Reina terbangun karena suara azan subuh berkumandang nyaring. Tak terasa subuh telah kembali lagi. Hal itu menandakan kalau hari telah berganti. Apa pun yang terjadi kemarin, kini sudah menjadi bagian dari masa lalu. Dan di pagi ini, dirinya akan memulai hari yang baru dengan semangat yang baru.
Dia lantas meraih tongkat yang berdiri tepat di sampingnya dan segera bangkit dari kasurnya. Dengan langkah kakinya yang pelan, dia menuju ke arah kamar mandi. Seperti biasa, tangannya meraba-raba dinding kamar mandi, mencoba menggapai sakelar lampu. Ketika tangannya berhasil memegang sakelar lampu, tanpa ragu dia langsung menyalakan lampu kamar mandinya. Gelap. Hanya itulah yang terlihat di matanya. Dia lantas menepuk keningnya dengan pelan dan tertawa kecil menertawakan kebodohan dirinya. Untuk apa dirinya menyalakan lampu kamar mandi, sedangkan dirinya tak bisa melihat.
Salat subuh yang dilakukan Reina sedikit terganggu karena suara berisik yang terdengar di telinganya. Suaranya berasal dari arah dapur. Untung saja pikirannya bisa fokus, sehingga dirinya bisa melaksanakan salat subuh dengan khusyuk. Setelah salat, Reina kembali meraih tongkatnya. Dan dengan langkah kakinya yang pelan, dia berjalan menuju ke dapur.
“Kak! Kak Citra!” serunya memanggil. Tangannya yang berhasil meraih ganggang pintu pun segera membuka pintu dapur.
Citra yang sedang menyiapkan bahan-bahan untuk membuat roti pun menoleh kaget ke arah Reina. Dia buru-buru meletakkan wadah yang berisi telur ke meja dan segera menghampiri Reina yang berdiri di ambang pintu dapur.
“Ngapain kamu di sini, Rei? Seharusnya kamu di kamar aja istirahat.”
“Males ah, Kak. Masa istirahat terus,” ucap Reina. “Lagi pula, sudah lama aku nggak bantuin Kakak buat roti. Jadi pagi ini aku mau bantuin Kakak buat roti.”
Citra menatap bingung ke arah adiknya itu. Sejujurnya, dia ingin melarang Reina untuk membantunya membuat roti. Apalagi dengan kondisi Reina sekarang yang tak bisa melihat, pasti akan mempersulit pekerjaannya. Tetapi, dia sama sekali tak tahu harus berkata apa agar Reina tak tersinggung oleh ucapannya.
“Aku bantuin Kakak, ya?” setelah berkata seperti itu, Reina lantas melewati Citra menuju ke arah meja dapur.
“Nggak usah, Rei. Nanti kamu capek lagi,” ucap Citra buru-buru mencegah Reina.
“Nggak apa-apa, Kak. Aku tahu kok, akhir-akhir ini Kakak banyak mendapat pesanan roti. Kakak pasti kerepotan bikin pesanan rotinya sendirian.”
Prang!!!
Reina kaget mendengarnya. Piring yang tergeletak di samping wadah yang berisi telur rupanya terjatuh karena gesekan tangan Reina saat meraba. Reina segera berjongkok untuk mengambil pecahan-pecahan piring yang berserakan. Tetapi, sebelum tangannya berhasil memegang pecahan piring, Citra buru-buru menarik tangan Reina dan membawanya menjauh dari lantai yang penuh dengan pecahan piring.
“Rei, Kakak bilang nggak usah ya nggak usah! Kakak bisa bikin pesanan roti sendirian. Kamu nggak usah bantu Kakak bikin roti! Coba lihat perbuatanmu! Sekarang Kakak harus membersihan pecahan piring dulu, kan?” omel Citra.
Hati Reina sakit mendengar ucapan yang keluar dari mulut kakaknya itu. Dia sama sekali tak menyangka kalau Citra akan berkata seperti itu kepadanya. Dia tahu kalau Citra sangat lelah karena sekarang harus membuat pesanan roti sendirian. Dan saat ini, dia malah menambah pekerjaan yang seharusnya tak perlu Citra lakukan.
“Rei, Kakak minta maaf. Kakak nggak bermaksud memarahi kamu. Kamu tahu sendiri kan kalau akhir-akhir ini pesanan roti lagi banyak, Kakak agak kewalahan menyelesaikannya. Kakak minta maaf ya, Rei,” ucap Citra merasa bersalah. Dia bahkan tak tahu apa yang baru saja terlontar dari mulutnya itu. Mungkin karena kelelahan, sehingga dia tega berkata seperti itu kepada Reina.
