"Kamu tak lagi mengenal kekasihmu, lalu bisakah cintamu masih untuknya?"
-Raya Aurora-
Aroma secangkir green tea latte berpadu dengan harum bunga melati di taman yang terletak di depan kafe. Walaupun kalah telak dengan aroma latte, tapi Raya masih bisa mencium harum bunga itu. Baginya, harum bunga melati memiliki daya tarik tersendiri.
Perlahan gerimis mulai membasahi taman, membuat harum bunga melati lebih tercium. Raya tersenyum sambil memandangi bunga-bunga itu dari kejauhan. Dia merasakan kebahagiaan yang hanya dirasakan oleh dirinya sendiri.
"Raya!"
Panggilan dari seseorang mengembalikan gadis itu pada ekspresi normal. "Eh, Din! Apa kabar?" serunya pada Dinda yang sudah ditunggunya selama 35 menit.
Dinda duduk di hadapan Raya. Raya sedikit heran kenapa Dinda mengambil kursi di hadapannya, bukan di samping seperti biasa saat mereka sering ke kafe bersama. "Baik," jawab Dinda datar. "Lo sama Radit apa kabar?"
"Gue baik. Radit juga baik. Kita baik-baik aja."
"Enak ya kalian baik-baik aja di saat hati dan harga diri gue hancur."
"Hancur gimana maksudnya? Lo lagi ada masalah?"
"Iya, ada masalah sama cowok lo, tapi dia kedengarannya baik-baik aja. Berengsek emang cowok lo!"
"Tunggu, tunggu! Radit kenapa? Lo ada masalah apa sama Radit?"
"Lo nggak tahu apa yang udah dia lakuin ke gue?"
"Emangnya ada apa? Coba omongin baik-baik dulu."
"Lo yakin mau denger?"
"Yakin."
"Radit udah ngambil harga diri gue."
Seperti tertindih bangunan kafe, Raya nyaris hancur mendengarnya. "Apa? Nggak mungkin! Lo bercanda." Suaranya bergetar hebat. Tangannya gemetar. Dia berharap apa yang baru saja didengarnya hanya sebuah candaan konyol yang biasa dilontarkan oleh sahabatnya.
"Ray, gue serius." Dinda menekan ucapannya sambil menatap Raya dengan sangat serius.
"Kapan kejadiannya?" Raya mencoba tetap sadar walau detik ini juga dia ingin pingsan. Napasnya memburu. Kepalanya pening.
"Bulan lalu. Dua kali. Dua kali gue sama Radit pernah liburan di Bali. Kita satu kamar. Lo paham 'kan apa yang dilakuin cowok sama cewek berduaan ketika nginep di luar kota? Apalagi itu di Bali, Ray!"
"Kok bisa kalian liburan ke Bali? Dan kok bisa sampai satu kamar?" Bodoh. Raya masih saja mencari jawaban yang mungkin akan lebih menyakitinya.
"Radit bilang suka sama gue dan dia pengin ngabisin waktu cutinya sama gue. Dia ngajak gue ke Bali. Dia yang booking tiket pesawat dan kamar. Semua udah dia atur, Ray."
"Terus kenapa lo mau? Kenapa Lo nggak nolak?"
"Gue bisa apa, Ray, di saat orang yang ngajak liburan itu orang yang gue suka?"
"Lo suka sama Radit?"
"Iya."
"Sejak kapan?"
"Sejak pertama kali gue ketemu sama dia di kosan, sebelum lo sadar perasaan lo ke Radit. Saat lo nganggap Radit bukan siapa-siapa bagi lo."
"Din!"
"Sekarang gue minta tolong sama lo. Lepasin Radit. Ikhlasin dia buat gue. Hubungan gue sama Radit udah lebih jauh dari hubungan lo sama dia," pinta Dinda dengan wajah memelas, sementara Raya beranjak dari duduknya. Gadis itu mencoba berdiri tegak, walaupun seluruh sendinya terasa keram. "Ray, gue mohon. Lepasin dia. Dia harus tanggung jawab atas semua yang udah dia lakuin ke gue."
Raya tidak menjawab. Dia tidak mampu berkata-kata. Lalu tiba-tiba ponselnya berdering. Nama 'My Radit' tertera di layar. Dengan tangan gemetar, gadis itu mengangkatnya.
"Hallo, Ay. Maaf, gue nggak bisa jemput lo karena ternyata gue nggak bisa ke mana-mana. Staf gue ada yang nggak masuk, jadi gue harus stay di venue. Maaf ya, tapi gue udah order taksi online buat jemput lo. Lo stand by jam 7, ya." Hati Raya semakin hancur mendengarnya. "Ay?"
"Oke." Lalu, sambungan telepon pun terputus. Raya yang memutusnya tanpa salam.
Dinda menyodorkan sebuah amplop cokelat pada Raya. "Ini foto-foto liburan gue sama Radit."
Raya menatap amplop itu beberapa saat, lalu memberanikan diri untuk membukanya. Bola matanya nyaris keluar dan hancur di tanah ketika dia melihat foto pertama, kedua, ketiga, dan seterusnya. Radit dan Dinda terlihat sangat bahagia dan intim di semua foto itu. Bahkan, ada beberapa foto mereka di tempat tidur dan di kolam renang pribadi.
