Read More >>"> Memorabillia: Setsu Naku Naru (Winter) - TinLit
Loading...
Logo TinLit
Read Story - Memorabillia: Setsu Naku Naru
MENU
About Us  

2

 

Musim Dingin, 2016

(Rienna)

Setiap malam aku meringkuk dalam kesunyian. Bersembunyi dari ketakutan. Tidak ada seorang pun yang tahu bagaimana perasaanku yang sebenarnya. Karena meskipun aku terlihat begitu kuat namun aku selalu ingin menyerah setiap saat. Dunia dewasa pada kenyataannya terlalu sulit untuk kujalani sendiri tanpa dirimu.

“Aku tidak tahu kapan aku akan kembali! Aku rasa aku akan berada di Jepang untuk waktu yang cukup lama…” ujarku dengan seorang teman di seberang telepon. Aku mungkin telah membuat banyak orang begitu khawatir beberapa bulan ini. Namun aku juga tidak mampu menghadapi masalahku disana.

“Tidak, aku tidak melarikan diri! Aku hanya berusaha untuk menenangkan diri!” jawabku kembali.

“Yah… aku berharap aku bisa kembali menulis lagi secepatnya!” tepat setelah mengakhiri sambungan telepon itu, aku kembali meringkuk di samping jendela. Merasakan dinginnya lantai marmer hingga menembus tulang-tulangku.

Kadangkala aku pun merasa tak mampu untuk berdiri tegak, aku selalu menundukan wajahku pada akhirnya. Sama seperti seorang anak yang baru belajar berjalan, aku selalu jatuh dalam perjalanan hidupku. Aku jatuh lalu bangkit kembali tanpa seorang pun yang hadir untuk menyemangati, aku melakukan segalanya sendiri. Hingga kini aku pun merasa lelah. Aku menginginkan seseorang disampingku yang mampu mengenggam tanganku agar aku tak kembali jatuh. Tapi keinginan itu hanya kembali mengingatkanku pada seseorang itu. Seseorang dalam kenangan penuh penyesalan itu.

“Na…gue sama lo aja ya? Kita pacaran yuk!”

Pernah suatu ketika di akhir bulan desember, kau menggumamkan kata-kata itu disampingku. Kau tidak tahu jika kata-kata itu berakibat fatal untukku. Dan meskipun saat itu aku hanya mematung namun di empat ruang dari bagian jantungku, disana seolah ada begitu banyak kembang api yang meledak.

“Lo ngomong apa sih?” akhirnya hanya kata-kata itu yang dapat kuucapkan untuk menutupi segalanya.

“Habisnya gue frustasi! Sebentar lagi tahun baru tapi cuma gue yang gak punya cewek! Malah kak Yuiko susah banget lagi dideketin, jantung gue selalu deg-degan setiap mau ngomong sesuatu sama dia…”

Harusnya aku bisa menebak dari awal jika kau memang tidak pernah serius dalam perkataanmu. Kau yang juga tidak pernah konsisten pada perasaanmu sendiri. Ada banyak gadis yang pernah dekat denganmu dan mereka jatuh hati padamu karena ucapan serta tingkahmu yang manis itu. Tapi bertapa bodohnya aku karena sempat berpikir kau bersungguh-sungguh.

“Percaya diri banget lo! Emangnya lo pikir gue mau jadian sama muka rombeng kayak lo…” aku membuang muka untuk menutupi kekecewaanku. Bunga-bunga api yang menghiasi langit malam di hatiku pun musna dalam sekejap. Lalu kesunyian kembali datang untuk menggantikannya.

“Halah… lo aja yang gak pernah bisa liat kualitas cowok seperti gue! Standart cowok idaman lo kan rendah, tipe-tipe banci kayak Akira, iya kan?” aku harus mengelus dadaku setiap kali berbicara denganmu. Kau yang selalu membuat darahku mendidih hingga ubun-ubun.

“Akira itu kalem bukan banci tau! Dia pinter gak kayak lo…” protesku.

“Cuma pinter ngafal rumus matematika aja dibanggain, kalau dia adu panco juga bakalan kalah sama gue! Lagian ya dia kan pacaran sama temen lo yang namanya siapa itu? Yuri? Masa elo masih aja ngarepin dia?”

