Read More >>"> PETRICHOR (Letting Go and Moving On) - TinLit
Loading...
Logo TinLit
Read Story - PETRICHOR
MENU
About Us  

"Closure happens right after you accept that letting go and moving on is more important than projecting a fantasy of how the relationship could have been."

-Unknown-


Nathan.

"Nate... "

"Ya..."

"I think I should change my clothes." Ucap Anna saat ia melihatku menjemputnya dengan motor vespa. Setelah berkali - kali datang ke rumahnya setiap hari, Anna akhirnya mengiyakan ajakanku pagi ini. Dan siang ini, aku akan melakukan berbagai cara agar kamu tidak menyesal telah mengiyakan ajakanku, Ann.

Aku tersenyum melihat Anna yang tampak kaget dengan vespa yang terparkir di di depan pagar rumah.

"I think so, Ann." Balasku.

Anna berbalik masuk ke dalam rumahnya untuk mengganti bajunya. Sebelumnya, ia mengenakan dress selutut yang di padukan dengan cardigan warna pastel dan wedges, she looks adorable, namun sayangnya aku membawa scooter dan membuatnya harus berganti baju. Ia keluar lagi dengan t-shirt warna putih, celana jeans, cardigan warna pastelnya tadi dan flat shoes.

Anna.

Okay, he's just different person, aku membatin saat berjalan keluar kamar. Di teras depan, aku melihat Nathan sedang berbincang dengan Papa. Sesekali mereka tertawa, seolah mereka sudah saling mengenal lama. Untuk pertama kalinya, aku melihat Papa bisa seakrab ini dengan temanku yang datang ke rumah. Meski aku tahu, Papa mungkin sudah mengenal Nathan sebelumnya.

Papa adalah orang yang sibuk dan sering bepergian ke luar kota sehingga jarang sekali di rumah. Hanya saja sejak menjelang pensiun, Papa lebih banyak meluangkan waktu bersama Mama di rumah. Sehingga sejak dulu, jarang sekali Papa berakraban dengan teman - teman yang datang ke rumah. Apalagi, Papa memiliki karakter yang tegas dan itu sangat kentara di wajahnya, sehingga sebagian teman - temanku yang datang ke rumah segan padanya.

"Ann sudah siap?" Nathan tiba-tiba menoleh ke arahku yang ku jawab dengan senyum dan anggukan.

"Pa, saya ajak Anna jalan-jalan dulu ya." Nathan meminta ijin pada Papa.

"Ah iya. Jangan pulang malam-malam ya." Papa menepuk pundak Nathan seraya tersenyum.

"Siap, Pa. saya akan jaga Anna dengan baik." Jawab Nathan dengan senyumnya yang lebar.

Aku tersenyum melihat pemandangan di depanku. Entah kenapa ada sebuah kesenangan yang merasuki hatiku. Mungkin karena melihat Papa tersenyum begitu lebar. Setelah berpamitan pada Papa, aku mengikuti Nathan ke luar pagar. Namun sebelum keluar pagar, aku menyempatkan untuk memeriksa handphoneku apabila ada pesan dari Harrys. Dan hasilnya adalah Big Zero. Harrys belum menghubungiku sama sekali sejak ia berpamitan ke Bali, bahkan nomor handphonenya tidak aktif. Aku memasukkan handphone ke dalam tas dengan perasaan kecewa.

"Ini, Ann." Nathan mengulurkan helm padaku.

Aku menerimanya dan memakainya. Sudah sangat lama sekali aku tidak memakai helm dan naik motor. Sejak bersama Harrys, rasanya hampir tidak pernah merasakan udara di luaran. Aku selalu pergi dengan mobil dan kalaupun ke luar, Harrys hanya mau pergi ke tempat - tempat yang privat dan tertutup, kecuali jika kami berada di luar negeri. Aku hampir melupakan bagaimana rasanya tersengat panas matahari Jakarta ataupun bau asap motor. Dan sekarang, pria yang berada di depanku ini, tanpa ragu-ragu, ia langsung mengajakku untuk naik vespa.

