Read More >>"> Love after die
Loading...
Logo TinLit
Read Story - Love after die
MENU
About Us  

Hembusan angin malam mengelilingi jalan raya,menyeruak hingga ke sudut-sudut jalanan. Lampu lalu lintas tetap berdiri tegak dengan sorot kuning yang menyala hidup-mati. Mobil sedan berwarna hitam melaju kencang malam itu,melewati satu persatu lampu lalu lintas yang mencoba menghentikanya dengan sorot merahnya. Latifa memukul setirnya keras. Lalu mengusap air mata yang berurai di pipinya. Malam itu latifa menangis,dan melampiaskanya di jalanan. Dia menghembuskan nafas panjang, lalu mengangkat kepalanya, latifa tidak menyadari mobilnya melaju kencang berlawanan arah. Cahaya terang dan sebuah truk peti kemas menyalakan klakson sekencang -kencangnya.

Latifa terbelalak,..

"Tidak..." dia menggumam.

Sontak Latifa langsung membanting setir ke kiri, ke arah yang seharusnya ia tuju. Akan tetapi mobilnya semakin tak terkendali hingga sempat berputar dan menabrak kencang pohon besar di pinggir jalan. Sebuah motor sport di belakang Latifa juga sontak menabrak mobil Latifa,pengendara itu terpental jauh di sebelah Latifa dengan helm teropong yang masih melekat di kepalanya.

******

Latifa membuka matanya, meraba-raba tubuhnya. Memastikan apa dia benar-benar hidup atau sudah mati. Latifa melihat sekeliling, semuanya memang tampak aneh, tidak ada awan,langit maupun tanda-tanda kehidupan, seperti angin berhembus. Tiang-tiang kayu menghitam, tanah yang kering retak, hingga daun kering berserakan

 "Kau.. !!!" Tunjuk seorang pemuda yang mendekat ke arah Latifa. Tak lain adalah sang pengemudi motor sport. Mengenakan jaket grey dengan celana katun hitam. "gara-gara cara mengemudimu itu,aku menabrak mobilmu dan terlempar jauh, dan sekarang.. aku mati tragis bersama cewek sepertimu!". 

"Aku.. mati..??" Latifa berbicara lirih,lalu menangis. "Dengar, aku tidak bermaksud untuk mati,apalagi bersamamu! Malam itu emosiku sedang kacau,ini semua karna--" Latifa memejamkan mata,menggigit bibir "Aku putus dengan pacarku, Ryan". 

Aland masih terlihat kesal dengan Latifa. Dia mengepalkan kedua telapak tangan dan berteriak,"Aaaargh!!! Aku bahkan belum mewujudkan impianku sebagai pelukis"

Pertengkaran itu berhenti ketika mendengar langkah kaki dan gesekan kain yang menyapu tanah. Mendengar itu mereka berdua merasa takut. Latifa mencengkeram lengan Aland. Seseorang dengan hoodie cape yang menjuntai ke tanah menghampiri mereka. Tinggi seperti Aland, tapi wajahnya putih pucat dan memiliki warna mata merah, terlalu menyeramkan untuk menjadi manusia, tapi terlalu tampan untuk menjadi setan. 

"Siapa kamu?" Tanya Aland.

"Dmitri.. malaikat kematian" Dmitri menjawab dengan senyum liciknya. 

"Dmitri.. dimana kami?" kata Aland. 

"Limbus.. dunia antara kehidupan dan kematian. Dan kulihat.. mm.. kalian masih ingin tetap hidup" mata merah Dmitri menjelajah dua manusia yang tidak rela akan kematianya. 

"Iya!!" Latifa dan Aland menjawab serentak. 

"Aku akan membiarkan kalian berdua lolos di dalam limbus. Hanya 40 hari waktu kalian. Jika waktu kalian habis, kalian akan berada di limbus lagi." kata Dmitri

"hei.. apa kau mempermainkan kami?" celetuk Latifa.

Mendengar hal itu, dengan cepat Dmitri menatap wajah Aland dan Latifa sambil membelalak matanya, "kalianlah yang mempermainkan malaikat kematian"

Aland dan Latifa berdiri kaku, Dmitri merentangkan tanganya ke arah mereka berdua "pergilah dari dunia ini. takdir yang akan mempertemukan kalian"

Kemudian Aland dan Latifa menghilang.

*********  

Pagi itu masih tetap seperti pagi biasanya. Hilir mudik pasien, brankar maupun penjenguk mengisi setiap sudut lorong rawat inap rumah sakit Bontang. Suasananya rumah sakit umum Bontang masih ramai seperti biasanya. Tak satupun kamar kosong yang tersisa. Aland membuka matanya perlahan dan mengembuskan nafas, lalu dia menoleh ke kanan, menatap lama seorang gadis di sampingnya yang masih tak sadarkan diri yang tak lain adalah Latifa. Dia berusaha untuk bangkit namun tubuhnya terhempas kembali ke tempat tidur pasien. Tubuhnya terlalu lemah, Aland mengalami patah tulang dada dan kakinya. Mustahil untuk dia tetap hidup dalam kondisi seperti ini meskipun Aland dulunya adalah dokter spesialis penyakit dalam terbaik di Bontang.

Yusa dan Anggra menyodorkan sebuah kanvas kepada Aland saat menjenguk dia di tengah padatnya jadwal jaga UGD.

"kita selalu mendukungmu apa yang kamu inginkan, teman.. " kata Yusa.

"lan kamu yakin sama keputusanmu?" tanya Anggra.

