Pak David, asisten utama Safira Brahmadibrata, sedang berdiri di teras, menunggu nonanya tiba. Begitu mobil yang ditunggu berhenti, dengan sigap dia membukakan pintu dan membantu Nadia keluar dari mobil.
Rena mengikuti mereka beberapa langkah di belakang, tidak berminat mendengarkan diskusi darurat mengenai urusan rumah tangga selama Safira dirawat. Paling-paling soal kebijakan-kebijakan yang tidak Rena pahami. Berbeda dengannya, tentu saja, Nadia mendengarkan Pak David dengan perhatian penuh, sesekali mengangguk dan mengajukan pertanyaan.
Kedua orang itu berbelok menuju paviliun pribadi Safira, tidak sekali pun menoleh ke belakang. Rena menghembuskan napas berat. Dia berbelok ke arah yang berlawanan, menuju paviliunnya.
Bermacam-macam bunga terhampar di taman di sebelah kanan koridor. Di bagian tengah taman ada sebuah saung, persis dengan yang digunakan Nadia dan teman-temannya untuk mengerjakan tugas kemarin-kemarin. Pijakan-pijakan batu berbentuk bundar membentuk jalur yang menghubungkan saung itu dengan koridor dan lorong. Di sisi lain taman, masih nampak Nadia dan Pak David berjalan sambil berbicara serius, menjauh.
Rena berhenti melangkah, mematung menatap punggung mereka. Pak David bertubuh tinggi dan tegap, selalu tampil necis dalam setelan formal. Sementara itu, Nadia bertubuh kecil mungil, mengenakan seragam sekolah yang beberapa ukuran lebih besar, dengan rambut panjang rosy gold-nya berayun-ayun seirama dengan langkahnya.
Entah bagaimana, Rena dapat membayangkan sosok Safira di sana. Padahal, Nadia dan neneknya itu jelas-jelas bertolak belakang sifatnya.
Safira selalu berjalan tegap, penuh percaya diri. Rambutnya disanggul ketat, tidak tampak tipis sedikit pun meskipun sudah kelabu, membuatnya nampak elegan dan berkharisma. Gerak-geriknya pasti, dan ketika bicara, suaranya mantap, kata-katanya mengalir dengan tempo yang teratur dan tidak berbelit-belit. Sementara itu, Nadia agak bungkuk, terhuyung-huyung saat berjalan, membuat tubuhnya kelihatan semakin kecil. Bicaranya pun kaku, kadang terbata-bata, dan seringkali terdengar ragu.
Kemiripan di antara mereka hanya sampai level fisik. Setahu Rena, Wiraditya Brahmadibrata, ayah Nadia, juga bertubuh pendek.
Meskipun begitu, ada sesuatu dalam diri anak itu yang, bahkan dengan segala kekurangannya, membuat orang tertarik padanya, ingin didengar dan dilihat olehnya. Perlu penglihatan objektif yang tidak dibiaskan oleh kebencian yang mendarah daging untuk bisa melihat hal itu.
Safira hanya pernah menikah sekali dan punya satu anak. Ketika anak Safira meninggalkan keluarga demi menikahi seorang wanita berkebangsaan asing enam belas tahun yang lalu, seluruh keluarga gempar. Semua menyayangkan kepergian Aditya dan mengutuk Nadira, istrinya. Tak perlu waktu lama sampai nama Nadira menjadi sinonim dengan sebutan-sebutan buruk.
Sepanjang masa kecil Rena, kisah kawin lari Aditya diceritakan berulang-ulang.
Dulu Rena hanya membeo saja kata-kata orang dewasa tanpa memahami artinya, memimik kelakuan mereka tanpa mengetahui akibatnya, dan memercayai apapun tanpa mengerti sabab-musababnya.
Mungkin, kepolosan anak-anak justru adalah senjata yang paling sadis.
Sekarang, Rena tahu ada banyak hal yang ditambah-tambahkan dalam cerita itu, sekaligus banyak yang disembunyikan. Ada sukacita yang terselubung. Ada agenda-agenda yang tergagas. Keluarga mungkin adalah orang-orang terdekat kita. Namun, jika begitu banyak individu menjejalkan kepentingan-kepentingannya dalam satu atap, kedekatan tak jarang hanyalah topeng, atau perekat yang rapuh. Ketika kepura-puraan luruh, tidak ada lagi yang tersisa.
Rena mendesah, menatap langit bulan Agustus yang cerah, seperti meledek suasana hatinya.
Tiba-tiba, sepasang tangan menepuk punggungnya.
“Ren!”
“Eh, mak!” pekik Rena kaget, latahnya kelepasan.
Dia berbalik dengan cepat.
