"Karena doa yg dikabul itu salahsatunya saat hujan, dan hujan selalu turun di bulan Desember "
Character :
1. Violet Rahmaningrum
3. Awan Biru
3. Djingga Ratna Ayu
4. Nila Vanilla
5. Lembayung Senja
Rintik hujan itu kembali menyapa tanah di bumi, menyampaikan salam dari langit yang selalu merindukannya, basah, dan dingin. Sebuah senyuman mengembang di bibir tebal seorang gadis, ia memainkan air yang ada di depan jendela yang terbuka, ia menghirup aroma petrichor dengan ringannya. Di samping jendela itu terdapat tanaman lidah buaya dan pohon jarak kecil dengan pot yang juga kecil, sesekali ia mencipratkan air hujan itu pada tanaman miliknya. Langit masih dipenuhi oleh awan gelap, awan Cumulonimbus yang masih setia menjadi penyalur kerinduan langit pada bumi, juga perantara Tuhan dalam menyampaikan rezekiNya. Detik jam dinding mulai terdengar samar, menandakan hujan sudah mulai mereda dan menyisakan gerimis manjanya, mata sayu itu menoleh pada jam berwarna putih bulat dan besar, angkanya membuat ia teringat bahwa akan ada orang yang memberi hal yang tak ia suka. Manik kehitaman itu terlihat letih, bibirnyapun kering tak bergairah, bekas luka di dahinya terlihat kentara, luka sobek dan jahitan kecil yang hampir kering. Ia menghembuskan napasnya berat.
Tak berapa lama pintu ruangan itu terbuka, seorang perempuan dengan senyuman manis muncul dengan sebuah nampan berisi banyak wadah alumunium. Ia masuk dan menyapa gadis yang masih anteng dengan lidah buaya dan jaraknya.
"Sore Vio.. Sedang apa? Yuk makan obat dulu..." ajaknya ramah.
"tapi sus.. " ia beranjak dari tempatnya menuju ke ranjang yang berrangkai besi itu. "kapan aku pulang?" tanyanya, itu adalah pertanyaan yang entah kesekian puluh kalinya ia lontarkan pada perempuan dengan rambut gelungnya itu, lagi, sebuah senyuman menyambut pertanyaan itu.
"sebentar lagi Vio.. " jawabnya tenang "makanlah makan siangmu, dan obatnya.. " katanya sembari menyiapkan makanan itu diatas ranjang. "gimana jidatnya, udah baikan?" tanyanya.
Gadis itu hanya tersenyum semu sembari memakan makanan yang hampir 3 bulan ini ia makan, makanan rumah sakit yang hambar, ia rindu masakan abangnya yang keras dan memicu adrenalinnya karena abangnya suka sekali membuat makanan pedas.
"suster, boleh request menu makanannya ga? Sup ini rasanya hambar.. " pintanya.
"mau makanan apa Vio..?" tanyanya ramah sembari menggganti cairan infus dan menyetel ulang alat yang rumit itu. Tak lupa ia menyalakan penghangat ruangan.
"ingin ramen super pedas atau kalo engga bakso rudal isi cabe.. "
Suster itu tertawa "ahahahaaa.. Aduh gimana ya Vio.. Di rumah sakit ini gak ada makanan kayak gitu. Itu gak baik buat kesehatan.. "
"aaahh... Ayolah suster.. Aku ingin ituu.." rajuknya "mm.. Atau izinkan aku keluar ya, aku akan beli sendiri.. "
"wah.. Hmm... Kamu mau banget itu ya..?" tanya suster. Violet hanya mengangguk. "tapi aku gak bisa janji lho.. "
"beli ramennya di Ramen Ichikai ya suster.. " pintanya.
"Ramen Ichikai dimana Vio?" suster itu terlihat mengingat-ingat.
"3 blok dari rumah sakit ini kalau gak salah.." Violetpun mengingat-ingat.
"oke, nanti jika ada waktu luang atau aku sedang libur akan kucarikan.. "
"terima kasih suster... " sebuah senyuman mengembang di wajah letihnya. Kini tinggal obat yang bermacam-macam yang harus ia telan.
Aku rindu kamu, bang..
*********
Pantulan wajah seorang gadis jelas terpampang di cermin berukuran sekitar 1x7 meter di toilet wanita itu. Gadis berambut panjang ikal itu memoleskan lipmatte berwarna pink cerah di bibirnya yang cukup tebal. Kulit sawo matangnya terlihat mulus tanpa jerawat dan flek hitam, dengan bulumata yang lentik dan manik cokelat cerah. Ponselnya berdering dari dalam tas kecil itu, segera ia menerima panggilan itu setelah ia melihat nama di layar ponselnya.
"Iya, teh..?"
Tanpa banyak berkata, segera ia memasukkan kosmetik dan ponselnya setelah beberapa saat mendengar suara dari seberang telponnya.
*
Lorong ruangan berwarna putih itu ia susuri dengan cepat, mencari nomor yang ia tuju di setiap pintu yang ia temui dengan sekilas. Resah kian membuat hatinya tak karuan, sebuah nama terus saja terngiang di benaknya. Rasa yang selama ini seringkali menghampiri hatinya terus membesar bak bola salju yang menggelinding ke bawah, ia sangat takut. Saking takutnya ia bahkan sering melupakan hal yang penting untuknya, misalnya saja kuliah yang beberapa minggu ini ia abaikan.
"Tuhan, tolong jaga dia, selamatkan dia.. Tuhan tolong, Tuhan tolong, Tuhan tolong.." tak hentinya ia mengingat Tuhannya, memintaNya untuk menjaga pengisi hatinya selama ini.
Ruang Melati nomor 230
Begitu pintu itu tertulis, ia mengintip dari balik pintu yang berjendela kecil, melihat apakah gerangan yang terjadi di dalam ruangan itu.
"Ya Tuhan.. Tolong... Tolong.. Tolong... " terus saja dia mengucap doa dan meminta yang terbaik pada Tuhannya. Jantungnya masih saja berdegup dengan sangat kencang, rasa takut masih saja menyelimuti pikirannya, beberapa waktu lalu kepalanya mulai terasa berputar-putar dan tangannya bergetar lemas.
Dari kejauhan seorang anak lelaki menghampiri, ia terlihat khawatir dan menarik-narik baju gadis itu.
"Kamu siapa dek?" kagetnya, ia diberikan sebuah bunga yang di dalamnya ada secarik kertas kecil, setelah gadis itu menerimanya, anak itu kemudian pergi.
Bunga itu berwarna putih, sebuah mawar yang hampir merekah. Secarik kertas itu bertuliskan sebuah mantra.
"Bimsalabim adakadabra, senyum Djingga kembalilah...!"
Gadis itu bernama Djingga, ia menyunggingkan senyumannya.
"Nah gitu dong.. " seorang lelaki menghampiri dengan sebuah senyuman gingsulnya.