Vespa yang dikendarai Nathan memang bukan vespa butut, melainkan scooter yang cantik dan klasik. Warnanya orange dan ada segaris warna putih. Dilihat dari coraknya, vespa ini mirip dengan ikan nemo. Dan Nathan memakai helm vintage yang ada kacamata di bagian depannya.

"Kaget ya Ann gue bawa scooter?" ucap Nathan saat ia mulai melajukan vespanya keluar perumahan.

Aku tertawa kecil. "Lumayan kaget karena udah lama enggak naik motor."

"Jadi tebakan gue bener dong kalo elo enggak pernah naik motor lagi, jadinya tadi gue iseng aja bawa scooter." Cerita Nathan sambil terkekeh.

"Ouw, really? So you've just tested me?" balasku dari boncengan.

"Enggak juga sih Ann. Gue cuma pengen ngajak elo merasakan nikmatnya jalan-jalan di Bandung naik motor. Elo kan udah lama enggak di Bandung, jadi sayang aja kalo jalan-jalannya naik mobil. Emang elo enggak bosen tiap hari di dalam mobil terus?"

Aku tertawa mendengar pertanyaan Nathan. Ia tahu apa yang aku rasakan tentang betapa bosannya terkurung dalam sangkar yang tidak banyak memberikan kebebasan.

"Scooter kesayangan elo?" Aku mencoba mengalihkan pembicaraan.

"Iya. Namanya Nemo. Gue kalo jalan-jalan di Bandung sering naik ini." Jawab Nathan.

"Ooh, pantes warnanya mirip ikan kembung." Sahutku setengah berteriak karena jalanan cukup ramai. Dan karena naik motor, kami bebas menyelip diantara mobil - mobil yang berjajar di jalanan.

"Elo enggak apa-apa kan Ann gue ajak kena debu dan panas-panasan gini?" Nathan tampak khawatir saat mendengarku batuk - batuk karena terkena asap mobil.

"Nggak apa-apa kali, Nate. Gue kan bukan vampir yang takut kena panas." Jawabku dengan suara serak.

"Kita langsung ketemu anak-anak gue aja ya?" tanya Nathan yang membuatku teringat tentang pertanyaan-pertanyaan di kepalaku. Anak yang disebut Nathan sedari kemarin masih menjadi misteri bagiku. Dan kali ini, ia menyebutnya dengan "anak-anak". Memangnya dia punya anak berapa? Aku semakin bertanya-tanya dalam hati.

Sudah satu jam lebih perjalanan kami tempuh hingga sampai di pinggiran kota Bandung, tepatnya di daerah Lembang. Vespa yang Nathan kendarai memasuki sebuah pelataran rumah besar dengan halaman yang sangat luas. Ciri khas rumah lama. Aku turun dari vespa saat Nathan mematikan mesin vespa.

"Kak Nathan!!" teriak seseorang dari dalam bangunan rumah.

Nathan menoleh dan melambaikan tangannya. Wajahnya langsung sumringah saat melihat gadis kecil yang berlari - lari menujunya. Saat di depannya, Nathan langsung memeluk gadis kecil yang tidak kalah sumringahnya dengan Nathan. Sementara aku hanya bisa melihat pemandangan itu dengan senyum kecut karena masih tidak bisa memahami arti dari pemandangan di depannya ini.

Beberapa saat kemudian, beberapa anak seusia dengan gadis itu ikut berhamburan keluar dari bangunan rumah. Semuanya berlari ke arah Nathan dengan senyum sumringah. Seketika, Nathan sudah langsung diserbu oleh hampir 15 anak kecil. Anak-anak ini seperti semut yang sedang melihat gula ketika melihat Nathan. Dan akhirnya, Aku mengerti siapa yang dimaksud anak oleh Nathan. Rumah ini adalah panti asuhan yang selalu Nathan datangi saat ia berada di Bandung dan dari apa yang aku dengar dari pembicaraan mereka, Nathan ternyata sering menginap di sini untuk menemani anak-anak ini tidur sembari membaca dongeng. Di dalam hatiku terbersit kekaguman pada pria yang tidak pernah berhenti tersenyum saat berada di sekeliling anak - anak ini.