Di hadapannya, ada seorang wanita berusia dua puluhan. Lebih tinggi dari Rena—Rena memicingkan mata ke arah high heels yang dikenakan wanita ini—dan lebih kurus. Seperti model. Rambutnya berpotongan bob pendek, melayang di seputar telinganya, dengan poni dipotong melengkung di atas alis. Dia mengenakan tank top longgar putih beraksen renda-renda, disambung dengan bawahan celana jins pendek.
“Kak Lydia!” sapa Rena begitu debaran jantungnya mereda.
“Kamu kenapa sih, kok ngelamun di tengah koridor sepi gini. Kemasukan setan loh, entar!” canda wanita itu, mencubit hidung Rena.
“Aduduh… Jangan sompral, Kak.”
“Ya abis, kamu ngelamun di tempat kayak gini. Minta dikerjain itu namanya.”
“Cuma Kak Lydia yang pikirannya begitu!”
“Masa sih… kayanya Cynthia sama Dwi tadi bilang pengen ngagetin kamu deh. Kemana ya mereka? Tadi di belakangku.”
Wanita bernama Lydia itu melongok-longok, mencari dua orang yang disebutnya. Ketika tidak ditemukannya, dia melenguh.
“Dasar. Pasti pada ke dapur. Katanya koki bikinin cheesecake lagi. Kamu tuh ya, Ren, makannya cheesecake mulu. Gendut loh! Liat nih, lengan kamu, udah keplek-keplek begini… ya ampuuun...”
Rena buru-buru melepaskan diri. Dengan tinggi badan 163cm, berat Rena adalah 53kg. Memang di angka lima puluhan, tapi berat segitu masih jauh dari overweight. Dan sejujurnya, Rena lebih suka punya badan berisi seperti sekarang dibandingkan dengan perawakan Lydia yang sekurus biji cabe kering.
Lydia Brahmadibrata adalah sepupu Rena dari kakak ayahnya, Om Setiawan. Sebagai sama-sama generasi cucu keluarga samping, Rena dan Lydia sering bermain bersama waktu kecil. Sekarang Lydia, lima tahun lebih tua, tinggal sendiri di apartemennya. Tidak bisa dibilang Rena kehilangan dia, karena meskipun hubungan kekerabatan mereka paling dekat, secara personal mereka tidak dekat sama sekali.
Om Setiawan pernah menikah dua kali. Istrinya yang pertama, ibu Lydia, meninggal sewaktu Lydia masih kecil karena kanker. Dua bulan setelah itu, Om Setiawan menikah lagi. Dari istri keduanya ini, dia dikaruniai dua orang anak: Cynthia dan Dwi.
Kalau dengan Lydia yang masih bisa mengobrol dengan “akrab” saja Rena tidak merasa dekat, apalagi dengan dua anak itu. Rena bahkan tidak tahu seperti apa suara mereka. Mereka tinggal bersama sang ibu di luar komplek Brahmadibrata dan hanya berkunjung sesekali, kalau ada peristiwa penting.
Mungkin kabar soal kecelakaan Nenek sudah sampai juga ke telinga mereka.
Tapi, Rena membatin, mereka mau ngapain juga kemari? Meskipun masih berhubungan keluarga, tapi tidak sembarang orang bisa—dan cukup peduli—menjenguk Safira. Mau menggerecoki Nadia?
“Oke, ayo ke kamarku!” ajak Lydia, menggamit lengan Rena.
“Eh, sebentar Kak, aku ganti baju dulu!” tolak Rena.
Lydia mengiyakan dengan riang, tapi tidak melepaskan Rena. Rena menahan diri untuk tidak memutar bola mata.
“Ngomong-ngomong Ren, katanya kamu pindah ke Wadit ya? Bareng Nadia.”
Beberapa pelayan melewati mereka dan membungkukkan badan. Rena memberi mereka anggukan sebelum menjawab, “Iya.”
Lydia bersiul. Ujung bibir Rena berkedut. Terlalu sering menghabiskan waktu bersama Nadia membuatnya mulai reaktif terhadap sikap ketomboy-tomboyan.
“Trus, gimana rasanya siang-malem bareng dia?”
Ada tawa dalam suara Lydia, tapi Rena tidak bisa membedakan siapa target tawa itu.
“Siksaan,” jawab Rena pendek.
Seperti menatap matahari secara langsung—mungkin itulah ungkapan yang paling tepat. Hanya manusia kelas Hercules yang bisa keluar dari keadaan itu tanpa menjadi buta dan kehilangan arah.
Tentu saja, Rena tidak akan mengakui hal itu kepada siapapun.
Lydia terkekeh mendengar nada menderita dari mulut Rena. Dia melepaskan gandengannya, kemudian malah mengalungkan lengannya di leher Rena.
