3
Musim Semi, 2017
(Rienna Arabella)
Aku ingin menghilang menjadi helaian kelopak bunga yang terbawa angin di musim semi, atau butiran serbuk sari yang tak kasat mata. Musim semi di Jepang telah datang menebar keindahannya, namun hanya hatiku yang terus merasakan badai salju yang tak kunjung usai. Aku mengintip dunia luar dari balik tirai jendela saat matahari memanggilku keluar dan daun-daun di ranting yang menggodaku dengan tarian mereka. Aku pun ingin menikmati aroma bunga bermekaran dan nyanyian para burung yang bersahutan. Tapi untuk kesekiankalinya aku lebih ingin menghilang dibandingkan menikmati momen itu, aku terlalu takut menghadapi dunia luar yang penuh kenangan.
¶ Na… kau bisa mendengarku bukan? Aku tidak akan menyuruhmu pulang. Hanya saja, jangan terus mengurung dirimu! Jangan membaca komentar-komentar buruk itu lagi! Jika perlu tutup semua akunmu! Bersenang-senanglah selama berada di Jepang! Jangan pikirkan apapun! Masih banyak orang yang menyayangimu… ¶
Suara kakak perempuanku yang aku rindukan mengalun dari kotak pesan suara. Namun aku sengaja mengabaikannya karena tak ingin memperlihatkan keadaanku yang semakin memburuk padanya. Trauma, kesedihan yang berlarut-larut, kenangan yang tanpa henti membayangi, penyesalan dari masa lalu serta bisikan-bisikan membuatku merasa tak lagi berharga di dunia. Semua itu memperburuk keadaanku setelah kedua orang tuaku meninggal dan karierku sebagai penulis hancur karena suatu kesalahan. Aku sungguh tidak membayangkan jika dunia dewasa akan bertidak begitu kejam padaku.
“Na… apa yang terjadi?” dalam keheningan itu pun aku masih sering mendengar suara itu menyapaku. Seolah kau membuka pintu flat-ku dan menemukanku disana. Seperti musim semi sepuluh tahun lalu, saat aku juga tengah bersembunyi dari kesedihanku.
“Elo baik-baik aja kan?”
Namun saat aku memandang pintu di belakangku itu, tak ada siapapun disana. Bahkan pintu itu masih tertutup seperti sediakala. Ini seperti sebuah ilusi yang sering kualami atau juga pengharapan yang tak akan pernah sampai. Aku segera berjalan dengan gontai menuju nangkas di samping ranjang dan memungut sebuah botol berisi obat penenang. Terkadang jika aku merasa kenangan itu terlalu menyiksaku maka tak ada cara lain selain membunuhnya untuk sementara.
“Sakit apa lo sampai sembunyi di klinik? Jangan-jangan lo lupa buat PR ya?”
Aku menutup mulutku sembari terisak, suaramu terdengar begitu jelas di telingaku. Beberapa butir obat yang tersisa di dalam botol pun akhirnya kulempar ke ujung ruangan hingga berceceran di lantai. Semua tak ada gunanya, pil-pil itu hanya membuatku benar-benar menjadi orang gila. Aku menarik tubuhku untuk berdiri, lalu merebahkannya di atas ranjang sembari meringkuk, membiarkan kenangan itu semakin liar di otakku. Hanya cara itu yang bisa kulakukan kini.
“Na? kenapa sih? Lo marah sama gue?” kau mengguncang tubuhku yang tengah meringkuk di ranjang klinik sekolah. Tapi aku yang terlanjur mengalami hari yang buruk terlalu enggan untuk menjawab pertanyaan mu.
Kurasakan kau masih mengamati wajahku dari samping, meskipun aku hanya menduganya karena kedua mataku yang masih tertutup. Ranjangku pun sedikit goyang saat kau ikut naik dan mengambil tempat duduk di ujungnya. “Yaudah… kalau elo gak mau cerita! Tapi jangan harap gue akan pergi dari tempat ini, karena gue juga malas ngikutin pelajaran terakhir!” ujarmu terdengar sedikit menguap.
