Loading...
Logo TinLit
Read Story - Kompilasi Frustasi
MENU
About Us  

“Anak sulungku akhirnya masuk penjara! Hebat, kan?”

 

Gatot berkata lantang. Berapi-api. Tangan kanannya mengepal. Mengetuk-ketuk dadanya yang membusung tinggi. Kumis yang tebal bergerak-gerak. Mengikuti senyumnya yang makin lama makin lebar. Kombinasi rabun dan bangga salah kaprah yang menyelimuti matanya membuat wajah masam Junaedi, lelaki paruh baya yang duduk di depannya, tak lagi kasat terbaca.

 

“Awalnya aku tidak percaya saat melihat berita penangkapan waktu itu. Tapi setelah anakku sendiri menelponku, wah…” Gatot menyela ucapannya sendiri dengan derai tawa, “Rasanya makin tidak percaya. Siapa sangka anakku mewarisi bakat bapaknya?”

 

Lagi-lagi Gatot terbahak. Ditepuk-tepuknya bahu Junaedi. Terus menerus. Tak peduli tubuh teman karibnya itu semakin beku. Tak hiraukan ekspresinya yang semakin kaku. Junaedi sendiri dalam hati sedang menggerutu. Berkomat-kamit. Mencaci maki kebanggaan Gatot atas keberhasilan sang anak meneruskan prestasi bapaknya yang nyeleneh. Keluar masuk penjara.

 

“Perbuatan anakku kemarin benar-benar mengingatkanku pada masa lalu. Masa-masa saat kita jadi pemberontak dulu.”

 

Gatot melanjutkan cerita. Masih dengan sikap innocent*-nya. Kali ini kembali ke kenangan silam mereka. Saat mereka masih muda dulu. Masih berstatus mahasiswa. Masih penuh gelora. Masih sensitif-sensitifnya dengan hal-hal yang berbau rakyat.

 

“Ayolah, Jun. Jangan diam begini. Kita sudah lama tak bertemu. Masa tidak ada yang ingin kamu ceritakan padaku? Tentang anakmu, mungkin?” pancing Gatot. Junaedi menarik kedua sudut bibirnya dengan terpaksa. Membentuk sebuah senyum sumir yang aneh. Lebih mirip meringis.

 

“Anakku? Ya, ya, anakku ada…Sehat…” Junaedi menjawab. Ketegangan yang menggelitik kuduknya membuat kecakapan bicaranya lenyap seketika. Ia jadi terbata-bata. Sejujurnya ini adalah pertanyaan yang paling tak ditunggunya. Yang ingin dihindarinya sebisa mungkin. Karena ia tak yakin akan dapat memberikan jawaban yang tepat.

 

“Oke oke…Tapi bukan itu maksudku. Maksudku…anakmu laki-laki, kan? Dari perkiraanku, harusnya sekarang dia sudah jadi mahasiswa, kan?”

 

Deg. Tenggorokan Junaedi langsung tercekat. Rupanya teman karibnya mengetahui perihal usia anaknya. Padahal seingatnya, sejak dia memiliki anak 19 tahun yang lalu, mereka hanya sempat dipertemukan sekali. Di reuni besar universitas. Itu pun hanya beberapa jam. Begitu acara tersebut usai, mereka langsung berpisah. Putus komunikasi sepenuhnya. Karena Gatot langsung kembali ke kampungnya. Mengurusi koperasi yang baru ia dirikan. Baru dua minggu terakhir ia kembali ke kota ini. Untuk menemani putranya yang berurusan dengan polisi.

 

“Ya…Sekarang dia sudah jadi mahasiswa fakultas ekonomi. Semester empat. Di universitas kita dulu.”

 

Gatot terbelalak, “Jadi…selama ini putra kita satu universitas? Ck, coba saja aku tahu dari dulu, pasti sudah kusuruh anakku mencari anakmu!” ucapnya, mengeluarkan ponsel dari saku jas.

 

“Ngomong-ngomong, anakmu meneruskan perjuangan kita, kan? Siapa namanya? Siapa tahu anakku dan anakmu ada di LSM yang sama.”

 

Junaedi menyeringai bingung. Menatap handphone canggih di tangan Gatot. Menatap layarnya yang menampilkan sebuah nama dan nomor telpon. Nama dan nomor telpon anak Gatot. Keringat dingin merambahi tubuhnya. Keringat dingin yang muncul bukan hanya karena gelisah. Tapi juga karena sebuah dosa –atau lebih tepatnya, godaan- yang melayang-layang di benaknya.

