Orang-orang baik selalu meninggalkan dunia ini lebih dulu. Tuhan lebih merindukan mereka dibanding yang lainnya. Ia sengaja menyisakan orang-orang buruk di dunia ini karena hanya itulah tempat yang pantas untuk mereka. Bumi adalah rumah untuk orang-orang yang penuh keburukan. Dan begitulah sebabnya mengapa tuhan mengambil ayah lebih cepat. Ia mengabaikan ibuku yang mungkin akan begitu menderita tanpa tulang punggungnya. Sementara kedua anaknya yang masih kecil pun masih membutuhkan penghidupan serta kasih sayang ayahnya.
Berbulan-bulan setelah ayah meninggal, aku dan ibuku hidup dalam kemiskinan. Ibu yang telah terbiasa hidup bak sosialita tak mampu menghilangkan kebiasaannya. Dia tak bisa mengatur keuangan dengan baik dan lebih cenderung berfoya-foya untuk menghibur dirinya sendiri. Uang asuransi ayah pun habis hanya dalam beberapa bulan, uang itu bahkan belum sempat digunakan untuk biaya pendidikanku yang hendak masuk ke SMP.
Ibu menangis setiap hari dan meratapi nasibnya. Hingga suatu hari seorang sahabat menawarinya pekerjaan sebagai Assistant dan ibu pun tanpa ragu menerimanya. Namun siapa yang dapat mengira jika pekerjaan itu membuat ibu dapat bertemu dengan Tn. William, sang penyelamat kehidupannya. Dia bercerai dengan istrinya dan kemudian menikahi ibu.
Semua itu berlangsung begitu singkat hingga aku akhirnya tahu bahwa ibu bukanlah seorang Cinderella dalam cerita dongeng. Dia tak mendapatkan tuan William dengan keberuntungan melainkan dengan suatu cara kotor yang bernama pengkhianatan. Aku mengetahui semua kenyataan itu tepat di usiaku yang baru menginjak 11 tahun. Usia yang masih terlalu mudah untuk memahami bagaimana kehidupan orang dewasa berjalan. Namun kenyataannya aku memilih diam selama bertahun-tahun, menyimpan kehidupan menjijikan itu hanya dalam ingatanku seorang.
Aku adalah satu dari sekian ribu orang yang membenci ibuku karena perselingkuhannya dengan tuan William. Akan tetapi aku telah terlanjur menyandang status sebagai anak kandungnya hingga pada akhirnya aku pula yang menanggung dosa itu. Aku mengalami semua hal-hal buruk yang harusnya mereka tunjukan pada ibu. Aku seperti perisai yang tak sengaja mereka tunjuk untuk melindungi ibuku, meski pada kenyataannya aku tak pernah mengharapkan hal itu.
Aku tidak ingin terlibat pada hal-hal yang berhubungan dengan kehidupan ibu, bahkan aku juga tidak ingin melindungi ibuku. Aku hanya ingin hidup untuk diriku sendiri sama seperti yang aku lakukan sebelum pernikahan ibu dan tuan William itu terjadi. Aku satu-satunya orang yang ingin melarikan diri dari dunia ibu, meskipun itu hampir tak mungkin.
“Kenapa kau melakukannya?” tanyaku pada laki-laki itu ketika kami tak sengaja berpapasan di depan rumah. Laki-laki itu sepertinya hendak pergi dan sementara aku hendak mengunjungi Sam setelah dia menelponku pagi itu. Aku rupanya sudah tak bisa menahan diri lagi untuk terus diam. Aku menyakini bahwa Arza adalah orang dibalik semua pembullyan yang terjadi di sekolah. Memang tidak ada bukti yang mengarah padanya namun aku hanya yakin dia adalah pelakunya.
Arza berhenti sejenak setelah mendengar pertanyaanku. Namun dia sepertinya enggan untuk membalikan tubuhnya dan menatapku. Aku masih bergelut dengan kesunyian yang menyelimuti situasi diantara kami. “Kau dan aku, kita bahkan bukan orang yang dekat satu sama lain. Kenapa kau harus repot-repot menunjukan pada semua orang bahwa aku saudara tirimu? Kau pasti melakukan itu untuk suatu tujuan!” tuduhanku padanya mengikuti keyakinan dalam benakku. Dia masih enggan untuk menyahutiku. Punggungnya yang tegap bahkan terlihat tak goyah sedikitpun dengan perkataanku. “Dan tujuan itu adalah membalas dendam padaku! Benarkan?”
“Memangnya kau punya kesalahan apa hingga aku membalas dendam padamu?” perkataan Arza yang tiba-tiba membuat langkahku terhenti seketika. Dia masih tak membalikkan badannya. “Kecuali kau memang merasa bersalah padaku.”
Aku seperti seorang prajurit kecil yang tengah terpojok oleh sang raja, raja yang siap menelanku saat dia mampu membalikan keadaan dengan mudah. “Aku hanya melakukan seperti yang ibumu inginkan dan apakah itu sebuah kesalahan?”
