Read More >>"> Slash of Life (Sepuluh) - TinLit
Loading...
Logo TinLit
Read Story - Slash of Life
MENU
About Us  

Dio tidak begitu yakin, tapi sepertinya sejak acara ngerjain PR bareng di rumah Nadia, Ken sering bertingkah aneh. Anak itu memang sudah aneh dari lahir, tapi kali ini lebih aneh lagi. Tiba-tiba di tengah-tengah percakapan dia bakal menerawang ke langit—atau langit-langit. Atau sering menghela napas. Kalau tidak tahu bahwa Ken punya riwayat super sehat dari leluhurnya, Dio bakal mengira anak itu mengidap penyakit pernapasan bawaan.

Ringkasan obrolan antara Ken dan si om-om berpenampilan abang-abang pun terdengar mencurigakan.

Dio tahu siapa itu Gyro, dan posisi macam apa yang dimiliki keluarganya.

Tetap saja, terlalu aneh kalau dia begitu inginnya menghancurkan Kobra Hitam dan Penyu Hijau. Lagipula, memangnya gampang memberantas geng? Apalagi, nggak ada istilah “sampai ke akar-akarnya”. Mereka itu spora-spora yang bermunculan secara random, dan akan terus bermunculan. Mungkin Kobra Hitam dan Penyu Hijau bisa dideklarasikan bubar suatu hari nanti, tapi siapa yang menjamin tidak akan ada, misalnya, Ulat Ungu, atau Kecoa Kuning di masa depan?

Bletakk!!!

“AAAAUUWWW!!!”

“Berisik, jerit-jerit kayak cewek aja!”

“Dio, Misa, kalian ngapain di atas?” suara Mama datang dari arah dapur bersama dengan wangi sup ayam. “Jangan teriak-teriak ya, malu sama tetangga!”

“Sakit, kamprettt!!!” Dio mencoba melotot.

Bletak!!!

Cahaya putih menutupi pandangan Dio. Dia cuma bisa berguling-guling di lantai sambil memegangi kepala, bertanya-tanya dalam hati, dosa apa yang telah dilakukan dirinya di kehidupan yang sebelumnya.

“Kamu ngapain bengong kayak perawan telat nikah gitu?” kata Artemis, menempati sofa yang tadi diduduki Dio. “Pake nangis lagi.”

Dio mengelap air mata yang mengalir ketika buku jari Artemis meninju kepalanya.

“Sakit, tau! Gimana kalo gue jadi bego?”

Improvement dong dari bego banget?”

Dio mendudukkan diri, bersandar ke sisi meja. Dia masih meringis sambil mengusap-usap kepalanya. Kalau dia mendatangi peramal, mungkin peramal itu bakal menyarankan dia mengenakan helm baja kemana pun dia pergi. Segala malapetaka yang menimpanya selalu berhubungan dengan trauma kepala.

“Kamu ngelamunin apa sih? Sini, curhat sama tante.”

“Sadar umur juga, lo?”

“Aku ini orang yang realistis, bukan eskapis kayak kamu.”

“Lo tuh bisa aja ya ngejawab?!”

“Iya dong. Aku kan pinter.”

Dio tidak ingin kata-katanya digunakan untuk mengompori narsisisme Artemis yang sudah di level keterlaluan, jadi dia mengigit lidah dan diam saja.

“Mikirin Ken, ya?” tebak Artemis.

Dio tersedak udara. Artemis nyengir puas.

“Kenapa lagi dia? Dikejar preman lagi?”

“Lebih tepatnya dikejar om-om buaya,” gerutu Dio. “Ngomong-ngomong, lo pasti kenal  orangnya. Namanya Gyrohael. Anaknya Endrihael, yang kemaren sempet ribut-ribut skandal warisan keluarga.”

Binar canda di mata Artemis lenyap seketika, digantikan kerutan kening sarat keseriusan.

“Kamu ketemu dia dimana?”

“Di rumahnya Nadia, pas belajar bareng kemaren.”

Artemis berkedip, termangu sejenak. “… AH! Iya. Nadia Brahmadibrata ya?”

Dio mengangguk. “Jadi, lo kenal kan?”

“Cih. Aku nggak sudi dibilang kenal sama om-om tukang tipu kayak dia.”

“Tukang tipu?”

Artemis bersandar sambil melipat lengan. “Bukan tukang tipu juga sih. Kamu mungkin belum tau, tapi si Gyro itu hobinya memanipulasi orang lain supaya ngikutin keinginan dia.”

Dio hampir tidak memercayai telinganya. Artemis yang tukang suruh-suruh itu bisa ngomong begitu soal orang lain? Maling teriak maling itu sih.

“Si Gyro ngobrol apa sama Ken?”

“Kok lo tau dia ngobrol sama Ken?” kata Dio heran.

“Dia kan nggak mungkin ngobrol sama kamu,” kata Artemis ngasal.

“Emangnya si Bang Gyro itu mau apa sih?”

“Kalo kamu nggak ngerti—eh, bentar. Bang Gyro? Kamu manggil dia ‘Bang’, tapi nggak mau manggil aku ‘Kak’?!”

Dio mendesah. “Lo iri sama om-om tukang tipu?”

“Iyalah! Dia kan cuma tukang tipu. Nggak pantes dikasih respek tau!”

Rasanya sangat janggal mendengar nada sekeras itu keluar dari mulut kakaknya. Artemis kan orangnya selalu dingin dalam menilai orang lain. Pasti ada yang menarik di antara dia dan Gyro. Apa karena mereka sama-sama mantan ketua OSIS Wadit ya? Mereka juga sama-sama pendekar dari perguruan masing-masing.

“Di. Hubungi Ken. Suruh dia kemari pulang sekolah besok,” kata Artemis.

“Kenapa nggak lo hubungi aja sendiri?”

“Kan hapeku masih belom bisa jalan.”

“Ya pake telepon rumah aja. Nih gue kasih nomernya.”

Artemis tersenyum lebar. “Cieee… punya nomernya nih? Ehem, ehem…”

“Lo annoying banget sih! Yaudah, gue SMS dia. Puas?!”

Artemis tergelak.

 

~ ~ ~

 

Sepuluh menit berlalu sejak rapat OSIS dibubarkan. Nando dan Ken masih membereskan dokumen-dokumen pendukung kegiatan. Pengurus lainnya langsung bubar tanpa banyak cingcong begitu rapat ditutup, takut sekolah keburu dikepung lagi. Masalahnya, dalam periode Sosialisasi Perencanaan Mandiri ini, pekerjaan mereka meningkat berkali-kali lipat, sehingga mau nggak mau pasti ada yang pulang lebih terlambat dari yang lain.

Mau nggak mau harus ada yang berkorban pulang telat, atau acara mereka gagal total.

Sementara Ken menyortir dokumen dan memasukkannya ke dalam folder sambil bersungut-sungut—Nando sedang membubuhkan dekorasi ke angka hitung mundur yang digambarnya di whiteboard—pintu ruang kerja OSIS menggeser terbuka.

Ken mendongak.

Dio, Nadia, dan Rena melangkah masuk.

