“Kasih sayang antar keluarga tidak akan pernah terputus oleh apapun.”
Hubunganku dengan Sam memburuk seiring kedekatanku dengan Arza. Sehingga saat Arza menceritakan tentang Dani, aku semakin berpikir banyak tentang Sam. Aku terlalu egois selama ini karena menganggap hanya hidupku yang paling menderita karena perbuatan ibu. Namun hal yang tidak aku sadari adalah bagaimana Sam yang juga menderita tanpa sepengetahuanku. Aku juga terlalu fokus pada masalah Arza, aku tidak tahu jika anak itu menelponku puluhan kali untuk datang ke acara di sekolahnya. Padahal itu kesempatanku untuk memperbaiki hubungan dengan Sam yang mulai merenggang seiring dengan kedewasaan kami.
Ibu tidak banyak memperhatikan Sam, dia terlalu terfokus pada Anggelin dan suaminya. Sam hanya mengandalkanku saat ada beberapa acara di sekolah. Bahkan dalam beberapa tahun terakhir pun aku yang mengambilkan rapot kenaikan kelasnya. Dia tidak mendapatkan banyak perhatian seperti semestinya. Setidaknya aku mungkin lebih beruntung karena ayah masih hidup saat aku mulai beranjak remaja sehingga ia banyak membimbingku tentang kehidupan ini. Akan tetapi aku melupakan tentang Sam, melupakannya yang harus tumbuh dewasa sendiri. Bahkan Sam pun harus menjaga sikap baiknya didepan ibu dan suaminya hanya agar mendapatkan perhatian mereka.
“Sam…”
Aku menemuinya di pintu gerbang sekolah-nya hari itu. Acara di sekolahnya sudah berakhir dan aku terlambat untuk datang. Anak itu sangat aktif sehingga kegiatan di luar jam pelajaran sekolahnya pun banyak. Dia juga mengikuti beberapa kejuaraan dan olimpiade. Sam sebenarnya ingin menunjukan kemampuannya padaku, tetapi aku lagi-lagi mengecewakannya.
“Apa yang kakak lakukan di sini?” tanyanya acuh tak acuh. Dia berhenti tepat di depanku. Aku baru menyadari jika tinggi badan Sam sudah melampaui tinggi badanku padahal dia masih SMP.
“Hanya ingin menjemputmu! Terakhir kali kita pulang sekolah bersama adalah saat kau masih kelas 5 SD.” Ujarku berusaha menghangatkan suasana. Tapi Sam masih bersikap dingin padaku.
“Oh… jadi kakak masih ingat? Aku pikir kakak sudah lupa, sama seperti janji kakak!” dia berjalan mendahuluiku. Aku berusaha menyamakan langkah kakinya.
“Oh… ternyata adik kakak ini sedang marah rupanya?” godaku lagi sembari merangkul lengan Sam yang kemudian langsung ditepisnya. Aku merasa Sam benar-benar serius dengan kemarahannya.
“Ayolah... Sam! Kenapa kau harus seperti ini denganku? Sampai kapan?” aku masih berusaha menganggap perkataan Sam dengan biasa. Tetapi Sam tiba-tiba menghentikan langkahnya dan berbalik menatapku dengan tajam. “Sampai kakak menjauhi Arza!”
“Arza?”
“Ya! Kakak terlalu dekat dengan orang yang selama ini aku benci. Dia dan ketiga adiknya memperlakukan kita dengan buruk selama bertahun-tahun dan kakak membelanya kemarin, di depan semua orang. Selain itu, kakak juga semakin jauh dariku. Kakak lebih mementingkan masalah Arza dan adik-adiknya dibanding aku.” Ucapan Sam yang terdengar setengah berteriak. Dia membuat suasana di antara kami kembali memburuk.
“Sam, aku minta maaf jika aku melakukan kesalahan. Tapi sampai kapan kau berhenti menjadi anak kecil? Kau pikir kau sudah memahami semua? Aku pikir kau akan berubah semakin dewasa?” aku menyahutinya dengan nada bicara tak kalah tinggi. Sam memalingkan wajahnya seolah muak dengan penjelasanku. “Kau tidak tahu apa-apa!” lanjutku yang langsung dipotong begitu saja oleh Sam.
“Kalau begitu katakan apa yang tidak aku ketahui? Apakah kakak pikir aku tidak cukup dewasa menyadari jika kakak memandang Arza dengan cara berbeda! Kalian saling menyukai bukan?”
Aliran darahku terpompa lebih cepat ketika Sam mengucapkan kata-kata itu. Rasanya cukup kuat hingga kepalaku terasa pening. Aku tidak pernah menduga jika Sam mengetahui perihal hubunganku dengan Arza dan semakin binggung rasanya bagaimana menjelaskan hal itu pada Sam. “Kalian saling memandang tidak sebagai saudara tiri, melainkan sebagai sepasang kekasih. Apakah kakak jatuh cinta dengan musuh kakak sendiri? Kakak bahkan mempedulikannya lebih dari mempedulikan keluarga kakak sendiri.”