Aland mengangguk mantap. Keputusan untuk mengundurkan diri dari profesi impian semua orang, dokter. Sebenarnya, menjadi dokter adalah bukan impianya sejak kecil. Aland ingin menjadi seorang pelukis profesional sekelas Affandi dan Basuki Abdullah. Lagipula selama ini dia telah menuruti permintaan ayahnya menjadi seorang internis muda. Prof. Surya ingin anak semata wayangnya melanjutkan karirnya sebagai seorang dokter.

Aland kemudian duduk di pinggir jendela sambil melihat gumpalan awan senja yang berjalan melambat menggiring matahari menuju ufuk barat. Dia lalu menggoreskan  pensil di atas kanvas sambil mentap senja. Seseorang mengetuk pintu dan menggesernya lalu memasuki ruangan, Aland menoleh ke arah tamu tersebut. Laki-laki seumuranya berambut sebahu yang sebagian dia kuncir. Membawa sebuket bunga tulip putih dan menghampiri Latifa sambil menatap sedih. Laki- laki itu meletakkan buket bunga tulip putih di meja kecil samping Latifa. Dia lalu duduk dan menggenggam tangan Latifa dan menempelkan di dahinya. Aland tak memperdulikan sebuah momen manis yang ada di hadapannya. Dia kemudian mengalihkan wajahnya dan kembali membuat sketsa lukisan yang sempat terhenti. 

Ryan mendekati Aland yang fokus menggoreskan kuasnya, "kamu.. korban kecelakaan selain Latifa?" Ryan membuka pembicaraan. 

"saat itu, hanya aku dan Latifa"  jawab Aland. 

"atas apa yang dilakukan Latifa, aku meminta maaf" Ryan menunduk di hadapan Aland.

Ryan mengambil posisi duduk di samping Aland. Sambil memperhatikan lukisan Aland yang hampir selesai.

Ryan menatap lama lukisan Aland. " apa kamu seorang pelukis?" tanya Ryan.

Aland menggelengkan kepala. 

"untuk seorang pemula sepertimu, tidak begitu buruk.." kata Ryan. 

"aku seorang dokter" jawab Aland lirih. 

"hah?" Ryan terkejut mendengar jawaban Aland.  Dia lalu mengeluarkan dua buah tiket berwarna coklat dengan tulisan emas di dalam tasnya, lalu menyerahkan kepada Aland. "untukmu.. aku kira kamu juga harus datang  ke beberapa galeri seni. untuk menambah pengalaman juga. aku yakin, kamu belum pernah datang ke galeri seni kan?".

Aland mengangguk dan menerima tiket itu. 

"ajaklah Latifa.. dia juga pandai dalam menilai karya seni" . kata Ryan, lalu dia beranjak pergi meninggalkan Aland.

**********

PYARR!!

Suara vas bunga pecah jatuh ke lantai. Perlahan disertai rintihan tangisan perempuan di samping Aland, membuat Aland terhentak dan langsung bangkit dari tidurnya. Dia melihat Latifa menutup wajahnya sambil menangis lirih. 

"hey.. kamu.." sapa Aland. Latifa menyadari suara yang pernah di dengarnya, dia lalu membuka wajahnya dan menoleh ke samping, dia melihat laki-laki memakai baju pasien yang sama seperti dirinya. 

"Apa kamu Aland? limbus? apa kita ketemu di limbus itu?" tanya Latifa.

"hm.." Aland mengangguk. 

"jadi... Dmitri benar-benar memberi kita waktu empat puluh hari untuk tinggal di dunia ini?"  kata Latifa. 

"iya.. dan waktuku tinggal tiga puluh lima hari lagi." jawab Aland. 

"maafin aku, Aland"  kata Latifa menyesal.

Aland bangkit dari kasurnya, dan berjalan tersuruk-suruk mendekati Latifa, "Kamu sungguh ingin meminta maaf, Latifa?".

"Iya.." Latifa melihat Aland mengambil kursi di samping tempat tidurnya.

Aland memutar bola matanya, dia tampak memikirkan sesuatu. Latifa enggan melepaskan pandanganya, menanti lontaran kata yang keluar dari mulut Aland. "Temani aku di pameran seni bienalle di Jogja".

"baiklah" jawab Latifa.

**********

Jogja bienalle, pameran seni terbesar Indonesia yang diadakan setiap tahun di kota penuh kenangan. Yap, kota Jogjakarta. Aland dan Latifa memberikan dua tiket VIP kepada petugas di pintu masuk. Lalu mereka memasuki sebuah ruangan yang dipenuhi oleh lukisan yang berjejer-jejer dibawah siluet lampu. Aland menatap sebuah kanvas kosong yang berjejer diantara lukisan - lukisan yang menempel di dinding. Sebuah tulisan "guest art" mencuri perhatinya.

"melukislah.." kata seseorang yang berdiri di samping Aland.

"Ryan.." sapa Aland.  "kenapa kanvas ini kosong?"

"oh.. seperti tulisan di papan guest art ini untuk pengunjung yang ingin melukis bebas. Jadi diakhir acara, akan ada penghargaan guest art  dengan lukisan terbaik." jawab Ryan. 

"boleh aku mencoba?" tanya Aland

"silahkan.." Ryan lalu mengambil palet, kuas dan beberapa warna cat kepada Aland. Kemudian setelah itu Ryan pergi untuk menemui Latifa.

