"Membunuh atau dibunuh" itu menjadi kata kunci dalam novel terjemahan karya Suzanne Colinns yang aku baca. Entah mengapa sejak beberapa bulan terakhir aku lebih suka membaca novel bergenre Thriller yang menampilkan petualangan dan kekerasan. Bagiku kehidupan penuh ironi yang aku jalani seperti dalam novel yang ku baca. Dimana tujuan utama setiap orang adalah untuk mempertahankan hidupnya meskipun itu dengan cara membunuh orang lain. Aku masih tidak terlalu mengerti tentang arti pembunuhan, namun membunuh bukan hanya berarti dengan membunuh fisik. Melainkan dengan hal lain yang bahkan tak terduga.
Sejak rumor tentang ibuku menyebar cepat di sekolah, aku merasa pembunuh yang mengincar mental-ku telah menampakan dirinya. Seberapa keras aku berusaha menyembunyikan wajahku dari orang-orang, mereka tetap dapat menemukanku dalam keadaan penuh lumpur. Aku seperti hidup dalam permainan ‘Hunger Games’ dimana aku sebagai daging segar yang mereka incar. Mereka berusaha membunuhku dengan cara yang tidak akan terbayangkan oleh siapapun. Dimulai dari mentalku, kemudian jiwaku lalu berakhir denga fisikku yang mereka lenyapkan.
“Apa kau tahu? Ibunya adalah perusak rumah tangga orang tua Arza, dia menggoda Tn.William untuk menceraikan istrianya lalu menikah dengannya.” Bisik-bisik beberapa siswa yang ku lewati di koridor. Aku hanya berpura-pura tak mendengarnya. Mereka seperti sekumpulan anjing yang menggonggong ketika segumpal daging melewati mereka. Dan ketika mereka mendapatkan kesempatan, mereka tak segan-segan menerkamnya.
“Sungguh tidak tahu malu! Dia masih berani memilih sekolah ini.”
“Dia pasti sama jalangnya dengan ibunya! Wanita murahan yang merebut suami sahabatnya sendiri!”
“Jangan dekat-dekat dengan dia! Atau dia kan menggoda pacarmu juga!”
“Aku hanya kasihan pada Arza, dia pasti menderita karena gadis itu…” ucap yang lainnya.
Aku melepaskan handset di telingaku dengan kesal. Aku tetap bisa tersulut kemarahan meski semua perkataan itu sudah sering ku dengar. Semua media sosialku juga bahkan dipenuhi dengan para Haters ibuku sejak beberapa bulan ini dan itu menambah daftar panjang riwayat kesengsaraanku sejak tiga tahun lalu. Aku tak tahu dari mana mereka mendapatkan rumor itu, tetapi umpatan mereka pada ibu yang mereka luapkan padaku sungguh tak pantas.
“Jangan dengarkan! Mereka hanya iri denganmu karena kau saudara tiri Arza!”
Jia menahan lenganku ketika aku hendak menghampiri mereka. Dia menarikku ke area taman untuk berteduh sembari menyodorkan sekaleng minuman dingin. Aku langsung menenerimanya tanpa ragu.
“Aku sudah terbiasa.” Sahutku singkat. “Hanya saja, tidak seharusnya mereka iri karena tidak ada yang bisa dibanggakan dari menjadi saudara tiri Arza. Dibandingkan iri mereka lebih terlihat membenciku karena takut aku akan menggoda Arza.”
Kali ini Jia tak lagi menyahuti. Dia sedang meneguk minumannya hingga setengah kaleng. Aku juga melakukan hal sama. Pikiranku masih sedikit kacau dan minuman dingin itu tepat untuk mendinginkan otakku. “Memangnya kau akan menggoda Arza?” Pertanyaan Jia yang membuatku seketika menatapnya. “Aku hanya bercanda! Kalau aku jadi kau aku juga pasti akan merasa sangat kesal pada mereka. Tapi…” dia tak melanjutkan kata-katanya untuk beberapa saat, sebelum aku menyahutinya balik.
“Tapi apa?”
Dia mendadak mengubah ekspresinya menjadi tegang saat aku berusaha menginginkan penjelasannya. “Tidak… hanya pemikiranku yang tak penting saja. Aku berpikir mungkin kau akan tertarik pada Arza jika kau membencinya terlalu dalam.” Aku tertawa terbahak-bahak hingga menjatuhkan kaleng minuman yang aku pegang. Aku kehilangan kontrol terhadap diriku sendiri karena mendengar perkataannya yang begitu tak masuk akal.