“Loh, kok pada belom pulang?” tanya Ken. Setelah pesan singkat dari Dio semalam, Dio tidak berkata apa-apa soal itu, sehingga Ken mengira pesan yang memintanya datang menemui Artemis itu cuma ketidaksengajaan.

“Sengaja, nungguin lo,” kata Dio enteng, berjalan masuk layaknya tuan rumah.

Nando menatapnya dengan kerutan di kening yang lebih dalam daripada tadi siang. Tapi cuma sebentar, karena dia segera menyambut Nadia dan Rena.

“Ayo, masuk, masuk, duduk dulu. Maaf ya, Ken-nya lama.”

Ken mendelik. Kerjaan dia kan jadi lama karena Nando buang-buang waktu.

“Makasih, makasih,” sahut Rena ceria.

Sekarang, karena Nando dan Rena sudah saling mengenal, mereka selalu berbagi cerita pengalaman berorganisasi setiap bertemu, dan biasanya selalu berakhir dengan Nando mengajak Rena bergabung dengan OSIS-nya. Sejauh ini Rena terus menolak, dengan alasan tidak enak pada murid-murid lain yang sudah berusaha jadi pengurus sejak kelas satu.

Padahal, OSIS itu bukan organisasi yang populer di sekolah ini. Kalau ditanya, semua orang akan menjawab perlu ada OSIS. Tapi kalau diminta jadi pengurus, paling cuma segelintir yang bersedia. Konon, ini sudah mentalnya anak-anak Wadit sejak dulu: malas ekskul, apalagi yang hardcore macam OSIS.

Dio duduk di sebelah Ken. “Lama amat sih?” gerutunya.

“Nggak ada yang nyuruh kamu nunggu,” Ken balas menggumam. “Nadia sama Rena kenapa belum pulang juga?”

“Kuatir katanya.”

Ken mengangkat alis.

“Soalnya lo pulang telat hari ini. Jadi Nadia pingin nganter lo.”

“Ah serius?”

“Suer. Makanya buruan. Kesian dia, udah gelisah dari tadi gara-gara pingin cepet pulang.”

Ken melirik dua sepupu yang sedang duduk di “ruang tamu” HQ.

Nadia sedang diam saja mendengarkan Nando dan Rena berbincang.

Hati kecil Ken tersentuh.

Padahal mereka belum sebulan kenal—awalnya nggak bagus pula—tapi Nadia sudah segitu care-nya sampe bela-belain pulang telat demi nganterin Ken.

Faith in humanity: restored.

Saat Ken baru selesai mengelompokkan dokumen-dokumen dan menaruhnya dengan rapi di dalam lemari, terdengar derap langkah panik di koridor.

Kartika muncul, megap-megap seperti baru disuruh shuttle run seratus balikan.

“Keeeeen!!!” sengal Kartika, ambruk di ambang pintu. “Kabur Ken, ada orang-orang serem nyariin kamu!”

“Hah?” Ken yang segera membantu Kartika duduk di sofa terperangah. “Orang serem?”

“Gyro?” tebak Dio.

Kartika menggeleng.

“Bang Gyro?” tuntut Ken.

“Nggak tauuuu! Dia tiba-tiba nyegat aku trus nanya kamu ada dimana. Aku langsung balik lagi! Ayo Ken, kita kabur aja lewat jalan belakang!”

“Orangnya kayak apa, Kar?” tanya Rena, yang sudah kenal Kartika juga.

“Kayaknya bukan Bang Gyro deh. Dia pasti main nyelonong, kan alumni sini,” kata Ken.

“Bang Gyro?” sela Nando, mengenali nama itu.

“Mereka serem-serem!” seru Kartika, kelihatan stres. “Rambutnya dicat trus pake anting-anting, pake gelang duri-duri.”

“Kok kedengeran kayak anak alay biasa,” gumam Dio sambil menggaruk dagu. Dia melirik ke samping, merasakan Nando memandanginya lagi. Lama-lama dia jengah juga.

Ken berpikir sejenak. Benar kata Dio, kedengarannya seperti anak alay biasa. Kalau orang ini perlu diwaspadai, dari segi dandanan saja biasanya sudah mencerminkan.

“Ayo kita hadapin aja,” putus Ken. “Kamu panggil aja siapa yang lagi ada di ruang guru, buat jaga-jaga,” tambahnya pada Kartika.

Kartika mengangguk kalut. “Hati-hati Ken!” Lalu dia tunggang-langgang menuju ruang guru.

“Kasian,” komentar Dio.

“Kenapa?”

“Dia kayaknya gampang stres. Kebanyakan gaul sama lo kayaknya.”

“Ehh sialan!”

Tapi ternyata, orang-orang menyeramkan yang dimaksud Kartika adalah dua orang siswa SMA Rajawali I yang langsung Ken kenali. Dio memberi kedua anak itu tatapan kosong, sementara Rena mengerutkan hidung.

“Ratu!” dua anak itu menyapa kompak.

Ken melotot, berharap bisa pura-pura nggak kenal.

“Temennya Ken?” Nadia berbisik kepada Dio.

“Anak buah kayaknya,” jawab Dio.

“Tangan kanan dan tangan kiri,” sahut Rena.

“Yang bener itu keset kanan dan keset kiri,” sambar Ken, emosi.

Sementara itu, si dua orang malah keliatan salting melihat rombongan Ken.

“Bro, Bro,” yang rambut merah-hitam menyenggol temannya. “Itu… itu kan…”

“Gila, Bro…” sahut si teman, dengan rambut dicat pirang luntur, sambil menyenggol-nyenggol juga. “Kok dia ada di sini? Bukannya dia di Bimasakti?”

“Eh coba liat gue udah rapi belom?”

“Mantep Bro. Gue gimana?”

“Kepala lo agak nggak oke sih, tapi itu nggak bisa diapa-apain.”

“Kampret. Sebenernya jidat lo lecek tuh, mesti dilindes baru rapi.”

“Eh sampah lo…”

“Lo yang sampah...”

“WOI!!!” bentak Ken keras. “Sama-sama sampah masyarakat nggak usah saling ngata-ngatain!”

“Aaaa iya, iya, maap, Ratu,” si rambut pirang buru-buru menyungkur ke tanah.

“Trus? Ngapain kemari? Kan aku udah bilang jangan hubungi aku lagi!”

“Ken kayak mantan istri yang udah muak ditelikung ya,” bisik Dio.

“Nah!” sahut Rena penuh persetujuan sambil menjentikkan jari.

“Sori banget, Ratu, bukannya kita mau melanggar janji,” kata Aris, cowok dengan kulit gelap dan rambut merah belang-belang. “Tapi penting banget nih, dan gue nggak tau nomer hape lo dan gue nggak berani dateng ke rumah lo jadi terpaksa kita ke sini.”

Leo, cowok dengan rambut dicat kuning cerah—tapi sudah luntur—bangun dari sujudnya dan mengangguk kuat-kuat.

“Aku kan udah bilang aku nggak mau bantu apapun,” tukas Ken.