Aland mengalihkan pandanganya menatap warna-warna cat minyak yang berjejer di hadapanya. Dia mulai membuat goresan tipis sketsa dari pensil yang dia bawa. Kemudian membubuhkan tipis-tipis cat minyak dengan warna dasar. Seorang pemuda bernama Narto menyapa Aland ditengah-tengah melukis. Dia terkesima dengan lukisan Aland yang bertema tentang kematian. Mengingat tentang cerita bapak Narto dimana temanya pernah mengalami mati suri. Narto ingin mempertemukan Aland dengan bapaknya, Tedjo Ranuwiharjo.  Aland sangat menyetujui hal itu. karena Aland pikir, Tedjo bisa membantunya.

**********

Aland memberanikan datang seorang diri kerumah Narto yang tak jauh dari keraton Jogjakarta. "Tedjo Ranuwihardjo" Tedjo mengulurkan tanganya, lalu Aland meraih tanganya dan menciumnya. Tedjo tampak santai, seperti pakaian yang ia kenakan hari ini. setelan celana kain batik dengan kaos putih lengan pendek. Siapa yang mengira dia hanyalah seorang cenayang yang cukup terkenal seantero keraton Jogja. Tak lama kemudian, Narto meninggalkan mereka berdua untuk membeli beberapa kudapan. Tedjo membuka pembicaraan, dia mengetahui bahwa selama ini Aland dan Latifa berada diambang kematian. 

"seharusnya, setelah kejadian kalian saat itu. salah satu dari kalian seharusnya mati, dan satu dari kalian hidup" jawab Tedjo, kali ini dia serius. Suasana tiba-tiba menjadi hening, Tedjo dan Aland saling berpandangan. Dalam hati Aland penuh pertanyaan siapa yang seharusnya saat itu mati, dan siapa yang hidup.

"jadi.. maksud bapak, setelah 40 hari ini salah satu diantara kita akan mati?" tanya Aland.

"iya" jawab Tedjo.

Aland terlihat syok, tanganya berkeringat saat itu juga. Tedjo melihat dia sambil memikirkan sesuatu. "aku tidak perlu menyampaikan siapa yang seharusnya mati saat itu. tapi aku bisa sedikit membantu kalian". Tedjo mengeluarkan dua bola batu hitam yang mengkilap. Berdiameter empat sentimeter dan dibungkus dengan kain putih yang lusuh.

"apa ini?" tanya Aland sambil mengerutkan alisnya.

"ini mustika jiwo," tatap Tedjo kepada Aland serius

"mustika... jiwo?" tanya Aland.

"aku memberi kalian ini. dengar,  satu mustika ini dapat memperpanjang hidup kalian dalam beberapa bulan. aku memberi kalian dua mustika yang aku punya. untukmu, dan gadis itu".

"trimakasih pak Tedjo.." Aland menganggukkan kepalanya.

"jika ini berhasil, maka kalian akan tetap hidup. jika gagal, maka kalian berdua akan mati. dan ini yang paling penting, jika diatas empat puluh hari salah satu diantara kalian tidak membawa mustika ini, dia yang akan mati" kata Tedjo serius. Aland mengangguk mantap. "pastikan kalian berdua memegang satu mustika ini, kamu mengerti?" tegas Tedjo. "saya mengerti pak" jawab Aland.

**************

Ryan dan Latifa duduk di bangku panjang di pinggir alun-alun kidul. Suasana malam tampak ramai, gemerlap lampu malam, penjual makanan ringan berjejeran seantero alun-alun.

"Latifa, maafkan aku.. karena malam itu kamu mengalami kecelakaan" Ryan menghela nafas. Latifah masih enggan menatap Ryan. Dia benar-benar tidak menyangka bahwa karena perkataanya malam itu benar-benar merubah hidupnya.

"Aku harap ini pertemuan terakhir kita, Ryan. Malam itu benar-benar kejadian yang tidak akan kulupakan seumur hidupku" Latifa berdiri, dia beranjak untuk meninggalkan Ryan. Namun Ryan menghentikanya. "Biar aku mengantarmu Latifa. Untuk terakhir kalinya"

Ryan kemudian beranjak dan menuju mobil sedan yang terparkir di pinggir alun-alun. Tak sepatah katapun terucap saat mobil mulai berjalan. Ryan memegang erat stir mobil setelah melihat Latifa diam membisu menatap jalan. "Jadi.. kamu mulai dekat sama Aland" Ryan mencoba membuka pembicaraan.

"Ya. Kita pacaran" jawab Latifa. Ryan tampak sedih mendengar hal itu. Meskipun dia sebenarnya tidak tahu bahwa Latifa berbohong. Latifa tidak ingin terlihat menyedihkan di depan Ryan. kemudian Latifa mengeluarkan handphone miliknya, mengirim pesan kepada Aland untuk menunggu di depan pintu kamar hotelnya.

Aland menunggu di depan kamar hotel Latifa. Dia tidak tahu jika Latifa keluar dari lift bersama dengan Ryan.

"hai." sapa Aland.

Ryan hanya tersenyum kecil menjawab sapaan Aland, "hai.. mm.. aku balik dulu ya". Latifa mengangguk kecil. Aland lalu menatap Latifa yang termenung menatap lantai hotel, dia enggan melihat kepergian Ryan. Tak lama kemudian,dia menjatuhkan tas selempanganya, berjinjit di depan Aland dan melingkarkan tanganya ke leher Aland. Latifa mencium penuh bibir Aland. Sejenak Aland mengangkat alisnya, dan berfikir ini adalah kejutan yang dimaksud Latifa. Dia lalu melingkarkan tanganya ke pinggang Latifa, mendekatkan tubuh Latifa kepadanya. Mencoba menikmati ciuman pertamanya. Ryan membuka pintu lift. Dan memalingkan badanya, melihat mereka berdua berciuman di depan pintu kamar hotel. Ryan tertegun, dengan ini dia benar-benar percaya bahwa mereka telah berkencan.