Aku masih bertahan dengan mata terpejam dan meringkuk membelakangimu, sampai sesaat kemudian kurasakan panas dari kulit punggungmu menjalar ke kulit punggungku. Sontak aku pun membuka mata dan beranjak bangun.
“Jeka…!” pekikku menyadari kau ikut berbaring membelakangiku. Tapi kini giliran kau yang tak mengubris panggilanku. Aku pu langsung bertindak mendorong tubuhmu hingga terjatuh di bawah ranjang.
“Astaga…! Tulang belakang gue kejedok lantai, aduh… sakit banget!” gerutu sembari berusaha bangkit. “Elo tega banget sih Na? Gak kira-kira apa kalau ranjang klinik itu tinggi? Sakit tahu!”
“Salah elo sendiri! Ngapain coba tidur di samping gue? Cari ranjang sendiri kalau mau bolos!” cecarku. Hilang sudah ingatanku tentang apa yang terjadi padaku hari ini dan berganti dengan kekesalan padamu.
“Nah… berarti elo ngaku kalo lagi bolos? Ckck… gue gak nyangkah pelajar terbaik kayak lo ternyata juga punya cara kotor untuk menghindar dari pelajaran yaitu dengan pura-pura sakit! Licik lo…” tuduhmu yang kini telah berdiri di hadapanku sambil mengantongi tangan.
“Gue bener-bener sakit muka rombeng! Elo aja yang gak ngerti!” cicitku.
Kau mengulurkan punggung tanganmu menyentuh keningku lalu mengulurkan tangan yang lainnya untuk menyentuh keningmu sendiri. Aku membeku beberapa saat, mengamati wajahmu yang tengah serius menganalisa suhu tubuhmu dengan suhu tubuhku. Dan tanpa sadar hal itu membuatku ingin tertawa.
“Gak ada bedanya kok! Badan lo gak panas! Ketahuan lo kalau bohong?”
Aku memalingkan wajah sesaat setelah kau menurunkan tanganmu. Lalu kembali berbaring membelakangimu. “Gue gak cuma sakit fisik tapi juga sakit hati…” gumamku entah dapat kau dengar atau tidak.
“Ambigu lo Na! Bikin orang khawatir aja!” sahutmu yang kini terdengar menyeret salah satu kursi klinik untuk kau duduki.
“Elo gak balik? Bel udah bunyi tuh…” ujarku masih membelakangimu. Aku memilih untuk tidak menceritakan masalahku padamu. Aku hafal semua sifatmu, kau yang bukan pendengar yang baik. Tapi jauh di lubuk hatiku, entah mengapa aku merasa bersyukur dengan keberadaanmu di sampingku. Hanya sebatas keberadaanmu yang membuatku merasa tak pernah sendiri.
“Malas gue balik ke kelas, mending gue nemenin lo! Gak tega gue liat muka lo…”
Tanpa kusadari sebuah senyuman pun lolos dari bibirku karena kata-katamu. Tapi aku berusaha menyembunyikannya. Senyuman itu pun selalu lolos dari bibirku setiap kali aku mengingatnya kembali, meskipun dalam keadaan terpuruk, meskipun aku sendiri tak pernah ingin tersenyum lagi.
Waktu terasa berhenti sejak aku meringkuk di atas ranjang sembari tenggelam dalam kenangan tentangmu. Baru setelah pintu flat terbuka secara tiba-tiba, jarum jam terasa kembali berdetak. Aku hanya mengintip dari sudut mataku yang tenggelam diantara sprei dan selimut, seorang laki-laki dengan kemeja putih dan polos berdiri disana, sedang memandang kearahku. Dia menghembuskan nafas dengan lega ketika mendapatiku yang masih berkedip.
“Kau membuatku cemas! Kenapa kau tidak mengangkat teleponku seharian ini? Juga pesan kakakmu, kenapa kau tidak membalasnya?”
Dia menemukanku sama seperti kau menemukanku, dia datang saat aku membutuhkan sama seperti kau yang datang saat aku membutuhkan keberadaanmu dan dia menghawatirkanku sama seperti kenangan itu. Hanya perbedaannya, laki-laki itu bukan kau. Dan alasan keberadaannya berbeda dengan alasan keberadaanmu.