“Mana mungkin itu akan terjadi padaku. Aku bahkan tidak pernah berpikir seperti itu sebelumnya. Kebencianku pada Arza hanya wajar-wajar saja kok dan itu mungkin hanya karena aku tidak mengenalnya dengan baik.” Penjelasanku pada gadis itu yang membuatnya itu tersenyum. Aku kembali mengontrol diriku. Sebenarnya aku tidak benar-benar tertawa karena lucu namun hanya lebih karena tak tahu harus menjawab apa pada awalnya. Jia berpikir hal yang sama sekali tak pernah aku pikirkan sebelumnya.
“Baguslah jika seperti itu! Kurasa kita bisa berteman selamanya!” ucapan Jia yang terdengar sedikit ganjil di telingaku.
Selepas jam istirahat, aku dan Jia berjalan menuju ruang kelas di lantai dua. Aku mengobrol dengannya tentang banyak hal hingga membuatku tak sadar akan sebuah perangkap yang tengah di siapkan untukku. Saat aku hendak menaiki tangga ke kelas tiba-tiba saja sesuatu yang basah menimpahku dari atas kepala, air kotor bekas tanah liat yang digunakan di kelas seni. Mereka sengaja membuangnya dari lantai dua saat aku berada tepat di bawahnya. Semua orang yang berada di lantai itu menertawaiku tak terkecuali laki-laki di ujung koridor sana, Arza. Dia secara kebetulan bersandar pada balkon lantai dua bersama teman-temannya. Dia juga menatapku dengan tatapan yang sulit aku pahami. Aku jadi berpikir jika seseorang itu adalah suruan Arza.
“Kau tak apa-apa?” Tanya Jia padaku ketika aku sudah basah kuyup dan bau. Dia cukup beruntung karena dapat menghindar sehingga tak tersiram sedikitpun. “Mereka pasti sengaja melakukan ini padamu. Bahkan mereka juga lari setelah melakukannya.”
“Tidak apa-apa, aku baik-baik saja! Aku akan kembali ke asramaku sebentar!” Ujarku tanpa banyak bicara dan pergi dari tempat itu. Seluruh tubuhku basah kuyup dan seragamku pun kotor. Aku tak punya pilihan selain kembali ke asrama dan mengganti pakaianku. Aku yakin Mr. Jim, guru matematika yang kiler itu pasti akan menghukumku setelah ini karena terlambat mengikuti pelajarannya.
“Freya!! Kau dari mana? Kenapa baru tiba di kelas?” tegur Mr. Jim padaku dengan suara lantang. Seperti dugaanku sebelumnya, aku akan terlambat beberapa menit memasuki kelas karena harus kembali ke asramaku. Ditambah lagi aku harus berdebat cukup lama dengan kepala keamanan agar mengijinkanku melewati gerbang sekolah.
“Maaf… aku tidak mendengar suara bel!” Alibiku agar ia tak tahu apa yang telah menimpahku. Sekalipun aku menceritakannya dia juga pasti tidak akan mempercayainya. Namun hal itu justru membuat Mr.Jim semakin marah.
“Apa kau tuli? Telingamu itu seharusnya bisa mendengar suara bell sekeras itu jika memang normal!” dia memakiku dengan kata-kata kasar itu di depan kelas dan disaksikan semua anak. Namun tak ada satu pun dari mereka yang berani membela ataupun sekedar menjelaskan yang sebenarnya terjadi padaku, bahkan itu Jia sekalipun.
“Kau berandal kecil! Bisa-bisanya kau berbohong dan masuk ke kelasku tanpa rasa bersalah setelah terlambat hampir satu jam? Sekarang kau mau mengikuti kelasku? Lupakan saja! Karena aku akan menghukummu dengan sepantasnya!” dia seseorang guru kiler yang sangat temperamental, satu kesalahan saja bisa membuatnya membenciku selamanya.
“Keluar dan lari kelilingi lapangan sampai selesai pelajaranku selesai!” perintahnya. “Lakukan sekarang!”
Aku pikir sekolah baru akan membuatku bisa memulai kehidupan baru. Namun pada kenyataannya aku tetap mengalami hal serupa. Semua orang menjauhiku, menjahiliku dan bahkan mengumpat tentang aku dan ibuku. Semua itu membuatku seakan-akan hendak dibunuh dengan perlahan-lahan oleh mereka.