“Tuhan kembali menunjukan bahwa aku salah, aku memiliki keburukan yang membuatku tidak lebih mulia dibandingkan orang lain.” ~Freya
Ada surat panggilan dari kepolisian lalu berita tentang kecelakaan yang melibatkan anak pengusaha ternama mencuat dimana-mana, tak tahu anak yang mana yang dimaksud karena setahuku itu Dani bukan Arza. Namun karena kepemilikan mobil adalah atas nama Arza maka dia yang ditengrai bersalah.
Sementara kritikan pada Tuan William tentang caranya mendidik anak dengan memberikannya mobil mewah yang berujung maut pun semakin gencar. Sepertinya usaha pria itu menutupinya kasus putranya tidak berhasil, dia bukan tuhan yang memiliki kuasa atas segalanya. Karena kasus yang memanas itu pun dia tidak memiliki waktu untuk mencabut beasiswaku. Dia tampaknya mengabaikan begitu saja masalah denganku.
Namun aku merasa buruk pada Arza semakin harinya. Pihak kepolisian bahkan telah melayangkan surat panggilan yang tampaknya tak direspon oleh tuan William dan pengacaranya, mereka sibuk melakukan mediasi dengan keluarga korban untuk mencabut tuntutan itu hingga polisi pun menjemput paksa Arza. Aku tidak menyangkah jika masalah itu akan seserius itu. Kepemilikan mobil mewah yang sangat langkah di Indonesia itu pun menjadi alasan kuat mengapa Arza menjadi pelaku utama meskipun bukan ia yang menabrak salah satu pengendara motor tersebut.
“Apakah kau baik-baik saja?”
Entah mengapa hatiku tidak siap melihat Arza dalam keadaan buruknya. Aku telah mengetahui banyak tentang kehidupannya yang tak se-sempurna yang aku bayangkan. Namun aku tetap memberanikan diri untuk menemuinya di hari berikutnya setelah pemeriksaan tersebut telah selesai dilakukan. Arza menginap di penjara selama semalaman. Aku tidak bisa membayangkan bagaimana pangeran sepertinya dapat menjalani kehidupan di buih yang tak senyaman rumah mewahnya.
“Yah... aku baik!”
Mataku terus memandangi wajahnya yang tampak lusuh. Ada lingkaran hitam yang muncul di sekitar matanya. Dia mungkin mengalami malam yang berat dengan melakukan pemeriksaan. Orang-orang yang bertindak sebagai penyelidik itu mungkin telah menghujaninya puluhan pertanyaan yang menyudutkannya. Aku memaki dalam hati tentang keputusannya menggantikan Dani untuk bertanggung jawab dalam kecelakaan itu.
“Kenapa kau harus sampai melakukan ini? Kau bisa sembunyi sampai ayahmu dapat menyelesaikan masalah ini. Mereka bilang mempunyai bukti ketidakterlibatanmu!”
“Apa ayahku tahu bahwa Dani pelakunya?”
“Aku tidak tahu tentang itu. Tetapi ayahmu memberiku tawaran jika aku mau mengatakan yang sebenarnya dimana kau malam itu, maka dia akan meneruskan beasiswa yang dia berikan dan menjamin pendidikanku hingga seterusnya,”
Aku teringat beberapa hari sebelum Arza berada di penjara. Tuan William menawariku sebuah perjanjian. “Aku tahu kau ingin menjauh dari ibumu, aku bisa membantumu pergi ke luar negeri dan bersekolah disana. Kau juga terlalu dekat dengan Arza. Aku tidak yakin apa yang ada dibalik pikiranmu sebenarnya. Kau harus membantu Arza, maka dengan begitu aku juga akan membantu dirimu. Itu sebuah kesepakatan dan aku yakin kau sudah tahu apa yang harus kau lakukan…”
“Dan kau menyetujuinya?” pertanyaan Arza kembali menyadarkanku dari lamunan panjang.