“Kakak nggak perlu minta maaf. Aku yang salah. Seharusnya aku sadar diri.” Reina lantas mengarahkan tongkatnya dan melangkahkan kakinya keluar dari dapur.
Citra semakin merasa bersalah kepada Reina. Tak seharusnya dia berkata sekasar itu kepada Reina. Seharusnya dia bisa mengontrol dirinya bagaimana pun kondisinya. Dengan perkataannya barusan, Citra yakin kalau hati Reina pasti sakit mendengarnya.
***
Reina berjalan seorang diri di pinggir jalan. Suara lonceng kecil di tongkatnya sama sekali tak bisa menandingi ramainya lalu lalang kendaraan bermotor. Dia tak tahu kemana kakinya akan melangkah.
Tak ada sedikit pun rasa takut ataupun gelisah yang terlihat di wajahnya. Dia terus saja berjalan tak tentu arah. Hati dan pikirannya saat ini terasa kacau balau. Dia bahkan sama sekali tak memerdulikan kedua kakinya yang terasa lelah.
Reina memang sengaja tak memberitahukan kepergiannya kepada Citra. Dia tak mau kembali menyebabkan masalah kepada kakak satu-satunya itu. Dia sadar kalau dirinya yang sekarang tak lagi berguna, bahkan menyusahkan orang lain seperti yang dilakukannya pagi tadi kepada kakaknya sendiri.
Hati Reina sendiri sebenarnya sudah capek dengan kondisinya yang buta sekarang. Tak ada lagi hal berguna yang bisa dia lakukan. Semua yang dia lakukan, ujung-ujungnya hanya menyusahkan orang lain.
Reina mengambul udara dalam-dalam, lalu menghembuskannya dengan perlahan. Pikirannya kembali teringat pada masa-masa indah yang dulu pernah terjadi dalam hidupnya. Dia tersenyum kecil mengingatnya.
“Bu, Reina kangen sama Ibu. Reina ingin ketemu sama Ibu. Bawa Reina pergi, Bu! Reina sudah nggak tahan,” ungkapnya dalam hati.
Reina menghentikan langkah kakinya. Suara lalu lalang mobil kini mendominasi telinganganya. Dia lantas menghadapkan badannya ke arah jalan raya. Kedua matanya pun menatap ke arah jalan raya, seolah-olah dia masih bisa melihat aktivitas yang sedang terjadi di jalan raya.
“Bu, Reina sekarang buta. Reina yang sekarang hanya bisa menyusahkan kakak. Nggak ada gunanya lagi Reina hidup. Reina ingin susul Ibu,” keluhnya.
Tak ada keraguan yang terlihat di wajahnya. Dia mantap akan pikiranya itu. Dia tak ingin hidup hanya untuk menyusahkan orang lain. Dia tak mau lagi menjadi beban bagi siapa pun.
Telinganya bisa mendengar suara mobil yang melaju kencang menuju ke arahnya. Dia sama sekali tak takut. Dia sudah siap untuk mati. Selangkah demi selangkah, Reina melangkahkan kedua kakinya ke arah jalan raya. Tetapi, saat dia merasa jaraknya dengan mobil itu sudah dekat, tangannya tiba-tiba ditarik oleh seseorang. Tarikannya begitu kuat. Badannya pun secara spontan ikut tertarik. Mau tak mau, dia pun menghindar dari jalan raya.
“Apa kau sudah gila, Nona? Kalau mau mati, cari tempat lain! Jangan di sini!” omel si pemilik mobil sedan. Setelah berkata seperti itu, si pemilik mobil sedan itu kembali melajukan mobilnya dengan kencang.
Tak sepatah kata pun keluar dari mulut Reina. Ada rasa kecewa yang hinggap di hatinya karena keinginannya untuk mati telah gagal. Ada seseorang yang menyelamatnya dari kematian yang diinginkannya itu.
“Apa kau buta? Kalau hampir aja ditabrak mobil tadi. Makanya, kalau nyebrang itu hati-hati. Jangan langsung nyelonong aja. Jalanan ini bukan cuma punyamu,” cerocos seseorang yang kini berdiri tepat di hadapan cewek yang baru saja ditolongnya itu. Dia langsung melepaskan genggaman tangannya dari tangan cewek itu.
