Reina menghela napasnya berulang kali. Dia sama sekali tak menyimak apa yang sedang dibicarakan oleh Citra saat ini. Entah apa yang sedang merasuki pikirannya. Selama dua hari ini, pikirannya selalu saja tertuju pada cowok yang telah menggagalkan rencana bunuh dirinya waktu itu.
"Rei, gimana menurut kamu? Apa Kakak terima saja ya lamaran Rico?" tanya Citra terlihat kebingungan, "kalau Kakak terima lamaran Rico, trus kamu gimana nanti? Siapa yang bakal jagain kamu?"
Tak sepatah kata pun keluar dari mulut Reina. Ia bahkan tak mendengar apa yang baru saja ditanyakan oleh kakaknya itu. Pikirannya terus saja mempertanyakan perkataan cowok itu tempo hari. Kenapa cowok itu belum juga mengajakku jalan? Apa dia lupa sama ucapannya waktu itu?
"Rei! Reina!" panggil Citra dengan suara yang mengagetkan.
Suara Citra yang mengagetkan membangunkan Reina dari pertanyaan-pertanyaan di hatinya yang membingungkan. Ia menggerutu di dalam hatinya. Payah. Apa yang sedang kupikirkan sih? Ngapain aku memikirkan orang yang baru kutemui?
"Kamu kenapa sih, Rei? Sakit? Mulai tadi ngelamun terus."
"Nggak kok. Aku nggak apa-apa," jelas Reina singkat.
Citra menghela napas melihat tingkah adik satu-satunya itu. Dia sangat hapal akan sifat adiknya itu. Dia tahu kalau Reina sedang menyembunyikan sesuatu darinya. Citra tersenyum kecut menatap adinknya itu seraya berkata, "Rei, Rei! Apa kau lupa kalau aku ini Kakakmu? Kau tinggal sama Kakak nggak sebentar, Rei. Kakak tahu kalau ada sesuatu yang sedang mengganggu pikiranmu sekarang."
Reina tak tahu harus berkata apa pada Citra. Dia tak mungkin bilang kalau kalau dirinya sedang menunggu cowok yang dua hari lalu telah menggagalkan percobaan bunuh dirinya.
"Hayo... kamu lagi mikirin apa?" desak Citra.
Tok... tok... tok...
Tiba-tiba terdengar suara ketukan pintu. Suaranya berasal dari arah pintu depan. Citra segera menghentikan desakannya. Dia merasa heran. Tak biasanya ada seseorang yang datang ke rumahnya di sore hari. Mungkin yang datang adalah orang yang ingin memesan roti buatannya, atau mungkin Rico yang ingin mendengar jawaban atas lamarannya itu. Entahlah. Ketukan pintu itu membuat Citra terpaksa mengurung rasa penasarannya akan hal yang sedang disembunyikan adiknya itu.
"Rei, Kakak buka pintu dulu," ucap Citra lalu melangkahkan kakinya menuju pintu depan.
Reina menghela napas lega. Tangan kanannya lalu mengusap dadanya. Kepalanya tak lagi pening karena ulah Citra. Dia sangat bersyukur karena orang yang saat ini ada di depan rumahnya datang di saat yang tepat, penyelamat batinnya.
Pintu bercat biru itu dibuka Citra dengan perlahan. Kedua matanya menatap kaget pada apa yang ada di hadapannya sekarang. Seorang cowok berwajah tampan dengan rambut yang sedikit berantakan tengah berdiri di hadapannya. Dia mencoba mencari tahu tentang cowok itu dari memori di kepalanya. Aneh sekali. Wajah cowok itu tampak tak asing baginya. Tetapi, tak ada sedikit pun ingatan tentang cowok itu.
"Reina-nya ada?" tanya cowok itu.
"Kau temannya Reina? Kok aku baru melihatmu?" tanya Citra penasaran.
"Iya, Kak. Aku teman barunya Reina. Namaku Devan," terangnya, "ngomong-ngomong Reina-nya ada nggak, Kak?"
"Ada kok. Kamu duduk aja dulu di situ! Kakak panggilkan Reina sebentar." Setelah berkata seperti itu, Citra melangkahkan kakinya dengan cepat menghampiri Reina. Hatinya sangat senang karena ini ada pertama kalinya Reina membawa teman cowoknya datang ke rumah.
Reina menjadi penasaran akan orang yang sedang bertamu di rumahnya sekarang. Aneh sekali. Dia sama sekali tak mendengar suara kegaduhan dari arah ruang tamu. Biasanya, bila yang datang Rico atau teman-temannya, suara Citra-lah yang mendominasi hampir seluruh ruangan di rumah. Kemungkinan yang bertamu saat ini adalah orang yang hendak memesan roti buatannya.