"Aland..  ayo kita menikah." Latifa kemudian menatap Aland serius.

Aland terperanga mendengar hal itu, "Tunggu.. apa maksudmu? Setelah membuatku mati dalam kecelakaan itu. Lalu barusan kamu menciumku di depan mantanmu, dan sekarang kamu mau menikah denganku?".

"Waktu kita tersisa 25 hari.. setidaknya kita habiskan sisa waktu kita bersama sebelum kita mati" kata Latifa.

"Tidak.. yang seharusnya mati hanya satu orang" tatap Aland kepada Latifa serius. Kini Aland duduk kembali disamping Latifa.

Latifa mengerutkan alisnya, "Maksudmu diantara kita seharusnya mati malam itu?". Aland mengangguk. dia kemudian mengeluarkan sepasang mustika jiwo pemberian Tedjo. dan menceritakan bahwa mereka harus menyimpan mustika itu sampai waktu empat puluh hari mereka habis, agar mereka bisa terus hidup selama beberapa bulan. Aland lalu menyimpan kedua mustika jiwo, dia tidak mengatakan yang sebenarya, bahwa setelah empat puluh hari, jika salah satu diantara mereka tidak membawa mustika itu, dialah yang akan mati. 

************

Riuh pengunjung semakin membludak pada sabtu malam di hari terakhir pameran Jogja bienalle. Banyak muda mudi maupun kolektor seni datang diacara terakhir ini. Aland berdiri di lorong sambil membuka telapak tanganya yang menggenggam dua batu mustika pemberian Tedjo. jika satu mustika ini bisa memberi kehidupan beberapa bulan kedepan. maka dengan dua mustika ini bisa memberi kehidupan hingga setahun lebih,  gumam Aland. Aland ingin terus tetap hidup agar ia bisa melanjutkan impianya, menjadi seorang pelukis. 

Penghargaan 'guest art' diumumkan di tengah tengah padatnya pengunjung Jogja bienalle. Tak disangka, lukisan Aland lah yang menang. Lukisan bertema 'love after die' berhasil membawanya untuk menghadiri pameran lukisan bienalle di Inggris. Aland semakin percaya diri, dia terus menggenggam batu mustika itu, karena dengan itulah dia akan terus bertahan hidup untuk melanjutkan mimpinya.

"selamat ya.." Narto mengulurkan tanganya.

Aland menjabat tangan Narto sembari tersenyum "terimakasih, Narto.. kalau boleh tau, kapan bienalle di Inggris diadakan?"

"oh.. itu satu bulan lagi?" jawab Narto. mendengar hal itu Latifa terperanjak dan menatap Aland.

setelah Narto pergi, Latifa berkata kepada Aland "bukankah itu lebih dari waktu empat puluh hari kita land?".

"tenang saja, aku pasti bisa" jawab Aland percaya diri.

***********

Siang itu suasana rumah Aland tampak sepi. Dia membuka pintu rumah dan mendapati bu Sami, salah satu pembantu rumahnya membersikan meja dengan menggunakan lap basah. Aland meletakkan tas oleh-oleh di atas meja makan. Aland lalu berjalan menuju ke halaman belakang. Dia melihat Surya membaca koran. Surya menyadari kehadiran Aland. Tapi dia hanya melirik sejenak anaknya kemudian kembali membaca. Tak ada sambutan, sapaan seorang ayah seperti biasanya. 

"Papa dengar seminggu ini kamu pergi ke Jogja bersama gadis itu".

Aland menggenggam erat tanganya. Yusa sialaaan.. pikirnya. Entah kenapa dia menceritakan semuanya kepada Surya. Aland berfikir jika surya memanfaatkan kekuasaanya untuk mengintrogasi Yusa.

"iya" jawab Aland.

"Kenapa kamu berteman dengan orang yang hampir membuatmu mati. Gara-gara dia kamu tidak sadar selama hampir satu bulan! Dan kamu juga kehilangan pasienmu." sahut Surya sambil menaikkan suaranya.

Aland menghela sesal, bisa-bisanya dia mementingkan dirinya daripada anaknya. Surya masih ingin Aland tetap melanjutkan pekerjaanya. "Pa.. jangan bahas itu lagi. Kejadian itu kami berdua yang salah. Malam itu aku mengemudi dalam kecepatan tinggi. Jadi tolong jangan sepenuhnya menyalakan Latifa"

"Oh.. jadi kamu membela gadis itu" kata Surya jengkel. Dia lalu menghampiri Aland.

"Iya.. memang seperti itu kejadianya kan. Dan juga, dia akan menjadi orang yang akan kunikahi" jawab aland mantap. Dia lalu meninggalkan Surya dan menaiki tangga menuju kamarnya.

"Aland!!! Papa benar-benar ga ngerti jalan pikiran kamu!" Teriak Surya dari bawah. Aland mendengar jelas dari kamarnya. Dia menutup keras pintu kamar dan duduk bersandar di balik pintu.

*********

"selamat pagi tante, saya Latifa" Latifa membungkukkan badanya. Martha meraih bahu Latifa dan mencium pipinya. Sedangkan Surya menjabat tangan Latifa dengan ragu. Dari awal, Surya memang tidak menyukai Latifa. Karena menurutnya, dialah penyebab kecelakaan.