"Anna, sini." Nathan menarik tanganku dan mengenalkanku pada anak - anak yang berkerumun di sekitarnya.

"Adik-adik, kenalin ini namanya Kak Anna. Cantik kan?"

"Hai." Aku tersenyum menyapa anak - anak yang langsung berebut untuk bersalaman.

"Yuk.. yuk kita masuk."

Mereka mengikuti ajakan Nathan untuk masuk ke dalam rumah. Beberapa dari mereka minta digandeng oleh Nathan, sementara beberapa langsung menarik tanganku dan mengajakku masuk. Aku benar - benar merasa diterima di antara anak-anak ini.

Anak-anak ini semuanya begitu manis dan baik. Mereka juga cepat akrab dengan orang baru seperti aku. Dan saat aku membacakan dongeng, mereka pun mendengarkannya dengan baik. Sebenarnya, ini adalah pengalaman pertama ku berada di depan anak - anak sebanyak ini, apalagi membacakan dongeng untuk mereka. Aku mencoba untuk menggendong salah satu anak yang masih balita dan menyuapinya saat makan siang. Aku seperti merasakan menemukan dunia yang baru saat bertemu anak - anak ini. Dan semua penat yang ku rasakan berangsur menghilang

"Ann, lo nggak capek gendong Karen? Sini biar gue yang gantiin."ucap Nathan saat melihatku menggendong Karen, balita yang sedari tadi terus menempel padaku.

"Nggak apa-apa Nate. Nanti dia bangun." Jawabku.

"Sini mbak, biar saya saja yang gendong." Seorang pengasuh panti asuhan menawarkan untuk menggendong Karen. Karena dipaksa, akhirnya aku menyerahkan Karen pada pengasuh panti asuhan yang kemudian membawanya ke kamar.

"Ayo kita pulang, Ann." Ajak Nathan.

"Anak-anak?"

"Mereka tidur. Udah pamitan juga kok ke ibu panti." Jawab Nathan.

Aku pun mengikuti Nathan berjalan menuju vespa yang terparkir di halaman. Jam tangannya sudah menunjukkan pukul 3 sore. Tidak terasa, ia sudah 4 jam berada di rumah ini. Rumah yang sangat nyaman dan menyenangkan karena begitu banyak tawa anak-anak di sini.

Nathan menyalakan mesin vespanya saat aku sudah duduk di boncengan.

"Kita main ke kebun teh dulu ya." Ajak Nathan saat vespa sudah berjalan keluar halaman rumah.

"Di mana?"

"Dekat sini kok. Tempatnya bagus."

Nathan menjalankan vespanya di jalan yang berbeda dengan saat mereka berangkat tadi. Karena seperti yang ia katakan tadi, ia mau mengajak ke kebun teh dulu.

Hanya butuh waktu 15 menit saja untuk sampai di hamparan hijau yang sangat indah ini. Aku turun dari boncengan motor dan menarik napas dalam-dalam. Rasanya menyenangkan sekali berada di sini.

Nathan.

Melihat Anna tersenyum selebar itu, ada kegembiraan yang mencuat dari dalam hatiku. Saat pertama kali melihatnya dulu di pesta, ia tampak kecewa dan pertemuan kedua, aku melihatnya menangis meski ia berusaha menutupinya dariku. Dan saat kali ini, aku melihatnya tersenyum, aku berjanji pada diriku sendiri bahwa senyum itu akan tetap di situ.

Klik. Aku memotret Anna untuk mengabadikan senyumnya yang indah.

"Kalo mau ngambil foto bilang dong Nate, kan gue bisa siap-siap." Ucapnya meski pandangannya masih tertuju pada hamparan hijau di depan sana.

"Elo tetap cantik kok, mau siap atau enggak. Yuk sambil jalan." Ajakku.

Anna mengikuti langkah ku di sampingku. Kami berdua berjalan di jalan setapak di antara kebun.

"Oh iya, terima kasih ya udah ngenalin ke anak - anak manis tadi." Ucap Anna.

"Gue senang kalo elo seneng berada di sana, Ann. Kapan-kapan kita ke sana lagi." Balasku.