“Nggak, nggak, ini bukan masalah bantuan!” kata Leo buru-buru. “Tapi masa—“

Kata-katanya terputus. Matanya melebar melihat melalui bahu Ken. Mau tak mau Ken jadi menoleh.

Bos sedang berjalan agak terburu-buru ke arah mereka. Baju batik Cirebonnya yang berwarna gelap membuatnya kelihatan lebih menyeramkan daripada biasanya. Di belakangnya ada Nando dengan tangan di saku dan Kartika yang kelihatan mau pingsan. Kenapa di antara semua guru, yang datang malah Bos? Pernah nggak sih dia nggak di sekolah?

“Ken Ratu! Ada apa ini?” tanya Bos dengan suara menggelegar.

“Eeh… nggak ada apa-apa, Pak…” jawab Ken, berkelit tapi fail.

Bos segera menyeret Ken menjauh dari duo anak Rajawali.

“Kenapa sih kamu selalu bertemu dengan orang-orang aneh?” tanya Bos heran.

“Eeeh maksudnya aneh, Pak?”

“Kemarin sudah ketemu preman. Sekarang… siapa dua orang itu? Kok dandanannya begitu? Itu seragam Rajawali kan? Itu kan sumbernya tukang tawuran!”

“Yang langganan tawuran itu Rajawali III, Pak. Mereka anak Rajawali I. Tuh liat badge lokasinya.”

“Jangan tunjuk-tunjuk, kalau mereka mengamuk bagaimana?”

“Nggak bakalan, Pak. Mereka temen SMP saya.”

Bos menoleh untuk melihat kedua orang asing dengan lebih jelas.

“Kamu berteman dengan anak-anak semacam itu?!”

Wah, sepertinya di muka bumi ini cuma Bos yang percaya Ken ini tipe anak unggulan sejak lahir. Ken jadi merasa tak enak karena sering mengata-ngatai beliau yang bukan-bukan.

“Yah, temen saya emang macem-macem sih Pak…” dalihnya sambil menggaruk belakang kepala dengan salting.

“Walaupun nilai kamu pas-pasan, tapi saya baru tahu kalau kamu punya teman-teman seperti itu.”

“Eeeh kenapa bawa-bawa nilai segala? Pak, don’t judge a book by it’s cover. Kadang cover-nya ketumpahan sampai jadi lecek, tapi belum tentu isinya sampah, Pak!”

Bos terdiam, mencerna komentar Ken.

Tapi memang sih, Ken harus mengakui keanehan tampilan dua mantan anak buahnya itu.

Ananda Leo Arrasyid adalah cowok yang tergila-gila dengan gel rambut. Rambutnya yang memang dari sononya tidak sehalus sutera itu diberi gel banyak-banyak supaya bisa ditegakkan di kulit kepalanya. Sebetulnya dia bisa kelihatan cukup keren, kalau saja rambutnya dipotong pendek gaya tentara. Masalahnya rambutnya ini panjangnya sekitar sepuluh sentimeter dan dicat pirang yang sudah mau pudar sehingga warnanya campuran antara hitam kemerahan ala anak kebanyakan main layangan dan pirang kusam. Dan ya ampun, parfumnya yang lebih mistis dari kembang tujuh rupa itu.

Aris Setiawan tidak kalah alaynya. Rambutnya kenapa dicat belang-belang begitu? Mau nyaingin Aedes aegypti? Waktu SMP, kenyentrikan dia baru sebatas rambut alay. Sekarang entah kenapa dia memasang anting bundar berdiameter besar di cuping hidungnya. Niruin artis dari planet mana sih?

“Jamin seratus persen aman, Pak,” kata Ken yakin. “Mereka nggak bakal berani nyerang saya.”

“Emangnya kenapa mereka nggak bakal berani?”

Ups. “Euh… soalnya saya kan bareng Nadia Pak, Nadia punya bodyguard.”

Bos menggaruk belakang kepalanya. “Yasudah, Bapak percaya. Untunglah kamu berteman sama Nadia ya, kalau tidak, bagaimana jadinya nasibmu?”

Ken tersenyum kaku. Untung Dio yang dituduh ngabisin tuh preman-preman.

“Jangan keluyuran lama-lama. Dan kasih tau itu teman-temanmu, cuci cat rambutnya dan cabuti anting-antingnya. Memangnya kalian itu sapi, pakai anting di hidung?”

“Siap, Pak! Kali berikutnya Bapak liat mereka, Bapak nggak bakal ngenalin.” Karena mungkin mereka bakal aku permak sebentar lagi, tambahnya dalam hati.

Kemudian Bos pergi.

“Bos nanyain apa?” tanya Dio.

Ken mengibaskan tangannya sementara memelototi Leo dan Aris. “Jadi, kenapa kalian kemari? Buruan, aku nggak punya banyak waktu.”

“Sok banget,” Ken mendengar Dio menggumam di belakangnya.

Leo dan Aris melirik ke belakang Ken dengan takut-takut. “Ngg… jangan di sini ngobrolnya, boleh kan?”

“Lama nggak nih?”

“Em… mungkin,” jawab Aris tak jelas.

“Penting nggak?!”

“Penting banget!”

“Yaudah, tempat biasa,” putus Ken.

Dua anak itu langsung tersenyum. “Oke! Eh, tapi kita boncengan bertiga ga apa-apa? Motor gue lagi diservis abis kemaren disabotase anak Putper,” kata Aris.

“Idih, ogah aku jadi sandwich di antara makhluk bau kayak kalian!”

Leo dan Aris secara tak kentara mengendus ketiak mereka. Sebetulnya sih Leo memakai parfum banyak-banyak yang bisa tercium dari jarak seratus meter, cukup banyak untuk agak mewangikan mereka berdua. Wangi banget sampai menghalau segala oksigen yang ada.

“Ken kan bareng saya,” kata Nadia. “Nggak usah boncengan.”

Ken terbelalak. Waduh, iya juga. Mestinya tadi mau aja dibonceng bertiga, pikirnya sambil menolak Nadia.

“Trus lo mau boncengan bertiga? Sama…” Dio melirik Leo dan Aris, “mereka?”

“Ah gue tau elo. Si Dionysus anak meja sebelah!” Leo tiba-tiba berteriak. “Yang di kelas sering megap-megap kayak ikan koki! Gue inget mata sipit lo yang lebih jahat daripada ibu tiri itu!”

“Eh kampret!” maki Dio. “Gue juga inget lo sekarang. Yang tiap hari pake menyan segentong. Gue sesak napas nyium bau lo, banci!”

“Apa lo bilang?!”

“Stop, stop, stop!” Ken buru-buru melerai.

“Saya kuatir, Ken,” Nadia menambahkan. “Kalau sama saya kan, ada pengawal.”

Jangan-jangan Nadia punya pendengaran super dan mendengar ngeles Ken kepada Bos tadi.

“Dan gue ikut walau nggak diundang,” sambung Dio mantap.

“Ngapain sih lo ikut-ikutan?” protes Leo.

“Kenapa, nggak suka?” balas Dio.

“Heh lo mau ribut? Ayo sekarang!”