Dari suaranya, Reina bisa tahu kalau seseorang yang baru saja menolongnya adalah seorang cowok. Reina jadi tak enak pada cowok yang ada di hadapannya saat ini. Bisa-bisanya dia kembali merepotkan orang lain, padahal ini bisa menjadi hari terakhirnya hidup di dunia ini. Dia juga merasa malu kalau cowok itu tahu niat di balik tindakannya tadi.
“Hei!” panggil cowok itu. “Apa kau terluka? Apa perlu kuantar ke rumah sakit?”
“Nggak usah. Aku nggak apa-apa,” jawab Reina. “Makasih sudah menolongku tadi.” Dipandu tongkatnya, Reina lantas melangkahkan kakinya menjauhi cowok itu.
Cowok itu tampak kaget saat melihat cewek yang baru saja ditongnya itu berjalan dengan mengenakan tongkat. Perasaannya tiba-tiba agak khawatir dengan cewek itu. Dia pun segera melangkahkan kakinya menyusul cewek itu.
Karena merasa penasaran akan cewek itu, ketika dia berjalan tepat di hadapannya, dia melambai-lambaikan tangannya ke arah wajah cewek itu. Dugaannya akan cewek iu ternyata benar. Cewek itu sama sekali tak bereaksi terhadap lambaian tangannya.
Reina tiba-tiba menghentikan langkah kakinya. Dia merasa ada seseorang yang sedang mengikutinya saat ini. Tangannya spontan menggenggam dengan erat tongkatnya. Bila ada yang berani berbuat yang tidak-tidak dengannya, dia sudah siap memukul orang itu dengan tongkatnya.
“Siapa di situ?” tanya Reina ketakutan. “Aku peringatkan kamu! Jangan macam-macam denganku!”
“Kamu tenang aja. Aku nggak akan berbuat macam-macam denganmu,” sahut cowok itu.
Suaranya, suaranya terdengar mirip dengan cowok yang menolongnya tadi. Reina jadi bingung dibuatnya. Dia sama sekali tak mengerti tujuan cowok itu mengikutinya.
“Kau jangan berbuat macam-macam denganku! Kalau kau berani macam-macam denganku, aku akan berteriak dan memukulmu dengan tongkatku ini!”
Cowok itu malah tertawa kecil melihat tingkah Reina. Di sela-sela tawanya, dia berkata, “Kamu itu lucu juga ya. Tongkatmu itu kecil. Nggak akan sakit bila kau memukulkannya padaku. Lagi pula aku bukan orang jahat, kok. Kamu tenang aja.”
Reina tak lantas percaya begitu saja. Kecurigaannya terhadap cowok itu masih mendominasi dalam pikirannya. Untuk apa cowok itu mengikutinya kalau bukan untuk berbuat jahat kepadanya.
“Hei! Kau tidak perlu takut kepadaku. Aku bukan orang jahat,” ucapnya berusaha meyakinkan Reina.
“Lalu kenapa kau mengikutiku?”
“Maaf. Aku sama sekali nggak bermaksud untuk mengikutimu. Aku cuma ingin tahu apakah kamu—”
“Buta maksudmu?” tebak Reina dengan cepat.
“Maafkan aku,” ucap cowok itu merasa tak enak.
“Untuk apa kamu minta maaf? Aku memang buta.”
“Sekali lagi aku minta maaf padamu atas ucapanku tadi. Aku sama sekali nggak bermaksud menghina ataupun memandang rendah dirimu. Tapi bagaimana pun juga, kamu harus hati-hati. Apalagi di jalan raya seperti ini, banyak sekali mobil yang berlalu-lalang di sini. Kalau kamu nggak hati-hati, kamu bisa saja mati ditabrak mobil,” ucap cowok itu menasehati. “Lain kali, kalau mau jalan-jalan, kamu harus mengajak seseorang. Sangat berbahaya jalan-jalan sendirian di sini.”
“Apakah karena aku buta, jadi aku nggak bisa melakukan apa pun sendirian?” ucap Reina agak kesal.
“Bukan. Bukan begitu maksudku,” sanggahnya semakin tak enak. “Kupikir, sangat berbahaya bagimu jalan-jalan sendirian di sini, apalagi kondisimu yang berbeda seperti ini.”
“Aku hanya nggak mau menyusahkan orang lain. Walaupun aku buta, aku nggak boleh terus-terusan tergantung pada orang lain,” jelas Reina.
