Pria itu berjalan menuju jalan
setapak di perbukitan. Angin semilir menemani langkahnya, seolah menjadi petunjuk jalan untuknya. Baginya padang ilalang adalah satu-satunya tempat terbaik di dunia yang berkarat ini. Satu-satunya tempat terbaik untuk menepi dari hiruk pikuk dunia. Satu-satunya tempat terbaik untuk menata kembali hati yang berantakan. Satu-satunya tempat untuk menjauh dari para pemilik mulut-mulut besar di perkotaan. Yang ada hanya, dia dan padang ilalang.
Seperti biasa semuanya selalu terlihat begitu indah. Dari tempatnya berdiri perkampungan masih terlihat mengabur berselimutkan embun. Sejenak ia memejamkan mata. Meresapi desir angin yang mulai mempermainkan rambutnya. Menikmati senandung nyanyian alam yang biasanya bisa menyegarkan kembali sel-sel syarafnya yang layu.
Lambat laun suara itu mulai memenuhi telinganya. Suara berbisik yang terdengar tak jauh dari tempatnya berdiri. Sesat pria itu merasa terusik dan dengan enggan dia membuka mata. Tak jauh dari tempatnya berdiri dia melihat seorang gadis sedang menatapnya dengan saksama.
Pria itu tidak buta, gadis itu jelas terlihat cantik. Gadis itu memiliki mata bulat dengan bulu mata panjang yang lentik, serta hidung mancung dan bibir penuh yang merah merekah. Dalam balutan gaun bermotif bunga-bunga kecil, gadis itu tampak berbeda. Berbeda setengah abad dari zaman mereka berdiri sekarang.
"Jika kamu menyukai ilalang, mungkin saja kamu juga akan menyukaiku. Karena aku serupa ilalang." Gadis itu berkata tersenyum.
"Serupa ilalang?" Tanyanya sedikit merasa tidak nyaman karena gadis itu tiba-tiba muncul dan mengajaknya berbicara tentang ilalang. Sesuatu yang belum pernah dia lakukan dengan siapa pun.
"Ya,, karena aku adalah ilalang yang mencintai sang Angin. Kenapa kamu menyukai ilalang?'' Gadis itu terlihat begitu antusias. Matanya yang bulat terlihat tidak sabar mendengar jawabannya.
''Karena ilalang itu kuat.'
Jawab pria itu.
Gadis itu mendekat, berdiri sejajar dengannya menatap ilalang yang terbentang luas di depan mereka.
''Sekuat apa pun angin menghempaskannya dia tetap berdiri tegak.''
Gadis itu mengatakan persisi seperti apa yang ada dalam pikiran pri itu, sehingga membuat pria itu tercengang begitu lama.
Berdua mereka sama-sama memandang lepas melewati ilalang. Rumah-rumah warga sudah terlihat jelas, bagaikan lego yang disusun sedemikian rupa. Sawah-sawah yang terbentang luas bagaikan karpet yang dihamparkan. Sempurna, sangat sempurna.
''Aku adalah ilalang, ilalang yang mencintai sang Angin. Lalu sang Angin merobohkanku karena aku begitu rapuh, tapi tetap saja aku mencintainya berkali-kali.'' Gadis itu berkata lirih.
Pria itu kemudian sadar, ini bukan hanya sekedar puisi atau pun semacam filosofi, tapi ini soal hati. Soal hati yang hancur berkeping. Soal cinta tanpa syarat. Soal kesetiaan & perkara kesabaran.
"Tapi aku bukan angin, yang akan membuatmu menangis, aku adalah tanah yang akan menjadi sumber kekuatanmu.'' Pria itu berkata, sekalipun dia tidak tahu dari mana ia mendapatkan aliran energi untuk bisa bicara seperti itu. Semua terjadi begitu saja, seperti angin yang lewat di antara celah-celah padang ilalang.
''Apa ini semacam filosofi? Filosofi ilalang?'' Gadis itu tertawa, tawa yang jelas tak mampu menutupi beribu luka di hatinya.
''Jika kamu menganggapnya begitu, tapi itulah kenyataannya. Ilalang itu kuat, dan dicintai, tanah akan selau mencintainya, bahkan disaat sang angin memberinya berkali-kali luka. Selalu saja tanah berusaha untuk menguatkannya agar tak jatuh. Ketika seseorang bersedia melakukan apa saja untukmu, bahkan disaat cintamu masih untuk yang lain. Apa coba namanya, kalau bukan cinta?''
Jawab pria itu.
Gadis itu beranjak dari sisinya, berjalan bagaikan menari di antara rumpun ilalang.
''Tanah akan selalu memberikan segalanya untukmu, cinta, kesetiaan & kesabaran. Kau tak perlu memberiku apa pun kecuali bahagiamu.'' Pria bernama Faiz itu menambahkan, terhanyut dalam suasana merdu nyanyian ilalang.
''Aku ilalang, kamu tanah? Tanah, tanah yang mencintai ilalang?''
Gadis itu bertanya, tanpa menoleh pada Faiz. Mata cantiknya lihai memandangi ilalang di depannya.
Sang gadis kemudian menari bersama ilalang, bersama angin, melebur bersama sebelum sang Angin yang arogan menghempaskannya ke dasar jurang.