“Hei, hei, hei, kalo kalian nggak buru-buru pergi, nanti Bos balik lagi loh?” Nando berujar. Semua orang spontan menoleh ke arahnya. Nando jadi salting karena ditatapi. “Apa?”

“Kamu masih di sini?” kata Ken heran.

“Ihh Ken, jahat!”

“Yaudah berarti urusan transportnya udah beres. Ayo buruan!” kata Dio.

 

~ ~ ~

 

“Tempat biasa” yang dimaksud Ken adalah taman air mancur di belakang almamaternya, SMP Atmajaya. Lumayan jaraknya dari Wadit. Tidak ada alasan khusus di balik pemilihan tempat tersebut, cuma sudah refleks saja. Taman tersebut tidak populer karena suka dijadikan tempat mangkal Kutu Kelabu. Sekarang pun walau Kubu sudah bubar, taman ini tetap terbengkalai.

Setibanya di taman air mancur (yang sudah kering), mereka memilih dua bangku yang berhadapan dan dipisahkan oleh sebuah meja. Aris dan Leo duduk di satu bangku, lalu Ken di seberang mereka. Nadia dan Dio langsung duduk mengapit Ken. Rena memaksakan diri nyempil di sebelah Dio, walau hanya setengah pantatnya yang menempati bangku. Akhirnya Ken menyikut Dio supaya cowok itu pindah ke sebelah Aris.

“Hai, Rena,” Leo menyapa dengan penuh percaya diri. Cengiran lebarnya luruh seketika saat didapatinya Rena menatapnya dengan sorot jijik.

“Ratu, kenalin dong sama yang itu,” kata Aris, menggerak-gerakkan alisnya ke arah Nadia, yang spontan mengkeret.

“Udah nggak usah banyak bacot. Kalian perlu ngomong apa?” potong Dio. Langsung saja Leo memelototinya.

“Siapa elo, nyuruh-nyuruh?” dia berteriak melewati punggung Aris.

“Lo juga siapa, berani-beraninya bentak-bentak gue!” Dio balas berteriak.

“Lo mau gue hajar?”

“Emangnya lo berani?”

“Berisik lo pada, nih cium bau ketek gue!!!” Aris menyela sambil mengibas-ngibaskan kedua lengannya.

Dio langsung menutup hidung. “Anjrid!” umpatnya dengan suara sengau tertahan.

“Udah, woi!” sela Ken kesal. “Kamu mau bunuh orang ya? Minta menyan si Leo tuh!”

“Jagan, nandi dambah eneg!” seru Dio.

“Langsung ke pokok masalah,” kata Ken. “Kalian mesti tau, aku lagi rudet gara-gara urusan Kobra Hitam dan Penyu Hijau!”

Leo dan Aris bertukar pandangan mendengar hal itu. Mereka saling menuding dengan sikut, sama-sama tidak mau menjadi pihak yang menjelaskan. Akhirnya Aris mengalah.

“Kalau lo udah tau soal rumor itu, berarti obrolan kita udah setengah jalan,” katanya.

Ken agak heran, tidak menduga ucapan Aris. “Rumor apaan?”

Duo alay bertatapan lagi.

“Lo belom tau?” kata Aris. “Rumornya… di Kobra Hitam lo anak Penyu Hijau yang ngehajar mereka, dan di Penyu Hijau lo itu anak Kobra Hitam yang ngehajar mereka.”

Ken ternganga. Dio, sementara itu, terlihat paham.

“Jadi itu masalahnya kenapa preman-preman kemaren nyariin lo,” katanya. “Asumsinya mereka itu Kobra Hitam, mereka mau balas dendam sama lo karena ngira lo agen Penyu Hijau.”

Aris mengangguk muram. “Tadinya sih…” Aris berhenti sejenak, melirik Leo, yang memberinya anggukan mantap, “kita nggak bakal ngubungin lo sama sekali. Apalagi kita denger semua penyerang lo kemaren koma dan sampe sekarang belum ada yang sadar…”

“Bentaaaaar!” Ken tak bisa tak menyela. “Mereka nggak koma! Lagian ada kali setengahnya yang kabur. Ini fitnah, ini!”

Aris buru-buru mengangkat tangan. “Iya, iya, sori, gue percaya kok lo nggak mungkin ngebiarin tuh monyet-monyet cuma koma!”

“Kalo kayak gitu kesannya aku lebih buas lagi! Aku udah insyaf, tau!—Matamu mau dicolok?” Ken menambahkan kepada Dio yang menyeringai mendengar kata “insyaf”.

Dio langsung angkat tangan.

“Gimana bisa ada rumor aku anak Kobra Hitam atau Penyu Hijau?” kata Ken, nyureng. Betul-betul tidak kepikiran. Sejak membubarkan Kubu, dia sudah tidak ada sangkut-pautnya dengan urusan geng-gengan. Sama sekali nggak ada. Bahkan, bisa dibilang dia tidak ada kontak dengan teman-teman satu SMP-nya. Hanya ada tiga orang—kalau tidak salah—alumni Atmajaya yang sekolah di Wadit: dirinya, Dio, dan satu lagi anak yang tidak Ken kenal. Ken tidak pernah bicara dengan anak itu juga.

“Gue yakin sih ada yang dendam sama lo,” kata Dio. “Si orang ini, anggaplah si X, nyebarin fitnah soal lo. Barangkali, yang menyulut perang antara Kobra sama Penyu tu ya si X ini. Mungkin dia berharap lo terjebak di tengah-tengah.”

Ken jadi kepikiran.

Kalau mitosnya Naga Biru itu menaruh telurnya di sarang elang dan harimau, maka ada kelanjutannya: bahwa telur elang pernah dicuri kobra dan anak harimau pernah tersesat ke lubang kura-kura. Intinya, ada gosip yang menyebar di masyarakat bahwa Kobra Hitam itu aslinya murid-murid Elang Merah, begitu pula Penyu Hijau konon berasal dari Harimau Putih.

Setahu Ken sih, itu hoaks. Kalau benar, Abah pasti sudah menerbitkan berita pencabutan gelar pendekar-pendekar yang terlibat.

…yah, itu kalau mereka ketahuan sih.

Pantas Gyro mengajak Ken bekerja sama. Jangan-jangan karena gosip ini. Dia ingin membersihkan nama perguruan silatnya.

“Terus,” lanjut Aris, “lo ada ide nggak siapa yang kira-kira tega nyebarin fitnah soal lo?”

Ken melipat lengan di dada.

“Ada dua kemungkinan,” Ken berkata. “Aku jadi sasaran karena masalah Elang Merah, atau masalah Kutu Kelabu.”

“Kenapa soal Elang Merah?” kata Dio.

Ken mengangkat bahu. “Mungkin ada yang dendam sama Abah? Abah orangnya keras, apalagi sama murid-muridnya.”

Dio menggigiti bibir bawahnya, kelihatan tidak setuju dengan penyimpulan itu. Ken langsung menanyainya,

“Kamu punya ide lain?”

“Hem...” Dio menggumam. Tanpa sadar, dia menggaruk-garuk dagunya. Ken belum pernah melihat Dio berpikir sekeras itu sebelumnya. “Kalo kaitannya sama Elang Merah, kenapa melibatkan Penyu Hijau juga?”