****
(Jelfrine Kahendra)
Matahari telah mendaki langit cukup tinggi ketika aku terbangun dengan serbuk sari yang memenuhi hidungku dan membuat bersin. Seseorang telah membuka jendela apartemen dan membiarkan angin yang lembut di musim semi mengejekku. Hari yang indah dimana bunga-bunga sakura bermekaran hanya dalam beberapa minggu dalam setahun, namun aku tetap tak bersemangat sedikitpun untuk membuka mata.
Telah menjadi kebiasaanku beberapa tahun terakhir jika aku menjalani hidupku secara tidak teratur. Tidur cukup larut dan bangun terlambat, makan-makanan tidak sehat, alcohol, rokok dan terlalu malas berolahraga. Aku seolah menghancurkan diriku secara perlahan-lahan tanpa suatu sebab. Kehidupan itu pun seolah berbanding terbalik dengan kesuksesan yang kumiliki. Kelopak mataku ingin terpejam kembali untuk beberapa saat namun ketika mendengar suara berisik dari luar kamar, aku pun mengurungkannya. Dengan berat hati, aku bangkit dari ranjang dan menyeret kakiku keluar.
“Anata wa okite imasu ka?[1]” suara lembut dan familiar itu menyambutku ketika aku baru membuka pintu kamar. Dia berdiri membelakangi kabin dapur, sedang memotong sesuatu untuk dicampur ke dalam masakannya. Kulihat ruangan di sekelilingku tampak rapi, dia juga membersihkan apartemenku dan mencuci beberapa pakaian kotor yang kutinggalkan semalam. Jika aku tak bersyukur mempunyai kekasih seperti Yuiko maka aku adalah laki-laki yang paling celaka, karena dia adalah seseorang yang paling sempurna yang pernah kukenal. Mungkin itu pula yang menjadi alasanku bertahun-tahun lalu untuk mendambahkan seorang kekasih yang lebih tua dariku dan lebih dewasa.
“Kau selalu melewatkan sarapan karena tidur, jadi aku akan membuatkan makan siang yang cukup banyak hari ini...” ujarnya saat melihatku berjalan menuju arah dapur.
“Kau tidak pergi mengajar?” tanyaku lalu membuka pintu kulkas dan mengeluarkan sebotol air mineral.
“Apa kekasihku lebih cepat menua dariku karena kebiasaan buruknya? Atau dia memang lupa jika hari ini adalah hari minggu?” cibirnya. Dan aku memilih untuk menghiraukannya. Air dalam botol telah kutegak hingga habis saat Yuiko kembali membuka suara. “Setelah makan siang, bagaimana kalau kita berjalan-jalan sambil menikmati festival cerry blomsom? Tidakkah terlalu sayang melewatkan hari yang cerah?”
“Tidak… kau saja yang pergi! Aku harus menyelesaikan pekerjaanku sebelum hari senin!” tukasku tanpa sadar telah menolaknya dengan dingin.
Kulihat gerakan tangan Yuiko berhenti sesaat setelah aku berkata. Dia menunduk hingga membuat beberapa helai rambut menutupi wajahnya. Aku tidak bisa melihat bagaimana raut wajahnya, namun melihatnya terdiam justru membuat hatiku mencelos. Sudah pasti aku telah melukai hati perempuan itu.
“Yuiko… Hani[2]!” aku meletakan botol minumanku dan berjalan menghampirinya. Kutangkup pipinya dengan kedua tanganku hingga dia kembali menegakkan kepalanya. Ada bulir air mata yang menetes dari pupilnya yang tak dapat kucega.
“Aku lelah dengan hubungan ini! Kupikir kau berbeda dengan orang yang pernah kucintai, tetapi pada akhirnya kau sama saja! Kau mulai bosan denganku!”