“Mereka cuma deket muka rombeng, bukan pacaran! Lagian udah berapa kali gue bilang kalau gue gak ngarepin Akira, gue cuma kagum sama dia! Gak lebih!”

“Beneran? Yakin lo cuma kagum? Berarti malam tahun baru elo mau nemenin gue dong ke festival? Secara dia kan gak akan ngajak elo?” aku kehabisan kata, selalu kehabisan cara untuk mengalahkanmu dalam setiap adu mulut.

“Ogah… Lo suka seenaknya ninggalin gue, makanya gue males.”

“Yaelah Na… nemenin doang susat amat? Janji deh kali ini gue gak bakalan kabur! Kan gue udah gak sama siapa-siapa lagi sekarang, jadi lo mau ya nemenin gue? Mau ya?” Tapi meskipun kau begitu menyebalkan, aku tidak pernah bisa menolakmu. Aku selalu luluh pada kata-kata manismu.

“Terserah…” jawabku kemudian sembari mempercepat langkah. Kau pun kemudian mengacungkan tangan ke udara sembari berlari menyusulku.

“Yes… akhirnya gue gak sendiri! Lo emang bestfriend gue deh, Na! Tapi jangan lupa dandan yang cantik ya, pakai pakaian tradisional Jepang juga biar kayak cewek-cewek Jepang!” racaumu sembari kembali merangkul pundakku.

“Ribet! Ngapain gue harus dandan buat elo…” balasku berusaha menghindar.

Musim berganti begitu cepat, kristal es pun mulai jatuh berguguran dari angkasa. Aku menegakkan tubuhku untuk memandang langit dari balik jendela, ada jutaan kapas putih yang meleleh disana dan menyebabkan embun di kaca jendela. Malam itu adalah salju pertama yang turun di kota Tokyo. Dan seperti malam tujuh tahun yang lalu, aku kembali terpuruk. Hari dimana salju pertama turun, di hari itu pula kau menciptakan kenangan yang membuatku tak ingin mengingatnya lagi.

“Na… Maaf ya! Kayaknya kita gak jadi ke festival! Gue tiba-tiba kena flu dan itu bakal makin parah kalau malam ini turun salju. Jadi gue mendadak harus ngebatalin rencana kita. Elo belum berangkat kan?” Aku mendengarkan pesan suara itu setelah berjam-jam menunggumu di tepi Meguro River, saat salju pertama tiba-tiba meleleh di lengan kimono bermotif sakura yang kukenakan. Hatiku membeku namun air mataku yang hangat meleleh di pipiku. Aku tidak tahu mengapa aku merasa begitu kecewa. Bukan karena waktu yang telah kuhabiskan selama berjam-jam hanya untuk berdandan dan bukan pula karena kau membatalkan rencana pergi ke festival bersama. Namun karena aku menyadari bahwa aku tidak begitu penting di dalam hidupmu. Hingga kini salju pertama dan Meguro River telah menjadi kenangan yang menyakitkan.

                                                                                                               ****

(Jelfrine Kahendra)

Sering aku mengabaikan suara-suara di sekitarku dan pura-pura terlelap. Bukan karena aku terlalu suka tidur tapi karena terkadang aku tidak tahu bagaimana bereaksi pada suara-suara itu. Aku sering berlari untuk melupakan akalku namun terkadang aku juga menjadi pendiam di situasi yang menurutku sulit.

Tanpa sebab, aku pun merasa hubunganku dengan Yuiko akhir-akhir ini menjadi lebih sulit. Yuiko adalah cinta pertamaku, setidaknya seperti itulah yang aku rasakan. Dia satu-satunya gadis yang aku perjuangkan selama beberapa tahun terakhir hingga kami akhirnya bersama. Namun aku tidak mengerti, apa yang aku rasakan saat ini justru berbeda dengan apa yang aku rasakan dahulu. Aku yang kini hanya seorang laki-laki dewasa yang tak memiliki jiwa dalam hidup, aku kehilangan tujuan dan tak merasa menjadi diriku sendiri. Barangkali memang seperti itulah dunia dewasa, atau mungkin justru sebaliknya, aku kehilangan separuh diriku karenanya.