 

“Yahh…” Junaedi memulai. Setelah menimbang-nimbang sederet jawaban yang dapat dipilihnya. Nyatanya nihil. Kali ini terpaksa ia harus menuruti godaan setan. Tak ada jalan lain.

 

“Tentu saja dia meneruskan perjuangan kita. Dia bahkan mendirikan LSM-nya sendiri.” sambungnya. Suaranya begitu ringan. Tanpa beban. Berbeda dengan hatinya yang serasa ditimpa batu seratus ton. Karena baginya, kebohongan adalah hal menjijikkan. Perbuatan yang membuat negeri tercintanya ini dipenuhi mafia uang beserta cukong-cukong brengseknya.

 

Tenang, sekarang ‘kan lain urusannya. Junaedi menenangkan hatinya sendiri. Toh, perbuatannya ini tidak merugikan orang lain. Perbuatannya kali ini malah terkesan penting. Untuk membela harga diri.

 

Gatot terperangah senang, “Wah, hebat sekali! Anakmu berani mendirikan LSM sendiri! Dia pasti aktivis yang hebat!”

 

Junaedi mengangguk-angguk puas. Merasa mulai dapat mengikuti arus cerita. “Tentu saja. Siapa dulu bapaknya…”

 

Gatot tertawa lagi. Kini diikuti Junaedi. Satu per satu sahabat seperjuangan itu kembali bercerita. Tentang kenakalan mereka semasa dulu. Tentang masa-masa darah muda dulu. Tentang cita-cita yang pernah mereka impikan untuk negeri ini. Tentang anak-anak mereka dan apa yang ingin mereka wariskan. Gatot dengan suka cita karena dapat berbagi cerita dengan teman karibnya lagi. Dan Junaedi dengan perasaan was-was karena takut gelagat sandiwaranya terdeteksi.

 

***

 

Sepulangnya dari bertemu Gatot, Junaedi jadi merasa sangat bersalah. Bukan hanya karena kebohongannya, namun juga karena tanggung jawab besar yang ternyata belum ia tuntaskan. Ia baru saja menyadari, kalau nasionalisme yang ia tanamkan pada anak-anaknya masih jauh dari memadai. Lihatlah, anak-anaknya kini. Mereka tumbuh menjadi pemuda bangsa yang apatis. Tak peduli kemajuan negeri. Mementingkan diri sendiri. Padahal saat masih jadi aktivis dulu, tipe-tipe pemuda seperti itulah yang paling ia benci.

 

“Bapak! Kenapa diganti berita lagi?!” protes anak bungsunya. Sore itu, semua keluarga Junaedi ada di depan televisi. Kecuali anak pertamanya yang masih belum pulang. Masih kuliah.

 

Junaedi tak menggubris putrinya. Tenggelam dalam pusaran benaknya sendiri. Berita tersangka penyuapan yang diampuni pengadilan ia abaikan. Padahal biasanya, ia pasti ramai. Mengumpat. Menyumpahi. Mengutuk-kutuk bobroknya hukum yang diterapkan negeri.

 

“Bapak!” Putrinya akhirnya kesal. Menghampiri Junaedi. Mengambil alih kekuasaan remote. Mengganti channel menjadi acara sinetron lagi. Saat itulah lamunan Junaedi lenyap. Seketika ia memasang tatap garang. Bermaksud mengancam putrinya. Tak digubris. Ia mulai membuka mulut, bersiap menyanyikan omelan dari A sampai Z. Namun kemudian terhenti, ketika ia lihat anak sulungnya nyelonong masuk. Datang tanpa salam.

 

“Hei, Rusdi!” bentaknya. Nada marah. Istrinya, yang sibuk menjahit pakaiannya, angkat bicara.

 

“Ya sudah, pak. Tidak usah dimarahi. Orang baru datang kuliah. Dia pasti capek.”

 

“Capek capek. Apa untuk memberi salam saja, dia sudah tidak punya tenaga?!” balas Junaedi, sengit. Kembali ia berteriak, “Rusdi!”

 

“Ck, apa sih, pak?” Rusdi akhirnya keluar. Tampak enggan. Melihat ekspresinya, Junaedi langsung naik darah.