''Tapi, aku masih mencintai sang angin.'' Ucap gadis itu.
''Aku akan membantumu meleburkan rasa itu, ilalang hanya perlu mengingat bahwa tanah akan selalu mencintainya selama dunia ini masih utuh.'' Faiz menjawab menuruti kata hatinya
''Apa kita bisa saling menguatkan?''
Faiz melepaskan kameranya. Kali ini dengan berani menatap gadis itu. Mata itu terlihat rapuh, sedikit saja tergores pasti akan roboh tak lagi berkeping tapi menjadi debu.
''Jika kamu mau, kita pasti bisa saling menguatkan.''Faiz tersenyum, setulus-tulusnya senyum yang pernah ia miliki.
''Siapa namamu?'' Tanyanya, untuk pertama kalinya dia mengajak seorang gadis berkenalan setelah bertahun-tahun terpuruk dalam kesedihannya sendiri.
''Inneke, namaku Inneke.'' Gadis itu berjalan, meninggalkan Faiz yang masih menatapnya dari belakang.
''Aku, namaku Faiz.'' Teriaknya penuh semangat.
Inneke menoleh, sesaat dia menatap Faiz dan berkata sebelum berbalik pergi, ''Senang berkenalan denganmu Faiz, kamu bisa menyebutku gadis serupa ilalang.''
Faiz tahu gadis itu sedang tersenyum sama seperti dirinya. Di atasnya langit mulai berubah emas. Gadis itu berlalu pergi, berjalan pulang di antar sang malam. Sementara ilalang meliuk merunduk dipermainkan sang angin yang arogan.
''Aku kembali, aku tanah yang mencintai ilalang.'' Faiz bergumam sendiri, berharap pemilik suara itu kembali muncul. Berhari-hari dia mencari berhari-hari pula dia kecewa. Tak ada satu pun penduduk desa yang mengenal gadis itu.
''Tak ada gadis bernama Inneke di kampung ini.'' Selalu saja jawaban yang sama dan tatapan aneh orang-orang setiap kali dia bertanya tentang Inneke.
Gadis itu menghilang, Gadis serupa ilalang yang diam-diam telah menyentuh hatinya. Gadis serupa ilalang yang datang bagaikan hantu dan menyelusup ke dalam rongga-rongga otaknya.
Hingga suatu hari disaat dia terjebak di tengah derasnya hujan, seorang pria paruh baya mengajaknya untuk singgah sampai hujan reda. Faiz menurut saja, karena memang tidak memungkin baginya untuk pulang.
''Kamu masih mencari gadis bernama Inneke itu?'' Faiz tidaklah heran dengan pertanyaan itu, karena hampir seluruh rumah sudah dia datangi untuk mencari gadis itu. Sudah bukan rahasia di kampung sekecil ini kabar seperti itu akan dengan cepat tersebar.
''Ya.'' Jawab Faiz.
"Sebaiknya kamu menghentikan pencarianmu Nak." Kata pria itu. Dari nada suara pria itu, Faiz menangkap bahwa pertemuannya dengan gadis itu bukanlah hal yang biasa.
''Apa karena dia tak pernah ada?'' Tanya Faiz, perasaan itu telah menyandera hatinya selama berhari-hari.
Tapi Pria itu malah menggeleng mematahkan rantai pengikat pikirannnya. ''Dia pernah ada, tunggu sebentar.'' Pria itu masuk ke dalam kamar dan kembali dengan bingkai foto yang menghitam di tangannya.
''Namanya Inneke.'' Wajah dalam foto itu persis sama dengan Inneke yang pernah dia kenal. Bahkan gaun yang dia kenakan juga sama. Sesuatu yang aneh semakin menghantam pikirannya saat itu juga.
''Inneke, dia kakak perempuanku. Satu ayah, tapi lain ibu. Inneke ibunya orang Belanda dan dia meninggal lima puluh tahun lalu saat umurnya masih lima belas tahun, Dia meninggal bunuh diri, karena tunangannya menikah dengan gadis lain.
''Bapak tidak tahu ada alasan apa kamu mencarinya, Bapak hanya berharap kamu berhenti mencarinya.''
Faiz terdiam, gadis itu benar-benar ada, bukan hanya sekedar bayangan yang hadir dalam pikirannya yang kacau. Inneke terlalu cepat pergi atau hanya dia yang terlalu lama hadir di dunia ini, entahlah.
****
''Aku kembali, aku tanah yang mencintai ilalang.'' Gumamnya sekali lagi. Tak ada jawaban, hanya desir angin yang terdengar. Hanya ada dia & ilalang seperti hari-hari sebelum dia mengenal Inneke. Faiz membuka kameranya, dicarinya lagi gadis itu di antara foto-foto yang dia ambil hari itu. Tidak ada apa pun di sana, selain hamparan padang ilalang dan langit berwarna emas yang menggiurkan.
''Siapa pun kamu, aku akan selalu merindukanmu. Selamanya kamu akan menjadi gadis ilalang dalam hidupku, aku tanah dan kamu ilalang.'' Faiz beranjak, meninggalkan padang ilalang saat batas antara siang dan malam sudah mulai terbuka.
''Esok aku akan kembali lagi.'' Ucapnya ringan, seringan ilalang yang mudah digoyangkan angin.