“Watashi wa kite imasu![1] Suara parau perempuan itu terdengar dengan jelas di telingaku. Namun tak seperti beberapa tahun lalu, aku justru lebih memilih mengabaikannya.

Yuiko pun terdengar mendesah. Di malam yang cukup dingin, dia menyempatkan pergi ke apartemenku setelah pulang dari pertunjukan. Aku menelponnya beberapa waktu yang lalu karena tak bisa menjemputnya. Gejala flu yang selalu datang setiap awal musim dingin, membuatku enggan keluar dari apartemen. Padahal beberapa tahun lalu, meskipun sedang sakit, aku tetap menyempatkan diri menjemputnya.

“Jeka… Oki nasai[2]!! Aku membeli bubur abalone, makanlah sedikit lalu minum obat!” ujarnya lagi beberapa menit kemudian, sekembalinya dari dapur. Aku pun sedikit menggeliat, pura-pura terbangun karena guncangannya.

“Kau datang?” tanyaku saat pertamakali membuka mata. Yuiko tersenyum hambar, dia hanya bergumam untuk menjawab pertanyaanku,

Aku pun menegakkan tubuhku dan menatap semangkuk bubur abalon yang sedang disiapkan Yuiko di meja sofa. Sesekali aku juga beralih menatap wajah Yuiko dari samping. Ada guratan lelah yang tak dapat disembunyikan perempuan itu. Mungkin rasa lelah yang serupa denganku pula. Aku pun merasa jika Yuiko sebenarnya memahami situasi diantara kami namun memilih untuk mengabaikannya.

 “Kenapa harus repot-repot datang? Aku tidak apa-apa! Kau pasti sangat lelah setelah pertunjukan?” kali ini aku mencoba menyentuh pipinya dan mencium pelipisnya. Tapi Yuiko tidak bereaksi, dia hanya menyodorkan sendok padaku.

Yuiko adalah penyanyi seriosa, dia tampil di opera setiap beberapa hari sekali dan selebihnya dia menjadi pengajar anak-anak berkebutuhan khusus secara sukarela. Sementara aku, jauh dari impian yang kubayangkan dahulu, aku adalah seorang arsitek exterior yang lebih banyak menghabiskan waktu di dalam ruangan, menggambar sesuatu yang kaku dan membosankan.

“Kenapa? Apa rasanya tidak enak?” Yuiko memandangku dengan bingung ketika aku terdiam beberapa saat setelah menyuap sesendok bubur ke dalam mulutku.

Rasa semua bubur abalone sama namun entah mengapa lidahku merasakan hal yang berbeda. Seolah ada sengatan yang tiba-tiba mendera kepalaku dan membuatku teringat pada rasa bubur abalone di kenangan itu. Waktu yang berputar di sekelilingku pun seperti sebuah jam pasir yang dapat diputarbalikkan.

“Na… Elo disini? Gue kira gak masuk? Tapi siswa teladan kayak lo mana mungkin bolos ya sekalipun tahun baru?” Aku terkekeh sendiri setelah menemukanmu berdiam diri di dalam kelas sembari menggambar. Tanpa seijinmu, aku pun kemudian mengambil tempat duduk tepat di hadapanmu.

“Gambar apaan sih? Bagusan juga gambar gue!” cibirku yang merasa tak kau pedulikan. Dari sekian perbedaan diantara kita, ada kesamaan yang membuat kita dapat bersatu yaitu kita sama-sama senang menggambar. Entah itu menggambar anime atau karikatur lucu lainnya.

“Lo masih marah karena gue ngebatalin rencana kita ke festival? Atau jangan-jangan elo udah sampai disana ya pas gue kirim pesan?” aku merampas kertas yang sedang kau gambar dengan maksud agar perhatianmu teralihkan padaku. Minggu lalu aku berniat mengajakmu ke festival tahun baru untuk menemaniku. Namun karena aku terkena flu setiap salju pertama turun, aku pun membatalkannya secara sepihak.

Kau memang tidak marah, tapi sikapmu yang seolah enggan menatapku dan justru mengalihkan pandanga pada jendela disampingmu, membuatku gelisa. Aku lebih suka kau memarahiku dibandingkan kau mengabaikanku. Sampai kemudian hidungku kembali terasa gatal sehingga aku pun tidak bisa menahan diri untuk bersin.