"Gimana kabarmu, Latifa" tanya Martha sambil mengakrabkan diri.

Latifa mengangguk, "Baik tante..".

"Kami akan menikah pa. Dan Aland sudah mendaftarkan pernikahan kami" Aland membuka pembicaraan tanpa basa-basi.

Martha dan Surya terbelalak, dia menganggap anak semata wayangnya ini nekat. Dia bukan lagi Aland yang patuh yang selama ini mereka kenal. Saat ini, dia menjadi dirinya sendiri.

"Dua minggu lagi, kami akan melakukan pemberkatan pernikahan".

Surya menghela nafas berat.. berat untuk menyetujui keputusan Aland, "bukankah ini terlalu cepat?".

"Mama nggak habis pikir sama keputusanmu nak" Martha menggelengkan kepalanya.

"Maafkan Latifa, tante.." Latifa menunduk.

"Kenapa minta maaf?" Kata Aland menatap Latifa. Tanganya menggenggam erat tangan Latifa. Martha menatap mereka berdua. Dia menyadari bahwa Aland memang cukup usia untuk menikah. Namun Martha hanya tidak mengira jika anak semata wayangnya akan menikah dengan gadis yang ia temui saat kecelakaan lalu.

"Baiklah.." Martha menyetujui pernyataan Aland. Membuat Surya melirik tajam istrinya.

"Martha.." kata Surya pelan.

"Beri penyuluhan di wilayah Sangatta. Risetmu tentang TBC akan sangat bermanfaat" Martha memberi syarat.

"Baiklah.." tanpa pikir panjang, Aland menjawab. "Dan ini akan menjadi penyuluhan terakhirku sebagai dokter" lanjut aland. Surya dan Martha saling bertatapan. mereka tak bisa menghalangi  keinginan Aland.

**********

Lonceng gereja berdentang menggema seisi ruangan. Tanda sebuah janji suci akan terikat dalam ikatan suci, ikatan pernikahan. Kicauan burung saling bersahutan dan mengepakkan sayap-sayap kecilnya di atas ornamen salib yang berdiri kokoh diatas bangunan. Semerbak aroma mawar dan bunga taman menghiasi seluruh kursi dan mimbar. Seluruh tamu undangan satu persatu mendatangi gereja dan duduk di kursi panjang. Yang sebentar lagi akan menjadi saksi pernikahan Aland dan Latifa. Aland berdiri tegap dengan tuxedo putihnya, rambutnya klimis dengan wajah yang sumringah. Menanti kedatangan Latifa untuk berdiri di atas mimbar bersamanya. Sebuah pintu terbuka dan semua pandangan tertuju pada Latifa dan dua anak sebagai bridesmaid dengan membawa keranjang bunga. Tanganya menggenggam erat bouquet bunga lily of the valley yang melambangkan cinta dan kebahagiaan. Langkahnya berjalan perlahan menghampiri Aland yang menantinya di mimbar pernikahan. Mereka lalu berdiri menghadap mimbar dan pendeta yang akan membantunya mengucapkan janji pernikahan.

"Aland dakhir... 
Apakah kamu bersedia menerima Latifah menjadi istri mulai hari ini dan seterusnya, dalam suka dan duka, sakit dan sehat, untuk saling menyayangi dan menghargai. Hingga maut memisahkan"

"Saya bersedia" jawab Aland.

"Latifa...
Apakah kamu bersedia menerima Aland dakhir menjadi suami mulai hari ini dan seterusnya, dalam suka dan duka, sakit dan sehat, untuk saling menyayangi dan menghargai. Hingga maut memisahkan"

"Saya bersedia" jawab Latifa.

Aland lalu menyematkan cincin di jari kelingking Latifa, kemudian Latifa juga menyematkan cincin di jari kelingking Aland.

"Dengan ini kalian menjadi sah menjadi suami istri" kata pendeta. Aland lalu membuka veils Latifa, mulutnya berbisik lembut di telinga Latifa. "Dan kami akan terus mencintai, bahkan setelah maut memisahkan". Latifa mengangguk tersenyum, lalu Aland menciumnya. Suara tepuk tangan yang riuh menyertai ciuman mereka, lalu mereka menghadap tamu undangan.

Aland menyapa satu persatu tamu undangan, baik dari keluarga maupun dari rekan sejawat. Salah satu tamu undangan menarik perhatianya, seorang pria tua berkaca mata bulat, pak Tedjo ranuwihardjo. Dan Seseorang yang memberinya mustika kehidupan.

Aland terbelalak, dia lalu berjalan cepat menghampirinya, menyapanya, "pak Tedjo.. Aku tidak mengira pak Tedjo akan datang sejauh ini hanya untuk menghadiri pemberkatanku" Aland menjabat tangan Tedjo.

 "Ngomong-ngomong.. Selamat atas pernikahanmu nak Aland. Aku lihat sejak awal, dia memang seseorang yang ditakdirkan untukmu".

"Terima kasih banyak pak.." jawab Aland tersenyum. 

"Bisakah kita menepi sejenak," kata pak Tedjo. Mereka berdua lalu pergi di ujung halaman. Setelah memastikan tidak ada seseorang yang mengawasinya, pak Tedjo angkat bicara "waktumu sudah tidak banyak nak aland".

Aland mengangguk "iya pak".

"Apa kamu sudah menetapkan pilihanmu? Diantara tiga pilihan itu".

Aland mengangguk "sudah.."

Tedjo lalu terdiam sejenak, seakan memikirkan sesuatu.

"kenapa pak? tanya Aland penasaran.