 

“Datang-datang tidak mengucap salam. Mana sopan santun kamu?!”

 

Rusdi memutar mata. “Rusdi capek, Pak.”

 

“Jangan banyak alasan! Bapak yang bekerja seharian untuk membayar kuliahmu saja tidak pernah bikin alasan capek!”

 

“Ya, kan ngeluh capeknya cuma ke Ibu.” timpal istri Junaedi, pelan. Junaedi tampak salah tingkah. Kemudian menghardik Rusdi keras-keras.

 

“Sudah! Sekarang kamu keluar! Bapak mau ngomong sesuatu!”

 

“Apa saja kegiatan kamu di kampus?” Junaedi membuka pembicaraan di ruang tamu. Rusdi, yang duduk di sofa di depan bapaknya, mengerutkan dahi.

 

“Maksud Bapak apa sih?” tanyanya, merasa tak mengerti. Tumben sekali bapaknya menanyakan hal semacam ini.

 

“Bapak tanya kegiatan kamu! Sudah, jawab saja! Tidak usah banyak tanya!”

 

“Ya kuliah, Pak. Mau ngapain lagi?” Rusdi menjawab. Masih tak paham.

 

“Kamu tidak ikut LSM apa-apa, kan?!”

 

Deg. Rasanya Rusdi mulai mengerti apa yang ingin dibicarakan bapaknya. Karena itu ia memilih diam.

 

“Kenapa kamu tidak mengikuti jejak Bapak?!”

 

Diam. Rusdi bertahan diam. Ia sudah terbiasa dengan ini. Semangat nasionalisme bapaknya sedang tidak stabil.

 

“Ck, ck, ck. Bapak kecewa sekali ke kamu. Bapak pikir, dengan menjadi mahasiswa, rasa simpati sosial dan cinta tanah airmu akan meningkat, sama seperti Bapak dulu.”

 

Mendengar itu, emosi Rusdi jadi terusik. Tapi ia berusaha diam. Terus diam.

 

“Mahasiswa itu  tonggak negara! Calon penerus pemerintahan yang ada sekarang! Kalau mahasiswa tidak punya rasa cinta ke bangsanya sendiri, mau jadi apa negeri ini di masa depan?!”

 

“Rusdi tidak begitu, kok, Pak!” Rusdi akhirnya angkat bicara. Kupingnya sudah kepanasan mendengar ceramah bapaknya. Emosinya yang bocor membuatnya tanpa sadar menggebrak meja.

 

“Tidak begitu?!” Nada bicara Junaedi meninggi. Perilaku memukul meja yang dilakukan Rusdi barusan menaikkan darahnya ke puncak kepala. “Lalu kenapa kamu tidak ikut LSM? Kenapa kamu tidak pernah ikut demonstrasi untuk memperjuangkan rakyat? Kenapa kamu tidak jadi AKTIVIS?!”

 

“Ini sudah Reformasi, Pak. Bukan Orde Baru lagi. Rasa cinta tanah air itu tidak perlu ditunjukkan dengan hal-hal semacam itu. Ada cara lain untuk menunjukkannya!”

 

“Apa cara lainnya? Dengan apatis? Tidak peduli? Seperti kamu dan teman-teman mahasiswamu yang lain?!”

 

Rusdi berdiri. Bermaksud kembali ke kamarnya. Ia paling benci diperlakukan seperti ini. Dihakimi. Tanpa bukti.

 

“Mau kemana kamu?! Bapak belum selesai ngomong!” sentak Junaedi. Berniat mencekal anaknya. Menariknya duduk kembali. Terlambat. Rusdi sudah setengah perjalanan menuju kamarnya.

 

“Bapak berpesan seperti ini ke kamu bukan karena apa! Bapak cuma tidak mau kamu jadi mahasiswa yang tidak berbobot! Bapak tidak mau kamu jadi koruptor, kelak kalau kamu jadi pejabat pemerintah!”

 

Junaedi menggedor kamar Rusdi. Hening yang menyahut. Diiringi suara dialog sinetron yang semakin keras. Dan istrinya yang ganti mengomelinya.

 

***

 

Seminggu berlalu sejak Junaedi menceramahi Rusdi. Seminggu sudah keduanya tidak lagi bicara. Tiap kali bertemu, Junaedi selalu menganggap putranya tak ada. Tapi setiap kali putranya itu tak memberi kabar, atau pulang terlambat, bagaimanapun ia ketar-ketir juga.