“Hachi…” kertas yang kupegang pun tak luput dari semburanku. Kau baru menatap wajahku setelahnya lalu menghembuskan nafas berat.

“Sorry! Hidung gue masih gatal kalau kena udara dingin!” sahutku mengharap simpatimu.

Kau tetap tidak menanggapiku, tapi kau merogoh ke dalam ranselmu dan mengeluarkan tas bekalmu dari sana. Kau menempatkannya di hadapanku, mengeluarkan isinya satu per satu. Aku menggosok hidungku beberapa kali sambil memperhatikanmu. Serbet, mangkuk, termos dan sendok, semua barang-barang itu ada di tas bekalmu. Lalu kau menuangkan cairan dari termos ke dalam mangkuk dan mengulurkan sendok padaku.

“Gue bawa bubur abalone! Cepet makan!” perintahmu dengan tiba-tiba. Aku pun menerima sendok itu sambil mengerutkan alis. Merasa ingin tertawa pula karena tingkahmu yang sok elegan itu.

“Jadi lo sengaja bawa bubur abalone buat gue? Sampai repot-repot bawa satu set peralatan makan ke sekolah? Baik banget sih!” aku menggodamu sembari menyuap bubur abalone ke mulutku. Kau kembali menopang dagu dan menatapku dengan malas.

“Mama masak bubur abalone pagi ini, mau jenguk temannya dan ternyata itu terlalu banyak jadi gue ingat sama lo yang lagi flu!” Alibimu

“Oh… mama? Gue pikir elo yang masak?” Godaku, aku tahu bahwa kau berbohong, karena setiap tahun pun kau selalu melakukan hal yang sama. “Hm… ini rasanya gue suka banget! Rasa bubur abalone banget! Di Indonesia mana ada ya…”

“Apaan sih? Lebay lo!” Tukasmu dan aku pun tertawa menertawai diriku sendiri.

“Btw… Elo gak marah kan gue ngebatalin rencana kita?”

“Ngapain gue marah? Gue aja tidur di rumah, malas keluar!”

Butiran pasir yang tersisa di dalam jam pasir semakin berkurang, seiring dengan waktu yang akhirnya membawaku kembali ke masa kini. Kenangan di kepalaku adalah sesuatu yang tak dapat kukendalikan dan selalu membawaku menjelajahi waktu. Kadang karena ingatan itu pun semua yang ada di hadapanku menjadi terabaikan.

“Jeka…” panggil Yuiko untuk kesekiankalinya.

“Iya…” dia hanya mendengus ketika akhirnya aku menyahuti. Namun dibanding dengan meluapkan kekesalannya padaku, Yuiko memilih beranjak dari tempat duduknya dan mengambil mantel.

“Aku akan pulang!” ujarnya tanpa penjelasan panjang.

“Aku akan mengantarmu…” sahutku basa-basi.

“Tidak perlu! Aku sudah memesan Taxi!” potongnya.

Selepas Yuiko pergi, suasana ruangan itu terasa semakin dingin. Aku masih membeku di sofa, memandang kepergiaan Yuiko hingga siluet tubuh perempuan itu benar-benar menghilang dari balik pintu. Lalu butiran salju yang berhamburan di balik jendela kaca pun mengalihkan perhatianku. Namun ketika aku memandang dengan seksama bayangan yang terlihat hanyalah pantulan wajahku yang menyedihkan. Wajah seorang laki-laki dewasa tanpa hasrat dan semangat dalam hidupnya. Mengapa aku berubah? Mengapa segalanya tidak lebih mudah tanpanya? Gumamku pada diri sendiri.

 

Ket:

[1] Aku datang!

[2] Bangun!

 

Saran & Masukan sangat diperlukan penulis ^^

Terima kasih

How do you feel about this chapter?