“Oke, mungkin kamu emang butuh asupan cheesecake,” katanya riang. “Kenapa ya kamu disuruh sekolah di sana? Masih bagusan Bimasakti kan daripada Wadit? Kalo Nenek masukin Nadia ke sana kan jelas.”
Keluarga Brahmadibrata merupakan salah satu sponsor utama Yayasan Waditranagara. Konon, secara turun temurun anggota keluarga utama bersekolah di sana. Untuk alasan yang sama, anak-anak yang lain akan ditempatkan di sekolah lain.
“Nggak tau deh,” kata Rena asal.
“Ya ampuun… kaciaaan adikku yang satu ini… Ayo cepetan ganti baju, trus kita makan cheesecake di kamarku!”
Namun, ketika tiba di paviliunnya, ayah Rena membuka pintu dari dalam dengan terburu-buru, sehingga hampir saja membuat Rena dan Lydia terhantam.
Sesaat Himawan Brahmadibrata hanya berdiri melongo, tetapi begitu tersadar, kedua alisnya bertaut dan matanya melotot.
“Rena! Kemana aja kamu? Kok baru pulang jam segini? Kenapa telepon Papa nggak diangkat?!”
Lydia melepaskan Rena dan mundur selangkah, tidak ingin berada dalam jarak semprot pamannya.
“Tadi mampir ke OSIS dulu, Pa. Wadit kan mau pameran bulan depan,” jawab Rena, menggunakan jawaban pertama yang muncul di kepalanya.
“OSIS?” suara Papa meninggi. “Kamu ikut begituan lagi? Kamu itu punya banyak tugas, tau? Memangnya kamu pikir kenapa si Nadia baru boleh masuk sekolah sekarang? Kalau kamu kebanyakan main kayak gitu, kamu bakal makin tertinggal dari dia!”
Darah Rena langsung naik ke ubun-ubun tanpa bisa ditahan. Jika dia harus menyebutkan satu hal yang paling dibencinya dari dunia ini, itu adalah dibanding-bandingkan dengan Nadia.
“Aku nggak banyak main, Pa! Lagian, Papa mestinya liat kayak gimana Nadia di sekolah. Kenapa aku harus saingan sama anak ansos, nggak punya temen, dan nggak bisa apa-apa kayak dia?”
Mata Papa memicing. Rena ingin mundur seperti Lydia, tetapi dia menguatkan diri. Dia tidak boleh terlihat lemah di depan Papa.
“Apa? Saingan?” kata Papa dingin. “Jangan sombong dulu! Apa yang bisa bikin kamu layak bersaing dengan Nadia? Wake up, Rena! Jangan merasa puas hanya jadi orang yang bercokol di barisan belakang! Jangan buat Papa menyesal sudah menuruti segala kemauanmu!”
Rena berjeda mendengar kata-kata Papa.
Dia merasa salah dengar.
Dirinya? Bercokol di barisan belakang?
Siapa yang selama ini bersembunyi di balik bayang-bayang dan mengadakan pertemuan-pertemuan rahasia yang tidak pernah menghasilkan rencana konkrit selain agenda menggosip?
“Kalau Papa memang pingin membuktikan diri Papa paling hebat, kenapa nggak Papa lakukan sendiri? Kenapa harus Rena yang tampil sempurna? Lagian, kapan Papa nurutin kemauan Rena? Kalau Papa nggak puas dengan Rena, yaudah, coba aja Papa yang bilang sama Nenek kalau Papa pengen—”
PLAK!!
Omongan Rena terhenti. Sesuatu menggelitik di sisi wajahnya. Kemudian, panas.
Lalu, sakit.
“Jaga omongan kamu!” tandas Papa. “Apa kamu mau kita semua mati? Ada yang pantas dan nggak pantas diucapkan di bawah atap rumah ini. Jangan mengatakan hal-hal yang bisa bikin orang salah paham!”
Mata Rena memanas dan pandangannya mengabur.
“Safira sedang dalam kritis,” lanjut Papa. “Semua pekerjaannya pasti dialihkan kepada David dan Nadia. Kontrak-kontrak, meeting, semua bakal kacau. Kalau sudah begitu, semua orang pasti mencari kambing hitam. Terserah apa yang mau kamu pikirkan, tapi tutup mulutmu.
“Sekarang Papa harus mengejar pesawat jam enam untuk meeting dengan Primespace. Guci yang dipesan Madam Endrihael ada di ruang kerja Papa. CV Tito di meja. Kamu sesekali lakukanlah sesuatu yang berguna.”
Kemudian, Papa mengaitkan kancing teratas mantelnya, berjalan melewati Rena. Tidak sedikit pun dia menoleh kepada keponakannya, yang hanya berdiri mematung di koridor penghubung paviliunnya. Sol sepatunya berkelotak di atas tagel marmer, diiringi suara roda kopernya yang bergulir.
