“Tahu mengapa orang-orang selalu memakai topeng.
Itu karena kita yang cenderung tak menyukai kejujuran. Jadi jangan salahkan jika mereka berpura-pura bahagia atau ikut menderita.” ~Arza
Hari ulang tahun Angelin yang pertama dirayakan begitu mewah dan meriah. Dia adalah adikku dari pernikahan ibu dengan Tn.William. Berbeda denganku dan Sam yang hampir tak memiliki tempat di rumah itu, Angelin justru menjadi satu-satunya putri cantik yang mempunyai kakak-kakak seorang pangeran. Dia mengambil hati banyak orang termasuk itu Arza dan adik-adiknya, bahkan para media yang sering mengolok-olok ibuku sekalipun mereka memuji putri pertama Tn.William itu.
Aku datang ke pesta itu hanya untuk memberikan Angelin sebuah kado tanpa bermaksud terlibat dalam keluarga itu. Namun ibu menyeretku lebih dalam hingga aku harus bersanding di sampingnya dengan topeng bahagia di hadapan awak media. Kami juga mengambil foto bersama dimana semua anak ibu dan Tn. William berada disana, termasuk itu Arza dan kedua adiknya.
Mereka mengenakan setelan tuxendo putih yang selaras dengan anggota keluarga lainnya, sementara aku dan ibu memakai gaun berwarna hitam yang mencolok karena konsep party yang memang hitam-putih. Itu semakin memperjelas posisi kami, seolah kami adalah iblis yang telah menggoda para malaikat. Setidaknya itulah yang aku dengar dari bisik-bisik para tamu, dibalik wajah ramah mereka dan dibalik ucapan bahagia mereka.
Pesta yang berlangsung di sebuah ballroom hotel itu pun berlangsung cukup meria, tak seperti pesta ulang tahun anak berumur satu tahun lainnya. Pesta itu lebih tepat dikatakan pesta resmi dimana semua yang hadir hanyalah kolega-kolega Tn.William serta beberapa kenalan ibu di perkumpulan elitnya. Aku tak mengenal siapapun di pesta itu bahkan orang-orang yang mereka bilang adalah keluargaku sekalipun, aku merasa sangat asing. Sementara Sam; adikku dia tampak baik-baik saja sembari menjaga Angelin. Selepas acara puncak itu pun, aku hendak meninggalkan tempat itu namun ibu tiba-tiba menahanku dengan gelagat aneh.
“Freya… jangan pergi dulu! Ibu mau mengenalkanmu pada anak teman ibu. Dia tampan dan dari keluarga terpandang, ibu akan senang jika kau dekat dengannya!” ujar wanita itu dengan wajah sumringah seolah dia tak memikirkan kata-kata baru saja ia ucapkan.
“Memangnya ibu punya teman?” aku menyahuti dengan sinis hingga membuat genggaman tangannya di lenganku merenggang. Aku masih menatapnya dengan seksama dan ia tampak sedikit canggung.
“Mengapa kau berpikir ibu tidak punya teman?” dia bertanya balik.
Aku meraih kembali pergelangan tanganku darinya.
“Teman macam apa yang diam-diam mencibir temannya sendiri? Ibu tahu jika mereka bersama ibu hanya karena ibu adalah istri Tn.William dan bukan karena benar-benar menyukai ibu. Atau ibu hanya pura-pura tidak tahu saja?” Wanita itu tetap diam. “Jangan bertingkah seolah ibu wanita yang terpandang atau terhormat di hadapanku. Ibu hanya perempuan yang merebut suami orang jadi jangan melakukan sesuatu yang menjijikan seperti itu padaku!”