"Elo kok bisa kenal dengan mereka, Nate?"

"Panjang ceritanya, Ann. Intinya sih anak-anak itu mengenalkan gue pada yang namanya bersyukur." Jawabku. Maafkan aku Ann, yang tidak bisa menceritakannya padamu tentang seseorang yang mengenalkanku pada mereka. Seseorang yang pada akhirnya memilih pergi. Itulah kenapa, aku tidak ingin mengungkit masa lalu pahit itu lagi pada siapapun.

"Gue denger elo cuti seminggu di Bandung ya?" tanyaku mengalihkan pembicaraan.

"Yap."

"Sebenarnya gue pengen ngajak elo tiap hari jalan - jalan Ann sejak beberapa hari yang lalu, biar elo enggak hibernasi terus di rumah. Tapi lusa gue mesti ke Surabaya buat ngecek lokasi kafe dan elo mesti balik ke Jakarta."

"Mau buka cabang di sana?"

"Udah ada sih, cuma ada yang nawarin buat buka lagi aja. Katanya tempatnya bagus dan pasarannya cocok."

"Kerjaan elo enak kali ya, no rules."

"There must be rules in any job, Anna. Cuma kalo gue, aturan mainnya gue yang buat." Aku tersenyum lebar. "Kerjaan elo kan juga enak. Sering diajak jalan-jalan sama bos lo kan? Dan kalo bos lo di luar negeri, elo bisa cuti selama ini." Lanjutku lagi.

"Lo nyindir ya?" Anna menatap tajam padaku dan membuatku tahu aku baru saja melakukan kesalahan dengan kata-kataku.

"Sorry Ann, gue sama sekali nggak bermaksud buat nyindir atau apa. Gue bener-bener minta maaf." Aku langsung meminta maaf padanya.

Anna hanya membalas dengan tersenyum meski sedikit dipaksakan.

Matahari mulai bersemu merah dan langit akan beranjak gelap sebentar lagi. Aku menyalakan mesin scooter dan mulai memacunya kembali ke Bandung.

                                                -00-


Anna.

Aku duduk menatap bayangan diriku di cermin kamarku yang cukup besar. Dari balik kaca, aku melihat bayangan seorang wanita berkulit kuning setengah kepucatan dengan rambut berwarna hitam legam panjang hingga separuh punggung dan juga mata yang bulat berwarna coklat.

Bukannya aku sedang mengagumi diriku sendiri atau bagaimana, aku hanya sedang menerka-nerka lagi apa yang membuat Harrys begitu takut untuk mengenalkanku pada kedua orang tuanya. Pikiran itu terus mengerubungi otakku dengan berbagai macam prasangka yang sulit aku terima. Hal terburuk yang pernah muncul dalam prasangkaku adalah Harrys telah dijodohkan dengan seseorang yang tidak pernah aku tahu.

I-phone ku berbunyi dan membuyarkan lamunanku. Aku meraihnya saat melihat nama Harrys terpampang di layar.

"Iya, Rys?"

"Anna, bisakah kamu ke luar ke balkon kamarmu?"

Pada awalnya aku tidak bisa memahami maksud ucapan Harrys, namun kemudian aku tersadar dan langsung berlari menuju balkon kamar. Mataku mencari-cari di luar sana dan aku menemukan Harrys berdiri di depan pagar. Ia menatapku, tersenyum dan melambai padaku. Senyum itu selalu membuatku nyaman melihatnya. Aku balas tersenyum padanya dan melambaikan tangan.

"Can you just come here and hug me please? I'm missing you so much Anna." Harrys berucap lagi melalui telepon.

Aku berbalik arah ke luar dari kamar dan berlari menuruni tangga menuju pintu depan. And here I am now, in front of this handsome guy with his lovely smile. Aku langsung memeluk Harrys dengan sangat erat. Yap, I'm definitely missing you too, Harrys. Aku merasakan Harrys juga memelukku dengan begitu eratnya. Ia mencium keningku dan memelukku lagi. Entah ada apa dengannya. Cara ia bersikap sekarang seolah ia sudah bertahun - tahun tidak bertemu denganku.