"entahlah.. aku merasa ada jiwa baru di tubuh Latifa" kata Tedjo ragu.

"jiwa baru? maksudmu Latifa hamil?" tanya Aland.

Tedjo mengangguk, "aku yakin, kalian telah melakukan sesuatu".

Aland menghela nafas, apa yang dikatakan Tedjo tidaklah salah, malam itu Latifa tampak sedih setelah dia bertemu dengan Ryan. Latifa melampiaskan perasaan sedihnya kepada Aland yang pada akhirnya mereka tidur bersama. "menurutku, kamu harus berhati-hati dalam mengambil keputusan land" kata Tedjo sambil menepuk bahu Aland, kemudian meninggalkanya pergi.

**************

latifa membuka matanya perlahan, suara gesekan kuas membuatnya terbangun. dia melihat aland duduk disampingnya melukis kanvas. sesekali dia menoleh, melihat latifa, kemudian mengoleskan kuas ke dalam palet dan melukisnya. "kamu melukisku di malam pertama kita?" tanya latifa sambil menarik selimut, menutup seluruh tubuhnya. dia melirik berkas sinar fajar yang melewati tirai jendela. aland tertawa, "aku menyukai wajahmu saat tidur." "dasar nakal.." dengus latifa. dia lalu bangkit dari tempat tidur sambil membelitkan selimut di tubuhnya. menghampiri aland. "sama istri sendiri masa nggak boleh?" sahut aland latifa lalu memeluk aland dari belakang, mendekapnya. dia sedikit terkesima dengan hasil lukisanya. latifa mengambil kuas aland dan memoleskan beberapa warna yang hampir selesai dibeberapa di bagian. "objek lukisanmu terlihat bagus" kata latifa sambil menyandarkan kepala di bahu aland. "apa kamu memuji diri sendiri?" latifa tersenyum, "kamu juga melukisnya dengan sepenuh hati"

siang itu tampak terik, jalanan juga tak terlalu ramai, karena hari ini adalah hari minggu. tak sedetikpun aland melepaskan tangan latifa, dia terus menggandeng tangan latifa di sepanjang jalan. seseorang memanggil aland dari kejauhan, membuat mereka menghentikan langkahnya. "dokter alaand!!" panggil seorang anak yang memegang tali anjing berjenis pomerania. aland dan latifa menoleh, dia melambaikan tangan ke arah anak kecil yang sudah lama menjadi pasiennya dan memanggil namanya "dean..". Dean menyeringai, "dean sudah sehat. Mama beliin dean anjing buat hadiah" dean lalu menoleh ke arah risa. "Selamat atas pernikahanya dokter" risa mengulurkan tangan ke arah aland. "Terima kasih bu" aland menjabat tangan risa.

Anjing kecil itu menggonggong ke arah jalan, memotong pembicaraan mereka. Kemudian berlari ke jalanan hingga membuat talinya lepas dari pegangan dean. Sontak aland berlari mengejar anjing tersebut, kemudian meraih tali kendali itu, dan melihat dmitri sedang berdiri tak jauh di depannya membawa gulungan kertas. "Aland dakhir, waktumu telah habis.." jawab dmitri lirih. Aland menghela nafas, lalu menoleh ke arah latifa yang berada jauh darinya. Dia mengangguk pasrah, "baiklah.. lakukanlah dengan cepat. Aku tidak ingin latifa melihatku menderita". "Dengan senang hati" dmitri menyunggingkan ujung bibirnya. Di rentangkan tanganya ke arah dada aland. "Aland!!!" Latifa berteriak mengejar aland. Matanya terbelalak melihat dmitri di seberang jaland. Aland menoleh ke arah latifa berlari ke arahnya, kemudian wajahnya mengernyit kesakitan. Tanganya mencengkeram kuat dadanya. "Argh.. Sakit.." aland merintih, dia menatap dmitri yang mengarahkan tanganya masuk ke dada aland. Menarik jiwanya. "Ce.. pat.. laku..kan" aland memohon kepada dmitri. Wajahnya bercucuran keringat. Dmitri menarik jiwa aland keluar dari tubuhnya. Sontak aland memejamkan matanya dan jatuh tergeletak di jalan bersamaan dengan hilangnya dmitri.

4 tahun kemudian...

"Bundaaaa!!!!" Teriak seorang anak kecil berlari menghampiri latifa sambil membawa bola. Latifa menghentikan lukisanya. Dia meletakkan kuas diatas palet lalu merentangkan tanganya menyambut anak kesayanganya, felix dakhir. Latifa meraih bola pemberian felix, kemudian meletakkanya di tanah. Dia memeluk erat felix kecil, "bunda sayang felix". "Bunda gambar apa?" Tunjuk tangan kecil felix ke arah lukisan latifa. Latifa tersenyum sambil membelai rambut felix. "Bunda gambar ayah" jawab latifa. "Ayah.. ayah dimana bunda?" Latifa mengarahkan telunjuknya ke atas langit. "Ayah sedang diatas sana" Felix mengulum bibir kecilnya sambil memutar bola matanya, memikirkan sesuatu. "Felix senang sama ayah surya". Latifa menggelengkan kepala sambil memegang pundak felix, "felix.. sudah berapa kali bunda bilang, panggil kakek surya, bukan ayah surya". Felix menampakkan wajah cemberutnya, dia lalu menghempaskan tubuhnya berbalik menghampiri seseorang yang memanggilnya. "Felix.." surya keluar dari mobil sambil menghampiri cucunya dengan sumringah. "Ayah surya.." teriak felix, surya lalu mencium dan menggendongnya. Felix kemudian memasuki mobil bersama surya, meninggalkan latifa sendirian di taman depan rumahnya.