Suara klakson mobil yang melintas di sebrang jalan bersahutan di kepalaku, seperti kata-kata Sam yang semakin memperparah rasa pusing di kepalaku. Wajahku memucat, dan aku tidak bisa memikirkan kata-kata apapun untuk menjelaskannya pada Sam, sementara anak itu sendiri masih menuntut hal itu dariku. “Kakak tidak bisa menjelaskan bukan? Sudahlah… Aku juga tak butuh penjelasan! Kakak sudah terlalu banyak berubah karena Arza,”
“Sam…” aku menyahutinya dengan pelan. Bibirku rasanya keluh, “Arza tidak seperti yang kau pikirkan! Mungkin kau terlalu terpengaruh oleh kebencianku dahulu dan aku mengaku, aku-lah yang salah memandang mereka semua. Kau tidak seharusnya memandang benci pada mereka pula.”
Sam tidak menyahuti sehingga aku melanjutkan perkataanku. Aku memang benci berdebat dengan seseorang namun aku juga tak bisa terus menyembunyikan segalanya dari Sam, “kau tidak akan tahu Sam, apa dosa yang telah ibu lakukan pada mereka sehingga mereka memperlakukan kita dengan buruk. Di dunia ini, semua hal mempunyai sebab termasuk dengan mereka yang mencoba membalas dendam karena dosa ibu.”
“Kenapa kakak harus terus-menerus menyalahkan ibu? Tidak mungkin semua pokok permasalahan ini ada pada ibu. Bagaimana pun dia ibu kita, yang melahirkan kita bukan? Kakak tidak seharusnya berpikiran buruk,” dia masih saja terlalu naif. Seolah pemberitaan di media dan cibiran di social media-ku hanya dianggapnya sebagai angin berlalu.
Aku tersenyum mengejek, “Apakah kau tahu Sam apa yang selalu kakak alami di sekolah? Di media social? Hinaan, makian, cibiran, bully! Apa kau pikir semua itu tanpa alasan?” aku mencoba memberi pengertian.
“Apa karena ibu?”
“Ya!” jawabku tegas. Raut muka Sam tampak berubah.
“Semua karena rumor bahwa ibu adalah perebut suami orang. Dan rumor itu bukan hanya sekedar rumor. Memang seperti itulah yang terjadi, aku mengetahuinya sendiri dari mulut ibu seiring berjalannya waktu. Dan kau tahu apa yang terjadi pada wanita yang kehidupannya telah ibu hancurkan? Dia mengalami depresi, hidupnya hancur. Lalu apa kau masih akan membela ibu setelah mendengarnya?”
Aku melihat guratan sedih di wajah Sam. Sejujurnya aku ingin menyimpan semua itu sendiri. Tetapi Sam membuatku tak memiliki pilihan selain mengatakan yang sebenarnya. Aku harap pikirannya tidak terlalu terguncang. “Aku tidak tahu kak! Entah harus membenci ibu atau tidak.” Sahutnya tampak cemas. Dia berada dalam suatu dilema. “Ibu pasti punya alasan kuat kenapa melakukannya. Dan mungkin itu demi kita berdua.”
Mungkin memang benar jika ibu memiliki alasan kuat. Aku juga tak memaksa Sam untuk membenci perbuatan ibu seperti yang aku lakukan. Sam tidak melihat ibu dengan caraku melihatnya. Mungkin karena sejak dulu aku lebih dekat dengan ayah ketimbang ibu, dan karena ibu yang terlalu berterus-terang padaku. Dia selalu menjadikanku tempat meluapkan segala keluh-kesahnya, dimana aku yang harusnya membutuhkannya untuk bercerita tentang keluh kesahku di masa remaja. Ibu tidak memberiku pilihan. Di mataku, dia selalu bertindak dengan keegoisannya.
“Sudahlah Sam! Aku lelah berdebat denganmu. Aku tahu kau pasti akan mengatakan semua itu. Biarkan aku menyimpan semua penderitaan itu sendiri.”
“Kakak!” Sam mencoba mencega langkahku menjauh. Tapi aku berusaha mengabaikannya kini. Tidak ada yang benar-benar memahami perasaanku selain Arza.
“Maafkan aku!” ucapnya mengentikan langkahku seketika. Sam berjalan menyusulku dan meraih pundakku.
“Aku tahu kakak mungkin sudah banyak menderita kerena ibu, aku memang tidak tahu apa-apa. Tetapi aku mohon jangan membenci ibu dengan kebencian yang sedalam itu. Bagaimana pun kakak dan ibu adalah keluargaku yang tersisa, aku tak mau kita tercerai-berai karena kebencian masing-masing. Aku masih membutuhkan kalian berdua…” Hatiku melunak karena tatapan Sam yang terlihat begitu teduh. Aku dan dia dipihak berbeda. Tapi aku masih dapat menerima jika di mata Sam, ibu tetaplah sosok yang baik di matanya.
“Aku akan berusaha untuk tidak campur tangan dengan perasaan kakak lagi. Aku tidak peduli kakak bersama siapapun asalkan jangan pernah melupakanku, karena aku butuh kakak!”
“Tentu, Sam!” Ujarku membuatnya tertunduk. “Aku tidak akan pernah mengabaikanmu lagi. Tetapi untuk masalahku dengan ibu, biarlah waktu yang memperbaiki semua. Untuk saat ini, aku masih berusaha melupakan rasa sakitku karena perbuatan ibu.”
Aku rasa baik Arza maupun aku dapat memahami jika seorang anak sulung memang membutuhkan bahu yang kuat, bahu yang dapat memopong beban yang dihadapkan pada mereka. Setiap anak sulung mempunyai bebannya sendiri yang mengharuskan ia belajar lebih cepat tentang kehidupan ini. Aku memaknai setiap detail kehidupanku dengan langkah yang disebut permahaman.