Mendengar perkataanku yang begitu kurang ajar, refleks tangan ibu terangkat hingga manamparku. Aku terkejut seperti pula dirinya, beruntung tak ada satu pun orang yang melihat pertengkaran kami. Pipiku terasa berdenyut. Aku tidak bermaksud kurang ajar padanya, aku hanya marah dengan sikap ibu yang seolah lupa dengan dirinya sendiri. Aku tahu maksud ibu yang hendak mengenalkan aku pada anak temannya dan itu pasti karena mereka dari keluarga kaya raya.
“Freya!” ibu memanggilku untuk memastikan keadaanku, tetapi aku telah terlanjur sakit hati. “Ibu tidak bermaksud menamparmu, jika saja kau bisa menjaga ucapanmu!”
Aku menelan air mataku dengan susah payah. “Asal ibu tahu! Aku tidak pernah mempunyai teman sejak ibu mendapatkan keluarga ini. Bahkan tidak ada satu pun dari mereka yang mau berteman dengan seorang anak pelakor. Ibu tahu bagaimana penderitaanku? Dikucilkan di sekolahku? Ibu tidak pernah tahu karena ibu memang tidak pernah ingin tahu. Ibu hanya berpura-pura menjadi ibu yang baik.” Perkataanku tampaknya membuat air mukanya berubah. Dia sepertiku yang ingin menjerit sekeras-kerasnya tetapi mempunyai rasa gengsi yang terlalu tinggi untuk sekedar mengasihani diri sendiri.
“Aku berusaha untuk hidup sendiri, aku juga tidak ingin mengusik kehidupan ibu. Jadi tolong jangan menariku ke dalam kubangan lumpur yang seperti ibu. Aku tidak ingin kotor seperti ibu, aku ingin memilih jalan hidupku sendiri…”
“Freya!” dia membantah perkataanku. Aku merasa kerongkonganku dipenuhi oleh duri-duri yang tajam hingga saat aku menelan kepahitan itu rasanya begitu sakit. “Kau terlalu muda untuk memahami kehidupan ini! Ada begitu banyak hal yang membuat kita semakin kotor setiap harinya. Itu semua agar kita bertahan hidup, agar kau dan adikmu bisa bersekolah di tempat yang bagus. Apakah kau tidak berpikir itu? Kau memang yang belum memahami ibu!”
Seperti itulah ibuku. Sejak ayah meninggalkannya dalam kemiskinan dan penderitaan. Dia telah berubah menjadi sosok yang semakin hari semakin tak aku kenali. Aku tidak menyangkal fakta bahwa hidup ini memang terlalu kejam tetapi aku hanya saja merasa jika perbuatan ibu tidak dapat dibenarkan.
Aku menghapus air mataku yang sudah mencapai permukaan dengan kasar. Ibu masih menatapku dengan mata berkaca-kaca. Mungkin gen yang ibu turunkan padaku adalah sifat keras yang aku miliki ini. “Aku tidak mau memahaminya! Aku tidak mau memahami kehidupan ibu, bahkan tidak ingin menjadi anak ibu… aku tidak mau…” aku berjalan gontai meninggalkan ibu di ruangan itu. Sementara ibu tampak membeku begitu saja. Aku sempat meliriknya sebelum membalikkan tubuh dan perkataanku akhirnya dapat menumpahkan air matanya.
Aku tidak bermaksud untuk menjadi anak kurang ajar atau apapun, aku hanya ingin membuatnya berpikir yang selama ini aku pikirkan. Ibu selalu berusaha mengabaikan setiap kebenaran dalam hidupnya dan bahkan berita-berita buruk tentangnya pun hanya dianggapnya angina berlalu. Dia tidak tahu bahwa itu berakibat kepada anak-anaknya.
“Kenapa kau terlalu berpikir seburuk itu pada ibu, Freya? Tidakkah kau berpikir bahwa ibu masih mempunyai hati? Meski ibu berusaha membunuh hati ibu sendiri.” jerit wanita itu ketika aku telah meninggalkannya cukup jauh. Aku masih mendengarnya, mendengar suara tangisannya pula namun aku tetap berusaha untuk mengabaikannya.