"Arza yang tampan!”
“Arza yang Pintar!"
“Dan Arza yang kaya raya!” Hampir semua perempuan di sekolah itu memujinya.
Pelita international School sepertinya adalah planet pribadi milik Arza. Dia seolah-olah pangeran sempurna yang kebetulan menghuni sekolah itu dengan para fans-nya yang bahkan mampu merobohkan monas jika mereka berkumpul. Aku sudah terlalu bosan untuk mendengar nama Arza, bahkan satu hari pun tak pernah ada waktu tanpa nama itu mengalun di telingaku.
Baik itu ibu yang selalu memujinya, para pelayan yang selalu menginginkan sarannya dan juga para gadis di sekolah itu yang haus akan perhatiannya. Setidaknya aku ingin sekali saja terlepas dari ketiga bersaudara itu meskipun hanya sebatas namanya yang disebut. Namun, aku mempunyai alasan tersendiri mengapa memilih sekolah itu, selain karena beasiswa yang mereka tawarkan padaku.
Langkah pertamaku setelah menjadi siswa SMA, aku memutuskan untuk keluar dari rumah itu dan tinggal di asrama dekat sekolah. Ibu sudah tak terlalu banyak menuntut tentang kehidupanku. Apalagi dengan kehidupan barunya yang telah sempurna sejak kelahiran Angelin, putri satu-satunya dari pernikahan ibu dengan Tuan Wiliam. Hidup ibu pun jauh lebih baik dan putri kesayangannya tersebut mendapat perhatian dari semua orang termasuk itu ketiga saudara tiriku.
Beberapa bulan ini adikku; Sam mendapat pelatihan dari sekolahnya di kampung Inggris Pare-Pare dan ia tak akan pulang hingga beberapa minggu ke depan. Mungkin ia akan terkejut ketika aku tak lagi berada di rumah itu dan memilih tinggal di tempat lain. Usia Sam sudah menginjak 12 tahun dan aku rasa dia sudah cukup dewasa untuk aku tinggal sendiri. Terakhir kali anak itu bahkan sudah berani membelaku di depan Dani dan Arza.
Aku juga tak mengerti mengapa ketiga saudara tiri kami masih sering menggangu, mengingat usia mereka yang bukan anak-anak lagi. Sorotan mata mereka pun tampak begitu membenci kami, seolah aku dan adikku adalah salah satu makhluk berdosa dari neraka yang diincar para malaikat-malaikat berkuasa itu sejak lama.
"Arza...." Panggilan ibu pada anak tertua itu ketika kami berada di beranda rumah. Dia bersiap-siap hendak pergi ke sekolah dan mengambil mobil sport Koenigsegg CCXR Trevita-nya di garasi. Mobil itu adalah salah satu mobil termahal di dunia yang diberikan ayahnya untuk hadia setelah ia mendapat kelulusan SIM di usianya 17 tahun.
Dan bayangkan saja ketika ia mengendari mobil itu ke sekolah, seluruh siswa termasuk para guru wanita meneteskan air liurnya. Mereka bahkan tidak melarang laki-laki itu memamerkan kekayaannya di sekolah. Sepertinya sifat orang Indonesia memang seperti itu semua.
"Mulai hari ini Freya akan satu sekolah denganmu, jadi mau kah kau mengawasi adik tirimu sesekali?" pinta ibu yang membuatnya terlihat seperti wanita menyedihkan. Dia harusnya tidak mengaharapkan apapun padanya karena sudah pasti anak tirinya itu tidak akan melakukan apapun yang dipintanya.
"Terserah kau saja!" jawabnya dengan ketus. Dan aku tak terlalu terkejut pada hal itu. Hanya saja ibu terus-menerus membuatku jijik dengan perbuatannya. Dia berusaha bersikap manis dan bahkan terlihat mengemis perhatian pada keluarga itu meskipun aku tahu dia bukan tipe wanita seperti itu. Seharusnya dia tak melakukan apapun dan fokus saja pada kehidupannya sendiri.
Tak lama kemudian mobil Koenigsegg CCXR Trevita itu pun melaju meninggalkan halaman rumah. Dia melesat dengan cepat meninggalkan aku dan ibu yang masih membeku di beranda.
“Anak yang mengerikan!” gumam ibu yang masih dapat ku dengar. Dia sudah menunjukan sifat aslinya di hadapanku.
"Kau yakin kau tak apa-apa?" tanyanya beralih padaku.
"Ya... aku akan menjaga diri."
"Sesekali pulanglah ke rumah!" pintanya padaku. Tapi aku dengan cepat menyorotinya tajam, “Apakah ini yang ibu sebut rumah? Aku tidak berpikir ini rumahku?” sahutku tak kalah dingin sembari bergegas masuk ke dalam mobil yang telah ibu siapkan untuk mengantarku.
Aku selalu kesal setiap melihat wajah ibu terutama ketika dia bersikap sok perhatian di hadapanku. Aku tahu ibu bukanlah tipe ibu yang baik seperti itu. Saat masih tinggal bertiga dahulu, ibu bahkan membuatku harus berjuang sendiri untuk merawat Sam. Dia tak pernah melakukan pekerjaannya sebagai ibu dan terus mengeluh sepanjang hari karena tak memiliki uang sepeserpun.
Perlakuan dinginku pada ibu pun bukan tanpa alasan. Meskipun aku sadar bahwa aku tak seharusnya memperlakukan ibu sedemikian buruknya namun sungguh karena kehidupan baru yang ibu bawakan padaku, aku justru mengalami banyak hal buruk dalam hidupku. Aku pun tak sedang pergi meninggalkan rumahku, melainkan meninggalkan neraka yang terlihat seindah surga.
Meski itu hanya sesaat saja.