Jari-jariku bergetar dan lututku mendadak terasa lemas, bukan karena aku tak makan sejak semalam namun karena aku sadar bahwa aku telah melukai hati seorang perempuan untuk kesekiankalinya. Aku melihat Yuiko, perempuan yang kucintai menangis karena aku. Dan yang lebih membuatku terpaku, air matanya juga mengingatkanku pada air mata perempuan lain yang juga kucintai.
“Baik banget lo hari ini mau bawain ransel gue?”
“Yaelah… Na! Gue tiap hari selalu baik! Lo aja yang gak pernah sadar!”
“Yah… lo emang baik tapi cuma ke perempuan yang elo rayu, iya kan?”
“Terserah deh… lo emang suka berburuk sangka sama gue!”
Percakapan itu berlangsung sepanjang koridor klinik hingga gerbang sekolah. Saat bersamamu, entah mengapa selalu ada hal yang kita perdebatkan. Kau yang selalu mengadiliku dan aku yang hanya bisa menerima semua tuduhanmu. Belakangan aku menyadari bahwa semua itu yang membuat hubungan kita tak memiliki jarak. Semua itu hanya caramu untuk menghangatkan suasana.
Namun hari itu seseorang yang tidak diharapkan muncul diantara kita. Seorang pemuda Jepang yang jakun dan memiliki gaya rambut yang menurutku cukup aneh. Mungkin pemuda Jepang terlalu malas menggunakan pomade, makanya rambut mereka bisa mencolok mata siapapun yang melihatnya. Dan aku tidak pernah suka berteman dengan anak laki-laki Jepang, meskipun telah tinggal di negara itu cukup lama. Tapi bagimu dan bagi gadis-gadis lainnya, dia terlalu keren untuk kau abaikan.
“Nana~chan…” panggilnya dalam aksen Jepang. Kulihat raut wajahmu seketika berubah ketika melihat sosoknya di dekat gerbang sekolah.
“Watashi wa anata ni hanashitai[3]! Watashitoisshoni-ka ni kaerimasu ka[4]?” pintanya sambil berjalan mendekat ke arahmu. Namun sebelum benar-benar sampai di hadapanmu, aku terlebih dahulu menghadangnya. Karena aku melihat dari tatapan matamu, kau tampak tak mengharapkan kehadirannya. Entahlah, tidak seperti biasanya. Hari itu kau juga bersikap aneh dengan bersembunyi di klinik dan pura-pura sakit.
“Rienna ga watashitoisshoni iru ka dō ka wakarimasen ka?[5] Tentu saja dia akan pulang bersamaku…” tukasku. Tapi pemuda tolol bernama Akira itu justru mengabaikanku.
“Nana~chan!” panggilnya lagi menyingkirkan lenganku.
“Akira~san… Gomen'nasai[6]! Watashi wa anata ni hanashitaku arimasen…[7]” jawaban itu membuatku tersenyum simpul. Meskipun sedikit terasa janggal karena biasanya kau tidak pernah menolak Akira.
“Anata wa sore o kikimasendeshita ka[8]? Rienna tidak ingin pulang bersamamu! Jadi pergi sana! Sebelum aku mematahkan tulang hidungmu!” ancamanku dengan lagak sombong. Aku selalu mempertahankan harga diriku di depan orang asing agar tak ada satu pun yang meremehkan tempat asalku.
“Baiklah… jika kau memang tidak ingin pulang bersamaku! Tapi kau harus tahu, Nana~chan! Aku bersungguh-sungguh dengan apa yang aku katakan, aku hanya tidak tahu bagaimana cara mengungkapkannya…” ujar laki-laki bertubuh kurus itu.
Aku mengerutkan alis karena tak memahami apa yang dia ucapkan padamu. Hingga dia berbalik dan pergi meninggalkanmu, aku pun masih memandangi punggungnya hingga benar-benar menghilang. Dalam hati aku mencoba menebak, apa yang terjadi diantara kalian. Namun sekeras apapun aku berusaha berpikir, otakku tetap terasa kosong. Aku tidak tahu apapun karena saat jam istirahat, aku selalu berada di lapangan dan jauh dari kelas. Tapi saat aku berbalik untuk melihatmu, aku mendapati hal yang tak pernah kulihat sebelumnya. Setetes air mata, bukan! Itu lebih dari setetes. Kau menangis di hadapanku untuk pertama kalinya sehingga membuatku binggung dan tak tahu harus melakukan apa padamu.