Sungguh, Raya tidak lagi mengenal siapa Radit dan siapa Dinda. Lalu, dengan tangan lemah dan mata yang membendung tetesan kesedihan, Raya menyobek semua foto itu dan melemparkannya ke wajah Dinda. Raya muak. Hatinya hancur.
--
Natasha Antonio terlihat semakin anggun dan cantik dengan balutan gaun pengantin berwarna merah menyala. Gaun itu sangat cocok menempel di kulit putih bersih miliknya. Natasha bersinar. Malam ini adalah acara resepsi pernikahannya setelah tadi pagi dia resmi menjadi seorang istri seorang Bernard Antonio di hadapan penghulu, wali, dan para saksi.
Dekorasi acara pernikahan Natasha dan Bernad sangat apik dan unik. Dengan nuansa berwarna merah dan keemasan, ruangan aula di sebuah hotel bintang lima ini terlihat sangat mewah dan memanjakan mata. Tak terhitung berapa banyak sudut yang bisa dijadikan tempat berfoto bagi para tamu undangan.
Raditya Malvino terlihat lebih tampan dari biasanya. Malam ini dia mengenakan tuksedo berwarna broken white dan celana panjang berwarna senada, serta kemeja berwarna putih. Tak ketinggalan, dasi kupu-kupu yang juga berwarna broken white turut menyempurnakan penampilannya.
Natasha menghampiri Radit, lalu membisikkan sesuatu di telinga laki-laki itu. Radit pun menanggapinya dengan berbicara pelan hingga tak ada satu pun orang yang mengerti pembicaraan mereka. Di detik berikutnya, mereka tertawa bersama seperti ada sesuatu yang lucu dan membahagiakan bagi keduanya.
Raya menyaksikan semua itu dari sebuah meja bundar seorang diri. Pikirnya, Radit benar-benar buaya! Selain Raya, laki-laki itu juga bermain api dengan Dinda, dan sampai kini dia tidak bisa lepas dari Natasha-mantan pacarnya yang baru saja sah menjadi istri orang.
"Hai, Raya!"
Raya menoleh pada sebuah sapaan yang sedikit menyadarkannya dari semua emosi buruk. "Kak Aldo?" Dia tampak bingung, kenapa bisa bertemu dengan Aldo di pesta ini.
"Iya. Kamu sendirian?"
"Iya, Kak. Radit lagi sibuk. Kak Aldo diundang juga?"
"Ya, ternyata Natasha teman kuliah aku. Bernard dan Radit juga. Lucu ya, aku lupa sama teman-teman sendiri," ujarnya, lalu tertawa kecil di akhir kalimat.
"Mungkin wajar aja, Kak. Kak Aldo sendirian juga?"
"Aku datang sama mama aku. Tuh, dia!" seru Aldo sambil mengarahkan pandangan pada seorang wanita paruh baya yang tampak cantik dengan gaun merah maroon yang berkelas. "Ma, sini!" panggilnya pada wanita itu.
"Kenapa?" sahut Sari—Ibu Aldo—ketika sudah tiba di samping putranya. "Eh, ini siapa?" tanyanya ketika menyadari kehadiran seorang gadis bergaun putih di hadapan Aldo.
"Ini Raya, Ma. Salah satu penulis aku yang baru aja launching buku."
"Oh, ini toh Raya yang sering kamu ceritain itu? Cantik, lho!"
"Halo, Tante. Saya Raya," sapa Raya, lalu menyalami Sari.
"Halo, Raya. Jadi, kamu kapan mau ke rumah Tante? Kita ngobrol-ngobrol sambil masak makan malam."
"Hem..." Raya hanya bergumam sambil tersenyum. Dia terkejut bisa bertemu dan berbasa-basi dengan ibu Aldo di tempat seperti ini.
"Al, ajak Raya ya weekend depan."
"Siap, Ma, kalau Raya nggak sibuk meet and great."
Aldo paham apa maksud ajakan sekaligus perintah dari ibunya itu. Beliau ingin mengenal Raya lebih dekat, mengingat Aldo sudah berkali-kali mengatakan pada beliau bahwa dia menyukai seseorang bernama Raya. Aldo pikir, tidak ada salahnya mencoba untuk mendapatkan hati Raya lagi dengan cara lain walaupun kini gadis itu telah resmi menjalin hubungan dengan Radit.
"Eh, Jeng Sari! Apa kabar, Jeng?" Seorang wanita paruh baya lain menghampiri mereka dengan wajah berseri-seri.
"Jeng Diana? Ya ampun, kita jadi reunian di hajatan Jeng Fani, ya," sahut Sari dengan wajah yang tidak kalah berseri-seri.
"Wah, ini Aldo ya sudah dewasa sekarang! Sudah matanglah buat nikah. Jadi, kapan bikin pesta kayak gini?" Ini adalah pertanyaan dan pernyataan sensitif yang akan ditemui di setiap pesta pernikahan. Aldo sudah kebal mendengarnya. Alhasil, dia hanya tersenyum sambil menyapa Diana—teman ibunya itu.
"Tahun depan ya, Jeng, doain aja."
"Siap, Jeng. Udah ada calonnya belum?"
"Udah. Ini kenalin calonnya Aldo. Namanya Raya." ∩∩∩
@Gladistia Wah, terima kasih banyak, ya. Senang bisa menghibur.
Comment on chapter Ditolak Lagi