 

Seperti malam itu, jarum jam di ruang tamu sudah menunjukkan pukul 9 lebih. Rusdi masih belum pulang juga. Junaedi mondar-mandir. Dari depan TV di ruang keluarga ke ruang tamu. Rusdi tak kunjung tampak. Istrinya mencoba menenangkan. Berkata kalau Rusdi anak laki-laki. Barangkali tidur di rumah teman. Tak mempan. Junaedi tetap bersikukuh menunggu.

 

Akhirnya pada jam 10, terdengar pintu diketuk. Junaedi, yang tertidur di sofa ruang tamu, terlonjak. Segera ia bangkit. Menghampiri pintu. Bersiap-siap untuk menyemprot Rusdi karena telah membuatnya khawatir. Namun ketika pintu itu membuka, yang muncul bukan orang yang diperkirakannya.

 

“Hai, Jun! Maaf aku bertamu malam-malam. Aku hanya ingin pamit!” Gatot berkata. Tanpa pembukaan. Seperti biasa, kepekaannya tumpul. Jika tidak, tentu ia takkan tersenyum riang melihat wajah keruh Junaedi.

 

“Urusan anakku akhirnya selesai. Dia dipesani untuk tidak mengulang perbuatan nekatnya lagi. Omong kosong. Sepulang dari penjara, aku berpesan padanya untuk terus mengulang perbuatannya. Terus memprovokasi teman-temannya untuk berdemonstrasi, selama menurutnya itu benar.”

 

Junaedi mengangguk singkat. Tak betul-betul mengerti apa yang diutarakan Gatot. Sekarang hampir setengah sebelas, Rusdi ke mana? Junaedi bertanya-tanya sendiri dalam hati. Jawabannya ia dapat tak lama kemudian.

 

“Assalamualaikum!”

 

Seorang pemuda berjas almamater berdiri di depan pintu yang masih terbuka. Terengah-engah. Beberapa bagian mukanya lebam. Sudut bibirnya mengeluarkan darah. Tanpa menanti jawab dari salamnya, pemuda itu bicara. Langsung pada Junaedi.

 

“Pak! Rusdi dibawa orang, Pak!”

 

Junaedi tak langsung tanggap. Tertegun dengan yang didengarnya. Sedetik kemudian ia baru bisa berkata.

 

“Maksud kamu apa?!”

 

“Tadi ada demonstrasi, Rusdi tiba-tiba mengajak saya ikut. Sampai di sana, ada kericuhan. Kami dipukuli. Tiba-tiba ada mobil berhenti di dekat kami. Beberapa dari kami diseret masuk. Termasuk Rusdi. Saya sudah mencoba menolongnya tapi…” pemuda itu menjelaskan dengan cepat. Secepat pemahaman yang Junaedi tangkap. Seketika, tanpa betul-betul sadar, ia bangkit. Berlari keluar. Diikuti Gatot dan pemuda tadi.

 

“Wah, anakmu benar-benar hebat! Aku kagum sekali!” seru Gatot, menyusul Junaedi. Junaedi tak menggubris. Terus berlari. Panik.

 

“Aku tak menyangka, ternyata anakmu lebih hebat dari anakku. Pasti tadi dia juga jadi provokator!”

 

Gatot tak dihiraukan lagi.

 

“Sungguh, anakmu memang aktivis pemberani! Aku akan bangga sekali kalau jadi bapaknya!”

 

Dug. Sebuah kepalan menghujam rahang Gatot. Membuatnya langsung membeku. Terpana.

 

“Tutup mulutmu soal aktivis, bangsat! Gara-gara itu anakku dalam bahaya!”

 

***

 

Masa memang sudah beda. Tapi perjuangan tetap harus terlaksana.

Perjuangan seperti apa? Serahkan jawaban itu pada pemuda saja.

Bukan pemuda yang asal-asalan, lho. Tapi pemuda yang peka.

Pemuda yang berani. Yang maju untuk penegakan kebenaran.

Biar sudah kekinian, biar faksimili sudah berganti jadi instagram.

Pemuda tetaplah pemuda.

Tak perlu demonstrasi, pemuda kini punya cara berjuang sendiri.

How do you feel about this chapter?