“Supaya Ken diincar dua geng sekaligus?” usul Rena.

“Kalo kaitannya sama Elang Merah,” Dio mengulang, “kemungkinan besar si X ini orang dewasa, ya nggak? Anak-anak seumuran kita nggak bakal kepikiran ngemusuhin padepokan silat. Itu sih bunuh diri. Ya kan?”

Leo dan Aris mengangguk-angguk.

Ken memikirkan kata-kata itu sebentar, lalu mengangguk juga.

“Menurut gue, orang dewasa cenderung milih cara yang lebih direct. Misal, ngerahin massa untuk langsung nyerang Ken, atau Abah. Kalo agak modal, mungkin dia bakal ngebayar hitman. Dia nggak bakal mengandalkan preman-preman setengah mateng untuk saling serang. Memang, tergantung motifnya apa. Tapi… enggak… kalo asumsinya si X ini pengen menyerang Abah, milih ngadu domba Kobra dan Penyu dengan nyebarin rumor soal Ken itu terlalu roundabout.”

“Berarti, suspect kita bukan orang dewasa?” tebak Rena. “Bukan musuh kakeknya Ken?”

“Itu lebih mungkin,” angguk Dio. “Yang berarti, kaitannya sama Kubu. Siapa yang kira-kira dendam sama lo gara-gara Kubu?”

Kadang, Ken sempat kepikiran juga soal itu.

SMP Atmajaya terletak di posisi silang yang amat strategis: pas di tengah-tengah SMK Putra Perkasa, SMA Rajawali III, SMA Rajawali I, dan SMP Cahaya Ilmu. Yang dua pertama paling rajin bentrokan. Karena ada di tengah-tengah mereka, nggak jarang anak-anak Atmajaya terseret juga.

Selama ada Kubu, sekolah mereka relatif aman. Begitu Kubu dibubarkan, tidak ada lagi pergerakan terstruktur yang membuat mereka kuat. Malapetakanya, anak-anak eks-Kubu sudah keburu merasa hebat sehingga dalam kapasitas pas-pasan mereka, berani menantang preman-preman yang lebih besar dan lebih tua. Lebih sialnya lagi, yang kena imbasnya bukan cuma eks-Kubu, tapi murid-murid yang tidak ada hubungannya pun kena sial hanya karena berseragam Atmajaya. Beberapa orang sampai pindah sekolah. Bahkan anak SMP Cahaya Ilmu yang rata-rata alim pun kena. Kasus terparah, ada yang dipukuli sampai koma selama beberapa bulan.

Di antara para korban itu mungkin banget ada yang dendam.

Tapi, ada yang tidak sinkron. Kalau yang dendam itu bukan eks-Kubu, masa iya dia mau bela-belain mendekati Kobra dan Penyu demi menyebar fitnah soal Ken?

“Lo bener-bener nggak mengira selain anak Kubu orangnya?” tanya Aris hati-hati.

Ken mencondongkan badan ke depan.

Dio mendahului Ken bertanya, “Maksudnya? Kalo bukan anak Kubu, mereka pasti benci preman. Kenapa sekarang malah mendekatkan diri? Maksud gue, sampe bisa nyebar fitnah gitu, berarti dia ada link kan?”

“Mungkin,” kata Leo. “Lo inget yang namanya Rangga Sundara? Dulu sekelas sama gue.”

Rena menarik napas tajam. Dio mengerutkan kening, mencoba mengingat-ingat.

Ken, sementara itu, benar-benar tidak tahu siapa orang yang baru saja disebut Leo. Dia akhirnya menoleh kepada Rena.

“Kamu tau, Ren?”

Rena mendelik tajam. “Ken, kamu serius nanya begitu?! Kamu lebih kejam daripada yang selama ini aku kira!” serobotnya.

“Udah nggak usah ngata-ngatain aku, bilang aja siapa.”

“Rangga Sundara kan yang di semester terakhir nggak pernah masuk sekolah lagi,” kata Rena setelah menghembuskan napas panjang. “Tau, kenapa bisa gitu?”

Ken memutar otak. Jawaban yang muncul membuat lidahnya kelu. “Dia salah satu korban pemukulan?”

Rena mengangkat bahu. “Tapi coba inget-inget lagi, siapa korban paling parah, saking parahnya, sampe dia langsung keluar sekolah.”

Kedua mata Ken melebar sementara dia teringat satu kasus paling mengerikan yang pernah didengarnya semasa di SMP dulu.

“Dia… yang dipukulin sampai… koma?”

Ekspresi di wajah Rena cukup untuk memberitahunya bahwa dirinya benar. Ken mengusap wajah.

“Lebih parah,” kata Rena.

“Apa?” Ken bertanya agak takut-takut. Ada yang lebih parah daripada koma? Memang sih, Ken dengar anak itu pulih tanpa gangguan berarti setelah bangun dari komanya. Tapi kan…

“Aduuh Ken, kamu itu di SMP ngapain aja sih? Kamu bener-bener nggak tau apa-apa ya?” keluh Rena gemas.

“Ratu,” sela Leo. “Rangga Sundara itu salah satu atlet sepak bola sekolah kita. Kalo nggak salah gue pernah denger dia mau dapet beasiswa atlet buat sekolah di luar negeri. Cuman, gara-gara kejadian itu, beasiswanya dicabut.”

“Hah?” Ken terperangah. “Dia kan korban?”

Aris menggaruk belakang kepala. “Yaa yang gue denger sih, katanya gara-gara kejadian itu satu sekolah kita sampe diselidiki juga. Karena nggak jelas siapa aja yang anak Kubu dan siapa yang bukan, nggak tau deh, pokonya sedengernya gue, dia semacam dianggap sama.”

“Dan lagi,” Rena menyela, “gara-gara cederanya parah banget, dia jadi perlu waktu buat pemulihan, dan waktu pemulihan itu bikin dia nggak bisa ikut tryout dan segala macem lagi. Akhirnya dia keluar sekolah. Dan itu bukan satu-satunya masalah. Mata kanannya buta karena dipukulin itu.”

Ken tiba-tiba merasa dunia seperti menyempit dan menghimpitnya.

Jadi sekarang dia harus bertanggung jawab atas hilangnya masa depan seseorang? Ini baru kabar satu orang yang didengarnya, siapa yang tahu ada berapa banyak lagi teman satu SMP-nya yang terkena kemalangan seperti Rangga Sundara!

Satu tangan menepuk kepalanya. Ken tersentak.

“Ken,” kata Dio serius, alisnya bertaut. “Lo baik-baik aja?”

Nadia meraih tangan Ken. “Iya, Ken, kamu kelihatan pucat.”

“Ya jelas lah nggak baik-baik aja,” tukas Rena galak. “Dia baru aja tau bahwa dia udah ngerusak hidup orang. Kalau dia masih baik-baik aja, mungkin dia nggak punya hati nurani, ya kan?!”

Entah Ken harus merasa senang atau sebal mendengar kata-kata Rena. Mungkin Ken yang ge-er, tapi barusan Rena terdengar seperti sedang membela dirinya.

