"Apakah aku harus jatuh dulu, baru bisa mendapatkan cintamu?"
-Raya Aurora-
Di Antara
Oleh: Rini Oktaviani
Aku memikirkanmu di senggang dan sibukku
Aku mendoakanmu di sujud dan senyumku
Aku mencintaimu sebahagia doa yang terkabul
Setabah doa yang menunggu
Di antara kepastian dan ketidakpastian
Di antara tawa dan tangis
Di antara pengorbanan dan perjuangan
Di antara aku, kamu, dan Dia
Raya menutup presentasi puisi yang disambut oleh riuh tepuk tangan dari seratus orang yang menghadiri peluncuran buku pertamanya yang berjudul Jatuh, Lalu Cinta. Akhirnya, hari ini tiba juga. Gadis itu mengembuskan napas lega dan tersenyum sambil menyapukan pandangan ke arah para pengunjung. Dia tidak menyangka peserta yang hadir akan sebanyak ini. Rata-rata mereka adalah teman sesama penulis pemula yang masih berjuang dan beberapa pembaca tulisan yang selama ini Raya bagikan di media online maupun di majalah. Ada juga para calon pembaca baru yang hadir berkat iklan yang dipublikasikan oleh tim marketing Rivmedia Utama.
"Nice. Puisi yang menyentuh. Oke, kita akan buka sesi tanya jawab," ujar pembawa acara. "Ya, kamu. Silakan," katanya pada seorang gadis berkacamata.
"Kak Raya, siapa inspirator dari puisi yang Kakak tulis di buku ini?"
"Siapa inspirator dari puisi yang Kak Raya tulis di buku ini?" Pembawa acara mengulang pertanyaan yang ditujukan pada Raya.
"Em ... siapa, ya? Yang pasti seseorang yang sangat spesial buat saya." Raya menjawab dengan tersenyum. Pikirannya tertuju pada satu orang.
"Wow, sweet banget, ya!" Si pembawa acara berkomentar. "Next question. Ya, kamu yang berbaju biru, silakan."
"Aku sedih waktu baca salah satu puisi yang isinya patah hati. Kata-katanya ngena banget di aku. Apa pada saat menulisnya, Kak Raya benar-benar sedang patah hati?"
"Mungkin iya, mungkin juga enggak." Raya tersenyum lagi.
"Jawaban yang misterius. Next." Pembawa acara mengedarkan pandangan. "Ya, Mas yang pakai kemeja putih, silakan."
Raya nyaris berteriak. Seketika tubuhnya menegang. Radit? Radit ada di sini? Dia ingin mengajukan pertanyaan? ceracaunya dalam hati.
"Kalau saat ini orang yang menginspirasi tulisan kamu dan yang bikin kamu patah hati ada di sini, apa yang akan kamu sampaikan?"
Astaga, apa-apaan pertanyaan Radit ini? Raya panik setengah mati. "Kalau dia ada di sini, saya hanya ingin mengucapkan terima kasih," jawabnya kemudian. Masih dengan diakhiri oleh senyuman.
"Oke, sesi tanya jawab selesai. Terima kasih kepada kalian yang sudah mengajukan pertanyaan, semoga puas ya dengan jawaban dari Kak Raya," ujar pembawa acara. "Tadi kita sudah sama-sama mendengarkan perkenalan dan penjelasan isi buku Jatuh, Lalu Cinta dari Mas Teo dan Kak Raya. Kita juga sudah mendengar Kak Raya mempresentasikan salah satu puisinya. Dan baru saja, kita melakukan sesi tanya jawab. Sekarang, kita akan melakukan book signing. Di mulai dari sisi kanan, ya. Oke, kita mulai."
Satu per satu pengunjung maju ke podium menyodorkan buku kumpulan puisi yang ditulis oleh Raya. Raya merasa bahagia melihat respons positif yang mereka berikan. Gadis itu tak henti-hentinya tersenyum manis. Walaupun tadi sempat terkejut, karena kehadiran Radit yang tiba-tiba. Pasalnya, kemarin Radit mengatakan bahwa dia tidak bisa hadir.
"Hai, atas nama siapa bukunya?" Raya menyapa seorang laki-laki tinggi dan putih yang saat ini ada di hadapannya.
"Freya. Saya ingin menghadiahkan buku ini untuk seorang gadis bernama Freya."
"Oh oke, apa yang harus saya tulis di sini?"
"Untuk gadis manis yang selalu membuat khawatir. Axeliano Pradipta."
"So sweet," puji Raya, lalu menuliskan kata-kata sesuai permintaan laki-laki yang menyebutkan namanya Axeliano Pradipta itu sebelum dia membubuhi tanda tangannya.
"Kak Raya, buku ini untuk orang bernama Baratha. Tulisannya, Untuk seseorang yang memorak-porandakan hatiku. Dari Melisya." Raya merasa horor dengan kata-kata permintaan dari pengunjungnya kali ini.
"Terima kasih, ya," ucapnya, setelah selesai menulis qoutes dan menandatangani buku dengan senyuman yang tidak pernah lepas dari bibirnya, sementara pengunjung pun terus bergantian. "Hai, atas nama siapa bukunya?" Raya selalu mengulang pertanyaan ini ke setiap pengunjung yang berdiri di hadapannya.
"Freya. Saya request tulisan, Kurangin cerobohnya biar kamu nggak gampang terluka. Dari Rendra."
