Andaikan bibirku masih memiliki kesempatan untuk membuka, aku ingin bertanya beberapa hal. Apa salahku? Mengapa aku ditempatkan di antara dua pagar yang saling berhadapan ini? Mengapa kemudian, dua pagar itu runtuh di waktu yang bersamaan?
Namun bibirku ini sudah tidak bisa membuka. Tidak sekarang. Tidak juga nanti. Karena keruntuhan dua pagar itu sudah membungkamku. Menyita suaraku. Menjahit mulutku. Untuk selamanya. Satu-satunya yang bisa mendengarku kini adalah hati. Ya, hatiku sendiri.
Aku masih ingat betul saat awal pagar pertama ini dibangun. Senja itu aku sedang terduduk di tepian trotoar. Mengusap peluh yang mengalir di dahiku. Memoles tambahan bedak di atasnya. Pekerjaan yang kugeluti memang menguras tenaga. Selalu menghancurkan riasan yang susah payah kulukis pada wajahku. Tak disangka, ketika aku nyaris usai memperbaiki rupaku, tiba-tiba seseorang dari jauh mendekat. Menghampiriku. Duduk tepat di sampingku.
“Hai. Sudah lama tak bertemu.” ucapnya, ramah. Aku mengangkat alis. Heran dengan orang asing yang sok akrab denganku ini. Karena seingatku, tak ada sanak saudara ataupun teman yang mengenalku di metropolitan ini.
“Kau lupa denganku, Bunga?”
Apa? Dia tahu namaku? Aku makin merasa aneh. Kutolehkan pandang padanya. Sejenak perhatikan wajahnya. Mata, hidung, dan garis rahangnya. Lamat-lamat aku menyadari sesuatu.
“Kau, Marwan? Untuk apa kau di sini?” tanyaku, terkejut bukan main. Kurasa dua tahun menghirup polusi kota ini membuat ingatanku jadi terganggu. Bagaimana bisa aku lupa pada lelaki di depanku?
Marwan tertawa. “Lucu kau bertanya begitu. Sepertinya semua itu sudah pernah kuceritakan padamu.”
Aku membeku. Mencoba memutar memoriku lagi. Ya, kurasa benar. Marwan pernah mengutarakannya beberapa tahun yang lalu. Tepat di hari kami berdua lulus SMA.
“Ohya…kurasa aku mengingatnya. Jadi-”
“Apa pekerjaanmu sekarang?” Dia memotong pembicaraanku. Aku terdiam sejenak. Mencari cara bagaimana menjelaskannya. Karena pekerjaanku rumit. Mudah dilakukan, namun sulit jika harus dirangkai dengan kata-kata.
“Aku…memperbaiki dan memoles pagar lama. Supaya tetap tahan lama dan tidak tampak membosankan.” jawabku, akhirnya. Kurasa dia mengerti maksudku. Karena kemudian dia tertawa.
“Sungguh?” gelaknya. Tawanya yang berkepanjangan membuatku merasa tidak enak sendiri. Aku merasa tersinggung. Diremehkan. Kututupi rasa maluku dengan berdiri. Pamit untuk pergi dengan alasan sibuk. Sesungguhnya alasan itu ada benarnya. Masih ada beberapa pagar yang harus kuperbarui hingga malam nanti.
“Tunggu. Jangan pergi dulu.” Dia menahanku. Menarikku tanganku dengan lembut. Ingin aku melepaskan diri. Namun tak kuasa. Cengkeramannya yang kuat terus menuntunku, menuju kedai di seberang jalan.
“Jauh-jauh ke kota, kenapa kau harus bekerja sebagai tukang service pagar tua? Tidak lebih membahagiakan kah, jika kau memproduksi pagar baru?” tanyanya. Setelah kami duduk di sebuah pos lesehan di tengah taman. Aku menggeleng pelan.
“Itu tidak perlu. Aku sudah mendapat banyak job sebagai tukang service. Sudah cukup untuk memenuhi hidupku di kota ini. Lagipula, aku tak mengerti bagaimana caranya membuat pagar. Aku hanya mengerti bagaimana agar pagar itu tak berkarat, kuat, dan tetap terlihat memikat.”
Marwan mengangguk-angguk. Terdiam. Lama. Baru membuka percakapan setelah kami menghabiskan nasi goreng yang dia pesan.
“Kau membuatku ingin jadi pekerja pagar juga.” cetusnya. Aku langsung membeku. Es teh yang baru kusesap terasa menyangkut di kerongkongan.
“Tapi aku menghendaki cara yang berbeda. Aku ingin membuat pagar sendiri. Menyambungkan besi-besi penyusunnya dengan cara yang kuinginkan. Aku ingin membungkus pagarku dengan cat anti karat warna merah. Supaya aku selalu bisa memandang sepuasnya. Dalam jangka waktu yang lama. Tanpa harus memanggil tukang service untuk membenahinya.”