“Aku masih memikirkannya. Kau juga tahu bahwa aku ingin menjauh dari kehidupan ibu. Dan jika aku tetap bertahan dengan menerima beasiswa itu maka sama saja, aku tidak akan penah terlepas dari kehidupan ibu.” Dustaku.
“Tapi kau membutuhkan beasiswa itu bukan? Kau tidak akan bisa membiayai sekolahmu sendiri!”
“Aku tahu! Tapi kau juga tak akan setuju bukan? Jika aku mengatakan bahwa Dani yang membawa mobilmu malam itu?”
“Yah… karena meski kau mengatakannya, itu tidak akan berarti apa-apa. Mungkin aku akan bebas dari semua tuduhan. Tetapi bagi ayah dan Dani, semuanya akan terus berlanjut,”
“Lalu apa rencanamu?”
Arza diam, “Kau masih SMA! Masih tersisa beberapa bulan lagi sebelum ujian akhir. Jika kau dipenjara maka kau tidak akan bisa mengikuti ujian di sekolah, lalu kau juga tak akan bisa membawa ibumu melarikan diri dari negara ini. Setidaknya kau harus menunggu sampai beberapa tahun lagi…”
Aku tidak melihat raut kecemasan di wajah Arza. Dia mungkin telah memikirkan semua sebelum aku mengajukan pertanyaan-pertanyaan itu. Hanya saja untuk kali ini dia lebih memilih untuk menyimpan rencananya sendiri. Mungkin dia telah kembali tak mempercayaiku lagi.
“Tidak masalah jika aku harus menunggu! Dengan begitu aku bisa menunggumu bukan?” ujarnya padaku dengan ringan. Dia berusaha mencairkan suasana di antara kami. Mungkin dia bisa melihat bagaimana raut wajahku yang penuh dengan kegelisaan.
“Tapi sebelum kau pergi aku minta tolong padamu! Ini tentang Dani…”
******
“Dani!”
Aku mencari anak laki-laki itu selama beberapa hari ini. Mengunjunginya dan sekolahnya beberapa kali tetapi ia juga seperti menghilang dan mengurung dirinya sendiri dari keramaian. Hingga aku tanpa sengaja melihat siluet tubuhnya di pelataran rumah sakit. Dia menghentikan langkah cepatnya ketika melihat sosokku yang menghadang dari kejauhan, hal itu semakin menyakinkanku bahwa Dani memang menyembunyikan sesuatu.
“Apa yang kau lakukan di tempat ini?” tanyaku sesampainya di hadapannya. Anak itu mengenakan topi hitam dan jaket hodie yang hampir membuatnya tidak dikenali. Pikirku dia tengah melakukan permainan detektif. Tetapi dia diam-diam mengujungi seseorang yang telah dicelakainya.
Dia tidak menjawab pertanyaanku, melainkan hanya melirikku dengan sengit. Aku kembali menahannya saat ia hendak melangkah meninggalkanku. “Apa kau tahu dimana Arza sekarang?” pertanyaanku sengaja untuk memancingnya. Dani tampak menelan ludahnya. Dia tidak bisa menutupi perasaan takut yang mulai menggerayahi benaknya. Tampaknya dia memang menyembunyikan sesuatu. “Apa urusanmu? Lebih baik kau pergi saja sana!” ujarnya sinis seperti biasa. Aku pun mulai geram.
“Apa kau lupa bahwa aku juga berada di tempat kejadian? Hanya aku, kau dan Arza yang tahu siapa pelaku sebenarnya…” dia terpancing dengan perkataanku.
“Lalu kau mau apa? Melaporkan yang sebenarnya dan membela Arza?” balasnya.