Tanganku mengendur dan melepaskan pelukan. Mataku menatap mata Harrys yang juga menatapku. Kami berdua beradu pandang cukup lama. Mungkin hati kami sedang berbicara satu sama lain. Dan yang aku lihat dari matanya adalah kesedihan yang dalam. Aku mencoba mencari - cari kesedihan apa yang sedang ia simpan dariku.

"Ayo kita masuk, Rys." Aku mengajak Harrys masuk ke dalam rumah. Tangannya tiba-tiba merangkul pundak. Ia benar-benar bersikap seperti tidak ingin melepaskanku.

Saat di ruang tamu, aku melihat Papa sedang menatapku dengan penuh tanya. Aku menangkap pertanyaan Papa yang paling kentara adalah kenapa Harrys tiba - tiba datang ke rumah.

"Papa." Ucapku pelan.

Harrys melepaskan pelukan dan berjalan mendekati Papa. Ia mengulurkan tangannya untuk menjabat tangan Papa.

"Apa kabar Om?" tanya Harrys.

"Baik. Kamu apa kabar? Lama tidak datang kesini." Ucap Papa berbasa-basi.

Aku menghela napas lega saat aku melihat Papa menutupi kekecewaannya pada Harrys. Papa tahu persis apa yang membawaku pulang ke rumah seminggu ini. Siapa orang tua yang tidak akan tahu ada yang salah dengan anaknya saat mereka melihat anaknya pulang dengan mata yang bengkak karena menangis semalaman.

"Iya Om. Saya sedang banyak pekerjaan dan harus bolak-balik ke luar negeri." Jawab Harrys.

"Pantas Anna jadi sering pulang sekarang." Papa menyindir Harrys dengan halus dan ia menutupinya dengan tawa kecilnya.

Harrys hanya tersenyum. Dari matanya, aku bisa melihat Harrys merasakan sindiran Papa.

"Om, kalau boleh saya mau mengajak Anna balik ke Jakarta malam ini." Ucap Harrys tiba-tiba.

Lagi-lagi Harrys memutuskan sesuatu tanpa bertanya dulu padaku. Dan lagi, aku juga tidak bisa berbuat apa - apa selain menurutinya.

"Bukannya besok masih hari Minggu? Dan ini juga sudah pukul 10 malam" Papa tampak keberatan.

Aku mencoba menengahi, " Ada pekerjaan yang harus aku dan Harrys siapkan untuk senin, Pa. Boleh ya aku balik sekarang?"

"Ya sudah terserah kalian." Ucap Papa lalu berbalik masuk ke dalam dan meninggalkanku juga Harrys di ruang tamu.

"Tunggu ya Rys. Aku siap-siap dulu." Ucapku sebelum berlalu menuju kamar dan berkemas.

Tidak banyak barang yang aku bawa kemarin karena masih banyak juga pakaianku di rumah ini. Aku hanya membutuhkan waktu lima belas menit untuk berganti baju dan mengemasi barangku.

Saat jam dinding menunjukkan pukul 11 malam, aku dan Harrys sudah berada di dalam mobil menuju Jakarta. Tidak banyak kata yang Harrys ucapkan di dalam mobil, ia hanya menggenggam tanganku sembari menyetir. Aku hanya sempat bertanya satu hal selama perjalanan, kenapa ia harus menyetir malam - malam hanya untuk menjemputku. Dan ia menjawab karena ia sangat merindukanku hingga ia tidak bisa jika harus menunggu besok pagi. Jadi sesampainya ia di Jakarta tadi sore, ia langsung berangkat ke Bandung untuk menjemputku.

                                                -00-

 

How do you feel about this chapter?

0 0 0 0 0 0
Submit A Comment
Comments (0)

    No comment.