Aku mengangguk. Tersenyum sinis. “Kau percaya diri sekali. Asal kau tahu, kau takkan bisa menciptakan pagar dengan modal ingin saja. Diperlukan keterampilan khusus untuk menggunakan las penyambungnya. Kesimpulannya, kau masih butuh seorang tukang service yang ahli, agar pagar yang kau buat dapat berguna secara maksimal.”
Marwan menjawab kalimatku dengan senyuman. Tak berkata-kata. Dia hanya terus meminum kopi dalam gelasnya. Usai tegukan terakhir, lelaki itu memandangku. Lagi-lagi lama. Aku berpura-pura tak memerhatikan. Sibuk dengan ponselku yang ribut dengan panggilan kerja. Saat kemudian aku bangkit, dia ikut bangkit. Menawarkan jabatan tangan. Dengan bimbang dan tak mengerti, aku menyambutnya. Sejenak dia menjabatku, lalu berkata:
“Maukah kau membantuku membangun pagar itu, tukang service pagar?”
***
Hingga minggu-minggu berikutnya, tawaran itu masih terbayang di benakku. Hidupku jadi kacau. Aku sulit berkonsentrasi pada pagar-pagar yang kugarap. Membuat beberapa pelanggan mengeluh kepadaku. Kali ini giliran Pak Renald, pelanggan terbaik yang pernah kumiliki, mempertanyakan ketidak totalanku.
“Apakah ada yang mengganggumu akhir-akhir ini, Bunga?” tanyanya. Mengelus rambutku. Lembut. Aku, yang sedang berbaring di kasur empuk itu, menggeleng.
“Lantas kenapa kerjamu jadi tidak memuaskan?”
“Aku bosan menjadi tukang service pagar.” jawabku, terang-terangan. Pak Renald tertawa. Ikut berbaring di sisiku.
“Kenapa? Ini pekerjaan mulia, lho. Kau menghiburku dari kebosanan. Menyelamatkanku dari kejenuhan. Kau membuat pagar ayu rumah tanggaku batal cerai dengan alasan bosan dengan istri lamaku.”
Aku tersenyum sinis. Ada-ada saja cara Pak Renald membujukku. Bisa-bisanya dia meletakkan pekerjaanku yang hina-dina ini di singgasana kemuliaan. Tapi ada benarnya juga. Aku tak bisa membayangkan apa yang akan terjadi pada keluarga Pak Renald, sekaligus keluarga-keluarga lain, jika kepala-kepala mereka tidak menemukanku. Mungkin mereka sudah cerai-berai sejak lama, hanya karena satu alasan: bosan!
“Tapi…” desahku, menengkurapkan posisi tubuh. Membuatku dapat memandang Pak Renald dengan jelas. Dan tentunya, dekat. “...bagaimana jika ada orang lain yang mengajakku membangun pagar? Bukan memperbaiki lagi?”
Pak Renald tertawa lebih keras. “Untuk apa? Apakah tidak cukup setoran uang yang kukirim padamu setiap bulan, Bunga?”
Aku merasa semakin terdesak. Bingung untuk menjawab pertanyaan itu. Juga bingung, mengapa aku mengutarakan pertanyaan yang menimbulkan Pak Renald menanyakan demikian.
“Aku hanya merasa…tentu lebih bahagia jika aku memiliki pagarku sendiri. Tidak selalu mengurusi pagar orang lain.”
“Kau benar-benar menginginkan pagar, ya?” Pak Renald bangun. Mendekati lemari. Mengambil baju formal yang ia lepaskan semalam. Dan mengenakannya.
“Jika itu memang yang kau inginkan, aku akan membuatkan pagar untukmu, jika aku terpilih lagi dalam pemilu nanti.”
***
Sejak semalam aku tak bisa tidur. Otakku sibuk memikirkan janji itu. Janji yang pernah diutarakan Pak Renald pagi itu. Janji tentang pagar yang akan ia bangunkan untukku.
Kemarin hasil pemilu diumumkan. Seperti yang sudah diduga, Pak Renald menang. Pejabat muda itu memang begitu mempesona. Mampu menebar aura menyenangkan yang menarik simpati masyarakat. Istrinya, menurut yang kudengar, juga sama sepertinya. Begitu baik. Barangkali karena kesamaan itulah, Pak Renald jenuh. Kemudian memilih berdua dengan wanita sepertiku.
Dengan gelisah, takut, bercampur tak sabar, aku mengecek ponselku. Menantinya berdering. Menampakkan tulisan “Pelanggan no. 1”, sebutan yang kuberikan pada Pak Renald. Sia-sia. Tak ada tanda-tanda dia akan menelponku.
Iklan yang tampak di TV kamar hotelku mendadak berubah menjadi breaking news. Aku masih tak peduli. Tiga detik kemudian fokusku baru tersita.
“Gelombang demonstrasi yang terus berkobar sejak tiga hari lalu akhirnya mendapatkan keinginannya. Komisi Pemberantasan Korupsi akhirnya berhasil mengungkap identitas mafia pajak negara. Termasuk di dalamnya, Bapak Renald, pejabat muda yang selama ini digandrungi masyarakat.”