0 0 0 0 0 0
Submit A Comment
Comments (4)
  • sylviayenny

    @aiana kira-kira seperti itulah hehe
    Senang banget di komen, terima kasih banyak ^^
    Aku juga suka "27 Syndrome" kayak aku banget itu ceweknya wkwk

    Comment on chapter Auntum
  • aiana

    ini dari sudut pandang si cowok ya? dududududu...
    btw si cowok seolah memberikan racun sekaligus obat deh. jahat amaattt. huweee T.T

    Comment on chapter Auntum
  • sylviayenny

    @yurriansan terima kasih banyak sudah comen ^^
    sangat butuh saran & masukannya

    Comment on chapter Auntum
  • yurriansan

    baru awal baca, langsung kena di hati. bikin mello :(

    Comment on chapter Auntum
Similar Tags
Niscala
299      190     14     
Short Story
Namanya Hasita. Bayi yang mirna lahirkan Bulan Mei lalu. Hasita artinya tertawa, Mirna ingin ia tumbuh menjadi anak yang bahagia meskipun tidak memiliki orang tua yang lengkap. Terima kasih, bu! Sudah memberi kekuatan mirna untuk menjadi seorang ibu. Dan maaf, karena belum bisa menjadi siswa dan anak kebanggaan ibu.
UnMate
917      525     2     
Fantasy
Apapun yang terjadi, ia hanya berjalan lurus sesuai dengan kehendak dirinya karena ini adalah hidup nya. Ya, ini adalah hidup nya, ia tak akan peduli apapun meskipun...... ...... ia harus menentang Moon Goddes untuk mencapai hal itu
Bisakah Kita Bersatu?
561      311     5     
Short Story
Siapa bilang perjodohan selalu menguntungkan pihak orangtua? Kali ini, tidak hanya pihak orangtua tetapi termasuk sang calon pengantin pria juga sangat merasa diuntungkan dengan rencana pernikahan ini. Terlebih, sang calon pengantin wanita juga menyetujui pernikahan ini dan berjanji akan berusaha sebaik mungkin untuk menjalani pernikahannya kelak. Seiring berjalannya waktu, tak terasa hari ...
Mapel di Musim Gugur
412      289     0     
Short Story
Tidak ada yang berbeda dari musim gugur tahun ini dengan tahun-tahun sebelumnya, kecuali senyuman terindah. Sebuah senyuman yang tidak mampu lagi kuraih.
Melody of The Dream
376      238     0     
Romance
Mungkin jika aku tidak bertemu denganmu, aku masih tidur nyenyak dan menjalani hidupku dalam mimpi setiap hari. -Rena Aneira Cerita tentang perjuangan mempertahankan sebuah perkumpulan yang tidak mudah. Menghadapi kegelisahan diri sendiri sambil menghadapi banyak kepala. Tentu tidak mudah bagi seorang Rena. Kisah memperjuangkan mimpi yang tidak bisa ia lakukan seorang diri, memperkarakan keper...
Dari Sahabat Menjadi...
490      334     4     
Short Story
Sebuah cerita persahabatan dua orang yang akhirnya menjadi cinta❤
Crashing Dreams
221      188     1     
Short Story
Terdengar suara ranting patah di dekat mereka. Seseorang muncul dari balik pohon besar di seberang mereka. Sosok itu mengenakan kimono dan menyembunyikan wajahnya dengan topeng kitsune. Tiba-tiba sosok itu mengeluarkan tantou dari balik jubahnya. Tanpa pasangan itu sadari, sosok itu berlari kearah mereka dengan cepat. Dengan berani, laki-laki itu melindungi gadinya dibelakangnya. Namun sosok itu...
Hujan Paling Jujur di Matamu
5404      1483     1     
Romance
Rumah tangga Yudis dan Ratri diguncang prahara. Ternyata Ratri sudah hamil tiga bulan lebih. Padahal usia pernikahan mereka baru satu bulan. Yudis tak mampu berbuat apa-apa, dia takut jika ibunya tahu, penyakit jantungnya kambuh dan akan menjadi masalah. Meski pernikahan itu sebuah perjodohan, Ratri berusaha menjalankan tugasnya sebagai istri dengan baik dan tulus mencintai Yudis. Namun, Yudis...
PROMISES [RE-WRITE]
5243      1481     13     
Fantasy
Aku kehilangan segalanya, bertepatan dengan padamnya lilin ulang tahunku, kehidupan baruku dimulai saat aku membuat perjanjian dengan dirinya,
A Broken Life
492      339     8     
Short Story
Why does it have to be my life?