Similar Tags
HEARTBURN
342      247     2     
Romance
Mencintai seseorang dengan rentang usia tiga belas tahun, tidak menyurutkan Rania untuk tetap pada pilihannya. Di tengah keramaian, dia berdiri di paling belakang, menundukkan kepala dari wajah-wajah penuh penghakiman. Dada bergemuruh dan tangan bergetar. Rawa menggenang di pelupuk mata. Tapi, tidak, cinta tetap aman di sudut paling dalam. Dia meyakini itu. Cinta tidak mungkin salah. Ini hanya...
G E V A N C I A
830      456     0     
Romance
G E V A N C I A - You're the Trouble-maker , i'll get it done - Gevancia Rosiebell - Hidupnya kacau setelah ibunya pergi dari rumah dan ayahnya membencinya. Sejak itu berusaha untuk mengandalkan dirinya sendiri. Sangat tertutup dan memberi garis keras siapapun yang berniat masuk ke wilayah pribadinya. Sampai seorang cowok badboy selengean dengan pesona segudang tapi tukang paksa m...
Cinta Aja Nggak Cukup!
4714      1514     8     
Romance
Pernah denger soal 'Triangular theory of love' milik Robert Sternberg? The one that mentions consummate love are built upon three aspects: intimacy, passion, and commitment? No? Biar gue sederhanakan: Ini cerita tentang gue--Earlene--dan Gian dalam berusaha mewujudkan sebuah 'consummate love' (padahal waktu jalaninnya aja nggak tau ada istilah semacam itu!). Apa sih 'consummate love'? Penting...
Sosok Ayah
859      469     3     
Short Story
Luisa sayang Ayah. Tapi kenapa Ayah seakan-akan tidak mengindahkan keberadaanku? Ayah, cobalah bicara dan menatap Luisa. (Cerpen)
Slap Me!
1303      588     2     
Fantasy
Kejadian dua belas tahun yang lalu benar-benar merenggut semuanya dari Clara. Ia kehilangan keluarga, kasih sayang, bahkan ia kehilangan ke-normalan hidupnya. Ya, semenjak kejadian itu ia jadi bisa melihat sesuatu yang tidak bisa dilihat oleh orang lain. Ia bisa melihat hantu. Orang-orang mengganggapnya cewek gila. Padahal Clara hanya berbeda! Satu-satunya cara agar hantu-hantu itu menghila...
Trasfigurasi Mayapada
143      102     1     
Romance
Sekata yang tersurat, bahagia pun pasti tersirat. Aku pada bilik rindu yang tersekat. Tetap sama, tetap pekat. Sekat itu membagi rinduku pada berbagai diagram drama empiris yang pernah mengisi ruang dalam memori otakku dulu. Siapa sangka, sepasang bahu yang awalnya tak pernah ada, kini datang untuk membuka tirai rinduku. Kedua telinganya mampu mendengar suara batinku yang penuh definisi pasrah pi...
Milikku
350      228     2     
Short Story
Menceritakannya mudah, Kamu mengkhianati, aku tersakiti, kamu menyesal dan ingin kembali. Mudah, tapi tidak dengan perasaan setiap kali kau ada. Hati ini bimbang, dan sulit bagiku untuk menahannya agar tidak tumbang. ~ *'Soy' dalam bahasa Spanyol memiliki arti yang sama dengan kata 'My'.
Begitulah Cinta?
15268      2193     5     
Romance
Majid Syahputra adalah seorang pelajar SMA yang baru berkenalan dengan sebuah kata, yakni CINTA. Dia baru akan menjabat betapa hangatnya, betapa merdu suaranya dan betapa panasnya api cemburu. Namun, waktu yang singkat itu mengenalkan pula betapa rapuhnya CINTA ketika PATAH HATI menderu. Seakan-akan dunia hanya tanah gersang tanpa ada pohon yang meneduhkan. Bagaimana dia menempuh hari-harinya dar...
Here We Go Again
595      319     2     
Short Story
Even though it hurt, she would always be my favorite pain.
Kulacino
362      232     1     
Romance
[On Going!] Kulacino berasal dari bahasa Italia, yang memiliki arti bekas air di meja akibat gelas dingin atau basah. Aku suka sekali mendengar kata ini. Terasa klasik dan sarat akan sebuah makna. Sebuah makna klasik yang begitu manusiawi. Tentang perasaan yang masih terasa penuh walaupun sebenarnya sudah meluruh. Tentang luka yang mungkin timbul karena bahagia yang berpura-pura, atau bis...