Siang itu latifa pergi menemui dokter anggra di poli bedah. Suasana tampak sepi, karena hari ini adalah hari sabtu. Dimana poli tidak ada jadwal praktek. Latifa membuka pintu ruangan poli bedah, anggra menantinya sambil membaca buku kedokteranya. "Siang.. maaf dokter menungguku" kata latifa sambil duduk di depan anggra. "Nggak masalah" jawab anggra santai. "Hari ini.. aku hanya harus tanda tangan, kan?" Kata latifa sambil menunjuk kertas di depanya. Anggra mengangguk, dia lalu menatap latifa cemas. "Pikirkan dulu baik-baik latifa" Latifa langsung menandatangani kertas di depanya, tanpa menghiraukan ucapan anggra. Dia lalu menyodorkan kertas itu ke arah anggra. "Ini sudah keputusanku, dokter anggra" Latifa kemudian berdiri dan menunduk di depan anggra "terima kasih buat semuanya" latifa lalu berjalan meninggalkan anggra.

Anggra beserta tujuh dokter spesialis dan tenaga medis menunduk hormat di depan seorang jenazah wanita yang tertutup oleh kain hijau tua. "Terima kasih.. terima kasih telah memberikan tujuh kehidupan untuk mereka yang membutuhkan" suara anggra bergetar, tanganya mengusap sedikit air mata yang mulai menetes. Begitu pula dengan dokter dan tenaga medis yang lain termasuk yusa dan aji. Mereka berlinang air mata kepada seseorang yang mendonorkan tujuh organya yang tak lain adalah adalah latifa.  "Aku nggak menyangka jika latifa mengambil sebuah keputusan hebat" kata yusa. "Aku yakin, pasien-pasien penerima organ akan selalu berdoa untuk latifa" anggra menatap jenazah latifa. Tak lama kemudian surya memasuki ruang operasi dengan wajah paniknya. Nafasnya tersengal-sengal. "Pendonor organ kali ini, apakah itu latifa?!" Suasana terasa mencekam, semua dokter dan perawat terdiam. Anggra memberanikan diri melangkah menghadap surya sambil menunjukkan surat persetujuan. "Maafkan kami prof. Mendiang meminta merahasiakan identitasnya hingga proses donor selesai" Surya seketika tertunduk lemas. Langkahnya gontai menghampiri jenazah latifa. Tanganya yang gemetar perlahan membuka kain hijau yang menutup wajah latifa.

Latifa membuka matanya perlahan. Dia melihat sekeliling, latifa merasa tak asing dengan pemandangan tanpa kehidupan ini. Tidak ada awan, hembusan angin maupun kehidupan. Kakinya berjalan diantara daun-daun kering yang menghitam. Melihat sekeliling diantara pohon-pohon hitam yang berdiri kokoh. Dia menyadari bahwa saat ini dia sedang berada di limbus. "Aku tak menyangka kamu akan membuat pilihan ini" suara besar itu mengangetkan latifa, membuat dia memalingkan badanya, dan yang pertama kali ia temui di limbus adalah, dmitri. Dmitri menyunggingkan salah satu ujung bibirnya. Mata merahnya menyala diantara kelabunya alam limbus. "Kenapa kamu hanya mengambil nyawanya saja. Kenapa kamu membiarkanku hidup jika pada akhirnya hidupku terasa mati" latifa mendekati dmitri. Dia tampak kesal setelah semua yang dilakukan dmitri padanya. "Bukankah aku pernah mengatakan kepadamu jika yang seharusnya mati adalah aland?" Latifa terdiam sejenak, kemudian matanya terbelalak. "Kau.. jangan-jangan.. pria yang bernama, tedjo" Dmitri tersenyum kecil, dia merentangkan tanganya yang putih pucat dan membuka telapak tanganya. Tampak dua buah batu hitam legam yang tak lain adalah mustika jiwo. "Kamu benar". "Ke... kenapa kau.." tanya latifa kaget. "Aku hanya ingin mengetahui seberapa penting kehidupan bagi dirinya" dimitri menatap mustika itu, yang kemudian menjadi abu. "Pada akhirnya, kehidupan bagi orang yang dicintainya adalah pilihanya. Dan juga dirimu, yang lebih memilih untuk memberikan tujuh kehidupan bagi orang lain" lanjut dmitri.

"Apa kamu menyesal?" Tanya dmitri

Latifa menggelengkan kepala, "tidak.. jika pada akhirnya aku bersama aland di keabadian"

kemudian dmitri mengarahkan telapak tanganya ke arah latifa "kalau begitu.. aku akan memurnikan jiwamu. Dan kembalilah ke keabadian bersamanya"

Seberkas cahaya muncul menyelimuti latifa, membawanya menuju ke keabadian.