Kutatap dengan lekat punggung Arza dengan nanar. Yah… semua memang berawal dari ibu, batinku. Tak lama kemudian laki-laki itu akhirnya membalikan badannya dan menatapku. Dia hanya memandangku dengan sebelah matanya dan bagianya aku hanya sesekor semut yang tidak akan pernah diperhitungkannya. Aku hanyalah seorang anak kecil yang tak tahu apa-apa di matanya.
“Dia yang memberikan semua hal buruk padamu dan bukannya aku…”
“Tapi semua itu juga tak akan terjadi jika kau tak setuju dengan permintaan ibuku. Kau bisa mengabaikannya bahkan jika perlu kau tak perlu menganggapku ada.” suaraku yang terdengar nanar. Aku merasa tenggorokanku sedang tercekik oleh sesuatu.
“Kau tak perlu khawatir, aku juga tak berminat sedikitpun untuk melakukan itu. Aku memang tak pernah menganggap kau dan ibumu ada di dalam kehidupan kami.” balasnya lagi yang membuat jantungku terasa dihantam ribuan beton dalam setiap detiknya. Arza telah menunjukan siapa dirinya di hadapanku. Dialah orang yang selama ini aku kenal, orang yang menyimpan kebencian begitu dalam padaku maupun ibu. Aku tak mempunyai alasan lagi untuk tak menuduhnya melakukan semua kelicikan itu.
“Kakak! Apa yang sedang kakak lakukan disana?” suara Sam yang tiba-tiba muncul menyadarkanku lagi dari kesedihan. Aku hampir saja tenggelam oleh kesedihan dan meneteskan air mata jika saja adikku itu tidak muncul. Sementara Arza telah lebih dulu meninggalkanku di tempat itu. Dia tampak mengurungkan beberapa kata-katanya karena melihat Sam.
“Apa kalian membicarakan sesuatu? Aku hampir tidak pernah melihat kalian berbicara satu sama lain, mengapa tiba-tiba kalian terlihat akrab?”
Aku membalikan tubuhku dengan cepat dan merubah ekspresi wajahku di hadapan Sam. “Kau terlalu kecil untuk memahami orang dewasa! Sudahlah… jangan bertanya lagi!” celetukku sembari mendahuluinya memasuki rumah. Aku tak tahu mengapa aku harus kembali ke tempat itu. Tinggal terpisah dengan Sam membuatku lebih banyak mengkhawatirkan bocah itu. Meskipun pada kenyataannya Sam pasti bisa menjaga dirinya.
“Orang dewasa? Kakak sendiri juga belum dewasa! Kakak hanya berpura-pura menjadi dewasa…” timpalnya, aku hanya tersenyum menanggapi perkataan Sam. Aku berpura-pura dewasa karena keadaaan yang membuatku seperti itu. “Ayolah… kak! Kenapa kakak harus pindah dari rumah ini? Bagaimana denganku? Tidak bisakah aku ikut dengan kakak saja?” aku berhenti sejenak ketika sampai di puncak anak tangga. Sam tertinggal jauh di belakangku namun aku masih bisa mendengar rengekannya yang keras itu.
“Kenapa kau terdengar begitu manja Sam? Lagipula aku hanya pindah ke asrama? Kita masih bisa bertemu seperti ini.” Langkah kaki Sam telah mencapai anak tangga terakhir yang sama denganku. Di sebelah anak tangga ada sebuah lorong panjang yang di sampingnya terdapat ruangan kamar berdampingan. Dan di ujung lorong itu adalah bekas kamarku dan Sam.
“Tapi kakak mengingkari janji kakak! Kakak bilang tidak akan meninggalkan aku sendiri…” perkataannya lagi yang mengingatkanku akan janjiku beberapa tahun yang lalu, tepat setelah pemakaman ayah kami. Aku menghibur Sam dengan janji itu karena ia tampak begitu terpukul dengan kepergian ayah. Namun aku tidak pernah menduga jika Sam masih mengingatnya hingga hari itu.
“Makanya jangan muda percaya dengan orang lain! Kau tidak akan tahu bukan jika semua orang bisa mengingkari janjinya.” Aku sengaja berkata hal lain yang menyimpang dari perasaanku. Dalam hati aku ingin meminta maaf pada Sam, namun sisi yang lain mengingatkanku agar Sam belajar tanpa diriku.
“Maaf Sam… Aku hanya ingin melarikan diri sebentar, jika nanti aku mempunyai kehidupan lebih baik. Aku pasti akan membawamu pergi dari tempat ini juga.” ucapanku dalam hati yang tak mampu terucap sedikitpun. Aku tidak bisa mengatakan semua pada Sam, tentang sesuatu yang terjadi beberapa tahun silam antara ibu, Tn. William dan istrinya. Seandainya jika dia mengetahuinya, mungkin dia sepertiku yang akan membenci ibu.