0 0 0 0 0 0
Submit A Comment
Comments (0)

    No comment.

Similar Tags
Belum berakhir
1477      1012     2     
Short Story
kekalahan bukan alasan untuk seseorang berhenti melakukan yang terbaik. pasti ada jalan yang lebih baik untuk kemenangan yang tertunda. cerita seorang pemuda yang selalu berbuat baik dan berhasil membantu sahabatnya mencapai impian, yang ternyata impian pemuda itu sendiri justru terpatahkan. Yang Dia rasa sahabatnya lah yang menghancurkan impian miliknya.
Reality Record
3002      1039     0     
Fantasy
Surga dan neraka hanyalah kebohongan yang diciptakan manusia terdahulu. Mereka tahu betul bahwa setelah manusia meninggal, jiwanya tidak akan pergi kemana-mana. Hanya menetap di dunia ini selamanya. Namun, kebohongan tersebut membuat manusia berharap dan memiliki sebuah tujuan hidup yang baik maupun buruk. Erno bukanlah salah satu dari mereka. Erno mengetahui kebenaran mengenai tujuan akhir ma...
Selepas patah
203      167     1     
True Story
Tentang Gya si gadis introver yang dunianya tiba-tiba berubah menjadi seperti warna pelangi saat sosok cowok tiba-tiba mejadi lebih perhatian padanya. Cowok itu adalah teman sebangkunya yang selalu tidur pada jam pelajaran berlangsung. "Ketika orang lain menggapmu tidak mampu tetapi, kamu harus tetap yakin bahwa dirimu mampu. Jika tidak apa bedanya kamu dengan orang-orang yang mengatakan kamu...
Senja di Sela Wisteria
440      278     5     
Short Story
Saya menulis cerita ini untukmu, yang napasnya abadi di semesta fana. Saya menceritakan tentangmu, tentang cinta saya yang abadi yang tak pernah terdengar oleh semesta. Saya menggambarkan cintamu begitu sangat dan hangat, begitu luar biasa dan berbeda, yang tak pernah memberi jeda seperti Tuhan yang membuat hati kita reda. “Tunggu aku sayang, sebentar lagi aku akan bersamamu dalam napas abadi...
A Night Owl State of Mind
1353      737     10     
True Story
Basically an author's diary and honest thoughts... Mostly during many sleepless nights as a night owl.
Pensil HB dan Sepatu Sekolah
59      56     0     
Short Story
Prosa pendek tentang cinta pertama
Pulang Selalu Punya Cerita
890      617     1     
Inspirational
Pulang Selalu Punya Cerita adalah kumpulan kisah tentang manusia-manusia yang mencoba kembalibukan hanya ke tempat, tapi ke rasa. Buku ini membawa pembaca menyusuri lorong-lorong memori, menghadirkan kembali aroma rumah yang pernah hilang, tawa yang sempat pecah lalu mengendap menjadi sepi, serta luka-luka kecil yang masih berdetak diam-diam di dada. Setiap bab dalam buku ini menyajikan fragme...
Ratu Blunder
44      37     2     
Humor
Lala bercita-cita menjadi influencer kecantikan terkenal. Namun, segalanya selalu berjalan tidak mulus. Videonya dipenuhi insiden konyol yang di luar dugaan malah mendulang ketenaran-membuatnya dijuluki "Ratu Blunder." Kini ia harus memilih: terus gagal mengejar mimpinya... atau menerima kenyataan bahwa dirinya adalah meme berjalan?
the Overture Story of Peterpan and Tinkerbell
13975      9123     3     
Romance
Kalian tahu cerita peterpan kan? Kisah tentang seorang anak lelaki tampan yang tidak ingin tumbuh dewasa, lalu seorang peri bernama Tinkerbell membawanya kesebuah pulau,milik para peri, dimana mereka tidak tumbuh dewasa dan hanya hidup dengan kebahagiaan, juga berpetualang melawan seorang bajak laut bernama Hook, seperti yang kalian tahu sang peri Tinkerbell mencintai Peterpan, ia membagi setiap...
Kumpulan Cerpen Mini (Yang Mengganggu)
2143      1160     11     
Humor
Cerita ringkas yang akan kamu baca karena penasaran. Lalu kamu mulai bertanya-tanya setelah cerita berakhir. Selamat membaca. Semoga pikiran dan perasaanmu tidak benar-benar terganggu.