Tertegun. Hanya itu yang kurasakan. Berita itu serasa mendinginkan telingaku. Membekukan hatiku sepenuhnya. Seketika janji manis itu lenyap. Membawa mati harapanku. Ingin aku menangis. Berduka atas hilangnya impian membangun pagarku sendiri untuk selamanya. Namun aneh, tak ada setitikpun air mata jatuh ke pipiku. Yang ada hanya kehampaan. Kesepian yang mengerikan.
Dan dering ponsel pun memecah hening. Aku terkesiap. Pikiranku kembali ke dunia realita. Dunia yang menyakitkan. Kuangkat telpon itu seketika. Tanpa mencari tahu siapa yang ada di seberang sana.
“Bunga…Aku berhasil!” Terdengar seruan senang. Aku tak menanggapi. Hanya membiarkan Marwan terus bicara.
“Akhirnya LSM-ku berhasil mengupas kebiadaban koruptor biadab itu! Renald berhasil tumbang di tangan kami!”
Diam. Aku bersikeras diam.
“Baktiku untuk negeri akhirnya tampak juga! Aku berhasil menjadi aktivis yang benar-benar aktif membela bangsa! Bunga, kenapa kau diam?”
Marwan akhirnya peka. Menanyakan kebisuanku. Aku menjawab berat, “Tidak enak badan…”
Marwan tertawa, “Kau terlalu lelah menjadi tukang service pagar, ya? Makanya, terima tawaranku saja. Kau mau, kan, membangun pagar bersamaku? Menjadi teman hidupku?”
Aku terhenyak. Terkejut. Aku lupa. Sungguh. Jauh sebelum janji pejabat korup itu kudapat, ada seseorang yang pernah menjanjikanku hal yang sama. Tunggu, barangkali yang benar adalah meminta. Bukan menjanjikan.
“Bagaimana? Kau takut ditinggalkan pelangganmu? Para lelaki hidung belang yang jelas tak bisa merawat pagar rumah tangganya sendiri. Kalaupun ada dari mereka yang akhirnya ingin membangun pagar denganmu, aku yakin kau takkan bahagia. Karena suamimu akhirnya akan jenuh juga denganmu, dan bersama wanita lain. Sama seperti posisimu sekarang.”
Masih terpaku. Mulai bisa mempertimbangkan kata-kata itu. Hanya itu. Dan hatiku berkata kalau perkiraanku kemungkinan besar benar. Para pelangganku barangkali akan dengan mudah membangunkan pagar untukku. Namun untuk merawatnya? Aku yakin bakatku sebagai tukang servis pagar jadi tiada guna. Kemungkinan mereka akan mencari tukang-tukang servis yang lebih cantik. Dan pada ujungnya mereka akan menyelingkuhiku,. Dengan alasan sama mereka menyelingkuhi istri-istrinya yang dulu.
“Oke. Oke. Kita bicarakan besok saja lagi, ya. Aku sedang sibuk. Kutunggu kau di kafe dekat persimpangan rumahmu. Jam tiga sore.”
Dan telpon ditutup. Lagi-lagi hening menyusup. Namun kini tak menakutkan. Lebih ke menyesakkan. Karena emosi di hatiku yang benar-benar harus dikeluarkan.
***
Keesokan hari, gelisah makin menggelora tubuhku. Sejak sejam yang lalu, aku sudah tiba di kafe ini. Keranjingan menoleh kesana-kemari. Mencari lelaki yang akan membangun pagar bersamaku. Jam tiga berlalu. Aku setia menunggu. Jam empat, aku mulai kesal. Tak ada tanda apapun yang menandakan kedatangan lelaki itu.
Sabar ada batasnya. Jam lima. Aku memilih pergi. Mengusap-usap hatiku yang terasa semakin perih. Mungkin benar, tak ada lelaki yang bisa serius dengan ucapannya. Termasuk lelaki itu. Pelan. Aku melangkah ke depan. Keluar area café. Menyusur jalan hingga ke persimpangan. Hingga kudapati banyak orang berkerumun. Aku mendekat. Penasaran dengan apa yang mereka lihat. Dan hilanglah suaraku untuk selamanya.
Di sana, di jalan itu, tergeletak seorang lelaki. Marwan. Memejam mata. Merah-merah mewarnai dadanya yang dibalut kemeja putih.
“Panggil polisi!” seru seseorang.
“Ambulans!”
“Tapi percuma, dia sudah mati! Darahnya sudah keluar begitu banyak, tadi kita juga mendengar empat kali tembakan, kan?”
“Siapa ya kira-kira yang menembak?”
Lambat laun. Jelas pudar. Terang kabur. Timbul tenggelam benakku menyimpulkan. Ini terlalu cepat. Terlalu keras. Menyedihkan. Terduduk. Jatuh. Tak sadar aku kehilangan kekuatanku sendiri. Harapanku mati untuk yang keseribu kali. Dalam dua hari, dua pagar yang akan kumiliki runtuh sebelum dibangun.
***