“Memang itu yang ingin aku lakukan! Jika saja bukan Arza yang melarangnya,”
Aku tidak melihat tanda-tanda rasa bersalah di wajah Dani. Dia tampak seperti biasa, tidak seperti yang dikhawatirkan Arza. Dani juga tak tampak menyalakan dirinya, dia baik-baik saja dan bahkan dapat menyahutiku dengan ketus. Hanya saja saat penutup kepalanya terbuka aku memang melihat sesuatu yang berbeda di wajahnya. Raut wajah yang penuh dengan guratan ketakutan.
“Apa Arza baik-baik saja?” tanyanya tiba-tiba padaku.
Aku membawanya ke tempat yang lebih tenang dimana kami dapat berbicara berdua. Aku membelikannya secangkir coklat panas seperti yang diminta Arza. Dan mulai berbicara baik-baik dengannya. “Dia mengatakan baik-baik saja. Tapi aku melihat sebaliknya! Dia tidak mungkin baik-baik saja setelah mendapat semua tuduhan yang tidak dilakukannya.”
“Aku tahu, aku yang bersalah.” Sahutnya,
“Tapi aku tidak bisa mengakuinya begitu saja. Aku pikir memang lebih baik kakakku yang menggantikanku. Dia lebih tahu bagaimana menghadapi ayah,”
“Lalu apa yang akan kau lakukan untuk kakakmu? Bagaimana jika ia kesakitan berada di penjara. Apa kau tidak memikirkan itu?”
“Tapi, setidaknya ayah sangat peduli padanya. Dia pasti akan mengusahakan segala cara untuk membebaskan Arza. Aku yakin Arza akan bertahan sampai ayah berhasil membebaskannya.”
“Memangnya jika kau diposisi Arza! Kau pikir ayahmu tidak akan melakukan hal sama?”
“Tidak!”
“Ayah tidak pernah mempedulikanku. Tidak sebaik dia mempedulikan Arza dan Miko.”
“Dani...” aku membantahnya,
“Aku bukan apa-apa dibandingkan mereka. Aku hanya anak nakal! Dan jika aku melakukan kesalahan yang besar, ayah pasti sangat membenciku. Dia akan meninggalkanku seperti saat ibu meninggalkanku.”
“Apa kau tahu sesuatu tentang ibumu?”
“Yah...” anak itu mulai memandangku dengan tatapan aneh. Aku tidak yakin tetapi dia seolah tengah mengadiliku.
“Ibumu yang membuat ibuku pergi. Dia meninggalkan rumah, meninggalkan kami bertiga. Tapi ayah bilang ibu meninggalkanku karena aku terlalu banyak menyusahkannya. Sampai sekarang ibu tidak kembali. Aku tidak punya siapa-siapa selain ayah, dia tidak boleh meninggalkanku.”
Arza benar jika Dani mempunyai gangguan psikis yang begitu berat. Dia yang sampai saat ini tidak mengetahui bahwa ibunya tengah depresi. Ayahnya tampak memberinya pengaruh berlebihan. Aku tidak tahu, mungkin semacam ingin mengikat anak itu untuk terus tinggal bersamanya dan tak mencari ibunya.
Awalnya kupikir Dani adalah anak manja, kesayangan keluarganya yang bebas melakukan yang diinginkannya, termasuk memakai mobil kakaknya untuk balapan liar yang cukup berbahaya. Tetapi lagi-lagi aku salah. Dia juga salah satu korban dari perbuatan ibu yang menghancurkan keluarga itu. Ibu pikir itu takdir, itu bagian dari rencana hidupnya. Tetapi tuhan pasti tahu mana yang lebih benar pada akhirnya.
“Kau tidak seharusnya ragu pada orang-orang menyayangimu, karena jika mereka menyayangimu dengan tulus. Mereka tidak akan membiarkanmu menanggung penderitaan sendiri. Kasih sayang orang tua kepada anaknya dan kasih sayang anak kepada orang tuanya, semua itu tidak akan mudah terputus.” Ujarku pada Dani. Aku pun baru menyadari semua itu.