“Aku oke,” kata Ken. “Nggak apa-apa.”

Dio menatapnya serius. “Gue mau nanya,” katanya kepada duo alay. “Kalian gimana bisa nyimpulin si Rangga entah siapa ini yang ngomporin Kobra sama Penyu buat ngincer Ken? Karena, no offense nih ya, menurut gue kalian nggak sepinter itu buat bikin kesimpulan kayak gini.”

Leo mendelik.

“Gue pingin nyodok congor lo pake ketek deh,” katanya menggeram.

Ken ikut memelototi Dio. “Di,” panggilnya, memberi isyarat menyeletingkan bibir. Biasanya kalau orang bilang no offense, berarti mereka berniat mengatakan sesuatu yang ofensif. Kasusnya Dio, berarti dia akan mengatakan sesuatu yang bisa menimbulkan hasrat mengebiri.

Tapi, Dio malah melanjutkan, “Atau jangan-jangan kalian terlibat dalam urusan ini? Kalian mencoba menjebak Ken ya?!!!”

Tuduhan Dio membuat Ken, Nadia, dan Rena menatap Aris dan Leo dengan sorot tidak percaya.

“Enggak!!” sanggah Aris cepat. “Kita justru denger soal ini dari orang lain!”

Dio menjentikkan jari. “Nah, kan.”

Aris dan Leo terdiam, kelihatan berusaha keras supaya tangan mereka tidak melayang ke leher jerapah songong super sotoy itu.

“Jadi, kalian denger dari siapa?” tanya Ken, tidak sabaran.

Leo menggaruk sisi kepalanya. “Dari sepupu gue yang di Rajawali III. Inget ga anak Kubu setahun di atas kita, namanya Orlando? Yang bule, alisnya tebel, kulitnya putih?”

“Namanya juga bule, ya putih lah,” cerocos Dio, seolah-olah tidak sadar bahwa sebelah kakinya sudah berada di dalam jurang.

“Tenang aja, lo juga bule kok,” kata Aris, “tapi pas lahir kelamaan dijemur sampe kena mutasi gen.”

Dio mengerjap. “Wah, gue nggak nyangka bakal denger teori genetik dari wabah rubella.”

Leo segera menahan temannya sebelum ada kepala yang copot.

Ken mengerutkan kening. Rasanya memang ada kakak kelasnya di SMP yang bule, tapi perasaan namanya bukan Orlando deh…

“Kamu pasti lupa,” dengus Rena. “Dia emang jarang dipanggil Orlando. Nama panggilannya Dodo.”

Sesuatu seperti berseru, “A-ha!” diiringi bola lampu menyala di benak Ken. “Ooh, si Dodo! Iya, iya, aku tau. Jadi dia sepupu kamu? Kok aku baru tau?!”

Leo menggaruk sisi kepalanya semakin keras. “Dulu sih belom… cuman bulan kemaren om gue nikah lagi, dan ternyata istri barunya itu ibunya Orlando.”

Ken tercengang. “Dunia ini sempit ya...”

“Yaa, tapi gue lebih suka kalo dunia ini nggak sempit sih. Soalnya si Orlando rese banget. Begitu dia tau gue, dia tiba-tiba sok akrab gitu. Padahal waktu lo belom ngalahin si Kentong, dia pernah malakin gue—“

“Cukup, cukup, balik lagi ke soal kesimpulan,” potong Ken cepat. “Si Dodo ini kenapa bisa tau soal Rangga?”

“Orlando dulunya anak sepak bola juga,” kata Leo. “Pas kita ketemu, dia tiba-tiba nyebut-nyebut lo. Katanya, akhirnya tau rasa juga lo, sekarang jadi diincer sama orang-orang. Mungkin ini karma karena lo udah bikin Rangga keluar sekolah.”

“Tadinya sih, pas gue denger soal rumor itu, gue mau diem aja. Soalnya gue nggak percaya. Lagian, tanpa gue kasih tau juga lo pasti bisa ngabisin mereka semua,” sambung Aris. “Cuman, kalo ada hubungannya sama si Rangga, kayaknya lo perlu tau, Ken. Soalnya, Rangga bukan orang kita. Dia nggak main dengan cara kita.”

“Selain itu,” imbuh Leo, “dari omongannya Orlando, kedengerannya ini bukan masalah balas dendam biasa. Anak-anak Penyu Hijau lagi siap-siap. Gue nggak tau siap-siap buat apa.”

Kalau memang orang bernama Rangga Sundara ini sumber fitnah yang membuat Ken jadi dikejar-kejar, setidaknya satu misteri telah terpecahkan. Hanya saja, bagaimana agar Rangga mengurungkan keinginannya? Sebagai orang yang punya andil utama dalam menghancurkan hidupnya, Ken tidak mungkin menemui anak itu, meminta maaf, lalu dibiarkan begitu saja kan? Lagipula, ngasal banget kalau Ken melakukan itu. Seolah-olah meremehkan penderitaan orang. Nggak tahu diri banget jadinya.

“Teori ini masuk akal,” Dio tiba-tiba nyeletuk, keningnya berkerut dalam. “Tapi masih banyak bolongnya.”

“Gue sumpel juga lo!” tukas Leo.

“Woi, gue nggak lagi bercanda nih sekarang!” balas Dio. “Harusnya ada jembatan antara si Rangga ini sama Penyu dan Kobra. Soalnya, dia bukan anggota apa-apa kan? Kalopun dia masuk geng, nggak mungkin dia sampe bisa munculin gosip Ken anak Penyu di Kobra, dan sebaliknya. Lebih logis kalo si Rangga ini nggak masuk geng mana pun. Apapun tujuan awal lo, lo pasti bakal terpaksa membaur dengan orang-orang yang udah jadi anggota duluan. Lo mesti mau diospek dulu. Emang si Rangga mau disuruh nyolongin helm atau nyabetin orang pake samurai?

“Jadi, ada pertanyaan baru: siapa yang menjembatani Rangga dan kedua geng? Si Dodo ini kayaknya perlu diselidiki lebih jauh. Dan ada satu hal lagi yang kalo bener, bener-bener gawat, dan nggak ada hubungannya dengan si Rangga dan Dodo.”

Dio berhenti. Ken jadi gusar.

“Apa tuh? Jangan kepotong-potong ngomongnya!”

Dio bertumpu pada sikutnya di atas meja, mencondongkan tubuh ke depan dan bekata dengan suara rendah,

“Seseorang sengaja bikin kerusuhan dengan lo berada di tengah-tengahnya, supaya lo menarik perhatian semua orang lain, sementara si Dalang ini, yang mungkin bukan si X, melakukan entah apa di luar radar. Dan kalau dia sampe bikin skenario seaneh ini, berarti apapun yang dia pengenin adalah sesuatu yang besar, dan pastinya ilegal.”

Kata-kata Dio membuat semua orang terdiam. Sejauh ini, yang mereka pikirkan hanyalah kemungkinan seseorang ingin mencelakai Ken karena motif pribadi. Bahwa Ken mungkin dijadikan badut pengalih perhatian demi tercapainya suatu rencana jahat… itu rasanya film banget nggak sih?!