Ketika suara-suara itu sudah tidak terdengar lagi, Lydia meraih tangan Rena.
“Ren…”
Rena menepisnya.
Rena tidak ingin tinggal di tempat ini. Dia harus pergi.
Rena berbalik, berlari meninggalkan rumah. Dia tidak mendengar Lydia berteriak memanggil namanya.
~ ~ ~
Di bawah keremangan, dia menghirup kopi dinginnya dengan tenang. Malam mulai menggulung senja. Lampu-lampu jalan satu persatu menyala, membuat corong-corong cahaya temaram. Bangunan-bangunan tinggi mulai tertelan langit yang gelap, titik-titik sinar dari ruangan di dalamnya nampak seperti bintang yang berkelap-kelip. Di kejauhan, pemandangan seperti lukisan dari tempat yang lain, yang jauh, bukan dari tempatnya berpijak. Di jalanan di bawah, realita tampak baginya.
Senyum sinis tersungging di bibir.
“Apa yang kamu takutkan, Ken? Kenapa kamu memilih lari?”
Seorang siswi SMA sedang dikepung oleh lima orang preman berotot. Preman-preman ini berbeda dengan yang dulu menyerang sekolahnya. Preman-preman ini kuat, mereka tahu ilmu bela diri, dan buas. Mereka tidak akan segan-segan menimbulkan cacat permanen, atau bahkan menghilangkan nyawa, jika korban mereka terus melawan.
Ken, siswi itu, kelihatan lelah setelah berlari jauh. Namun, sorot matanya masih tajam, awas terhadap gerak-gerik pria-pria di sekelilingnya, siap menangkis dan membalas. Seluruh omong kosong ini akan lebih cepat selesai kalau saja dia memilih tempur alih-alih kabur, tetapi untuk suatu alasan yang hanya dia dan Tuhan yang tahu, dia membuat keputusan teraneh dalam sejarah hidupnya.
Rumahnya, padepokan Elang Merah, hanya tinggal beberapa ratus meter lagi. Mungkin, dia berpikir, kalau dia bisa bertahan beberapa menit lagi saja, dia akan memenangkan permainannya.
Namun salah besar jika dia pikir bisa menghindar dari preman-preman kekar yang mengejarnya kali ini.
“HEAHH!!” Preman#1 menerjang.
Ken menghindar ke samping. Preman#2 mengayunkan palu di tangannya. Ken sepertinya bisa melihat palu mendatanginya melalui ekor matanya. Tangannya menebas, memukul tangan yang memegang palu itu. Palu tidak terlepas, tapi setidaknya kepalanya tidak jadi korban benturan senjata tumpul.
Preman#3 tidak menyia-nyiakan posisi Ken yang tidak menguntungkan, langsung menyelipkan lengannya di ke dua sisi tubuh Ken, mengunci bahunya.
Ken berputar dengan luwes—tidak akan mengherankan kalau persendiannya ternyata terbuat dari air—sehingga lengan kanannya terbebas. Sementara bahu kirinya masih terkunci, dia melompat melalui punggung Preman#3. Preman#3 terbawa berputar karena masih memegangi Ken sekuat tenaga, sampai akhirnya dia jatuh telentang di atas aspal, terbanting seperti dalam pertandingan judo.
Andaikan ini pertarungan satu lawan satu penuh dengan keseriusan, Ken Ratu Puspawardhana pasti menang dalam hitungan detik. Namun, Ken masih menjunjung aturan main paling sinting: hanya menangkis serangan yang datang, tidak menyerang balik, tidak melukai.
“Kenapa, Ken? Lawan! Kamu juga tau ini nggak ada gunanya kan?!” dia meremas kaleng kosong di tangannya. Kaleng itu berderak remuk. Sobekan tajam terbentuk, mengiris telapak tangannya.
Preman#4 dan Preman#5, yang masing-masing memegang senjata, menyerang dengan penuh nafsu. Ken menggunakan lubang yang terbentuk dalam formasi kelima preman ketika Preman#3 terjatuh untuk kabur.
“Kejar!” seru Preman#1.
Dia melempar kaleng yang sudah hancur ke tong sampah di pojok atap. Darah menetes pelan melalui ujung jarinya.
“Atau, kamu benar-benar udah insyaf, seperti kata orang-orang? Kamu pikir semua dosamu terhapus begitu aja? Nggak, Ken. Mata dibalas mata. Kamu akan dapat balasan yang setimpal, bagaimanapun caranya!”
Ken menghilang dari pandangan.
Dia berbalik, meninggalkan tempat itu.
95 banding lima, auto sakit perut ketawa cekikikan. Tenyata kalau di perhatiin tokoh Ken, karakternya hampir mirip dengan, tokoh Tio di ceritaku.
Comment on chapter Satu