“Na…” akhirnya suara itu yang keluar dari bibirku. Aku terlalu terkejut dan tidak terbiasa melihatmu dalam keadaan itu.
Kau masih terdiam dengan kepala sedikit menunduk. Tapi kulihat sudut bibirmu tampak bergetar seolah hendak mengucapkan sesuatu. “Akira…” gumammu sembari mengalihkan pandangan. “Dia bilang suka sama gue tapi selama ini dia gak tahu caranya buat ngungkapin. Jadi dia deketin Yuri buat cari informasi tentang gue. Dia gak tahu kalau itu ngebuat Yuri kecewa dan gak mau berteman lagi sama gue. Semua anak perempuan di kelas bahkan nyalain gue, mereka ngejauhin gue karena berpikir gue ngerbut Akira…”
Sebenarnya aku tidak berniat sedikitpun mendengar ceritamu, terlebih itu tentang pernyataan cinta Akira padamu. Tapi setelah mendengar penjelasanmu panjang, aku mulai memahami jika kau berada di situasi sulit dengan teman perempuanmu karena pemuda itu. Sejak awal aku tahu dia laki-laki banci dan tidak pantas dipuja-puja sebagai bintang kelas. Tapi kau dan anak perempuan lain selalu memandangnya sempurna.
“Terus elo punya perasaan sama Akira?” aku bertanya sembari memalingkan muka, enggan mengetahui jika jawabanmu justru tak sesuai dengan dugaanku. Namun sesaat kemudian kulihat dari sudut mataku, kau tampak menggeleng.
“Gue cuma nganggep dia sebatas teman!” jawabmu, membuatku tersenyum simpul. Aku merasa menang karena jawaban itu sesuai dengan apa yang kupikirkan.
“Terus ngapain lo nangis?” tanyaku lagi, kembali bersikap sok keren.
Kali ini kau pun mengangkat kepalamu untuk menatap mataku. Sehingga mau tak mau, aku juga memalingkan pandanganku padamu. “Karena gue gak tahu gimana caranya ngejelasin semua itu sama Yuri! Lo juga gak tahu kan gimana rasanya dijauhi teman-teman elo sendiri? Yang gue harapkan selama ini cuma belajar dengan tenang dan bertahan di sekolah ini sampai lulus, elo gak tahu gimana usaha gue supaya diterima di lingkungan yang asing ini dengan baik? Dan semua itu sia-sia karena kesalapahaman ini…”
Saat aku menatap lekat kedua bola matamu, saat itulah aku merasa ada sesuatu yang salah dengan diriku. Melihat genangan air yang terus memaksa keluar dari sana, membuat telapak tanganku tanpa sadar bergerak untuk mengikisnya. Waktu pun terasa berhenti dengan telapak tanganku yang menjadi beku dan tatapan matamu yang berpindah dari sudut mataku menuju ujung jariku yang masih menempel di pipimu.
“Kalau elo mau, gue bisa slending mukanya Akira besok!” gumamku untuk mengurangi kegugupan yang tiba-tiba menyelimuti hatiku. Kau membuang nafas dengan kesal sebelum menyingkirkan telapak tanganku dari wajahmu.
“Gak! Gak perlu! Gue gak mau nambah masalah! Cerita sama lo itu ternyata gak ada gunanya ya?” cibirmu membuatku tidak terima.
“Tapi elo kan gak salah apa-apa, Na! Kenapa harus repot-repot ngejelasin semua sama Yuri? Kalau mereka mengira elo ngerebut Akira, berarti selama ini mereka gak kenal elo dengan baik, mereka gak tulus berteman sama lo! Jadi ngapain lo peduliin mereka?”
“Elo gak ngerti, Jeka! Gue itu ngerasa gak nyaman di kelas kalau kayak gini!”