Cowok itu terdiam mendengarnya. Dia sama sekali tak menyangka kalau cewek yang berdiri di hadapannya saat ini adalah cewek yang mandiri, yang tidak mau tergantung pada orang lain, walaupun kedua matanya tak lagi bisa melihat keindahan dunia ini.
“Apa ada yang ingin kamu tanyakan lagi sama aku? Kalau nggak ada, aku mau pulang.”
Cowok itu segera tersadar dari lamunannya. Diam-diam, cowok itu merasa kagum kepada cewek yang baru ditemuinya itu. Dia pun kemudian berkata, “Aku antar kamu pulang, ya? Berbahaya sekali kamu sendirian jalan di sini.”
Reina tak tahu harus berkata apa kepada cowok itu. Masih ada keraguan yang tersimpan di batinnya mengenai cowok itu. Lagi pula, dia juga baru bertemu dengan cowok itu, bahkan dia sama sekali tak tahu namanya.
“Kamu jangan berpikir macam-macam. Aku cuma mau menolongmu saja.”
Reina berpikir sesaat. Apa yang baru saja diucapkan cowok itu benar juga. Memang berbahaya baginya berjalan sendirian, apalagi di dekat jalan raya seperti ini. Dia pun menganggukkan kepalanya dengan pelan sebagai pertanda setuju akan tawaran dari cowok itu. Dia lalu melangkahkan kakinya menuju ke rumah.
Cowok itu pun mengikuti langkah Reina. Sambil berjalan, dia berkata, “O ya, dari tadi aku belum menanyakan namamu. Siapa namamu?”
“Reina. Kau boleh memanggilku Rei.”
“Apa kamu tau di mana rumahmu? Kau kan—”
“Kamu tenang aja. Walaupun aku buta, otakku masih berfungsi dengan baik. Aku sudah hapal jalan pulang,” jelas Reina singkat.
Tak terasa langkah Reina telah membawanya sampai di depan rumahnya. Di sepanjang perjalanan tadi, keheningan mengisi waktu di antara Reina dan cowok itu. dia tak tahu harus bersikap seperti apa kepada cowok itu. Canggung sekali rasanya suasana di antara mereka.
“Ini rumahmu?” tanya cowok itu, lebih tepatnya mengisi kekosongan yang sejak tadi terjadi di antara mereka.
“Ya. Kau mau mampir?”
“Lain kali aja. Mungkin saat aku datang nanti, aku secara khusus membawamu jalan-jalan. Kuharap kamu tidak menolaknya.” Cowok itu lalu pamit dan meninggalkan Reina.
Reina tersenyum senang mendengarnya. Dalam hatinya dia berkata, “Apa aku nggak salah dengar? Dia bilang akan datang khusus membawaku jalan-jalan?”
Untuk sesaat, hatinya berbunga-bunga. Tetapi, kebahagiaan itu segera tergantikan pada kekesalan terhadap dirinya sendiri. Bisa-bisanya dia lupa menanyakan nama cowok yang telah menolongnya dari kematian tadi. Tanpa dia sadari, dia memukul-mukul pelan kepalanya.
Citra merasa gelisah karena Reina tak ada di rumah. Dia merasa bersalah kepada adiknya itu. Semua ruangan di dalam rumahnya sudah dia masuki, tetapi dia sama sekali tak menemukan sosok Reina di sana. Kedua matanya tiba-tiba menangkap sosok Reina di halaman depan rumah. Tanpa berlama-lama lagi, dia segera menghampiri Reina.
“Kamu dari mana aja, Rei? Kakak khawatir sama kamu,” ucap Citra sembari melihat-lihat tubuh adiknya itu. “Kamu nggak apa-apa, kan? Apa ada yang terluka?”
“Kakak nggak perlu khawatir. Aku nggak apa-apa kok. Aku tadi cuma jalan-jalan aja sebentar.”
“Rei, Kakak minta maaf sama kamu. Kakak nggak bermaksud ngomong seperti itu sama kamu.”
“Kakak nggak perlu minta maaf sama aku. Aku yang salah. Seharusnya aku nggak membuat repot Kakak. Aku minta maaf.”
Reina lalu mengajak Citra masuk ke dalam rumah. Reina terus saja senyum-senyum sendiri, membuat Citra bingung pada tingkahnya kali ini. Reina tak sabar menunggu kedatangan cowok itu ke rumahnya. Baru pertama kalinya, ada seorang cowok yang mengajak Reina jalan-jalan.
***
suka ceritanya ..semangat
Comment on chapter BAB 1 MIMPI BURUK