"Wah, tadi juga ada yang ingin menghadiahkan buku ini untuk seseorang bernama Freya! Semoga Freya yang dimaksud beda, ya." Raya tersenyum, sementara laki-laki di hadapannya mengernyitkan kening. Bingung. "Hai, atas nama si..." Kata-kata Raya terhenti saat dilihat siapa yang ada di hadapannya kali ini.
"Atas nama Raditya Malvino. Terserah mau ditulis apa aja."
"Oke, siap!" seru Raya, mencoba melayani Radit seperti pengunjung lainnya.
"Terima kasih, dan ini bunga untuk Kak Raya." Radit menyodorkan bucket bunga gerbera yang cantik membuat Raya terheran-heran, walau sebenarnya Raya pun merasa bahagia.
"Terima kasih bunganya. Saya terima, ya." Setelah tersenyum bahagia karena permintaan dan pemberiannya diterima, Radit pun turun dari podium. Dia tersenyum penuh kemenangan. "Hai, atas nama siapa buk..." Lagi-lagi kalimat Raya terhenti ketika pengunjung terakhirnya adalah... "Kak Aldo?"
"Hai, Penulis. Sekarang kamu udah resmi jadi penulis karena kamu udah nerbitin buku. Selamat, ya."
"Makasih, Kak Aldo. Ini juga berkat Kak Aldo. Kak Aldo mau minta tanda tangan aku?"
"Iya, dong."
"Kan bisa di kantor aja."
"Bedalah, di sini aku sebagai pembaca buku kamu."
"Manis banget sih, Kak Al," ucap Raya. "Kak Aldo bukannya harus prepare cetak bukunya Yasmin, ya?"
"Naskah dia belum selesai. Dia kebanyakan ngurusin hidup kamu. Kalau kata anak sekarang, 'nyinyir'. Aku tahu soal itu, aku pernah lihat beberapa kali kamu digangguin sama Yasmin. Kamu juga kesel 'kan pasti?"
"Iya, kesel sih, Kak, tapi..."
"Jangan dikasih hati orang kayak gitu. Harus dikasih pelajaran biar dia jadi orang yang baik. Aku nggak mau perusahaan aku dikenal dengan sikut menyikut. Kita harus terkenal karena kualitas kita yang baik."
"Oke, Kak. Ini udah. Makasih ya, Kak." Raya menyodorkan buku perdananya yang sudah diberikan sebuah kutipan dan tanda tangan pada Aldo.
"Aku dari tadi nyimak kamu launching, lho. Kelihatan nggak?"
"Em, enggak. Kak Aldo di mana duduknya?" Raya terkesiap, dia sungguh tidak menyadari kehadiran Aldo.
"Ya wajar aja sih, kan yang kamu fokusin cuma Radit."
"Kak Aldo!"
"Cieee, dikasih bunga gerbera sama Radit. Kok aku sama Radit sehati, sih? Aku juga mengibaratkan kamu seperti bunga gerbera."
"Lho, emangnya aku sekecil bunga?"
"Bukan begitu artinya. Denger baik-baik, ya. Aku hanya akan mengatakannya satu kali, jadi catet di otak kamu yang nyaris penuh itu. Kamu tahu 'kan bunga gerbera itu cantik, kuat, dan sulit didapatkan? Karena dia tumbuh di dataran tinggi seperti pegunungan. Persis kayak kamu."
"Kok Kak Aldo bisa receh juga sih, kayak Radit?"
"Cieee, nyebut-nyebut Radit!"
Raya menutup wajahnya, dia merasa malu bukan main. "Kak Aldo, stop it! Oh iya, kok sekarang kayaknya Kak Aldo akrab sama Radit? Sejak kapan?"
"That's not your business. That's a men business."
"Bete deh, aku!
Setelah acara selesai, mereka berpisah. Teo—yang dari awal acara mendampingi Raya—pergi ke Jakarta Timur karena ada pekerjaan lain, Raya pergi ke Tangerang—ke tokonya sekaligus kantor Radit, sementara Aldo masih berada di mal tempat peluncuran buku Raya. Hanya berjalan-jalan, tak punya tujuan.
Aldo membuka buku pertama Raya, lalu membaca pesan yang tadi ditulis oleh gadis itu.
Dear Rivaldo Andrian,
I don't have experience about love, but I know love is sometimes complicated and hurt. I just wanna say sorry and thank you so much. One day, will be came a beautiful princess yang akan jatuh cinta sama Kak Aldo dan dia akan menemani Kak Aldo sampai akhir hayat. And you're always will be laki-laki terlembut versi aku, Kak.
-Raya Aurora-
Aldo tersenyum, lalu memasukkan buku itu ke dalam tas kerjanya. Merelakan seseorang yang dicintai dan dikejar-kejar selama 4 tahun bukanlah hal yang mudah. Ya, Raya bagaikan bunga gerbera baginya. Bunga yang tidak pernah bisa diraih olehnya. Namun, Aldo akan tetap berada di dekatnya untuk memastikan bunga itu selalu harum dan bermekaran.
Raya Aurora, terima kasih doanya. Makasih juga untuk predikat laki-laki terlembut versi kamu. Kamu masih mau memaafkan, walaupun aku pernah melakukan kesalahan yang benar-benar buruk ke kamu. ∩∩∩
@Gladistia Wah, terima kasih banyak, ya. Senang bisa menghibur.
Comment on chapter Ditolak Lagi