Genggaman Nadia di tangan Ken menguat, membuat Ken menoleh. Anak itu memberi Ken pandangan cemas.

“Soal mobil yang dulu diserang...”

Ken spontan menyanggah.

“Nggak, Nad, bukan kamu!”

Rena mendesah, lelah. “Asal kalian tau aja, ya, menurutku, ini teori yang paling mungkin. Aku udah pernah bilang kan, kalo Nadia punya banyak musuh? Dan kalo Nadia berteman sama Ken, yang juga banyak musuhnya, ya kesempatan besar jadinya. Kenapa nggak manfaatin Ken buat sekalian nyelakain Nadia?”

Ken membuka mulut, tetapi urung bicara. Kata-kata Rena membuat lidahnya kelu. Keheningan menyelimuti sementara mereka semua sibuk dengan pikiran masing-masing: menyalahkan diri sendiri, kesal melihat orang lain menyalahkan diri sendiri, dan kesal melihat orang lain membuat orang lainnya menyalahkan diri sendiri.

Rena menggebrak meja semen di tengah mereka dengan telapak tangannya.

“Kalian,” katanya, berhenti sejenak untuk melegakan tenggorokan, “nggak usah permasalahin siapa yang jadi target. Kalian berdua emang target, jadi kalian harus saling bantu mencari tau siapa si Dalang ini!”

Rena langsung merasa sudah salah ngomong begitu semua mata tertuju padanya.

Dio menjentikkan jari. “Nah! Ternyata ada orang selain gue yang bisa mikir.”

Rena tersipu-sipu.

Sementara itu, Ken sudah tidak punya minat menyanggahi komentar Dio.

“Ken,” Dio melanjutkan, “jangan lupa, semua ini masih hipotesis. Masih ada kemungkinan tebak-tebakan kita nggak ada hubungannya. Rangga Sundara mungkin lagi istirahat dengan tenang entah dimana. Nggak ada yang secara khusus pengen nyelakain Nadia. Nggak ada yang dendam sama kakek lo. Lo cuma terjebak di tempat yang salah, waktu yang salah.”

Andai memang seperti itu. Betapa dia ingin segera pulang, tidur, kemudian terbangun besok pagi dan mendapati semua ini cuma mimpi.

“Saya juga mau mencari tahu lebih banyak, Ken,” janji Nadia. “Malam ini saya bisa bicara dengan Nenek. Mungkin saya bisa mengumpulkan lebih banyak informasi.”

Ken tersenyum salah tingkah. Nadia jadi benar-benar terlibat ke dalam masalahnya.

Tapi Ken mengangguk. Tidak baik menolak pertolongan orang lain. Lagipula, benar kata Rena. Mereka berdua sama-sama target. Bukan masalah siapa yang terseret kemana sekarang, tapi bagaimana menyatukan kekuatan agar masalah ini cepat selesai.

Saat itulah, tiba-tiba ponsel Nadia dan Rena berdering bersamaan, disusul dengan kedatangan para bodyguard dengan tergesa-gesa. Semua orang spontan bersiaga mendengar langkah-langkah berat mereka. Menyusul di belakang para bodyguard, orang-orang berdandanan tidak jelas memasuki taman.

“Siapa mereka? Bukan anak Rajawali kan?” tanya Dio tajam.

“Lo nggak liat tampang mereka udah purba?!” kata Aris

“Lo nggak sadar tampang lo kayak dari zaman holosen?!” balas Dio.

Leo buru-buru menahan Aris dari belakang sebelum sahabatnya itu melakukan tindak pidana.

Orang-orang tidak jelas itu ada beberapa puluh. Ada yang membawa senjata, ada yang bertangan kosong. Tapi bisa saja yang bertangan kosong itu menyembunyikan senjata di balik pakaian yang layak disebut compang-camping itu.

“Nona!” panggil seorang bapak bodyguard. “Mari segera pergi dari sini!”

Nadia menatap teman-temannya bergantian. “T-tapi Pak—“

“Ayo kalian buruan pergi,” kata Ken. “Orang-orang itu mau nyari gara-gara sama aku. Mending kamu nggak terlibat.”

“Terus kamu ba—“

“Elo! Ken Ratu!” salah seorang preman berteriak. Dia adalah seorang om-om dengan badan tinggi tegap, mengenakan kaus tanpa lengan yang menunjukkan tato-tato gahar dari bahu sampai jari-jarnya. Tangannya memutar-mutar batangan kayu sepanjang satu meter, mengancam. “Berani juga lo nongol di tempat ini?”

Ken maju dengan lengan berlipat di dada. “Kenapa, nggak boleh?” tantangnya.

“Ini udah bukan tempat lo lagi! Masuk seenaknya, lu berurusan sama gua!”

“Siapa takut?!”

“Ken, lo serius mau ngeladenin mereka?” kata Dio.

Aris mengangkat satu tangan.

“Lo nggak usah ikut campur. Ini urusan kita,” katanya, mengambil tempat di sisi Ken.

“Mending lo pergi sana, sebelum idung mancung lo jadi penyet,” tambah Leo, berdiri di sisi Ken yang lain.

“Kamu ngomong penyet, aku jadi laper,” gerutu Ken. Dia menoleh kepada para bodyguard. “Bapak-bapak bisa bawa temen saya pergi dengan selamat dari sini kan?”

Bodyguard nampak terhina. “Adek sadar, lagi ngomong sama siapa?!”

“Begitu hitungan ketiga, Bapak-bapak langsung bawa Nadia, Rena, sama Dio ke mobil dan pergi dari sini secepatnya.”

“Hei, gue nggak usah dihitung!” protes Dio.

“Diem, kamu cuma bakal ngalangin aja!”

Kalau bukan karena sedang genting, Dio pasti sudah melakukan sesuatu di luar batas untuk menanggapi kata-kata yang meluluhlantakkan harga diri itu.

“Dik Dio, mau ikut kami atau tidak, putuskan sekarang!” kata bodyguard yang lain. “Kami buru-buru. Nyonya baru kecelakaan mobil, dan sekarang Nona Nadia sangat dibutuhkan.”

“Apa?!!” Ken dan Dio berseru keras.

Safira Brahmadibrata kecelakaan mobil? Kok rasanya terlalu kebetulan?!

“Jadi telepon ini—“ kata Nadia menggantung, sementara dia melihat nama penelepon di layar ponselnya yang masih berdering.

“Betul, Pak David baru saja menghubungi kami,” kata seorang bapak bodyguard.

“Yaudah cepetan gih,” kata Ken dengan nada mengusir.

“Kamu harus ikut saya Ken!” kata Nadia, wajahnya yang sudah putih dari sononya itu sekarang kebiruan.

“Nggak bisa,” kata Ken. “Kalo kita bareng-bareng, mereka jadi cuma ngejar satu target dan kita bakal makin kehalang. Lama lagi entar!”

“Saya setuju dengan Adek ini,” kata bapak bodyguard yang tadi emosi. “Mari kita segera pergi, Nona.”

