Aku tidak mengerti ada apa, kau tidak membicarakannya. Lalu, apa aku harus bertanya kepada angin?
……
Mungkin hari ini adalah hari tersial Azmariah. Gadis itu juga merasa pusing sendiri, ditambah dia merasa banyak tekanan dari seluruh kegiatan yang dia ikuti. Baru juga sebulan dia duduk dibangku kelas 11, banyak yang sudah dia keluhkan.
“Kenapa, Az?” tanya teman yang ada di sampingnya.
“Kita sebentar lagi ada lomba, Nath. OSIS mau seleksi, padus juga mau ada lomba, belum lagi organisasi kota yang mau adain acara. Kepala gue mau pecah,” gerutunya.
“Sibuk banget, ya? Kayak Arin,” gumam Nathira.
Azmariah hanya meletakkan kepalanya di atas meja lalu menghela napasnya. Dia dihampiri oleh ketua kelasnya karena dipanggil oleh guru matematika kelas 12 yang merangkap sebagai Pembina OSIS sekolahnya.
Dengan langkah malas, dia berjalan menuju ruang guru yang berada di gedung sebelah. Seperti biasa, dia melintasi tengah lapangan seraya mengkucir rambutnya yang terurai bebas hingga punggung.
Saat sampai di depan ruang guru, dia mengetuk pintu dengan pelan lalu membukanya seraya mengucap salam. Saat dia melihat orang di depan pintu yang ingin keluar dari ruang guru, dia semakin jengkel.
“Ngapain?”
“Di panggil Bu Mun. Lo ngapain, Sa?”
“Tadi dipanggil juga,” jawab Mansa lalu keluar dari ruang guru.
Azmariah masuk ke dalam lalu menghampiri guru yang memanggilnya. Dia hanya berbincang sebentar tentang proposal untuk acara 17 Agustus nanti. Berhubung Azmariah adalah ketua pelaksana kegiatan tersebut.
Seusai membicarakan hal itu, dia dipanggil oleh guru geografi untuk membawakan buku cetak yang tebal sebanyak 32 buku.
Dosa apa gue? Batin Azmariah.
Dia mendorong pintu dengan kakinya perlahan. Saat dia sudah keluar dari ruang guru, dia merasakan beban buku yang dibawanya tadi cukup ringan.
“Pantes pendek.”
Suara yang sering di dengarnya beberapa hari ini membuat dahinnya mengeluarkan perempatan imajiner.
“Kalau gak mau bantu, gak usah,” ketus Azmariah.
“Jarak dari sini ke kelas lumayan jauh. Nanti pas sampai kelas lo udah jadi amuba,” balas Mansa sealakadarnya. Mansa melangkah pergi lebih dulu dari Azmariah dengan membawa setengah dari yang Azmariah bawa tadi.
“Sa!” teriak Azmariah cukup keras.
Mansa hanya menoleh dan menaikan kedua alisnya tanda bingung.
“Gelud, yok!” lanjutnya.
……
Pelajaran kelas mereka memang pelajaran geografi. Azmariah sampai makan bekalnya di kelas lalu membalas pesan dengan anak OSIS lainnya dengan ponsel yang sengaja dia letakkan di atas meja.
Roti yang terisi mentega, gula dan telur rebus di dalamnya membuat Mansa memerhatikannya dari tadi.
“Azmariah, tolong bawakan buku cetaknya ke IPS 3, saya ngajar di sana sekarang,” ucap guru geografi di depan.
Azmariah sampai tersedak rotinya sendiri lalu minum air yang dia bawa dari rumahnya. Seisi kelas memperhatikannya yang sedang meminum airnya.
“Siap, Pak!” jawabnya kemudian.
Azmariah berjalan untuk mengumpulkan buku cetak yang telah dibagikan ke murid di kelasnya. Mansa mengambil sebagian buku itu saat sudah terkumpul di meja guru untuk membantu Azmariah mengantar bukunya.
Mereka hanya diam hingga sampai di IPS 3. Ketua kelas IPS 3 yang bernama Surya menerima buku itu dan berterima kasih. Azmariah hanya membalasnya dengan senyum manis.
Mansa menjawab dengan ketus dan berbalik untuk kembali ke kelasnya. Mansa sendiri tidak suka dengan ketua kelas IPS 3 itu. Padahal hanya karena kesalahpahaman. Azmariah yang bingung memanggil Mansa berkali-kali. Karena tidak ada jawaban, ia menarik tangan kanan Mansa.
Seketika pula Azmariah terkejut dengan suhu tangan Mansa saat itu. Mansa menepisnya dengan kasar. Matanya membelalak. Dia memperhatikan Azmariah yang tidak kalah terkejutnya dibandingkan dengannya.
“Lo … sakit?” tanya Azmariah hati-hati.
“Bukan urusan lo,” jawab Mansa dingin.
“Lo apa, sih? lo kok jadi berubah dingin? Perasaan tadi biasa aja. Lo kalau sakit bilang, biar gue izi—“
“Berisik!” bentak Mansa. “Lo gak tahu apa-apa diam aja! Orangtua lo ngajarin lo apa sampai lo ikut campur urusan orang?!”
“Kenapa jadi orangtua? Emang lo tahu apa tentang mereka?!”
“Lo anak didikan gagal? Sukanya ikut campur urusan orang? Hah?”
“Cukup!” teriak Azmariah. Hal itu membuat murid-murid yang ada di kelas menatap ke arahnya lewat jendela kelas.
Air wajah Azmariah berubah. Air matanyapun ingin turun. Mansa ingin meminta maaf, namun gengsinya terlalu tinggi. Mansa yakin, ia membuat kesalahan yang tidak bisa dimaafkan.
“Anggap kita gak pernah kenal. Gue nyesal kenal sama lo, Sa.”
@yurriansan makasih banyak kak sudah mampir^^
Comment on chapter 03. Pulang BarengAku suka nama mansa garem wkwkwkwkw
Oke kak,^^