"Kat? Lo pingsan ya?" Kedatangan waiter yang membawakan pesanannya dan panggilan Hadi menariknya kembali ke alam sadar.
Katarina merasa ruangan di sekitarnya berputar perlahan, ia jarinya tanpa sadar mencengkram tepi meja untuk berpegangan. "Kagak, lagi pegangan meja aja. Lo tau darimana, Di? Baru atau udah lama?"
"Hmm ... gue tau dari dua hari lalu sih, dari Hendra. Tapi kita kemarin bingung mau kasih tau lo atau nggak. Karena ...," Nafasnya terdengar berat, "gue tau gimana perasaan lo ke dia. Ini asal lo tau aja, gue gak mau lo tersakiti lagi."
"Dia gak ada artinya lagi bagi gue, Di." Rasa perih menusuk dada Katarina, mengejek kebohongannya sendiri. Ketika ia berkata lagi, ironi menguasai otaknya, "Menurut lo dia pulang ngapain ya, Di? Maksud gue, mending dia tetap di Amrik aja, gak usah pulang. Atau mati aja lebih bagus."
"Kat, lo bilang dia gak ada artinya lagi, tapi lo nyumpahin dia kek begitu, gak boleh tau. Biar bagaimanapun, Josh pernah jadi bagian terbaik dari kita, Kat." Katarina menggigit bibirnya mendengar teguran Hadi.
"Kabarnya sih dia mau merid. Jangan tanya gue ya siapa calonnya, karena gue beneran – sumpah! – gak tau. Acaranya juga gue gak tau kapan, tapi dia bilang ke Hendra untuk datang. Secara gak langsung kan sebenarnya dia mau lo juga tau, kalau dia mau merid. Makanya gue sama Hendra mutusin untuk ngabarin lo."
Hening.
"Kat, lo masih pegangan?"
"Masih nafas, Di, tenang aja." Jawab Katarina ketus.
"Koq jadi gue yang deg-degan sama kondisi lo ya?"
"Karena lo orang yang baik banget, Di." Katarina tertawa getir. Air mata menggenang di pelupuk matanya. Katarina berdoa agar suaranya tidak bergetar, ia tidak mau Hadi tiba-tiba datang menyusul dan menjemputnya pulang, karena begitulah seorang Hadi terhadapnya.
"Kalau ada apa-apa, bilang sama gue ya, Kat. Jangan diem-diem aja, trus tiba-tiba lo kenapa-kenapa. Gue bakal marah besar kalau lo begitu."
"Barusan lo bilang istri lo cemburu sama gue. Yang ada kalau gue telepon, nanti lo malah berantem lagi, akhirnya gue dituduh pelakor kayak dulu." Suara tawanya terdengar sinis, bahkan ia sendiri tidak mengenalinya.
"Nggak bakalan deh, lo tenang aja. Asal lo tau, gue bukan anggota ISTI. Biar kata dia istri gue – dan gue sayang sama dia – gue juga sayang sama lo. Dan sebagai istri gue, dia mestinya tau kalau ini masalah penting." Hadi terdiam di ujung telepon seakan menunggu responnya, namun Katarina terlalu pusing untuk berpikir. Matanya terasa berat, dengan kantung air mata yang mulai penuh.
"Kat, gue mau lo janji sama gue ... apapun yang terjadi, kalau lo perlu temen ngobrol atau apapun, gue selalu available. Ngobrol sama gue ya, Kat ... jangan diem aja."
"Ya."
"Ya apa?" Nadanya meminta jawaban Katarina.
"Iya, gue bakal kontak lo kalau ada apa-apa, Bapak Hadi Suwarno. Puas?" Suara di seberang terkekeh senang. Katarina mau tidak mau ikut terkekeh dengan mata berkaca-kaca, terharu dengan kepedulian sahabatnya yang satu ini. Sebentar kemudian setelah Hadi yakin Katarina baik-baik saja, sambungan itu terputus.
Katarina memandangi telepon genggamnya. Ah, Hadi ... Andaikata dulu kita jadian, semuanya akan baik-baik saja. Hidupku akan semulus berselancar di atas ring es.
Katarina menyesap tehnya perlahan selagi hangat, aroma halus peppermint menyegarkan syaraf penciumannya. Lamat-lamat, lantunan musik lembut dari audio system dalam ruangan mulai memanjakan telinganya lagi – You Belong to Me by Janet Seidel – bagai sihir di sore hari.
Katarina menoleh keluar jendela besar dan mendapati langit ikut merasakan perih dadanya, rintik hujan tipis mulai turun membasahi jalan beraspal di luar dan mendung melukiskan pemandangan monokrom, bagai lukisan hidup dari pensil.
Terpekur dalam keheningan dan balutan lazy jazzy tunes, matanya mulai menatap tanpa rasa. Pikirannya berkhianat, menuntunnya masuk dalam lorong waktu ke masa ia lebih muda setengah dari umurnya, dimana romantisme masih kental dan kasmaran masih didamba.