"Rei, ada yang cari kamu tuh di depan," ucap Citra menghampiri Reina.
"Siapa, Kak? Shila?"
"Bukan Sheila, Rei." Citra tersenyum senang. "Kenapa kamu nggak cerita sama Kakak kalau punya teman cowok sih, Rei? Teman cowok kamu ganteng banget loh. Tapi tetap gantengan Rico sih."
"Cowok? Siapa?" Reina bingung. Rasa-rasanya dia tak punya teman cowok.
"Kamu nggak perlu malu-malu gitu sama Kakak. Udah, embat aja, Rei."
"Emangnya dia makanan, main diembat segala," ucap Reina ketus.
"Samperin deh sana! Kasihan temanmu yang ganteng itu kalau nunggunya kelamaan." Citra lantas membantu Reina berdiri. Dia lalu menuntun Reina menuju ke ruang tamu.
Reina bingung sekaligus penasaran. Mungkin saja cowok yang dimaksud adalah cowok yang telah menolongnya dua hari yang lalu.
Sementara itu, cowok yang bernama Devan duduk dengan gelisah. Dia tampak tak sabar menunggu kedatangan Reina. Beberapa kali dia mengarahkan pandangan matanya ke arah ruang depan. Tetapi, orang yang ditunggu-tunggunya belum juga datang menghampirinya.
Tanpa Devan sadari, sebuah senyuman terukir di bibirnya saat Reina datang bersama dengan Citra. Gadis itu, gadis yang membuatnya sadar akan keagungan Sang Maha Pencipta. Dibalik ketidaksempurnaan anggota tubuhnya, gadis itu bisa bersikap mandiri dan tak menyusahkan orang lain. Gadis itu benar-benar membuatnya kagum.
"Lama ya nunggu Reina-nya? Maaf ya," tanya Citra merasa tak enak.
Devan tersentak dari lamunanya. Tiba-tiba saja wajah Reina sudah berada dekat sekali dengannya. Jantungnya kembali berdebar-debar.
"Nggak kok, Kak. Nggak lama."
Citra menatap Reina dan Devan dengan sorot mata senang, kemudian tersenyum. Tanpa berkata apa pun, Citra berbalik dan meninggalkan adiknya berdua dengan teman cowoknya.
"Hei!" sapanya, "kau masih ingat aku? Cowok di pinggir jalan dua hari yang lalu. Kau ingat?"
Reina terbelalak. "Kau masih ingat sama aku? Kupikir kau lupa."
Devan tersenyum seraya berkata, "Tentu saja aku masih ingat sama gadis mandiri."
"Gadis mandiri?"
"Benar. Kau gadis yang mandiri, gadis yang melakukan apa pun sendiri tanpa bantuan orang lain, termasuk jalan-jalan sendirian di pinggir jalan," puji Devan.
Wajah Reina dibuat merona karenanya. Antara malu dan senang bercampur menjadi satu di dalam hatinya.
"Yuk!" ajak Devan tiba-tiba.
"Kemana?"
"Jalan-jalan. Apa kau lupa sama janji yang aku buat waktu itu?"
"Astaga! Ternyata kau benar-benar ingat pada janji itu. Kupikir kau cuma bercanda." Reina tersenyum senang, pipinya kembali merona kemerahan.
"Aku sama sekali nggak bercanda. Waktu itu aku memang ingin mengajakmu jalan. Tapi karena waktu yang nggak memungkinkan, jadinya aku nggak jadi. Mumpung hari ini aku ada waktu luang, aku bisa menjemputmu ke sini." Devan tertawa kecil. "Ah, ya. Hampir saja lupa. Aku belum memperkenalkan diri. Namaku Devan."
"Devan, nama yang bagus," puji Reina.
"Aku ingin ngajak kamu jalan-jalan ke taman sekarang. Kau mau nggak?"
"Aku mau kok. Tapi aku minta izin dulu sama Kak Citra."
Citra tiba-tiba datang. Dia berkata dengan nada mengingatkan, "Aku izinkan kamu jalan sama dia. Tapi, sebentar saja. Jangan sampai malam!"
Devan lantas beranjak dan membantu Reina berdiri. Dia lalu membantu Reina masuk ke dalam mobilnya. Citra berdiri di ambang pintu depan. Sorot matanya tak lepas dari mobil yang dikendarai oleh Devan dan Reina. Citra sangat senang melihat keakraban yang terjadi di antara mereka berdua.
***
suka ceritanya ..semangat
Comment on chapter BAB 1 MIMPI BURUK