Latifa berdiri diantara sebuah taman dengan bunga-bunga yang bermekaran di sepanjang mata memandang. Dia tampak kaget melihat suasana yang sangat jauh berbeda dengan limbus. Awan tampak cerah, namun tak menyilaukan mata. Sepanjang mata memandang hanyalah sebuah padang bunga bermekaran dengan semilir angin lembut yang berhembus. Latifa berjalan menghampiri seseorang yang dengan melihat punggungnya yang tegap ia bisa mengenalnya. Latifa sangat yakin sekali dengan seseorang di depanya itu. Laki-laki itu menoleh, dan tatapanya sangat terkejut sekali seakan melihat seseorang yang telah ia rindukan selama ini. "Latifa..." aland memanggil nama istrinya itu dengan lembut. Bibir latifa gemetar, tanganya dengan perlahan menyentuh pipi aland. Dia tidak percaya jika bertemu dengan orang yang sangat ia rindukan selama ini. Mereka berdua saling menatap lama dan tersenyum. "Aku merindukanmu, aland" suara latifa yang bergetar berubah menjadi tangis haru. Aland sontak memeluknya erat. "Aku tidak mengira kamu akan menghampiriku secepat ini" kata aland sambil memegang kedua pipi latifa. "Bukankan kita sudah pernah berjanji akan selalu bersama?" Latifa menggenggam erat tangan aland. "Dasar.. bagaimana dengan anak kita?" tanya aland. "Felix dakhir, dia tumbuh besar dengan baik. Dia sangat mirip denganmu"jawab latifa. Aland tersenyum senang, "papa pasti akan menyayanginya"

Latifa mengangguk, mereka lalu berjalan menyusuri padang rumbut yang indah dan saling bergandengan. Latifa menyandarkan kepalanya di bahu aland.

"Aland.." panggil latifa lembut.

"Hmm??"

"Kita akan selalu bersama kan?"

"Iya, selamanya.."

                           ♡ END ♡

 

 

 

How do you feel about this chapter?

0 0 0 0 0 0
Submit A Comment
Comments (0)

    No comment.

Similar Tags
Teman Khayalan
1450      626     4     
Science Fiction
Tak ada yang salah dengan takdir dan waktu, namun seringkali manusia tidak menerima. Meski telah paham akan konsekuensinya, Ferd tetap bersikukuh menelusuri jalan untuk bernostalgia dengan cara yang tidak biasa. Kemudian, bahagiakah dia nantinya?
My Teaser Devil Prince
5415      1315     2     
Romance
Leonel Stevano._CEO tampan pemilik perusahaan Ternama. seorang yang nyaris sempurna. terlahir dan di besarkan dengan kemewahan sebagai pewaris di perusahaan Stevano corp, membuatnya menjadi pribadi yang dingin, angkuh dan arogan. Sorot matanya yang mengintimidasi membuatnya menjadi sosok yang di segani di kalangan masyarakat. Namun siapa sangka. Sosok nyaris sempurna sepertinya tidak pernah me...
Venus & Mars
4530      1261     2     
Romance
Siapa yang tidak ingin menjumpai keagunan kuil Parthenon dan meneliti satu persatu koleksi di museum arkeolog nasional, Athena? Siapa yang tidak ingin menikmati sunset indah di Little Venice atau melihat ceremony pergantian Guard Evzones di Syntagma Square? Ada banyak cerita dibalik jejak kaki di jalanan kota Athena, ada banyak kisah yang harus di temukan dari balik puing-puing reruntuhan ...
LINN
11309      1686     2     
Romance
“Mungkin benar adanya kita disatukan oleh emosi, senjata dan darah. Tapi karena itulah aku sadar jika aku benar-benar mencintaimu? Aku tidak menyesakarena kita harus dipertemukan tapi aku menyesal kenapa kita pernah besama. Meski begitu, kenangan itu menjadi senjata ampuh untuk banggkit” Sara menyakinkan hatinya. Sara merasa terpuruk karena Adrin harus memilih Tahtanya. Padahal ia rela unt...
PALETTE
483      251     3     
Fantasy
Sinting, gila, gesrek adalah definisi yang tepat untuk kelas 11 IPA A. Rasa-rasanya mereka emang cuma punya satu brain-cell yang dipake bareng-bareng. Gak masalah, toh Moana juga cuek dan ga pedulian orangnya. Lantas bagaimana kalau sebenarnya mereka adalah sekumpulan penyihir yang hobinya ikutan misi bunuh diri? Gak masalah, toh Moana ga akan terlibat dalam setiap misi bodoh itu. Iya...
Loading 98%
592      354     4     
Romance
Perihal Waktu
360      245     4     
Short Story
"Semesta tidak pernah salah mengatur sebuah pertemuan antara Kau dan Aku"
Looking for J ( L) O ( V )( E) B
1976      800     5     
Romance
Ketika Takdir membawamu kembali pada Cinta yang lalu, pada cinta pertamamu, yang sangat kau harapkan sebelumnya tapi disaat yang bersamaan pula, kamu merasa waktu pertemuan itu tidak tepat buatmu. Kamu merasa masih banyak hal yang perlu diperbaiki dari dirimu. Sementara Dia,orang yang kamu harapkan, telah jauh lebih baik di depanmu, apakah kamu harus merasa bahagia atau tidak, akan Takdir yang da...
IDENTITAS
649      433     3     
Short Story
Sosoknya sangat kuat, positif dan merupakan tipeku. Tapi, aku tak bisa membiarkannya masuk dan mengambilku. Aku masih tidak rela menjangkaunya dan membiarkan dirinya mengendalikanku.
After School
1227      782     0     
Romance
Janelendra (Janel) bukanlah cowok populer di zaman SMA, dulu, di era 90an. Dia hanya cowok medioker yang bergabung dengan geng populer di sekolah. Soal urusan cinta pun dia bukan ahlinya. Dia sulit sekali mengungkapkan cinta pada cewek yang dia suka. Lalu momen jatuh cinta yang mengubah hidup itu tiba. Di hari pertama sekolah, di tahun ajaran baru 1996/1997, Janel berkenalan dengan Lovi, sang...