“Oh… jadi itu alasan elo kabur ke klinik tadi? Karena elo takut ngadepin mereka? Elo takut dimusuhin mereka karena elo merasa bahwa elo cuma orang asing di negara mereka?” Aku memotong perkataanmu dengan tiba-tiba, sehingga membuatmu tampak terkejut. Walaupun aku bukan tipe orang yang berpikiran serius tapi bukan berarti aku tak pernah berusaha memahami perasaanmu.
“Denger gue baik-baik, Na!” ujarku sembari memegang kedua bahumu dan menghadapkanmu tepat di hadapanku. “Elo itu gak sendiri disini! Ada gue yang juga teman elo jadi gue pasti ngelindungin elo kok! Percaya sama gue, gak ada yang perlu elo takutin! Elo juga gak perlu berusaha jadi orang lain cuma buat berteman sama orang-orang disini! Biarin mereka memahami siapa dan bagaimana elo yang sebenarnya… ”
Itu adalah satu hari di awal musim semi, saat bunga sakura bermekaran untuk pertama kalinya dalam satu tahun dan hanya dalam waktu yang singkat. Aku merasa miris saat mengingat kenangan itu kembali. Bagaimana kata-kata yang pernah kuucapkan padamu hanya menjadi angin berlalu untuk diriku sendiri. Pada kenyataannya, aku yang seharusnya menjadi diriku sendiri untuk saat ini dan bukannya menjadi orang lain.
“Watashi wa anata o totemo aishiteimasu…[9]” bisikku tepat disamping telinga Yuiko. Aku melingkarkan kedua lenganku untuk mendekapnya dari belakang, sambil menenggelamkan separuh wajahku di pundaknya. “Dan aku tidak sanggup kehilanganmu! Aku tahu sikapku akhir-akhir ini menjadi sangat menyebalkan, tapi bukan berarti aku bosan denganmu…”
Yuiko tidak menyahuti. Dia sudah lebih tenang setelah aku menyekat air matanya. Aku menyibak rambut yang menutupi pipi Yuiko dan menyelipkan di belakang telinganya. Kuhirup aroma tubuh perempuan itu dengan sedikit rasa bersalah. Kata-kataku mungkin tak lebih dari dialog seorang aktor opera sabun yang sering menjadi lawan main Yuiko di pertunjukan. Atau juga seperti bajingan yang sedang merayu wanita yang dicintainya namun disisi lain juga tengah memikirkan wanita lain yang juga dicintainya. Aku tidak tahu mengapa aku begitu lihai memainkan perasaan wanita itu, seharusnya aku mengakhirinya dan bukannya membiarkannya semakin terluka karena sikapku.
“Bisakah kau berjanji padaku, akan kembali menjadi Jelfrine Kahendra yang kukenal dahulu? Seorang yang mengejar cintaku dan bukannya orang yang sama yang membiarkanku mengemis perhatiannya…” ujar Yuiko terasa sedikit menusuk jantungku.
“Yah… aku berjanji! Aku ingin hidup bersamamu, aku sungguh ingin membangun sebuah rumah impian untuk kita. Karena itu, aku berusaha dengan keras untuk proyek ini! Kumohon bersabarlah untuk sementara waktu…”
Meskipun aku tak tahu apakah aku dapat menepati janji itu atau tidak, aku tetap mengucapkannya. Padahal janji yang kuucapkan sepuluh tahun yang lalu untuk melindungimu, tidak pernah bisa aku tepati. Aku adalah laki-laki yang munafik bukan? Mungkin karena itu kau pergi dengan cara membenciku.
[1] Apakah kau sudah bangun?
[2] Sayang!
[3] Aku ingin berbicara denganmu!
[4] Bisakah kita pulang bersama?
[5] Kamu! Tidakkah kamu melihat jika Reinna bersamaku?
[6] Akira… maaf!
[7] Aku tidak ingin berbicara denganmu
[8] Apakah kamu tidak mendengarnya?
[9] Aku sangat mencintaimu
@aiana kira-kira seperti itulah hehe
Comment on chapter AuntumSenang banget di komen, terima kasih banyak ^^
Aku juga suka "27 Syndrome" kayak aku banget itu ceweknya wkwk