“Tapi—“

“Nad, kita nggak bisa terlibat masalah ini,” kata Rena, yang sama pucatnya dengan sepupunya. Sepertinya dia pun ditelepon untuk dikabari hal yang sama. “Lagian kita harus cepet pulang. Rumah pasti kacau banget sekarang.”

“Tapi saya—“

“Tenang Nad, ada gue,” kata Dio.

“Kamu ikut mereka!” kata Ken kesal.

“WOI!!” si ketua preman berteriak, agaknya kesal karena diabaikan. “Nggak usah banyak cingcong! Gua bikin mampus lu di sini, sekarang juga!”

Ken mendecakkan lidah. Ngeganggu aja sih, dumelnya.

“Songong bener tu preman satu,” kata Dio gerah.

“Sebagai manusia songong, lo nggak berhak ngatain dia,” tukas Aris.

“Lo pikir gue nggak bisa ngehajar lo?!”

“Emangnya lo bisa?!”

“Sini, gue abisin lo sebelum mereka nyampe sini!”

“BERISIKK!!” potong Ken. “Kenapa sih kalian malah bikin tambah rusuh? Lagian, kita nggak bakal ngehajar siapa-siapa hari ini!”

Aris dan Leo bertukar pandangan heran, begitu pula Rena dan Nadia.

“Hah? Tus?”

Ken melirik Pak Bodyguard. Selama sedetik mereka saling tatap, seperti berbicara melalui telepati. Kemudian, mereka sama-sama mengangguk.

“Tiga!” kata Ken. Kemudian, tanpa aba-aba, dia melesat menjauhi barisan preman. “LAREEEEEEE!!!!!”

Terlambat bereaksi karena tidak menduga aksi Ken, Dio menyusul selangkah di belakang Ken sambil agak tersandung-sandung. Duo alay menyejajarinya.

“KEJAAAARRRR!!!” si ketua preman berteriak.

Segera saja udara dipenuhi suara derap langkah yang bergemuruh.

Ken hanya menoleh sesaat untuk melihat para bodyguard setengah menyeret nona mereka menuju mobil, formasi rapat mereka menghalau serangan para preman dengan cekatan.

Duo Tuan Puteri sudah pasti aman.

Sekarang… bagaimana caranya kabur dari kejaran preman-preman kalap ini?

How do you feel about this chapter?

0 0 0 0 0 0
Submit A Comment
Comments (1)
  • yurriansan

    95 banding lima, auto sakit perut ketawa cekikikan. Tenyata kalau di perhatiin tokoh Ken, karakternya hampir mirip dengan, tokoh Tio di ceritaku.

    Comment on chapter Satu
Similar Tags
Lost Daddy
4407      944     8     
Romance
Aku kira hidup bersama ayahku adalah keberuntungan tetapi tidak. Semua kebahagiaan telah sirna semenjak kepergian ibuku. Ayah menghilang tanpa alasan. Kakek berkata bahwa ayah sangat mencintai ibu. Oleh sebab itu, ia perlu waktu untuk menyendiri dan menenangkan pikirannya. Namun alasan itu tidak sesuai fakta. AYAH TIDAK LAGI MENCINTAIKU! (Aulia) Dari awal tidak ada niat bagiku untuk mendekati...
Blocked Street
13722      3141     5     
Horror
Ada apa dengan jalan buntu tersebut? Apa ada riwayat terakhir seperti pembunuhan atau penyiksaan? Aryan dan Harris si anak paranormal yang mencoba menemukan kejanggalan di jalan buntu itu. Banyak sekali yang dialami oleh Aryan dan Harris Apa kelanjutan ceritanya?
When I Found You
2750      927     3     
Romance
"Jika ada makhluk yang bertolak belakang dan kontras dengan laki-laki, itulah perempuan. Jika ada makhluk yang sanggup menaklukan hati hanya dengan sebuah senyuman, itulah perempuan." Andra Samudra sudah meyakinkan dirinya tidak akan pernah tertarik dengan Caitlin Zhefania, Perempuan yang sangat menyebalkan bahkan di saat mereka belum saling mengenal. Namun ketidak tertarikan anta...
Utha: Five Fairy Secret
1339      650     1     
Fantasy
Karya Pertama! Seorang pria berumur 25 tahun pulang dari tempat kerjanya dan membeli sebuah novel otome yang sedang hits saat ini. Novel ini berjudul Five Fairy and Secret (FFS) memiliki tema game otome. Buku ini adalah volume terakhir dimana penulis sudah menegaskan novel ini tamat di buku ini. Hidup di bawah tekanan mencari uang, akhirnya ia meninggal di tahun 2017 karena tertabrak s...
ELANG
311      196     1     
Romance
Tau kan bagaimana cara Elang menerkam mangsanya? Paham bukan bagaimana persis nya Elang melumpuhkan lawannya? dia tidak akan langsung membunuh rivalnya secara cepat tanpa merasakan sakit terlebih dahulu. Elang akan mengajaknya bermain dahulu,akan mengajaknya terbang setinggi awan dilangit,setelah itu apa yang akan Elang lakukan? menjatuhkan lawannya sampai tewas? mari kita buktikan sekejam apa...
Alfazair Dan Alkana
234      191     0     
Romance
Ini hanyalah kisah dari remaja SMA yang suka bilang "Cieee Cieee," kalau lagi ada teman sekelasnya deket. Hanya ada konflik ringan, konflik yang memang pernah terjadi ketika SMA. Alkana tak menyangka, bahwa dirinya akan terjebak didalam sebuah perasaan karena awalnya dia hanya bermain Riddle bersama teman laki-laki dikelasnya. Berawal dari Alkana yang sering kali memberi pertanyaan t...
REGAN
7646      2601     4     
Romance
"Ketika Cinta Mengubah Segalanya." Tampan, kaya, adalah hal yang menarik dari seorang Regan dan menjadikannya seorang playboy. Selama bersekolah di Ganesha High School semuanya terkendali dengan baik, hingga akhirnya datang seorang gadis berwajah pucat, bak seorang mayat hidup, mengalihkan dunianya. Berniat ingin mempermalukan gadis itu, lama kelamaan Regan malah semakin penasaran. Hingga s...
Jawaban
348      218     3     
Short Story
Andi yang digantung setelah pengakuan cintanya dihantui penasaran terhadap jawaban dari pengakuan itu, sampai akhirnya Chacha datang.
Melting Point
5165      1061     3     
Romance
Archer Aldebaran, contoh pacar ideal di sekolahnya walaupun sebenarnya Archer tidak pernah memiliki hubungan spesial dengan siapapun. Sikapnya yang ramah membuat hampir seluruh siswi di sekolahnya pernah disapa atau mendapat godaan iseng Archer. Sementara Melody Queenie yang baru memasuki jenjang pendidikan SMA termasuk sebagian kecil yang tidak suka dengan Archer. Hal itu disebabkan oleh hal ...
REWIND
12831      1758     50     
Romance
Aku yang selalu jadi figuran di kisah orang lain, juga ingin mendapat banyak cinta layaknya pemeran utama dalam ceritaku sendiri. -Anindita Hermawan, 2007-