" aku tidak menemukan Kent di sini. Dia ke mana, sih?
Mamaku terdiam sejenak. Menatapku dengan tatapan sedih, lalu menjawab, "Kalian mengalami kecelakaan, dan Kent sudah pergi."
"Pergi ke mana, Ma?"
"Dia sudah pergi untuk selamanya. Dia meninggal ketika kalian kecelakaan."
"Gak, Mama pasti bercanda, 'kan?"
Kent, meninggal? Apalagi ini? Ini pasti mimpi. Aku menepuk pipiku beberapa kali. Dan ternyata, sakit. Berarti ini adalah kenyataan.
Dadaku rasanya sesak. Aku belum siap mendengar berita buruk seperti ini. Aku belum siap ditinggalkan Kent. Apa ini maksud dari mimpiku? Di mana Kent terjatuh ke arah para zombie dan berpisah denganku.
"Mamanya Kent menitipkan ini untukmu," mamaku menyodorkan komik yang sama dengan yang ada dalam mimpiku ketika koma.
Tangisku pecah. Aku membuka halaman pertama komik itu, halaman tengah, dan terakhir. Isinya sama persis dengan apa yang ada di dalam mimpiku ketika koma. Di halaman terakhir, ada selembar kertas yang terselip. Aku hafal sekali, tulisan yang ada di kertas itu adalah tulisan tangannya Kent.
Aku mulai membaca tulisan itu.
Teruntuk Amandaku yang jelek, kamu mungkin bingung dengan kata kunci yang ada di dalam komik. Jadi, aku sengaja menuliskan maksud dari kata kunci komik itu di kertas ini untukmu. Silakan dibaca nona!
Begin, ketika semuanya dimulai. Katakan saja ini adalah awalnya. Di mana sepasang manusia saling jatuh cinta. Dating, sepasang manusia yang sedang jatuh cinta, pasti memiliki keinginan untuk saling memiliki bukan? Dispute, dalam sebuah hubungan, pertengkaran itu biasa terjadi. Back, berbaikan kembali setelah bertengkar. Ending, setiap awal pasti ada akhir. Separate, saatnya berpisah.
Sekarang, kamu sudah ngerti, 'kan? Oh ya, terima kasih sudah menikmati komik buatanku ini. Aku mencintaimu, nona jelek. Tak apa kupanggil jelek, toh kamu juga sering panggil aku jelek. Biar adil gitu.
Aku menyelipkan kembali kertas itu ke dalam komik, lalu menutup komik itu. Mataku sudah buram karena air mata.
Mulai hari ini, aku akan merindukan Kent.
Mulai hari ini, aku tak dapat lagi melihat senyumnya Kent yang begitu aku suka itu. Kent, sudah meninggalkanku untuk selamanya.
-SELESAI-
Perpisahan karena kematian lebih baik, dari pada perpisahan direbut pelakor. Quotes terakhir kent = yang pernah mantan ucapkan padaku.